Pembaca

30 April 2013

Takziyah ke Haji Muzakki Jampareng



Hari ini, saya, bersama ibu, istri, serta seorang saudara sepupu, pergi takziyah (melayat) ke rumah H. Muzakki di Desa Jampareng Laok, Kecamatan Pasongsongan. Letak rumah duka sebetulnya tidak terlalu jauh. Jalan rusak menjadi penyebab lamanya waktu tempuh.
 
Hari ini Selasa. Haji Muzakki bin Sadin wafat 4 hari yang lalu. Dia adalah mitra usaha almarhum ayah saya. Sepeninggal mendiang ayah, Haji Muzakki masih sering datang ke rumah, bukan untuk urusan usaha pertanian, melainkan  sekadar bersilaturrahmi saja.  Hubungan yang dibangun bersama ayah saya tetap dipertahankannya bersama saya, meskipun kini bukan urusan bisnis lagi. Hampir setahun lamanya dia datang terakhir kali. Sementara saya hanya sekali diajak ayah ke sana, dulu.

Putri almarhum, Munifah, pernah tinggal dan bersekolah di tempat kami. Karena faktor inilah, salah satunya, membuat kami merasa perlu merawat hubungan tersebut, juga menjadi alasan takziyah hari ini. Di samping itu, kami sekaligus berziarah karena Hj. Munifah baru datang dari tanah suci Makkah, tadi malam. Dia bekerja di sana sebagai TKW bersama suaminya sejak beberapa tahun lalu, dan memang berencana pulang dalam bulan-bulan ini.

Setiba di situ, capek terasa, terutama tangan dan pergelangann karena memegang stir tanpa power steering di jalan berbatu-batu. Setelah saya ajak keluarga almarhum untuk tahlil, kopi pun disuguhkan. Basa-basa terjadi. Makanan dihidangkan. Setelah itu, seperti biasa, kami pamit pulang.

Sebelum memasukkan gigi perseneling, saya sudah mencatat odometer. Saya ingin tahu persis, seberapa jauh dan seberapa lama perjalanan kali ini. Kami pun berangkat. Saya tidak mencatat angka itu sewaktu berangkat karena walaupun jarak dan rute yang ditempuh itu sama, namun tadi kami masih sempat mampir 3 kali. Jadi, masa tempuh tidak sama.

Beberapa meter dari rumah almarhum, Colt langsung menempuh ujian berat, medan tanah berbatu dan pasti licin di musim hujan.

“Mobil ayahmu, dulu, harus diseret (diderek) sejauh beberapa puluh meter,” kata Ibu.
“Ya, maklum, Bu, itu Hiace yang tak berani jalan licin dan pantang lumpur. Colt Titos tidak takut medan berat seperti itu.”

Rupanya, jalan batu itu sepanjang 900 meter jauhnya. Kami mencapai “jalan hitam” (jalan beraspal) dan kami butuh waktu tempuh 10 menit lebih untuk ini. Saya hanya mempergunakan gigi 1 pada perseneling, tidak bisa lebih dari itu. Setelahnya, di hadapan kami adalah jalan aspal sempit dengan rerimbun semak di kanan kiri. Beberapa bagian kerakalnya berlepasan. Di bagian lain malah terbentuk “kubangan kerbau” yang sangat berbahaya bagi kendaraan dengan bumper rendah seperti sedan. Diperlukan waktu 20 menit persis untuk melewati jalan beraspal sepanjang 3,2 kilometer ini.

Dari titik pertemuan jalan kolektor itu, kami mengarah ke Ganding, kota kecamatan terdekat masyarakat setempat. Jaraknya 8,2 kilometer (dari Partelon Ganding ke rumah saya hanya 4 kilometer saja dengan jalan aspal yang mulus). Mobil berjalan ogah-ogahan.

Di tengah perjalanan, saat kami tiba di rumah Syakir, sepupu 3 kali, ada pemandangan unik. Di situ, ada cegatan “amal untuk perbaikan jalan”, bukan cegatan “amal untuk pembangunan masjid” sebagaimana lazim dijumpai. Konon, masyarakat setempat membangun jalan itu sendiri. Dana dan tenaga oleh mereka sendiri. Mereka sudah capek menunggu perbaikan jalan yang tak kunjung dimulai. Padahal, jalan kolektor yang menghubungkan Ganding dan Rubaru juga Pasongsongan itu relatif banyak dilewati kendaraan. (lebih lengkap ada di sini)

Tak jauh dari tumah Syakir, terdapat Bukit Canggur. Setelah itu, kami menghadapi tanjakan-tikungan yang populer dengan “Sa’im”. Itu merupakan tanjakan mengular dengan tikungan tajam. Dulu, sebelum jalan diaspal, sering terjadi mobil mogok, umumnya bak terbuka, tidak kuat nanjak. Beberapa kali terjadi kecelakaan yang berujung pada korban jiwa. Di malam hari, tak ada seorang pun yang lewat karena tempat itu sama sekali sepi, tak ada rumah penduduk sama sekali. Kini, banyak sudah yang mulai lewat di sana di malam hari karena jalan relatif lebih baik.


Selepas Sa’im, kini kami jumpai daerah Perigi. Di hadapan adalah jalan menurun. Pemandangan indah terbentang di depan mata. Kami sedang menuruni jalan bagian selatan perbukitan yang membujur timur-barat di tengah Pulau Madura.

Jika tadi kami berangkat dari Jampareng Laok pada pukul 11:12, kini kami tiba di rumah pada pukul 12.25. Berdasarkan catatan odometer, Colt T-120 ini telah menempuh jarak 16,3 kilometer dalam kurun waktu 73 menit tanpa henti. Waktu itu, tentu akan jauh lebih singkat andai jalan yang kami lewati sudah diperbaiki kelak.

29 April 2013

Filter Oli untuk Colt


Beberapa waktu lalu, saya pernah mengalami masalah peredaran oli dalam mesin, yakni "oli tidak segera naik". Yang dimaksud dengan "oli tidak segera naik" ini adalah bahwa oli yang telah mengendap di calter (tempat oli di bawah; tempat membuang oli tap) tidak segera tersebar dengan baik ke atas atau ke semua penjuru mesin. Artinya, kerja pompa oli tidak maksimal.

Adapun ciri-ciri oli tidak segera naik ini biasanya ditandai dengan lampu "oil" (warna merah) terus menyala. Atau, bunyi mesin sangat kasar karena tidak segera ada pelumas. Saran: jika dalam 10-15 detik mesin menyala dan lampu juga menyala, matikan mesin. Jangan dipaksa karena ini berbahaya.

Ketika mobil telah didiamkan semalam atau selama beberapa hari, saat kita menyalakan mesin kembali, oli akan kembali terdistribusi. Mestinya, saat mesin menyala, lampu kontrol itu langsung mati sebagai penunjuk bahwa pompa oli telah bekerja, yaitu menaikkan oli yang mengendap di dasar calter kembali beredar ke seluruh mesin. Jika keadaannya tidak seperti ini, pompa oli atau filter oli Colt kita sedang bermasalah.

Saya merasa aneh pada hal ini karena ketika itu saya baru saja mengganti oli sekaligus ganti filter. Karena penasaran, saya kembali ke toko onderdil dan mencari "filter oli khusus colt T-120". Ternyata, suku cadang itu memang ada. Maklum, selama ini saya menggunakan filter milik L300 yang kebetulan juga bisa dipasangkan pada Colt T-120. Filter Colt T-120 yang saya beli bermerek "Sakura". Harganya pun setengah dari harga yang dipakai selama ini, yaitu filter oli milik L300.

Betul memang, setelah saya tanya kepada sesama pengguna Colt T, banyak filter oli Colt T120 yang menggunakan filter oli milik L300 karena terbukti pas dan bisa bekerja. Umumnya, orang menggunakan filter oli milik L300. Namun, rupanya, terkadang filter L300 tidak bekerja dengan baik pada Colt T-120. Mungkin karena secara bentuk, kedua filter ini memang berbeda; filter Colt lebih panjang, dan filter oli milik L300 lebih pendek.

Nah, setelah saya ganti filter oli dengan filter oli yang khusus colt, sekarang masalah itu tidak terjadi lagi. Saat menyalakan mesin, lampu kontrol langsung mati. Dengan begitu, suku cadang yang saya pasang telah bekerja dengan baik.

03 April 2013

Membersihkan Karburator



Hari ini, selagi tidak ada kerjaan, saya membersihkan karburator Colt. Biasanya, karena alasan tidak ahli atau sibuk, saya melulu memasrahkan urusan semacam ini ke bengkel. Saya pikir, keuntungan membersihkan karburator sendiri, hal-hal yang oleh bengkel tidak dikerjakan, seperti membersihkan kotoran yang melekat pada bagian luar, bisa dilakukan sendiri. Adapun manfaat lainnya adalah belajar untuk tidak manja. Selebihnya, bagi saya, cara ini merupakan bentuk syukur karena punya sedikit pengetahuan yang tidak melulu diketahui, melainkan juga diterapkan.

Operasi membersihkan karburator, jika hanya sekadar membersihkan dan bukan mengganti suku cadang, biasanya hanya seputar pembersihan saluran bensin atau saluran udara. Caranya cukup mudah, yaitu dengan membawa karburator yang sudah dilepas dari manifold ke tukang kompresor. Kita cukup meminta mereka menyemprot saluran-saluran pada karburator agar bersih, itu saja.

Hari ini saya punya pengalaman baru. Seseorang bernama Mondir (yang kebetulan juga seorang montir), memberitahu saya bahwa ada spray (tabung semprotan) yang dirancang khusus untuk membersihkan karburator. Saya pun membelinya dengan harga Rp 22.000. Meskipun si teman ini kasih tahu saya setelah saya baru saja membawa karburator tersebut ke tukang kompresor, saya tetap mencoba menyemprot ulang dengan spray tersebut. Walhasil, cairan cokelat kehitaman pun keluar. Saya beranggapan, semprotan ini cukup ampuh. Mungkin. Cairan kehitaman itu merupakan sisa kotoran yang tidak mampu dibersihkan oleh angin melalui kompresor.

Sempat sih saya kesulitan saat hendak memasang kembali karburotor itu. Namun, saya kira, salah pasang baut; salah peletakan; salah urut, dlsb, merupakan hal yang biasa bagi mereka yang tidak berpengalaman sebagai montir. Sabar dan telaten adalah kuncinya. Namun, beruntung, saya tidak mengalaminya. Setelah semua terpasang dengan baik dan mobil bisa dinyalakan dengan stasioner, sungguh saya merasa puas dan senang.

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...