Pembaca

15 Juni 2014

Mogok dan Cerita Suka-Duka



Dibutuhkan kesabaran, ketenangan, serta ketegaran saat menghadapi rintangan di jalan. Itulah kunci menjadi sopir, terutama sopir mobil lawas. Ketika gerah, harus nerima. Ketika disalip, harus nerima. Ketika mogok, harus nerima.

Ketika itu, colt saya mogok persis depan sebuah rumah megah. Peluh mulai menetes begitu saya membuka jok depan untuk mengecek masalah. Saya mulai dari pengecekan karburator. Anak perempuan saya melongok dari kabin belakang sambil lalu ia membantu saya mengambilkan perkakas yang saya butuhkan sesuai perintah. Semua perkakas ada di sebuah kotak di bawah jok tengah.

Dari seberang jalan, dari balik pagar marmer rumah itu, terdengar suara anak kecil, mungkin 8 tahunan.
“Hey, kenapa kok berhenti di depan rumahku?”

Awalnya saya tidak mempedulikan suara itu. Saya memang tidak sempat melihat mukanya karena sibuk mengurus mesin. Namun, anak itu terus-menerus ngoceh, namun saya tak jelas dan tidak menggubris kata-katanya. Lama-kelamaan, anak perempuan sayalah yang terusik. Dan ia bertanya.

“Mengapa, ya, anak itu ngomong melulu?”
“Aku tidak tahu. Biarkan. Ini Ayah masih ngurus mesin mobil.”

Makin lama, anak kecil di seberang itu saya dengar mulai mengeluarkan kata-kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh remaja tapi saya maklumi karena ia masih anak-anak.

“Hey, mobil kamu jelek. Rodanya juga jelek.”
Semenit diam.
“Mobil kamu nggak ada AC-nya. Aku punya mobil 3 lho…”
Saya perhatikan, anak perempuan saya tidak tahan juga rupanya menerima ocehan anak kecil seumurannya itu. Dia membalas.

“Hey, kenapa kamu ngomong terus?”
“Apa?” suara dari seberang.
“Kenapa kamu kok ngomong terus-terusan dari tadi?” Anak saya bertanya lagi tapi tanpa perasaan minder atau sinis terhadap anak kecil di seberang itu, di balik tembok rumah megah itu. Yah, namanya anak kecil, serba polos.
“Hahaha… biarin, Nak. Biarin saja dia itu!”

Saya tertawa dan tertegun, merasakan betapa ringannya perasaan hati anak-anak. Betapa tenang dia meskipun diejek begitu rupa. Kiranya, itulah pelajaran yang saya terima kala itu, bahwa untuk bisa bersikap ikhlas dan nerima itu harus berempati kanak-kanak, tidak perlu jadi anak-anak kembali, apalagi kekanak-kanakan.

Sekitar 30 menit kemudian, barulah saya temukan masalahnya. Karet injektor karburator ditemukan ‘bengkak’, artinya ia tidak bisa leluasa bergerak. Untung, dalam kotak alat masih tersedia injektor bekas yang dulu sempat saya ganti dan tidak dibuang.

Berakhirlah masa menegangkan sore itu. Setelah mobil berjalan normal dan perseneling sudah masuk gigi 4, baru benar-benar tenanglah pikiran saya. Akan tetapi, ada satu hal yang mengganggu konsentrasi, ya, ocehan anak kecil di balik tembok rumah megah itu: ‘Hey, mobil kamu jelek. Rodanya juga jelek’, juga ‘Mobil kamu nggak ada AC-nya. Aku punya mobil 3 lho’, dll. Saya tidak habis pikir, dari siapa ia mendapatkan pelajaran mengejek ini?  Di mana dia belajar? Saya tak yakin ia mendapatkannya dari teman, apalagi dari guru. Saya hanya menaruh curiga, anak kecil itu meniru apa yang ia lihat di televisi.  Sepengetahuan saya, yang begitu-begitu tak pernah saya temukan di dunia nyata, di dunia kecil anak. Itu hanya ada dalam cerita, di layar kaca.

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...