tag:blogger.com,1999:blog-58390950306621775402024-03-19T17:38:56.682+07:00Mitsubishi Colt T-120 [Titosdupolo]Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.comBlogger216125tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-46365385241179391942023-11-04T16:30:00.005+07:002023-12-04T16:07:28.659+07:00Takziyah ke Wongsorejo <div class="separator"></div><br />
<style type="text/css">h1 { color: #000000; text-align: left; orphans: 2; widows: 2; margin-bottom: 0.08in; direction: ltr; background: transparent; page-break-after: avoid }h1.western { font-family: "Liberation Sans", serif; font-size: 18pt; so-language: en-US; font-weight: bold }h1.cjk { font-family: "Noto Sans CJK SC"; font-size: 18pt; so-language: zh-CN; font-weight: bold }h1.ctl { font-family: "Lohit Devanagari"; font-size: 18pt; so-language: hi-IN; font-weight: bold }p { color: #000000; line-height: 115%; text-align: left; orphans: 2; widows: 2; margin-bottom: 0.1in; direction: ltr; background: transparent }p.western { font-family: "Liberation Serif", serif; font-size: 12pt; so-language: en-US }p.cjk { font-family: "Noto Serif CJK SC"; font-size: 12pt; so-language: zh-CN }p.ctl { font-family: "Lohit Devanagari"; font-size: 12pt; so-language: hi-IN }a:link { color: #000080; so-language: zxx; text-decoration: underline</style><p>KAMIS, 2 NOVEMBER 2023 </p><p><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgD7FGvwG0XnMQbpBMFSwcSsSA6QKZp2QbYXNc7DeKtp3qn5ccd3bzWzL81Z7z7O3MtwqKRKdrqG0MstnGyypeXP5BlYEIY9ghJUByqyt6G3WXlRisugf8oJTeMhX7Np2vcb87AcWQ8nl7YW1ggJ6GTSL02l3nSRxu3gapoQ1W-KX0THSgULjQdRXuvRTgs/s3968/IMG_20231103_041558_800_021704.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="2976" data-original-width="3968" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgD7FGvwG0XnMQbpBMFSwcSsSA6QKZp2QbYXNc7DeKtp3qn5ccd3bzWzL81Z7z7O3MtwqKRKdrqG0MstnGyypeXP5BlYEIY9ghJUByqyt6G3WXlRisugf8oJTeMhX7Np2vcb87AcWQ8nl7YW1ggJ6GTSL02l3nSRxu3gapoQ1W-KX0THSgULjQdRXuvRTgs/s320/IMG_20231103_041558_800_021704.jpg" width="320" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">subuhan di Tanjung, Paiton<br /></td></tr></tbody></table> Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya tidak mempersiapkan apa pun kecuali karena ada uang buat membeli pertalite. Cek ban dan rem masih oke, sekarang tinggal cari sopir pendamping saja. Dan setelah Cak Badi—atas saran Anam—menyatakan siap, keputusan pun diambil: malam Jumat, berangkat!</p><br /><p><br /></p><div class="separator" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em; text-align: center;"><br /></div><p></p><p>Pukul 20.30 persis, saya barangkat dari rumah dan mampir di rumah bibi di Pakamaban, tempat di situ pula saya janjian dengan Cak Badi. Walhasil, kami mancal 21.00 lewat sedikit dari sana, beragarak ke barat.<br /><br />“Katanya ke sana itu 419 km,” kata Cak Badi.<br />“Kok kamu tahu?”<br />“Saya dikasih tahu Cak Anam” (yang kebetulan berangkat pagi tadi ke Galekan, Wongsorejo)<br />“Mayan jauh itu.” Saya menghela napas. </p><p></p><p>Alhamdulillah, kami tidak terkendala kemacetan sebab perbaikan Jembatan Klampis. Yang biasanya macet mengular, malam itu tidak terjadi, bahkan hanya tersendat 3-5 mobil saja. Sebab itu, kami perhitungkan, perjalanan bakalan terlalu cepat tiba di tujuan: akan sampai di Nurul Jadid sebelum subuh, padahal saya membawa bekal untuk anak di pondok tersebut dan tentu saja saya baru bisa masuk setelah shalat subuh. Sebab itu, saya ajak Cak Badi lewat tengah kota Surabaya saja, itung-itung nyantai, menikmati panorama kota dan lampu-lampu serta tamannya, juga mengulur waktu, dan menghemat etoll pula.<br /></p><p>Dari peretmpatan Jalan Kenjeran (Masjid Al Islah), rute yang biasa adalah kami belok kanan menuju GT Dupak, atau ke kiri, masuk Jalan Soekarno-Hatta dan masuk lewat Tol Tambak Sumur, kali ini, kami memilih untuk melaju secara lurus saja hingga ketemu perempatan besar setelah RS Husada Utama, belok kanan (ke Jalan Dr. Moestopo), tetap di sisi kanan (lewat jembatan; karena kalau lewat yang kiri itu ke Gubeng) sampai mentok lagi (karena ada sungai dan Museum Kapal Selam), lalu belok kiri, mentok lagi dan belok kanan ke jalan Pemuda, lalu belok kiri menuju Darmo, A. Yani, dan masuk Bundaran Waru. Inilah rute terpendek menuju KM 745 atau Simpang Susun Jambangan Waru, akses ke Malang, Probolinggo, atau ke Mojokerto dan Solo.</p><p><br />“Terus tol atau jalan biasa"</p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">“Biasa saja!”</div>“Baik, turun Gempol!” kata saya.<p></p><p><br />Kami masuk tol dari KM 745 hanya sampai Gempol saja. Setelah itu, kami turun lewat jalan arteri, jalan Nasional sampai Tongas. Maklum, malam-malam begitu nyaris gak ada bedanya kami lewat di jalan tol dan lewat arteri yang kecepatan rata-rata mobil hanyalah 70-80 km / jam, kecepatan yang bisa dan biasa dilajukan di jalan tol maupun jalan arteri. </p><p><br />Mengingat masalah jarak, kami yang berangkat dari Sumenep (Madura), ketika sudah melewati Suramadu (atau penyeberangan Kamal-Tanjung Perak tempo dulu) merasa seolah sudah sampai di Jawa, padahal tidak. Contoh, jika saya dari Guluk-Guluk hendak ke PP Nurul Jadid, Paiton, maka jarak tengahnya adalah di Pasar Loak (atau di Ujung/Tanjung Perak jika lewat Kamal). Jika tujuannya adalah PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, maka titik tengahnya adalah di SPBU 54.671.03, Cangkrin, Beji, Pasuruan. Itu baru saya sadari setelah saya ukur menggunakan peta digital dan odometer. </p><p><br />Perjalanan sedikit tersendat di Bangil. Baru setelah itu, kami masuk Tol Tiongas karena gerbang tol inilah yang paling dekat dari jalan utama. Dan dari sana, kami masuk tol sampai GT Gending yang baru saja dibuka lagi setelah sempat ditutup karena kecelakaan lalu lintas waktu Hari Raya Idulfitri lalu. </p><p></p><div class="separator" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em; text-align: center;"><br /></div><br />Kami subuhan di masjid Baitis Salam, di Tanjung, dekat akses jalan masuk ke Nurul Jadid. Aturan-aturan di masjid ini menerapkan aturan ala-ala militeristik, pake polisi shof segala, yaitu petugas yang menertibakan shaf jamaah dan biasanya takbir paling akhir di rakaat pertama. Ih, ada saja ide orang.<p></p><p><br />Setelah masuk ke pondok Nurul Jadid, saya bisa menjemput putri saya di pondok dan dia (serta saudara sepersusuannya) ngotor mau ikut ke Banyuwangi untuk turut serta takziyah. Proses izin selesai dan cus, kami lanjut, jalan lagi. Saat itulah terasa, bahwa Colt ini terasa sesak setelah ada 9 kepala di dalam mobil. Sepertinya saya harus punya Pregio atau L300.</p><p><br />Kami sarapan nasi pecel di Besuki. Bibi saya mau mentraktri, tapi saya menolak. Dia memaksa, saya ngotot bilang tidak. Akhirnya, saya pun membayar, hanya 85.000. Setelah itu, kami jalan lagi. Dan di kota Situbondo, saat saya yang mengemudi, tiba-tiba ada sepeda motor yang menyejajari kami.<br />“Keh Faizi?” tanya dia saat posisi kami sudah sejajar: dia di atas sepeda motor, saya di mobil.<br />“Iya.”</p><p><br />Langsung saya menepi. Kami bersalaman dan sebentar saja, kami berpisah setelah dia nitip duit, menggantikan uang nasi pecel yang saya beli barusan. Ya, Allah, belum salat duha saja sudah dibeginikan hamba ini. Terima kasih, ya, Allah. </p><p><br />*** <br /><br />Kami mengikat janji dengan Paman Baidawi yang datang dari Jember. Rencananya, kami mau takziyah bersama, masuk ke lokasi bersama. Dibuatlah janjian di ‘rest area’ (dikasih tanda petik karena tidak resmi, hanya tumpukan warung dan lahan parkir di bahu jalan) Alas Baluran. Bertepatan di kordinat yang dijanjikan, begitu saya bersiah karena tampak Paman Baidawi menggubit di depan, nah, dari arah depan, sebuah Innova juga datang dalam waktu bersamaan, sein kanan, menepi ke kiri, sejajar dengan kami. Eh, ternyata yang datang Anam. Dia baru datang takziyah dan saat itu mau pulang. Kami tidak janjian dengan Anam tapi dia titen saja sama kendaraan saya dan sebab itu dia berhenti di sana, di tempat yang sama. <br />Tiba di PP As-Syafaah, Galekan, Wongsorejo, Banyuwangi, jam menunjuk pukul 10.00. Tak terduga, di sana ternyata sudah ada Mbak Ateng dan Bi Mahmudah, yang rupanya menggunakan mobil yang tadi menyalip kami di dekat Paiton dan sudah saya curigai sebelumnya. </p><p><br />Sore kami pulang. Tidak ada catatan dalam perjalanan pulang ini karena pasti sudah seperti biasanya. kami berhenti di pasar Blega untuk beli buah sebagai oleh-oleh. </p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjs_ifI4rV-dMVqY0Bg8n5gvWz0iRR9zxyOE-8fEbEAOHCKfE-x69kh_NY5iRNq2Q7gUwxUtUiuExZTuXHfOPhCeuYZLa63ZXd9cO9GdqbCQCUtV9-x1f1V7PWj_muxWf3EcgKfL8AW7Xiy1yEFjtrzvlwtSO8Quuqf7Vyan7CfjgClMYj3oMzsXV4tnxUc" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="" data-original-height="2304" data-original-width="4080" height="181" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjs_ifI4rV-dMVqY0Bg8n5gvWz0iRR9zxyOE-8fEbEAOHCKfE-x69kh_NY5iRNq2Q7gUwxUtUiuExZTuXHfOPhCeuYZLa63ZXd9cO9GdqbCQCUtV9-x1f1V7PWj_muxWf3EcgKfL8AW7Xiy1yEFjtrzvlwtSO8Quuqf7Vyan7CfjgClMYj3oMzsXV4tnxUc" width="320" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">beli buah di Blega<br /></td></tr></tbody></table><p><br /><br /><br />Hanya ada satu momen menegangkan di Pademawu, yaitu di daerah Sumedangan, titik timur daya kota Pamekasan. Saat itu jam 3 pagi, setelah saya ngantar bibi di Jarin, ada sepeda motor yang ngebut dan oleng lalu nyaris menabrak saya. Rem paku, mendadak, dan semua penumpang bangun, terkejut lalu bertanya, ‘ada apa?’. Saya bilang, ‘mungkin ada anak mabok.’</p><p><br />Ternyata, kecurigaan saya terjawab setelah kami melewati Tambung dan kembali masuk ke jalan Nasional 21, ruas Pamekasan-Sumenep di daerah Somber Nyamplong. Ada tiga orang ada duduk berjongkok dengan tangan di belakang leher. Beberapa orang polisi tampak mengepung mereka. Saya menduga, mereka baru saja main balap liar. Dan mungkin saja, satu di antara mereka itulah yang tadi nyaris menabrak saya, saat melaju kencang dari arah depan, tiba-tiba serong kanan, menjurus ke arah mobil saya. Untunglah, saya tiba di rumah dalam keadaan selamat, beberapa menit setelah azan subuh.<br /></p>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-91239949949569361012023-10-29T20:20:00.001+07:002023-10-29T20:40:33.998+07:00Kopdar Colt T120 Triwulan Korwil Jatim di Bangkalan <p>Acara kopdar triwulan Colt Jawa Timur diletakkan di Madura. Penyelenggaranya adalah MCT 120 & BMC. Saya diundang hadir oleh Mas Sugeng (Mas Erwien mengingatkannya lagi tadi malam). Acaranya adalah hari ini, 29 Oktober 2023, yang sayangnya, kegiatan saya di hari Ahad ini ada empat, berjauhan pula tempatnya: walimah Maulidia & Wardani, Rizal dan Rofi di Payudan dan Nangger (Guluk-Guluk), acara seminar IAA di Hotel Elmi (Surabaya), dan kopdar triwulan di Warung Pote (Poter, Bangkalan). Dan semua acara itu terjadwal pukul 08.00 WIB.</p><p></p><p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhw4LDmKvMw30fuxG7StbpUvdYVXq5unxVZm04qaLIaFmJd1JNi1xirRRkttelv-29uYLx1gyzMfwK4A0cs_ZqV0hCHx_QaU2WEI3i2JY4Wg1JQVi2Wfv9eGn5ZYFQroO9pawSrYemRz152hyphenhyphenoaPCOjSFclHq4a1y5eK1wtkF3adZBts1ZxQ4fKPPxYdO6i/s1156/396320470_3581747278759309_7289125075281975859_n.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="651" data-original-width="1156" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhw4LDmKvMw30fuxG7StbpUvdYVXq5unxVZm04qaLIaFmJd1JNi1xirRRkttelv-29uYLx1gyzMfwK4A0cs_ZqV0hCHx_QaU2WEI3i2JY4Wg1JQVi2Wfv9eGn5ZYFQroO9pawSrYemRz152hyphenhyphenoaPCOjSFclHq4a1y5eK1wtkF3adZBts1ZxQ4fKPPxYdO6i/s320/396320470_3581747278759309_7289125075281975859_n.jpg" width="320" /></a><br />Selesai menghadiri dua acara pertama, saya pulang duluan, tidak bareng ibu dan saudara yang juga hadir. Saya sudah mewanti-wanti dengan cara membawa sepeda motor agar bisa segera berangkat ke Bangkalan. Pukul 09.52 saya baru bisa keluar dari pekarangan rumah dan menghampiri Anam dan Cak Badi di Pakamban. Habis itu, kami cus ke barat. <br /><br />Di jalanan yang lumayan padat, kami melaju santai, biasa saja, tidak ngoyo, karena sudah yakin tidak bakal nututi acara, lebih-lebih ada aral perbaikan Jembatan Klampis. Kemacetan di sana minimal 30 menit, atau satu jam kalau apes, bahkan bisa lebih.<br /></p><p><br />Benar ternyata, kami kena macet 30 menitan lebih. Rasanya, matahari berada di ketinggian sepenggalah saja di atas kepala, sejenis pengantar imajinasi untuk membayangkan suhu di Padang Mahsyar, kelak. Ngeri sekali dampak perubahan iklim ini, Kawan. Tigapuluh menit itu tergolong lumayan lama ketimbang satu jam, yakan?<br /><br />Di Galis, saya berpapasan dengan Kuryadi dan tak jauh di belakangnya ada Ainur Rofiqi. Kuryadi kasih aba-aba lampu proji-nya, Ainur pakai isyarat klakson. <br /><br />"Wah!" saya berseru, "ini pertanda bahwa banyak kawan yang sudah meninggalkan lokasi, termasuk Pak Benta dan Mas Fadli."<br />"Apa sudah selesai?" tanya Anam yang berperan sebagai pengemudi."Sepertinya sudah." Saya menduga-duga. "Tidak apa-apa, lanjut kita."<br /></p><p>Akhirnya, kami tiba di sana pada saat orang tidak sedikit. Kami bertemu dengan kawan-kawan panitia dari Bangkalan, makan, basa-basi. tidak perlu berlama-lama di sana karena urusan sudah selesai, paling hanya 25 menit saja kami di Warung Pote. Setelah itu, kami pamit pulang. </p><p></p><p>Kami melaksanakan shalat asar dan duhur di Masjid Baiturrahman, Dumajah, supaya pulang ke timur sudah lepas dari tanggungan kewajiban paling prinsip ini. Masjid ini tak berada jauh di timur Warung Pote. Malam Sabtu kemarin, 27 Oktober 2023, saya juga mampir shalat di sana. <br /></p><p><br />Saya membawakan pulang titipan Khatir, berupa 5 kursi lipat buatan mebel Sunan Kalijaga Ngawi dan juga batu-batu Merapi yang dibawa oleh Pak Benta untuk saya letakkan di halaman rumah. Semua itu masih terangkut di dalam kabin dan tanpa perlu menaikkannya ke rak atas. Atas pertimbangan ini pula, rasanya melanjutkan perjalanan ke Surabaya demi setor muka kepada kawan-kawan IAA (Ikatan Alumni Annuqayah) yang berkongres dan berseminar di Hotel Elmi hari ini sudah tidak memungkinkan lagi. <br /></p><p><br />Saat pulang, di jembatan Jrengik, kami kena macet lagi, pake acara dua tahap pula, duh. Antrian dari timur alamaaaak panjangnya. Ekor antrian sampai di pertigaan Torjun arah Pangarengan, sekitar 3 kilometer. Saya merenung, jika bukan karena alasan silaturahmi dan menyambut baik undangan mereka, maka perjalanan sejauh 118 km x 2, berjibaku dengan suhu udara yang teriknya masya Allah, serta kemacetan panjang di Jembatan Klampis Jrengik akan terasa percuma saja. <br /></p>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-23687350094757678632023-09-03T22:01:00.005+07:002023-09-03T22:01:34.755+07:00Dikira Dekat, Ternyata Jauh <div class="separator"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJnduPQZHgowUKNqmo_cPk2wkmWRnJHXDm_-fYJdBOMGbpc6Nc-egIEiJMJs-McN0uyhs2o6cgKwd3HmMUv9s593dGFP0sU1X3pks1S8-S9iuj7GXxphcWa7x94fXf67GgJJA24KJa_u59h6oapyO3jVF5crwZWB1DC2Fh6mpD1kby0Q2FwQ09T2ceC3Zs/s992/Screenshot%20from%202023-09-03%2021-44-16.png" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="592" data-original-width="992" height="191" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJnduPQZHgowUKNqmo_cPk2wkmWRnJHXDm_-fYJdBOMGbpc6Nc-egIEiJMJs-McN0uyhs2o6cgKwd3HmMUv9s593dGFP0sU1X3pks1S8-S9iuj7GXxphcWa7x94fXf67GgJJA24KJa_u59h6oapyO3jVF5crwZWB1DC2Fh6mpD1kby0Q2FwQ09T2ceC3Zs/s320/Screenshot%20from%202023-09-03%2021-44-16.png" width="320" /></a></div>Hari ini saya pergi ke rumah Kiai Badri. Saya datang untuk menghadiri undangan beliau, menyambut calon besan yang datangnya dari omben, sampang. Adapun acaranya adalah acara pertunangan putranya, Mahas, dengan putra Kiai Fathor, Nuril. <br /><br />Saya berangkat dari rumah selepas shalat duhur. Perjalanan molor karena jalan penuh sesak. Sulit sekali menjalankan lebih dari 50 km / jam. Entah kenapa kok lalu lintas sangat ramai tadi siang. Akhirnya, berangkat dari dusun saya Sabajarin (Guluk-Guluk, Sumenep, saya tiba di Jarin (Larangan Tokol, Pamekasan) pukul 13.25. jarak 37 km ditempuh nyaris satu jam setengah. Oh, lelah. <br /><br />Selepas acara, pukul 16.00, saya pulang, tapi ada paman dan bibi serta mertua yang menumpang. Lanjutlah saya ke Giring, kecamatan Manding, dan tiba pukul 18.00 di sana. Setelah shalat maghrib, saya langsung putar balik, pulang, karena ada acara undangan tahlil atas kewafatan H. Rofiq, teman kecil saya yang wafat 100 hari yang lalu. <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLaGUp_c8lTf0A3cYAj3GcQYJ9b9U6fQKNndhFtIu6527tTftC8sJ8HTOLokIrfeCsgI-YeDC2V58rD_pf10twOMnmMZyXluYRF9o-GOjWETiT1b0zbPMCwwrNlLZvo7nfA9pPCbspclaRhzU6zLv7SSsmsYRRPlXNwHITPlUNcMghr-nLLbOqPW6vAP5o/s1196/Screenshot%20from%202023-09-03%2021-46-55.png" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="573" data-original-width="1196" height="153" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLaGUp_c8lTf0A3cYAj3GcQYJ9b9U6fQKNndhFtIu6527tTftC8sJ8HTOLokIrfeCsgI-YeDC2V58rD_pf10twOMnmMZyXluYRF9o-GOjWETiT1b0zbPMCwwrNlLZvo7nfA9pPCbspclaRhzU6zLv7SSsmsYRRPlXNwHITPlUNcMghr-nLLbOqPW6vAP5o/s320/Screenshot%20from%202023-09-03%2021-46-55.png" width="320" /></a><p></p><p>Bersyukur karena ternyata saya masih bisa nututi acara meskipun sebetulnya sudah pesimis. Tak terasa, tubuh kok terasa lelah. Iseng-iseng saya hitung, ternyata jarak tempuh saya dari siang sampai isya ke dua tempat hingga tiba kembali di rumah adalah 132 kilometer. Setelah saya hitung dengan jarak lurus, eh, ternyata sama dengan perjalanan dari rumah saya ke pintu jembatan Suramadu, pantas saja cepek. Wira-wiri jarak dekat tak terasa jauh, tapi tetap terasa capek. <br /><br /><br /><br /><br /></p>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-60959638134162095232023-08-02T18:11:00.006+07:002023-08-02T18:13:28.882+07:00Ke Jember, Situbondo, Probolinggo Dibayar Tunai <div><div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div>Rencana dua bulan yang lalu, dari <a href="http://titosdupolo.blogspot.com/2023/08/semalam-di-jogja.html" target="_blank">Jogja langsung ke Jember</a> yang gagal, akhirnya dapat dibayar tunai sebulan setelahnya: 26 Juli 2023 <br /><br />Saya berangkat pukul 21.30, malam Kamis itu, setelah mengatur ulang rencana perjalanan karena perubahan mendadak. Pasalnya, tiga anak yang sedianya mau ikutan ke Jember, kok, mendadak mengundurkan diri dan memilih masuk sekolah saja. Dua anak terakhir ikut-ikutan yang tertua. Maka, anggota rombongan pun berubah, yaitu saya, istri, anak termungil, dan seorang santri. Adapun pembantu pengemudi—yang notabene nanti bakal dominan—adalah Cak Badi.<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9rDUQkQ0vD3T4opISQuPiqL41SPtWTklfnEgOFIncxIPZOTgUHdD6gt14az9-Jm5iDakTMfEi-mQyNp8Usq7pmngKLY6xhAzk_BmQBTyJJ7nlraMPrKMZs0436ti48pDdvd8OAsLpZC01sNvl60bot2zCGfv3vOU6OJyJgfU_8LjQqIrCIAnDMedlidyO/s2944/IMG_20230727_054730_453.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2944" data-original-width="2944" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9rDUQkQ0vD3T4opISQuPiqL41SPtWTklfnEgOFIncxIPZOTgUHdD6gt14az9-Jm5iDakTMfEi-mQyNp8Usq7pmngKLY6xhAzk_BmQBTyJJ7nlraMPrKMZs0436ti48pDdvd8OAsLpZC01sNvl60bot2zCGfv3vOU6OJyJgfU_8LjQqIrCIAnDMedlidyO/s320/IMG_20230727_054730_453.jpg" width="320" /></a></div></div><div><br /></div><div>Cak Badi ini baru kedua kalinya bareng saya. dia menggantikan Anam yang agaknya mau undur diri setelah menikah. Saya memang pilih-pilih untuk diajak tandem menggunakan Colt karena meskipun bisa mengemudi, tapi tidak semuanya punya passion untuk menjalakan Colt T120 ini. Cak Badi adalah satu di antara yang sedikit itu karena dia memang punya Colt di rumahnya.</div><div><br /></div><div>Cak Badi bergabung dari Pakamban, dari lokasi yang dekat dengan rumahnya. Konon, pengalaman kali ini, yaitu perjalanan ke Jember, Situbondo, dan Paiton, adalah pengalaman pertamanya sejak 10 tahun terakhir. Sejauh ini, rute-rute mengemudinya rute barat, seperti ke Kediri atau Salatiga, tidak seperti pada umumnya orang Pakamban yang aksesnya cenderung ke Probolinggo-Jember mengingat banyak sekali orang Pakamban yang merantau ke area Tapal Kuda, khususunya Kraksaan dan Paiton. </div><div><br /></div><div>“Biar saya dulu yang nyetir,” kata saya kepada Badi, sembari tetap duduk di belakang kemudi, “sampai batas ngantuk!” </div><div>Ketika mencapai Jrengik, saya mulai mengantuk dan saya serahkan stir kepadanya dan saya pun tidur lelap. Saya bangun persis ketika mobil masuk ke ruas Jalan Kedungcowek, selepas Jembatan Suramadu.</div><div>“Wah, dari tadi, saya enggak bangun sama sekali, ya?" tanya saya pada Cak Badi, mengonfirmasi.</div><div>"Sepertinya enggak."</div><div><br /></div><div>Saya cek jam digital di ponsel saat kami melewati gerbang tol Dupak III, ruas tol yang dibangun paling lama, yaitu koneksi Ujung Perak-Gempol (kalau tidak salah sudah terhubung sejak tahun 1986). Sehabis menggesek kartu, saya melirik jam: pukul 01.00 percis. Dengan kata lain, sudah 3,5 jam perjalanan kami dari rumah.</div><div><br /></div><div>Dengan berjalan santai di bawah kendali Cak Badi, Dupak III – Kejapanan, sejauh 45,3 km, ditempuh 34 menit. Lalu, dari Kejapanan ke GT Probolinggo Timur, dengan bentang jarak tol 153 km, perjalanan ditempuh kurang lebih 65 menit. Kami tiba di Leces pada pukul 02.38. Tapi, seperti dikhawatirkan, Leces ternyata macet, meskipun tipis-tipis. Untuk melewati kota kecil itu, kami buang waktu sekitar setengah jam lamanya. Kemacetan kali ini disebabkan oleh perbaikan jalan, bukan kemacetan penyerobotan yang biasanya terjadi manakali ada banyak truk pasir yang melintas dan lelet saat tanjakan. </div><div><br /></div><div>Sampai Jatiroto, jalanan masih lancar. Rencana semula mampir di <a href="https://goo.gl/maps/tfDadhbcYqheJKtv7">Masjid An-Nur</a> yang lampu-lampunya meriah pun digagalkan dan kami memilih <a href="https://goo.gl/maps/uayVAMFtVRs12Kw4A" target="_blank">Masjid Asasut Taqwa </a>yang terletak tak jauh di sebelah timurnya (saya penasaran, kedua masjid yang sama-sama besar ini hanya berjarak 318 meter kalau ditarik lurus berdasarkan perhitungan satelit Wikimapia). Akan tetapi, karena azan subuh masih belum berkumandang dan hanya ada satu orang takmir yang tampak bersih-bersih di dalamnya, kami lanjutkan perjalanan ke timur. Akhirnya, kami pun parkir di halaman <a href="https://goo.gl/maps/UwuXgn23Tz6S4Z7h8" target="_blank">Masjid Al-Baiturrohman</a>, Pecoro, subuhan di sana.</div><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjq5NgaY1KTzfc34YPqbxgiQlmGGNFl3PrWw6Y-NGBrJG88e0_WqvOjI3AkRfLw15uKjjdPRpPgbvi9WksfDQ4Qqycf7B5R-hLKRPNDW0FWnIX9B41phhiTkvakhBHSrc6QSk9vXlPtno46jrLnfnC3mgacj5s2BE96ddKgFerYL7MGffl3QrjlH_dj_QWI/s2944/IMG_20230727_051528_060.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="2944" data-original-width="2944" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjq5NgaY1KTzfc34YPqbxgiQlmGGNFl3PrWw6Y-NGBrJG88e0_WqvOjI3AkRfLw15uKjjdPRpPgbvi9WksfDQ4Qqycf7B5R-hLKRPNDW0FWnIX9B41phhiTkvakhBHSrc6QSk9vXlPtno46jrLnfnC3mgacj5s2BE96ddKgFerYL7MGffl3QrjlH_dj_QWI/s320/IMG_20230727_051528_060.jpg" width="320" /></a></div><div>Perjalanan dilanjutkan ke Ajung, menuju rumah Paman Baidawi. Ancer-ancer dikasih tahu: “jalan dulu sampai perermpatan besar Mangli, lalu belok kanan ke arah Jenggawah.” Benar! Setelah 5,5 km, ada masjid eksotis yang letaknya tepat di jalan raya, di samping sungai pula, yaitu <a href=" https://goo.gl/maps/7Q6idMs6pC3hSWDX8" target="_blank">Masjid Baitul Ijabah</a> Klompangan. Sudah sampai situ? Belum, dari masjid tersebut, kami ambil kanan, masuk ke jalan kecil, ke arah barat sejauh 2,3 km, menyusuri sungai yang tampak sangat rapi dan sepertinya buatan Belanda, seperti dam-dam di daerah Lumajang pada umumnya. Nah, setelah ‘ketemu’ <a href="https://goo.gl/maps/e4enYKDiUfPbjGVx6" target="_blank">Masjid Darussalam</a> , maka itu tandanya lokasi tujuan tidak jauh lagi, hanya 300-an meter di selatannya, 300 meter tepatnya ke titik kordinat <a href=" https://goo.gl/maps/ngc8TWcFQGCkGuzP8">MI Khairiyatul Amin</a>, titik tujuan kami di Jember. </div><div><br /></div><div>Dari pukul 6 sampai pukul 4 sore kami di sana. Paman Baidawi merupakan paman dari istri saya. Hari itu, kami beranjangsana. Mereka mengajak saya ke Puslit Kopi dan Kakao yang terletak tak begitu jauh dari rumah beliau. Kami naik kereta kayu, mengelilingi perkebunan kopi dan cokelat, melewati hutan karet dan tentu saja sembari membeli buah tangan untuk dibawa pulang ke Madura. </div><div><br /></div><div>*** </div><div><br /></div><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtojiCkBo6gbEHxLpxJ8ucE1GP-x2KwUqT5c84sCovdgwduprWIAFBfhr0mn4JhCI2G-3we4SMqA2c_euEUDIIaTEjiMLMHa9GvhfZXhCvt1t86Wsjy_Q0Z9xfwFHJOeOm7mAjGg6wSOwHybXwxN03PDQrr15pp8HQEZXO_meX6_21Dj4DGxMJnPLUBaT0/s2944/IMG_20230727_165928_346.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="2944" data-original-width="2944" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtojiCkBo6gbEHxLpxJ8ucE1GP-x2KwUqT5c84sCovdgwduprWIAFBfhr0mn4JhCI2G-3we4SMqA2c_euEUDIIaTEjiMLMHa9GvhfZXhCvt1t86Wsjy_Q0Z9xfwFHJOeOm7mAjGg6wSOwHybXwxN03PDQrr15pp8HQEZXO_meX6_21Dj4DGxMJnPLUBaT0/s320/IMG_20230727_165928_346.jpg" width="320" /></a>Sore hari, setelah upacara pamitan dan foto-foto, kami melanjutkan perjalanan. Hari itu, Kamis, 27 Juli 2023 itu (atau 9 Muharram 1445 H), saya targetkan singgah ke empat tempat. Sementara hari sudah sore dan baru satu tempat yang berhasil disambangi. Kami lanjutkan perjalanan untuk mengunjungi bibi saya, Zainah, di Dukuh Mencek, yang rumahnya bersebelahan dengan <a href="https://goo.gl/maps/sPfKnGqcoufG2fYt7" target="_blank">Masjid Hasanul Islam</a>. </div><div><br /></div><div>Menjelang azan maghrib, saat sudah tarhim, kami pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Situbondo: kunjungan takziyah ke Paman Masrur (Malung) yang wafat Selasa, 18 Juli lalu. Rencana semula, kami mau takziyah pada hari ketujuh, yaitu Senin, 24 Juli. Entah kenapa, halangan datang silih berganti sehingga saya gagal berangkat. Beruntung, akhirnya takziyah terlaksana meskipun mundur 3 hari dari rencana semula. Kami pun disambut putra almarhum dan juga istrinya, di Dawuhan, di rumah duka, yang lokasinya terletak di belakang toko Griya My Moon Store, 1 km persis utaranya lampu merah Alun-Alun Kota Situbondo. Ancer-ancernya adalah; 1000 meter dari lampu merah Alun-Alun Kota Situbonda, ke arah utara, Jalan Sucipto, lalu masuk ke kiri, melewati jembatan kecil, masuk ke gang sempit di antara dua gedung nan tinggi. Nah, di situ kita akan tiba di lokasi.</div><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmveS4o7L8WvXPOAEX6auEv8GD8HKMbFd5KO_90ocXy05qJbSnRouSE80vE3jOCxM3PGkj3k-G-25Eg0y-p6NPlSbu6y2NcD8hUZ0deoGK0gyunfkYMhLBFCZ_tW2ZnT3EYaQQQZ1bhQZTVCdqngFrFAGpD_M_98Dd0yWQy7VhRP4QLg9TXb-0cXzJVq4Q/s2944/IMG_20230727_195021_895.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="2944" data-original-width="2944" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmveS4o7L8WvXPOAEX6auEv8GD8HKMbFd5KO_90ocXy05qJbSnRouSE80vE3jOCxM3PGkj3k-G-25Eg0y-p6NPlSbu6y2NcD8hUZ0deoGK0gyunfkYMhLBFCZ_tW2ZnT3EYaQQQZ1bhQZTVCdqngFrFAGpD_M_98Dd0yWQy7VhRP4QLg9TXb-0cXzJVq4Q/s320/IMG_20230727_195021_895.jpg" width="320" /></a></div><div>Dari kota Situbondo, kami lanjut ke Klatakan, ke rumah Ummah. Namun, sebelum itu, kami singgah sejenak di Panarukan, ke rumah Malik, ipar Man Malung. Di sana, saya nyekar di makamnya beliau (Man Malung) untuk membacakan tahlil khususon almarhum dan seluruh isi maqbarah. Oh, iya, Ummah ini istri Kak Arif (ipar Man Malung juga) yang kebetulan juga dia sepupu dua kali dengan Kak Arif dan sepupu persis dengan mendiang istri saya, Nyai Makkiyah. </div><div><br /></div><div>Kami tiba di sana hampir pukul 22.00. Ealah, saya masih rujakan mangga sebelum tidur demi memenuhi keinginan istri yang sejak tadi cari rujak manis tapi gak dapat-dapat. Hamdalah, empat titik dapat disinggahi semua dalam satu hari. </div><div><br /></div><div>JUMAT, 28 JULI 2023 </div><div><br /></div><div>Pagi sekali, pukul 06.30, kami bergerak ke arah barat, menuju PP Nurul Jadid. Paiton adalah tujuan akhir saya, yaitu untuk menghadiri rapat wali santri karena putri kami, Fatimah, menjadi santri baru di pondok pesantren tersebut, di wilayah kepengasuhan Al-Mawaddah, asuhan Nyai Hamidah Abdul Wafie (pengarang Shalawat Nahdliyyah yang terkenal itu).</div><div><br /></div><div>Hampir sehari penuh saya ada di Nurul Jadid, mengikuti acara pengelana tatib dan arahan pengasuh (KH Zuhri Zaini) sampai pukul 11.30, lalu shalat jumat, bercengkerama dengan putri saya, lalu ikut sesi kedua, yaitu parenting yang diampu oleh Ning Raudhlatul Aniq hingga selesai. Sebetulnya, materi inti berakhir pada 15.03, tapi sesi ini-itunya membuat acara benar-benar rampung menjelang pukul 16.00. </div><div>Habis itu, saya antar anak ke pondoknya dan saya ajak dia takziyah ke Kiai Hefni Mahfudh yang ketika itu, secara kebetulan, putranya (Lora Roiq; pengganti beliau) sedang bepergian, sementara Nyai Nur sedang ada acara pesantren sehingga kami pun gagal bertamu. Demikianlah takdir bekerja, padahal rencana kali ini adalah kedua kalinya. Sebelumnya, pada hari raya Iduladha, saya juga hendak takziyah, padahal sudah tinggal beberapa langkah lagi ke Asrama Zaid bin Tsabit di wailayah kepengasuhan beliau itu, tapi rencana gagal karena saya balik arah sebab satu dan lain hal. </div><div><br /></div><div>“Sudah, ya! Ayah pulang saja.”</div><div>“Baik,” kata anak saya. </div><div>“Nanti, kapan-kapan, dijenguk lagi. Jangan terlalu sering dijenguk. </div><div><br /></div><div>Anak kembali ke pondok, saya ke arah mobil yang diparkir di rumah Ustad Mannan yang lokasinya persis di pojokan Pos II, pintu gerbang akses ke PP Nurul Jadid sektor selatan. Di rumah Ustad Mannan—yang merupakan khadim Kiai Malthuf dan Nyai Hamidah Wafie di awal-awal beliau merintis pondokan santri di tahun 90-an—inilah saya berjumpa dengan Syaiful Khair yang notabene teman sepondok, dulu, dan saat itu sedang mengemudikan mobil rombongan dari Madura untuk tujuan yang sama. </div><div><br /></div><div>Menjelang azan maghrib, kami pulang. Jalanan ramai sekali, seperti biasanya, tapi tidak seramai tadi siang yang konon macet karena adanya kedatangan rombongan jemaah haji (tentu saja, yang bikin macet bukan yang datang dari haji, melainkan kirab atau pawainya). Kabarnya, bahkan bis-bis yang sedang menjalankan rute ke arah timur sempat tidak angkut penumpang karena dipastikan terjadi kemacetan besar di sekitar Pantai Bentar. </div><div><br /></div><div>Dalam pada itu, Om Washil bersama kami. beliau ikut kami dari Paiton, nyusul dari Situbondo. Beliau duduk di depan dan saya duduk di tengah. Kami mampir di <a href="https://goo.gl/maps/h5wRVToqdeKGukXM9" target="_blank">RM Bu Sasmito</a> untuk mengisi bahan bakar penumpangnya dan di <a href=" https://goo.gl/maps/6kR8aD6C4qpR8SNC7" target="_blank">SPBU Curah Sawo</a> Gending untuk bahan bakar minyak mobilnya. </div><div><br /></div><div>Perjalanan berlangsung khidmat tanpa kendala. Kami masuk tol Grati, akses jalan tol favorit kalau dari arah timur karena gerbang tol itulah yang paling dekat dengan arteri. Di Sidoarjo, kami keluar, mampir dulu—seperti sudah biasa, tak afdal rasanya kalau tidak mampir—di <a href=" https://goo.gl/maps/MC5PKCFgBzVaCLyn9" target="_blank">Warung Bakso Cak To</a> atau Jungkir Balik yang letaknya tepat di sebelah barat Stadion Delta. Sayangnya, Mbak Lia dan Cak To sedang tidak di tempat karena Cak To sakit (semoga Allah memberikan kesembuhan untuknya). Hanya sepeminuman, eh, sepemakanan bakso, kami putar balik dan lanjut ke Madura.</div><div><br /></div><div>Dari Sidoarjo ke Madura, mobil tidak singgah-singgah lagi. Bung Om Washil turun di <a href="https://goo.gl/maps/TgMxBHLn4s2cbhEv5" target="_blank">Warung Asela</a> karena sepeda motornya dititip di sana, kemudian kami lanjut ke Sumenep. Dari itu, saya menggantikan posisi pengemudi hingga tuntas perjalanan di rumah menjelang pukul 02.00, berakhir di angka 4777/1 (saat pergi 3932/3) yang artinya perjalanan kami, kali ini, adalah 844, 8 kilometer. </div></div><div><br /></div><div><br /></div><div><br /></div>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-79457345343386123062023-08-01T13:43:00.001+07:002023-08-02T07:18:52.916+07:00Semalam di Jogja Catatan Perjalanan ke Jogja, 22-23 Mei 2023<div><br /></div><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZcGzgaZnHbkYm_0308ApqSKL-1KWwAl7TBaysw9T8otdp9G5DqNaodGXKnp51rjy_wZOUFQk5Cydkwu11Mc4brXb9mVDhzKShQOJsSaC-CRogsR_u6edGw8HCiGjlfartIUVtpWEBPHT9Q0KzN1nlOabQXl6JaXdz40m4XQ2-yCaVuTyITC5ixo6jKKP7/s3264/IMG_20230623_155905.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="2448" data-original-width="3264" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZcGzgaZnHbkYm_0308ApqSKL-1KWwAl7TBaysw9T8otdp9G5DqNaodGXKnp51rjy_wZOUFQk5Cydkwu11Mc4brXb9mVDhzKShQOJsSaC-CRogsR_u6edGw8HCiGjlfartIUVtpWEBPHT9Q0KzN1nlOabQXl6JaXdz40m4XQ2-yCaVuTyITC5ixo6jKKP7/s320/IMG_20230623_155905.jpg" width="320" /></a><br /><div><div>Perjalanan ke Jogja kali ini terbilang buru-buru. pasalnya, meskipun perjalanan telah lama dirancang, tapi digagalkan dua hari menjelang hari H. Yang menjadi sebabnya adalah; anak saya mendadak demam dan ibunya keberatan kalau ikutan berangkat. Maka, saya putuskan untuk ngebis saja. Akan tetapi, menjelang malam keberangkatan, si ibu mengambil keputusan untuk ikut karena suhu tubuh putranya mendingan. </div><div><br /></div><div>“Besok pagi tidak apa-apa kalau mau berangkat,” katanya.</div><div><br /></div><div>Terburu-buru membuat saya lupa ngecek merata (pengecekan inti sudah), dan ternyata knalpotnya agaknya sedikit bocor sehingga kalau lepas gas, terdengar letupan. Begitu juga, Cak Badi—yang akan menyetir, menggantikan Cak Anam yang biasa bareng saya dan sekarang uzur karena persiapan menikah—harus dihubungi mendadak. Untung saja bisa. Selamatlah rencana perjalanan ini dari kegagalan.</div><div><br /></div><div>Pagi itu, Kamis, pukul 09.30, kami bertolak dari rumah, jos langsung menuju masjid <a href="https://goo.gl/maps/52jF3hFVYtHSBGny9" target="_blank">Baiturrohman</a> di Dumajah, pukul 12.40 Pada beberapa kali trip, titik ini memang sengaja dibuat persinggahan saya, persinggahan pertama ketika berangkat. Pasalnya, letaknya yang dekat dengan akses Suramadu dan secara waktu telah mencapai perjalanan 2,5 atau 3 jam dari rumah dalam kecepatan 70-80 km jam. Jadi, secara teori mengemudi, posisi ini memang tepat untuk dibuat tempat rehat. </div><div><br /></div><div>Sedianya, sesuai rencana awal, andaikan kami bisa berangkat bakda subuh persis, maka rencananya adalah mampir ke <a href="https://goo.gl/maps/mWgoUYATF44Eqkdc9" target="_blank">Masjid Raya Syeikh Zayed</a> di Surakarta alias Solo dengan perkiraan shalat jamak duhur-ashar di sana. Akan tetapi, berangkat bakda subuh persis memang cenderung tidak persis, bahkan cenderung sampai matahari terbit (sebab itu, banyak dari keluarga besar saya yang suka menjadwalkan keberangkatan beberapa menit sebelum azan subuh dalam keadaan sudah punya wudu). Penjadwalan seperti ini ternyata lebih efektif untuk menghindari molor. Dan kali ini, berangkat bakda subuh tidak mungkin karena persiapan kami belum selesai. Perjalanan dimulai pukul 10.00. </div><div><br /></div><div>Perjalanan di terik siang membuat hati kacau di Surabaya. Macet jalanan minta ampun, entah kenapa sebabnya. Pendingin kabin hasil rangkaian sendiri tidak mampu menenteramkan tubuh, hanya sekadar mampu membuat tidak keringatan. Ya, maklum, banyak kebocoran di sela-sela pintu dan membuat suhu udara luar (yang mungkin bisa mencapai 35-376 derajat celcius masuk ke dalam) dan juga faktor evaporator AC yang tunggal, hanya di depan, sementara untuk sampai ke kursi belakang saya menggunakan kipas angin yang dipasang di plafon tengah.</div><div><br /></div><div>Sebelum masuk tol Dupak, saya melipir di masjid Nurul Yaqien (pukul 14.10) yang jaraknya hanya berapa puluh meter ke akses pintu masuk. Si bontot mau pipis. Harus diakui, bahwa keberadaan masjid-masjid di tepi jalan itu, salah satunya, adalah untuk orang singgah buat air kecil karena kalau menunggu SPBU belum tentu rimbanya, apalagi di jalan tol. Yang juga harus diakui juga adalah; ada pula yang benar-benar hanya singgah untuk pipis, jangankan sampai shalat tahiyatal masjid, ngasih uang ke kotaknya saja tidak. </div><div><br /></div><div>Karena keberangkatan berubah, maka jadwal lain-lain juga berubah. Perjalanan sepenuhnya lewat tol sampai Colomadu (Kartasura), padahal sebelumnya dirancang keluar-masuk: masuk Warugungun, keluar Bandar; masuk Caruban, keluar Sragen, lalu lewat arteri, lewat kota Solo, ke Masjid Zayed). Di tol, kami hanya singgah satu kali di tempat istirahat di Saradan, Madiun (jika tidak salah 627). Sebagai hiburannya, saya bawa rombongan yang untuk pertama kalinya ke Jogja itu—kecuali dua anak saya yang lain—ke masjid Al-Aqsha, Klaten. Pukul 19.50, kami bertolak menuju Jogja, ke Kafe Main-Main untuk makan malam dan tiba pukul 20.45.</div><div><br /></div><div>Dipandu oleh GPS oleh Mas Mukhlas, kakak sepupu Zulfa (istri saya), Colt ini kembali menapaki jalan </div><div>Lingkar selatan (ringroad) setelah terakhir Agustus tahun lalu, 2022, saat menghadiri kopdar ICJ di Pantai Cemara. Sepertinya, Colt ini sudah akrab dengan aspal Jogja sehingga tidak perlu ragu-ragu, bahkan andai tanpa GPS, seakan ia sudah dapat mengendus jejak dan tapaknya di jalan-jalan kota Jogja. </div><div><br /></div><div>Setelah masuk lewat Jalan Imogiri Timur, belok kanan di Perempatan Jejeran, kami pun tiba di rumah Kak Mukhlas yang beruntung bisa menempati kediaman Mbah Juned (karena istri beliau merupakan cucunya) yang letaknya berada di belakang masjid At-Taawun, Kanggotan, Plered, Bantul. </div><div><br /></div><div>Pagi Jumat, acara kami adalah silaturahmi, tidak lebih. Istri maunya istri adalah diantar ke Malioboro, tapi ternyata gagal karena si kecil rewel. Maka, setelah jumatan di <a href="https://goo.gl/maps/qph7hMF1PJhctEn77" target="_blank">Masjid At Ta’awun</a> yang terletak persis di timur rumah Mas Mukhlas ini, saya pun berangkat ke lokasi acara tanpa rombongan karena kerewelan tersebut masih berlanjut. Tak apalah, ia harus diterima sebagai takdir karena kita sudah ikhtiar.</div><div><br /></div><div>Dalam perjalanan ke desa Pulesari di Sleman, kami menyusuri jalan terdekat menurut GPS. Saya tidak tahu menahu jalan itu karena ia adalah pertama kalinya. Akan tetapi, sebelum mencapai lokasi yang ditargetkan pukul 16.00, saya manfaatkan waktu untuk singgah-singgah lebih dulu, antara lain ke Pak Benta di Gamping yang baru buka kedai angkringan SGS dan lapangan futsal, di belakang rumahnya. Habis itu, persinggahan kedua adalah pool PO Putra Remaja, menjumpai Mas Hanif yang janji ngasih suvenir (kami terhubungan kembali dengannya saat saya dalam perjalanan naik bis ini dari Jambi tujuan Solo, awal bulan Mei lalu). </div><div><br /></div><div>Saya menghadiri undangan anak-akan IAA (Ikatan Alumni Annuqayah) yang mengadakan Kemah Literasi Nasional. acaranya ditempatkan di balai desa Pulesari, Sleman. Sesi sore itu, saya datang bersama Puthut E.A. Kami ngobrol bergantian: saya dulu, baru dia. Tapi, saya tidak langsung pulang sehabis acara, malainkan menunggu Mas Puthut sampai rampung bicara. Eh, gak tahunya, tiba-tiba ada Gus Syukron Maksum datang. Maka, pulang pun gagal, jadilah kami ngobrol sampai menjelang isya. </div><div><br /></div><div>“Ayo mampir ke rumah saya dulu,” kata Gus Syukron menawarkan kami mampir ke rumah mertuanya, mengingat dia dari Jambi—yang tempo hari pondok pesantrennya (PP Jari Nabi) itu—baru saya kunjungi. </div><div>“Makasih, tidak mungkin rasanya, Gus, karena saya harus pulang malam ini.”</div><div><br /></div><div>Turun dari Pulesari, saya mencari jalan akses ke Jalan Magelang yang paling dekat. Meskipun dengan begitu jaraknya sedikit memutar, tapi jalannya lebih terang dan lebih bagus. Maka, saya tidur di jok tengah, sementara Anta—yang ikut kami sejak dari Plered—duduk di depan bersama Cak Badi sang pengemudi. Tertidur lelap karena kelelahan, saya terbangun setelah mobil sudah parkir di halaman rumah Mas Mukhlas. Saya pulas sepanjang 40 km. Jarak segitu adalah jarak total ring-road Jogja yang pernah saya hitung melalui odometer Honda Aastrea Prima di tahun—jika tidak salah—2002 yang silam. </div><div><br /></div><div>“Loh, kok sudah mau pulang?” tanya Mas Mukhlas. </div><div>“Serius mau pulang?” Mbak Aini menambahkan. </div><div>“Iya, kami ini masih mau lanjut ke Karangharjo untuk acara besok malam. Besok siangnya masih rencana mampir di Ajung, di Paman Baidawi.” </div><div><br /></div><div>Diiringi suasana hari, kami meninggalkan Kanggotan malam itu, menuju Jember. Masih ada 530 kilometer di depan yang harus kami tuntaskan untuk titik persinggahan berikutnya. Tapi, kami singgah sebentar di Kafe Main-Main sekadar untuk ngisi termos dengan kopi, baru lanjut lagi pada pukul 10.00. Kami bertemu dengan Pak Edi dan Imam Rofiie, tapi tidak ada Kang Din yang sedianya mau jumpa saya pula di sana. </div><div> </div><div>Sementara itu, si kecil nangis terus. Suasana menjadi kacau balau saat istri saya berkata.</div><div>“Sepertinya saya tidak sanggup kalau harus ke Jember.”</div><div>“Ya, tidak apa-apa, kita putar haluan.”</div><div>“Terus, bagaimana dengan janjian orang Jember?”</div><div>“Pikir saja nanti di perjalanan, toh kita masih punya kesempatan waktu. Siapa tahu Aqil—anak kami yang bontot—jadi mendingan dan kita lanjut.”</div><div>“Iya, amin, semoga saja.”</div><div><br /></div><div>Mobil bergerak dan Cak Badi tetap mengemudi hingga <a href="https://goo.gl/maps/vaaF6e4hpaQSMeeY7" target="_blank">SPBU Kertonatan</a>, Kartasura. Kini, giliran saya yang mengemudi. Masuk GT Colomadu pukul 23.44 dan sengaja saya bawa berlari konstan antara 85-90 km / jam hingga masuk GT Warugunung pada pukul 03.13. Dengan kecepatan rata-rata begitu, yang tentu saja terbilang lambat untuk mobil MPV yang berjalan di jalan tol, jarak 253 kilometer ternyata bisa ditempuh dalam waktu 3 jam 29 menit tanpa rehat sama sekali. </div><div><br /></div><div>Mobil terus bergerak tanpa henti hingga akhirnya saya ngisi BBM lagi di<a href="https://goo.gl/maps/j2PMNB5vkf1Wx6ao9" target="_blank"> SPBU Tangkel</a> bukan karena habis, melainkan sekadar untuk kalibrasi konsumsi BBM. Hasilnya adalah 1 liter untuk 12,7 km. Data ini masih saya ragukan (karena terlalu irit) mengingat mobil terbilang bermuatan berat karena membawa 6 orang dan barang berjibun serta RPM selalu tinggi. Entah tadi ngisinya kurang penuh atau bagaimana, saya tidak mencermatinya lagi. Yang pasti, jarak dari Kertonatan ke Tangkel itu 294 kilometer, sedangkan pertalite yang dihabiskan adalah 232.000. Suatu saat, kalibrasi harus dilakukan berkali-kali untuk mendpatkan angka yang lebih pasti. </div><div><br /></div><div>Kami tiba di Masjid Baiturrohman, Dumajah, masjid yang kami singgahi pertama saat berangkat, untuk shalat subuh. Mobil dan anggota rombongan terus pulang ke timur, sedangkan saya kembali ke barat, naik bis untuk melanjutkan perjalanan ke Jember. </div><div><br /></div></div><div><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8UFto9_R1ROjI6x4O1Tovy1r40Z0J3n2fvFobY_uVt9Ew1Er-uf-rvlRezDGEinlr25FC8l4uHn_NhHWotdGAvk2ltJXfcIJ-bJOAYc2CmKDPsLSwSaE0UYBIidBeDIZK1wzxYUcg6WSm1MJzV-h8-OFncHtqwZajxaD-qRvICEOk96o1C0-ujIqzFwMg/s4080/IMG_20230622_164417.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="4080" data-original-width="3072" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8UFto9_R1ROjI6x4O1Tovy1r40Z0J3n2fvFobY_uVt9Ew1Er-uf-rvlRezDGEinlr25FC8l4uHn_NhHWotdGAvk2ltJXfcIJ-bJOAYc2CmKDPsLSwSaE0UYBIidBeDIZK1wzxYUcg6WSm1MJzV-h8-OFncHtqwZajxaD-qRvICEOk96o1C0-ujIqzFwMg/s320/IMG_20230622_164417.jpg" width="241" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjoWIQ6XzcdiAlaWG0assrFh_Mv8qgrTEMUhMCyIY9jyFQaYSsM11oxMwhRsQGzjX_4m3EBCVJV8CykR_Tk1T9atilDyg_KCAbYafrFO5wiXGpxihftS4s2C9pVyQXjOlzY2p0dJK02_rs_JqBMN84TChcieO9WIfUY2Lixb15lhw2rwOadhhmgvoYonWKu/s3264/IMG_20230622_204135.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2448" data-original-width="3264" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjoWIQ6XzcdiAlaWG0assrFh_Mv8qgrTEMUhMCyIY9jyFQaYSsM11oxMwhRsQGzjX_4m3EBCVJV8CykR_Tk1T9atilDyg_KCAbYafrFO5wiXGpxihftS4s2C9pVyQXjOlzY2p0dJK02_rs_JqBMN84TChcieO9WIfUY2Lixb15lhw2rwOadhhmgvoYonWKu/s320/IMG_20230622_204135.jpg" width="320" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjk5j_ZYvRQUvY21ZY41GapOC3zhPFLpniFvTSKvR9sEVT7izRrlS0L3UFfZBkAIR0QEScPEO3XaNferpuijx2LzMzIrSPvxaBD049I8sKhtLqyoofna4psVOrJFzxWlQQAnftn2tvh7cWguo9dvh9TP7V9_WDDLQtodbZE-KEt9gfbuQzWK8e2XpC8Uv8x/s3264/IMG_20230623_134547.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2448" data-original-width="3264" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjk5j_ZYvRQUvY21ZY41GapOC3zhPFLpniFvTSKvR9sEVT7izRrlS0L3UFfZBkAIR0QEScPEO3XaNferpuijx2LzMzIrSPvxaBD049I8sKhtLqyoofna4psVOrJFzxWlQQAnftn2tvh7cWguo9dvh9TP7V9_WDDLQtodbZE-KEt9gfbuQzWK8e2XpC8Uv8x/s320/IMG_20230623_134547.jpg" width="320" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiBp52FeJJNS0Hy_r0Jw4Qk-15G76MGgn9SS1yWQ-VDpFO0-PNRLO_xR5RazuxgJwMP4Nei0n2-qTbMeC7TakZq-DPeV_luzV9ZtZNdRWoyKGFou_Tjp0uTjRXvGK62ArOQkm1eWKhHSa3u_FJbZuSG2vsEtwZd_-iUEDd7_dW7nkkM8Cr143kuKlbX3f_/s4080/IMG_20230623_134722.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3072" data-original-width="4080" height="241" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiBp52FeJJNS0Hy_r0Jw4Qk-15G76MGgn9SS1yWQ-VDpFO0-PNRLO_xR5RazuxgJwMP4Nei0n2-qTbMeC7TakZq-DPeV_luzV9ZtZNdRWoyKGFou_Tjp0uTjRXvGK62ArOQkm1eWKhHSa3u_FJbZuSG2vsEtwZd_-iUEDd7_dW7nkkM8Cr143kuKlbX3f_/s320/IMG_20230623_134722.jpg" width="320" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-9c2a7EFF00U_TLi1bH8uqr9TGjZM-37gBEh4PyXFYhvRmq7sK_hCp8CxjNUeh5rtZo0WlecZ-14He1-pV7y8k_qczOclpdNPTdTKlr8kxhcK9GDUWXYcWaCyCEOb74LeM_jB1waIJ8U4he5_rvdJ8tbe9HgKlJj1RxOAqmd1Je_Bwr1qNf8s3UEXVBBz/s4080/IMG_20230623_145049.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3072" data-original-width="4080" height="241" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-9c2a7EFF00U_TLi1bH8uqr9TGjZM-37gBEh4PyXFYhvRmq7sK_hCp8CxjNUeh5rtZo0WlecZ-14He1-pV7y8k_qczOclpdNPTdTKlr8kxhcK9GDUWXYcWaCyCEOb74LeM_jB1waIJ8U4he5_rvdJ8tbe9HgKlJj1RxOAqmd1Je_Bwr1qNf8s3UEXVBBz/s320/IMG_20230623_145049.jpg" width="320" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgv1YkYcQS62H2CnC8p7LDAKXXaENbfcJXCeebRkNGhMVHDgJgHxOw8BFg8a27dcBSIIIRCKdvvny0D_s2_zj3bZobtwPr56Vs60jiUm8EnIQVnkQV8mNjJRe2e4MDemOz0yC7zG5KCZsquChqggI_ON4jHnKzjQC8-7yuYcPyPF7bKOCFpQNxbBqZWx-lJ/s4080/IMG_20230624_031346.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="4080" data-original-width="3072" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgv1YkYcQS62H2CnC8p7LDAKXXaENbfcJXCeebRkNGhMVHDgJgHxOw8BFg8a27dcBSIIIRCKdvvny0D_s2_zj3bZobtwPr56Vs60jiUm8EnIQVnkQV8mNjJRe2e4MDemOz0yC7zG5KCZsquChqggI_ON4jHnKzjQC8-7yuYcPyPF7bKOCFpQNxbBqZWx-lJ/s320/IMG_20230624_031346.jpg" width="241" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgP3ioMnzv-kN-1iSjePEvDUyUMax4vQsUazlkNaG44i6l_dRf4zQHChfzrk-rayNGG0Uy0IGoGOd_vI4TA3AeBzqUzwo-Iy9ERQIzXAle2mCr_hyFmNy3qg-pE2_wFn9grDQMevcH9KfU3uGk95WH1Nc10U2bvXEcXqfFBNstaCEtguDkrp613D8yCJW7J/s4080/IMG_20230623_145049.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3072" data-original-width="4080" height="241" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgP3ioMnzv-kN-1iSjePEvDUyUMax4vQsUazlkNaG44i6l_dRf4zQHChfzrk-rayNGG0Uy0IGoGOd_vI4TA3AeBzqUzwo-Iy9ERQIzXAle2mCr_hyFmNy3qg-pE2_wFn9grDQMevcH9KfU3uGk95WH1Nc10U2bvXEcXqfFBNstaCEtguDkrp613D8yCJW7J/s320/IMG_20230623_145049.jpg" width="320" /></a></div><br /></div>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-48119403315565938782023-06-01T20:01:00.001+07:002023-06-20T20:24:12.850+07:00Difoto Fotografer <p>Foto mobil, khususnya, Colt, jelas saya punya banyak. Saya sering memotret mobil saya ini di mana pun tempat, terutama di tempat-tempat yang istimewa. Yang termasuk istimewa adalah tempat yang jauh dari rumah saya mengingat Colt tua biasanya tidak bisa pergi jauh.<br /><br />Akan tetapi, foto-foto ini dijepret di halaman rumah sendiri. Ini menjadi penting dan istimewa bukan karena letaknya, melainkan karena fotografernya. Jadi, foto-foto ini diposting karena pertimbangan fotografernya: <a href="https://www.instagram.com/andi_erik/?hl=id">Andi Erik</a> </p><p><br /></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5gpK_8RXf0M-RMK2r23KWqfnqt8PVE_dLKYksoqxgPwI4ifJSEEiezgqOL4luaUTF3dItXKWrefKR62Powk4Ghgm3nKaJZm-ySoT5PP1dzTfXiY9qSYzdSiou8GUMSR7NZIQID7MpryBNFcKn8Ew7rvpF2Qk62m7oUHU4CHs8GOpNvWqDD-5i6sPD_iU2/s5616/Annuqayah_Sumenep_AE_1133.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3744" data-original-width="5616" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5gpK_8RXf0M-RMK2r23KWqfnqt8PVE_dLKYksoqxgPwI4ifJSEEiezgqOL4luaUTF3dItXKWrefKR62Powk4Ghgm3nKaJZm-ySoT5PP1dzTfXiY9qSYzdSiou8GUMSR7NZIQID7MpryBNFcKn8Ew7rvpF2Qk62m7oUHU4CHs8GOpNvWqDD-5i6sPD_iU2/s320/Annuqayah_Sumenep_AE_1133.jpg" width="320" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBvIxKuIxLRND82v9DtPZKYsClRatarpXK3nuYtLL5xB-pXJfUq8HLD9WUkeJlvmnlOUZSm4tOR4vlojo0zirIYxHIeWc-N2UEFsP0JDo3D7z4vNrhVeBkbnqBGpasDZm3wy6qT9p6dEumu9zE2M6JDKsQ2F7WthVpMFqXlyCAiFpKDVLjW7qBtaiiSQlK/s5616/Annuqayah_Sumenep_AE_1138.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3744" data-original-width="5616" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBvIxKuIxLRND82v9DtPZKYsClRatarpXK3nuYtLL5xB-pXJfUq8HLD9WUkeJlvmnlOUZSm4tOR4vlojo0zirIYxHIeWc-N2UEFsP0JDo3D7z4vNrhVeBkbnqBGpasDZm3wy6qT9p6dEumu9zE2M6JDKsQ2F7WthVpMFqXlyCAiFpKDVLjW7qBtaiiSQlK/s320/Annuqayah_Sumenep_AE_1138.jpg" width="320" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPVy8dqOe1rS0c1XJTosXNHfBcEQ1bOY7x4sQPE6Xsc9HKRFTGNvBel1YFAdg3SUKOISdI_lzWS2-GBWp5L9HXx9m0WBAGPmBS76gIXgPCnrmKAUYW_xCl5lHUx1J7WmcL3mkklny8GBzI09mk8LEU3kW5ylKeo4VHe_E2Xda3R3GpNNXanie6HaV_zkIz/s5616/Annuqayah_Sumenep_AE_1140.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3744" data-original-width="5616" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPVy8dqOe1rS0c1XJTosXNHfBcEQ1bOY7x4sQPE6Xsc9HKRFTGNvBel1YFAdg3SUKOISdI_lzWS2-GBWp5L9HXx9m0WBAGPmBS76gIXgPCnrmKAUYW_xCl5lHUx1J7WmcL3mkklny8GBzI09mk8LEU3kW5ylKeo4VHe_E2Xda3R3GpNNXanie6HaV_zkIz/s320/Annuqayah_Sumenep_AE_1140.jpg" width="320" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4Do2-VGs3-udctmEAVMbt5_GhEgV45y9XeuR69ntjGE40u7dwTavXjr5Eq6bFkFrlPhGj_qfQI2O5pWlQ53iDWauN8MhzT5naTRH0ebH1zZ3Gv4a4LJGI2lD328r3iv_ECGwE4EaMJfuQpfqNDjOZJNx2JFtFhHKrafQ57iVhlQ-fX-tECtPoQKBr8WpK/s5616/Annuqayah_Sumenep_AE_1144.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3744" data-original-width="5616" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4Do2-VGs3-udctmEAVMbt5_GhEgV45y9XeuR69ntjGE40u7dwTavXjr5Eq6bFkFrlPhGj_qfQI2O5pWlQ53iDWauN8MhzT5naTRH0ebH1zZ3Gv4a4LJGI2lD328r3iv_ECGwE4EaMJfuQpfqNDjOZJNx2JFtFhHKrafQ57iVhlQ-fX-tECtPoQKBr8WpK/s320/Annuqayah_Sumenep_AE_1144.jpg" width="320" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidsHWM0Tg5wKTCp2g4s4y4ZsjpoPx4sjJOcYETsz6mqp3vEdvQ7J6bMSEjN4KAzvrthzcZpUiN2VrzSM4TgKs35bA80ZraiDjNq5ORDY8HcoNgmTJA0zsoHrkNOzscR0NcOeZIzoj4W7KQTw3bFZwLRunrdvEnQQj3i4VjsDWlkBfNacBkcO8p84H3AjvO/s5616/Annuqayah_Sumenep_AE_1147.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3744" data-original-width="5616" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidsHWM0Tg5wKTCp2g4s4y4ZsjpoPx4sjJOcYETsz6mqp3vEdvQ7J6bMSEjN4KAzvrthzcZpUiN2VrzSM4TgKs35bA80ZraiDjNq5ORDY8HcoNgmTJA0zsoHrkNOzscR0NcOeZIzoj4W7KQTw3bFZwLRunrdvEnQQj3i4VjsDWlkBfNacBkcO8p84H3AjvO/s320/Annuqayah_Sumenep_AE_1147.jpg" width="320" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLt3BUdSTY8Qbw2wSk_Dpgz6BdSpiNHGkQ5HTfibge8shkuNFb6wEzmrPRxwgZjXpDQ9RXtoLw047EZG6nD95HZYQs1r0BlPPvLMYQSt0vRS4KzEyuhqUbBQMIfzDB6JHHjLuXe-DpmAlySFaWXQa6c2LuDaJfjsq7DUvG_f7Rg4HwtwYLmaAVIMpVOInQ/s5616/Annuqayah_Sumenep_AE_4486.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3744" data-original-width="5616" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLt3BUdSTY8Qbw2wSk_Dpgz6BdSpiNHGkQ5HTfibge8shkuNFb6wEzmrPRxwgZjXpDQ9RXtoLw047EZG6nD95HZYQs1r0BlPPvLMYQSt0vRS4KzEyuhqUbBQMIfzDB6JHHjLuXe-DpmAlySFaWXQa6c2LuDaJfjsq7DUvG_f7Rg4HwtwYLmaAVIMpVOInQ/s320/Annuqayah_Sumenep_AE_4486.jpg" width="320" /></a></div><br /><p><br /></p>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-25002003082560666452023-05-25T19:54:00.001+07:002023-06-20T20:00:56.728+07:00Bukan Kopdar, Colt Mania Hanya Datang untuk Bergembira<br /><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNzdBxKUO5N6-VgBbUf0bTosq6bMI7JF5eNuv6rR7GGOCI_gz6fAV-Nt0-2kedYml7r5nOEIoEb2Q_H4mFrA2RCbvKP-NoI5PcMNA4Mc3Ym_muMz5ZQR4Cw0n64mhbuBOSbSrg8oLHBSYAcmBuWCXSkUqL6WuBQp3_sBRomLNUzjVStcJchurvfL4PkD9j/s2048/348354759_556851019965312_4817315008242432365_n(1).jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="944" data-original-width="2048" height="148" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNzdBxKUO5N6-VgBbUf0bTosq6bMI7JF5eNuv6rR7GGOCI_gz6fAV-Nt0-2kedYml7r5nOEIoEb2Q_H4mFrA2RCbvKP-NoI5PcMNA4Mc3Ym_muMz5ZQR4Cw0n64mhbuBOSbSrg8oLHBSYAcmBuWCXSkUqL6WuBQp3_sBRomLNUzjVStcJchurvfL4PkD9j/s320/348354759_556851019965312_4817315008242432365_n(1).jpg" width="320" /></a></div><br />Tiba-tiba, ketika saya sudah mendekat ke rumah, dari dalam mobil yang kami tumpangi, saya melihat ada sekitar sepuluh atau belasan Colt berbaris. Tentu saja saya kaget karena saya tidak sedang di rumah ketika itu, melainkan di rumah istri. Rupanya, mereka datang dari Cikupa, Banten, dari Jogja, Ngawi, Malang, dan Bangkalan, menyambut saya datang dari rumah mertua. <br /><br />* * *<br /><br />Pada hari Sabtu, akhir bulan (29) Syawal 1444 atau bertepatan dengan 20 Mei 2023, kami meneyelenggarakan “selamatan pernikahan sangat kecil-kecilan” untuk akad pernikahan saya dengan Zulfa. Ini adalah pernikahan yang kedua (yang pertama dengan almarhumah Nyai Makkiyah binti Ashim yang wafat pada 10 Agustus 2021). Karena kedua, juga karena terbatas dana dan tenaga, maka dirancanglah sekecil mungkin acaranya. <br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNkWz3OT9K7GHnHvLPgRfFeqsvRDzzoSUn3j5fBTLF-R3dk1Rycrzh7sOxBGTAqvvC5BKTWu9CyubbJLy26uCuWeLHyE5bzZBk89la34SqgrMeBLIdiRXvXPl5q3DgbB5ZDQoXHGKU2X5a2lULc-AhbhQA7n8e981L_0yIcxmUyYrR-H4SLswBXAGQNSBB/s2048/348354643_722251033032984_8117455722375096138_n(1).jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="944" data-original-width="2048" height="148" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNkWz3OT9K7GHnHvLPgRfFeqsvRDzzoSUn3j5fBTLF-R3dk1Rycrzh7sOxBGTAqvvC5BKTWu9CyubbJLy26uCuWeLHyE5bzZBk89la34SqgrMeBLIdiRXvXPl5q3DgbB5ZDQoXHGKU2X5a2lULc-AhbhQA7n8e981L_0yIcxmUyYrR-H4SLswBXAGQNSBB/s320/348354643_722251033032984_8117455722375096138_n(1).jpg" width="320" /></a><br />Seluruh rangkaian acara ini nyaris serba-mendadak dan banyak kebetulannya. Tanggal 11 Mei, yang sedianya merupakan hari lamaran, mendadak berubah jadi hari pernikahan. Di tempat lain, ini mungkin tak wajar, tapi di Madura bisa terjadi, tapi memang jarang (dan akad saya adalah bagian dari yang jarang itu). Ya, mendadak nikah ceritanya. Maka, sedianya, akad nikah yang baru akan dirembukkan jadi tak perlu dirembukkan lagi karena pada hari itu bahkan lengkap dihadiri pak penghulu. <br /><br />“Masa orang tidak niat akad kok bawa jas?”<br /><br />Itulah pertanyaan salah seorang ketika tahu seliweran foto kami di media sosial. Ya, itu dia. Sebetulnya, saya sudah punya firasat demikian, firasat saja atas pertimbangan tanggal dan bulan berdasarkan kalender lunar. Saya jawab, “Itu namanya kita bawa persiapan. Emang kalau kamu punya SIM, padahal kamu bakal melewati jalan yang kemungkinan ada operasi lalu lintasnya, kamu bakal tinggal itu SIM di rumah dan baru pamit mau balik ke rumah jika di jalan kepergok petugas?”<br />Begitulah alasan saya, entah masuk akal atau tidak, biarkan saja.<br /><br />Ada selah waktu, antara hari akad nikah ke acara selamatan yang akan dilangsungkan di rumah saya. Acara selamatan sangat kecil ini rupanya sudah terendus oleh Pak Bambang dan beliau ngajak banyak orang untuk datang ke acara itu, di rumah saya. Saya bilang, tak perlu karena selamatan di rumah hanya mengundang saudara dari ibu dan saudara dari ayah serta saudara dari istri serta beberapa kerabat dekat yang lain, itupun dengan seleksi ketat sehingga jumlahnya hanya sekitar 60 orang saja.<br /><br />Tapi, ternyata, niat mereka tak dapat dibendung, bahkan meskipun saya bilang kalau berkatnya tidak cukup, nasinya tidak cukup, tetap saja mereka datang, mungkin sekitar 13 mobil.<br />Sebelumnya bahkan saya juga bilang kalau acara di tempat kami tanpa kuade, tanpa dangdutan, tanpa terop, jadi ngapaian datang? Pak Bambang nekat, pokoknya dan pokoknya datang.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMyEdWgOABFFmCZRnmNrrHukQQ3IoOrCatknBURmwX5gG_rEsctoHPRXx5Npr9I03f7K0AHxnH0DVS2u1addYwev--gEB7dJhfeAo6LYfiPV61UPuANjD1uoh8mhn3Z72eYiketValhxoW1Do_WYetpmJpiXWRgEfWY_od-Yptvyus14PzVeRPbL4eDTpE/s2048/348354744_1946585005713414_3149320018926975758_n.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="944" data-original-width="2048" height="148" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMyEdWgOABFFmCZRnmNrrHukQQ3IoOrCatknBURmwX5gG_rEsctoHPRXx5Npr9I03f7K0AHxnH0DVS2u1addYwev--gEB7dJhfeAo6LYfiPV61UPuANjD1uoh8mhn3Z72eYiketValhxoW1Do_WYetpmJpiXWRgEfWY_od-Yptvyus14PzVeRPbL4eDTpE/s320/348354744_1946585005713414_3149320018926975758_n.jpg" width="320" /></a><br />Jadi, begitulah kejadiannya.<br /><br />Dan, datanglah mereka ke tempat saya tanpa kehadiran saya. Untung saja ada Anam yang menyambut, dan kebetulan juga kenal dengan Pak Bambang dan beberapa kawan lain (karena pernah bermalam di rumah beliau di Cikupa saat tur Walisongo bersama saya) yang mengurus ini dan itunya. <br /><br />Dengan demikian, ini menjadi jawaban atas pertanyaan kawan-kawan ‘Apakah ada kopdar Colt di rumah saya?’. Tidak ada apapun kopdar. Pak Bambang hanya datang untuk mengucapkan selamat atas pernikahannya saya. Masalahnya, Pak Bambang ini terus ngajak temannya yang lain, dan temannya ngajak temannya lagi sehingga jadi begini akhirnya. <br /><br />Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-24533506134642642252023-02-25T22:36:00.006+07:002023-02-26T23:39:06.957+07:00Melewati Rute-Rute Baru di Madura <div><br /></div><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-irZXnB-pIbXiSmOr4C0Nhe8Cy-iO8-B7OATFR87JGPg5vPLa9PJfiCxrzG176D6JbRBSEp7vdTVMEgL5upta841lG2kDcHQxqTcU5X78CWOYCj2H0s9b_aMcKOmts2ZV10W4oMVmZoV27Yyz1pcSG6LbJmpguhr-7k4sDcbi0yU5SniAaUvkKIn-TQ/s639/Cuplikan%20Layar_2023-02-26_23-26-37.png" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="394" data-original-width="639" height="197" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-irZXnB-pIbXiSmOr4C0Nhe8Cy-iO8-B7OATFR87JGPg5vPLa9PJfiCxrzG176D6JbRBSEp7vdTVMEgL5upta841lG2kDcHQxqTcU5X78CWOYCj2H0s9b_aMcKOmts2ZV10W4oMVmZoV27Yyz1pcSG6LbJmpguhr-7k4sDcbi0yU5SniAaUvkKIn-TQ/s320/Cuplikan%20Layar_2023-02-26_23-26-37.png" width="320" /></a>Kamis (23) dan Sabtu (25) di Februari ini (2023) merupakan hari penting dalam kisah perjalanan saya, perjalanan naik Colt T120 khususnya. Ia adalah momen pertama bagi saya melewati ‘trek baru’, yaitu trek yang relatif sudah sejak dari dulu ditargetkan tapi baru kesampaian. Tidak pernah ada kepentingan berarti untuk melintasinya hingga ia terjadi pada hari-hari ini.<br /><br /><br />Hari Kamis lalu, bersama Paman Naqib dan bibinda Fadilah, saya bisa melewati tersebut, namun dengan sedikit memutar. Perjalanan dimulai dari rumah menuju UIM, Bettet, lewat Pakong (biasanya lewat Prenduan). Dari UIM, setelah menjemput kemenakan beliau, kami lalu balik, naik ke utara, ke Angsanah, ke Bata-Bata, terus ke barat menuju Palengaan. Titik kordinatnya adalah PP Nurus Salam 1, di Banyupelle (adapun pondok pusatnya berada di Saba Tambak, tak jauh dari situ).<br /><br /><br />Setelah duduk, ngobrol, dan makan, kami pun pamit. Silaturahmi selesai. Arah pulangnya, mobil saya bawa ke selatan, melewati Pasar Aeng Nyonok. Eh, ternyata, jalan di daerah yang relatif sepi tersebut tembus ke Makam Batuampar. Kami pun turun, terus ke selatan, nembus ke Penaguan.<br /><br />Nah, di Penaguan ini saya terhenyak, kaget, melihat pemandangan sawah selebar mata memandang. Hamparan padi menguning, siap dipanen, mirip kebun gandum, seperti yang pernah saya lewat dalam perjalanan berkereta api dari Berlin ke Leipzig beberapa tahun lalu. Luas begitu luas seolah ujung mata memandang adalah horison.<br /><br /><br />Di tengah perjalanan, tampak satu pondok pesantren di tengah pedataran itu: Al-Haramain. Sungguh sempurna secara posisi pondok ini, indah dari kejauhan. Lalu, seketika itu pula, muncul lintasan pikiran. Satu hal yang berkelebat adalah perasaan cemas, bahwa pada satu saat nanti, barangkali, tanah-tanah ini akan beralih fungsi, menjadi perumahan misalnya, atau menjadi pabrik misalnya. Lalu, saya berfantasi, berkuranglah lahan padi dan dengan demikian berkurang pula stok bahan makanan masyarakat. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana menyelesaikan alih fungsi lahan produktif seperti ini ke “lahan mati”. Hanya ada satu pertanyaan di dalam kepala: Apakah kita lebih butuh kemajuan dan menyukai krisis pangan? Entahlah.<br /><br /><br />Dari Panaguan, kami pulang, namun mampir dulu di rumah Uyay, si kemenakan tadi, di Taroan. Total jarak tempuh dari pagi sampai siang ini adalah114 kilometer. Tak terasa, jauh juga rupanya, hampir setara dengan jarak dari rumah ke Tangkel (akses jalan Suramadu yang jaraknya adalah 119 kilometer). <br /><br /><br />***<br /><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOUaa6E8C_VejU1Xl9sczdJqVmIfRgZ67sxj_3VJo7T2Tg6iW_OAafCyjWYoXIBhBH7nHs1tSHmgNxsZANj-G4rRsulTsZNlUCDarWtjHt_ErqcbBi_OipJRN66n7pELi6BJ33hKZyk12RKTBICl8-u5XxLjC7JajdN8F_9_hW_k00DGjXGW2Ttt1a3Q/s1274/Cuplikan%20Layar_2023-02-25_23-10-45.png" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="570" data-original-width="1274" height="143" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOUaa6E8C_VejU1Xl9sczdJqVmIfRgZ67sxj_3VJo7T2Tg6iW_OAafCyjWYoXIBhBH7nHs1tSHmgNxsZANj-G4rRsulTsZNlUCDarWtjHt_ErqcbBi_OipJRN66n7pELi6BJ33hKZyk12RKTBICl8-u5XxLjC7JajdN8F_9_hW_k00DGjXGW2Ttt1a3Q/s320/Cuplikan%20Layar_2023-02-25_23-10-45.png" width="320" /></a>Hari ini, SABTU, 25 Februari 2023, tak terlalu diduga, saya kembali melakukan perjalanan ke barat. Kali ini, rutenya lebih menantang, lewat jalur tengah Madura, jalur yang saya cita-citakan sejak puluhan tahun yang lalu dan baru berhasil dilewati hari ini.<br /><br /><br />Sebelum berangkat, saya mengutarakan niat dengan suara keras: niat silaturahmi, dalam rangka silaturahmi, semoga ia dicatat sebagai amal karena seperti itulah yang diajarkan Kanjeng Nabi. Orang lain punya mobil baru, saya tidak; orang lain punya omset melimpah, saya tidak; orang lain punya gebetan baru, saya tidak; orang lain bikin start-up dan meraih bitcoin, saya tidak; orang lain maju, saya tidak.<br /><br /><br />Lantas, saya berpikir, saya harus punya sesuatu yang orang lain tidak punya. Apa itu? Punya kesempatan silaturahmu dan mereka tidak. Hanya itulah semangat yang membuat saya berangkat ke Robatal, ke rumah Abdur Rasyid yang kini tinggal di PP Nurul Jadid, Garduwak, Lepelle, Robatal.<br /><br /><br />Saya berangkat pagi sekali, pukul 07.30. Mobil berjalan ke arah barat dan isi pertalite di SPBU Pakong, di Bandungan. Hingga di Pagantenan, rute hari ini sama persis dengan rute Kamis yang lalu. Bedanya, dalam pada itu, saya lewat ‘jalur baru’, yaitu jalan pintas dari Pegantenan ke Palengaan, melewati Rombuh, yang dapat memangkas jarak menjadi 6,5 km saja dari 14,5 km andaikan saya menempuh jalan kolektor biasa, lewat Palduding STAI Al-Khairat. Hanya saja, rute Preng Taleh yang saya tempuh ini sangat sempit, satu mobil saja, berkelok-kelok dan curam, mana lagi tadi sempat papasan sama truk medium yang membuat saya harus mundur untuk mengalah karena posisi saya yang jalan menurun sementara truknya sedang menanjak.<br /><br /><br />Sembari menunaikan perbuatan terpuji ini (ceilee), saya mengingat peristiwa di SPBU tadi: sebuah Avanza menyerobot antrian hanya karena saya kurang sigap memutar kemudi untuk berpindah haluan. Sekalian ironis, ironis saja sekalian!<br /><br /><br />Rute Palengaan ke barat sangat bagus jalannya, lebar dan rata. Baru beberapa meter setelah belok kanan di pertigaan Nagasari untuk mengarah ke Karang Penang, off road pun dimulai. Kami berpapasan dengan truk-truk pengankut bahan baku genteng atau mobil bak terbuka yang berlurub debu. Kontur jalan yang buruk membuat jalan beraspal nyaris tak berbentuk.<br /><br /><br />Karena saya tidak berbekal GPS dan hanya modal melihat peta lipat Pulau Madura, tadi sebelum berangkat, akhirnya, di pertigaan Glidikan, saya salah arah. Mestinya, saya belok kanan menuju Pasar Karang Penang, tapi instink membawa saya ke kiri, ke Blu’uran, Tlambah. Saya salah arah.<br /><br /><br />“Ini sih bukan Tlambah, tapi talambhas...” kata saya dalam hati.<br /><br /><br />Perjalanan ke PP Nurul Jadid, Garduwak, desa Lepelle, akhirnya memakan waktu 2,5 jam. Tiba sana, saya disambut oleh Abdur Rasyid yang ternyata sudah menyiapkan permadani, buah-buahan, dan pelantang suara pula.<br /><br /><br />“Ini untuk apa?”<br /><br />“Mohon Panjenengan ngomong tentang sastra atau kepenulisan.”<br /><br />“Waduh, saya kan cuman mau silaturahmi saja...”<br /><br />“Iya, emang dan sayang-sayang kalau tidak disertai dengan acara ngobrol.”<br /><br />“Baiklah.”<br /><br /><br />Saya pun didapuk tuan rumah untuk ngomong. Karena tidak ada tema, maka bicaranya pun suka-suka, manasuka, sekenanya. Saya bercerita dan memberikan motivasi untuk mereka supaya gemar menulis, mencatat, dan membaca. Tak pelak juga, obrolan berpindah pada visi hidup, keugaharian, limbah makanan, sampah plastik, sampai madah lagu dan shalawat. Jadilah obralan kami melantur ke sana kemari, tapi saya tenang saja karena—berdasarkan raut mukanya—orang-orang itu menikmati, sebagaimana kami menikmati suguhan opor ayam, dan ikan-ikan terbaik di laut.<br /><br /><br />“Ini silaturahmi memang top banget,” kata saya, nyeletuk, “udah dapat pahala, dapat makan enak pula.”<br /><br /><br />Setelah shalat duhur berjamaah, saya pamit pulang. Rencana ke Miho tertunda karena dia sibuk dengan gabahnya. Skenario Allah tak dapat ditebak, padahal ke dialah tujuan saya berikutnya, eh, mobil malah menggelinding ke arah Blu’uran hingga kami nembus Pasar Omben, melewati ratusan meter jalan bercor yang membuatnya mirip Trans-Jawa.<br /><br /><br />Di situ, dekat Pasar Omben, saya singgah ke rumah seseorang yang secara persis saya tidak kenal, tapi dia mengaku pernah sekali bertemu dengan saya di PP Muqri, di rumah Kiai Zainurrahman. Dialah Faisal, asal Pasaman, Sumbar. Dia bahagia sekali rupanya karena di hari itu, dia memang punya rencana ke Guluk-Guluk, untuk main ke saya, eh, kok malah calon tuan rumahnya itu (yaitu saya sendiri) yang justru yang menjadi tamunya. Rumahnya besar sekali, mirip futsal lah.<br /><br /><br />“Sudah, ya, sudah cukup sebagai pertemuan pertama.”<br /><br />“Baik, terima kasih atas kunjungannnya, Ra,” kata dia.<br /><br />“Soalnya, saya harus ngisi pengajian nanti pukul 16.00, di rumah.”<br /><br />“Baik, baik. Semoga ada kesempatan bertemu lagi.”<br /><br /><br />Akhirnya, kami pun pulang dan benar, kami tiba di rumah pukul 15.50. hamdalah, saya diberi kesempatan untuk ngaji Risaltul Muawanah sesuai dengan waktu yang dipertimbangkan. Hari ini saya benar-benar bahagia. Silaturahmi itu memang tidak main-main rupanya. Pantesan, silaturahmi itu termasuk satu dari beberapa pesan yang diperintahkan rasul kepada Heraklious saat memperkenalkan Islam. Dan pada pertemauan tadi, saya merasa telah melakukan ibadah 60 tahun karena telah membuat hati Faisal gembira: dia ngajak mampir, saya mampir benenran.<br /><br /><br />Total jarak 140 kilometer selesai dilalar hari ini.<br /><br /><br /><br /></div><br /><div><br /></div><div><br /></div><div><br /></div><style type="text/css">p { margin-bottom: 0.1in; direction: ltr; color: #000000; line-height: 115%; text-align: left; orphans: 2; widows: 2 }p.western { font-family: "Liberation Serif", serif; font-size: 12pt; so-language: id-ID }p.cjk { font-family: "Arial Unicode MS"; font-size: 12pt; so-language: zh-CN }p.ctl { font-family: "Lucida Sans"; font-size: 12pt; so-language: hi-IN }</style>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-77035081588887320982022-09-02T22:33:00.001+07:002023-02-27T00:59:43.424+07:00COLT JOGJA ISTIMIWIR: Ke Jogja via Cemorosewu<div class="separator"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigd9686e1mIP1sTgy5NkduVRu3Xl4nGAbP2sManRPYh7hUhFyIPI8o5WsKfOK4kZGMlObrVAb7tsBZkR4SgDULHtInzad630wt7TbV-Z_1u_0olmzwHQxt1fmt73RChy24RY11UlKn12_9zAMJ6mwMCNOpWXarJBeRn66h0yMNjRWNS0NulOXEpSYABw/s2048/299408149_567492165172314_17294995719889457_n.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1536" data-original-width="2048" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigd9686e1mIP1sTgy5NkduVRu3Xl4nGAbP2sManRPYh7hUhFyIPI8o5WsKfOK4kZGMlObrVAb7tsBZkR4SgDULHtInzad630wt7TbV-Z_1u_0olmzwHQxt1fmt73RChy24RY11UlKn12_9zAMJ6mwMCNOpWXarJBeRn66h0yMNjRWNS0NulOXEpSYABw/w400-h300/299408149_567492165172314_17294995719889457_n.jpg" width="400" /></a></div><p></p><p></p><p></p>PERGI<p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZChcNR86ZyhXRp7gqM_x-Zpsz3QtX-cwt5bKA7wpNO5MfZKr6PGKza1cVSMpTJxAUsIR-Tatltg4uDff7Vzyd6RhnEUppDG0O8Kb5bSOhtdRs6_w6YkdD6flmmWW86eLi1KsTUgp6cHp74BRY_S_LUZfXyL_lmvjCd-ua-UF6QUI0J9dZvXfrwtxqvQ/s2048/300630121_602531651427126_5559147232228093341_n.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="2048" data-original-width="1536" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZChcNR86ZyhXRp7gqM_x-Zpsz3QtX-cwt5bKA7wpNO5MfZKr6PGKza1cVSMpTJxAUsIR-Tatltg4uDff7Vzyd6RhnEUppDG0O8Kb5bSOhtdRs6_w6YkdD6flmmWW86eLi1KsTUgp6cHp74BRY_S_LUZfXyL_lmvjCd-ua-UF6QUI0J9dZvXfrwtxqvQ/s320/300630121_602531651427126_5559147232228093341_n.jpg" width="240" /></a><br />Sudah hampir 24 jam jalan ditempuh, tapi kami belum sampai juga di Jogja. Perjalanan dimulai tadi malam, kira-kira pukul 20.30. Pada jam sekitar itulah saya keluar dari halaman rumah, sendirian. Mengemudi sendiri, apalagi pergi sendirian, itu sungguh berat, lebih-lebih jika itu dilakukan setelah bertahun-tahun terbiasa pergi berdua. <br /><br />Selama beberapa bulan, sejak kewafatan istri saya, bahkan saya tidak mau pergi membawa Colt ini. Saya selalu terbayang sosoknya manakala melihatnya melalui spion tengah, dia yang terbiasa duduk di sana, di kursi tengah. Malam itu, saya menguatkan diri, meyakinkan diri ini, bahwa tidak ada seorang pun yang benar-benar sendiri.<br /><br />Saya memilih rute pantai utara Madura demi menjemput Khathir yang posisinya di Rubaru. Supaya tidak terlalu membuang jauh jarak dan kilometer, saya menentukan poin kencan: di rumah Qudsi yang posisinya sebelah barat rumah Khatir dan di utara rumah saya. Khatir datang ke situ sementara saya tidur lebih dulu sebelum dia datang. <br /><br />Pukul 13.30, kami bertolak. Khatir langsung pegang kemudi karena menyatakan diri masih melek di saat saya telah terus-terusan menguap. Jalan pantura Madura, kalau malam, kayak jalan pribadi saja, atau seperti jalan tol yang sudah di-booking oleh presiden: kosong plong dan kami nyaris tidak berpapasan dengan kendaraan roda empat kecuali hanya dalam hitungan jari tangan saja.<br /><br />Azan subuh belum berkumandang saat kami sudah lewat Arosbaya dan sudah mendekati Sebaneh, lima kilometer di utara kota Bangkalan. Lanjutlah kami ke Perumahan Nilam, ke rumah adik saya, perempuan, shalat di masjid perumahan. Kami istirahat di sana, sebentar. <br /><br />Sebetulnya, jauh hari sebelum itu, saya janjian sama Erwien yang rencananya juga mau ke Jogja dengan tujuan yang sama: menghadiri undangan ultah CJI yang ke-7. Namanya aral tak tentu datang, namanya uzur tak dapat ditebak, Erwien gagal dan saya berangkat duluan, mendahului teman-teman Madura lain yang konon akan berangkat 24 jam sebelum acara. <br /><br />Setelah makan di rumah adik itu, kami pun melanjutkan perjalanan ke Bungurasih, menjemput Anam Ibnu Achmed yang datang dari Malang dan ingin bergabung dalam trip ke Jogja kali ini. Anam langsung mancal mobil dan dia mengarahkannya ke pintu tol Warugunung. Saya duduk di tengah, tidur dengan pulas. <br /><br />Kami keluar di Kertosono lalu menyusuri Jalan Nasional menuju Nganjuk. Tujuannya adalah Loceret, ke rumah Zuk. Lokasinya tak begitu jauh dari pusat kota, hanya sekitar lima kilometer saja. </p><p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg15WiJiH3WhRRNyqw1L9om3YUXsBvF7iiJvUdVAYP-HPfPxl2jg_WNmYUph5jZco1t3F6h1lYLdZCCqUVaP_Z6DmZWzSPRWKgq0qq1oWo_U_E6R0Od_ygrypbDGNHSEmpwPCAP3coD9qG1CRAIO40AQtXebzxG0q3NeiQBnZu0JwcodrZJHL5m_6h3Ug/s1156/301610979_3344573739196661_3319017900413880567_n.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="867" data-original-width="1156" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg15WiJiH3WhRRNyqw1L9om3YUXsBvF7iiJvUdVAYP-HPfPxl2jg_WNmYUph5jZco1t3F6h1lYLdZCCqUVaP_Z6DmZWzSPRWKgq0qq1oWo_U_E6R0Od_ygrypbDGNHSEmpwPCAP3coD9qG1CRAIO40AQtXebzxG0q3NeiQBnZu0JwcodrZJHL5m_6h3Ug/w400-h300/301610979_3344573739196661_3319017900413880567_n.jpg" width="400" /></a></p><p><br />Pelukis ini menghadiahi saya sebuah lukisan. Saya sangat terharu karena tanpa perlu dijelaskan, saya dapat meraba makna lukisan itu, tak perlu kurator untuk mengenal bagian detil pada lukisan itu. Sebab, intinya, ia adalah lukisan tentang seorang perempuan yang mengenakan mukena dengan sebuah kitab di atas meja: perempuan itu pasti Nyai Makkiyah dan kitabnyan pasti Dalailul Khairat.<br /><br />Kami meninggilkan Loceret pada saat orang-orang mulai berangkat Jumatan. Rukhsah safar kami manfaatkan untuk menjamak duhur dan asar di Takeran, titik persinggahan kami berikutnya. Saya, untuk pertama kalinya, siang itu bertandang ke rumah Mochtar Han yang tinggi pintu depan rumahnya dua kali tinggi saya. Ngeri kaaali, bah! </p><p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicV7CU1NUScwPgeb5DWVUbnu-Bxy-FJnVqSoDIB60z-2mlxpkakpeKEX26TZRzMJe5CdLbJiDDYc0W_ufg9ueg9Sq8ZIDuJdgasX1ZS57GYxExMnIVta6NQ50YVtTvD5LyvtFh1SxD9qhqfA7h4zyi2STazSC3L0w66Fy7oDzLqh0oi4nAlrkygG0XJQ/s1870/300525436_405760498129959_1247966913956093830_n.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1870" data-original-width="1870" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicV7CU1NUScwPgeb5DWVUbnu-Bxy-FJnVqSoDIB60z-2mlxpkakpeKEX26TZRzMJe5CdLbJiDDYc0W_ufg9ueg9Sq8ZIDuJdgasX1ZS57GYxExMnIVta6NQ50YVtTvD5LyvtFh1SxD9qhqfA7h4zyi2STazSC3L0w66Fy7oDzLqh0oi4nAlrkygG0XJQ/s320/300525436_405760498129959_1247966913956093830_n.jpg" width="320" /></a><br /><br />Lama sekali kami ngobrol di sana. Bahkan, beliau ngundang teman-temannya untuk bercanda gurau dengan saya, antara lain Gus Hilmi (dari Joresan), Pak Rudi, dan Mas Jarwo, seseorang polisi yang katanya sering piket di perbatasan kabupaten. Untung saja beliau tidak pernah kenal saya sebelum ini karena, misalnya, kenal sehabis pasang kertas tilang ke mobil saya yang ketahuan melanggar marka, umapanya, eh, umpamanya (niru logat Kiai Zainuddin MZ).<br /><br />Sambutan Mas Hanafi ini luar biasa, sudah dibawain oleh-oleh dan mengisi penuh tanki bensin Colt saya yang memang selalu kehausan dan senantiasa merindukan SPBU, mereka mengantar kami hingga ke perbatasan Magetan – Karanganyar, di Cemorosewu. <br /><br />Trek yang kami lewati siang itu memang menjadi incaran saya sejak dulu. Trek itu cukup menantang, meskipun tidak terlalu berat bagi Colt yang percepatannya masih standar (4 maju, 1 mundur). Jalannya menanjak dan penuh tikungan. Kami melewati Magetan, Sarangan, Cemorosewu, Karang Pandan, dan berakhir di Palur: pertigaan akses jalan raya dari Sragen dan Tawangmangu. Trek ini sangat menakjubkan, dipenuhi bukan hanya tanjakan dan turunan, tapi juga kafe dan kedai-kedai makanan. Sore saja kabutnya sudah minta ampun. Lampu 'daymaker' jadi tak begitu berguna di sini. Untung saja Colt saya masih punya senjata andalan: lampu jauh berwarna kuning.<br /><br />Turun dari ketinggian 1800 mdpl, kampas rem mulai menguarkan aroma hangus. Untunglah Mas Hanafi masih ngajak singgah sejenak di kafe Lagonder. Di situlah mobil diistirahatkan dan pikiran saya ditenangkan. Hari ini benar-benar menyenangkan sekali. <br /><br />Saya duduk, menyapukan pandangan, takjub, bahagia. Meskipun tampak ada yang kurang, saya tetap harus bersyukur dan terus bertafakur: bahwa sebanyak apa pun terima kasih diucapkan, tak pernah cukup bahkan untuk sekadar membalas satu tarikan nafas saja; sedalam apa pun merenung, bahkan pikiran kita tak mampu mencapai pemahaman akan keindahan ciptaan segala sarwa ini, termasuk bulu-bulu alis yang tumbuh rapi di atas dasar warna kulit seorang perempuan yang bersih sekali. <br /><br />* * *<br /><br />Pukul 20.05, kami mencapai Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) yang sering dikira Universitas Negeri Solo. Bu Siti Muslifah menjemput ke TKP karena, kata dia, ngirim "share location" ke saya itu percuma (karena saya tidak pakai WhatsApp), makanya harus dijemput dan dikawal menuju rumahnya. “Tidak pake WA tapi bikin repot orang!” Sepertinya beliau bilang begitu, menggerutu. Ataukah itu hanya suara sizofreniak? Ha, ha, ha. “Ya, memang, tugas saya itu merepotkan orang lain, Bu,” seru saya, tapi dalam hati (berseru di dalam hati itu kayak apa, ya?). “Tapi, cuman itu yang merepotkan, yang lain insya Allah banyak memudahkannya, semoga.” <br /><br />Kami duduk dan ngobrol lama. Han Gagas datang belakangan karena sibuk dengan penutupan lomba Agustusan. Kami bicara masalah kos-kosan, biaya hidup dan segala penghuninya yang ada di sana. Perubahan banyak terjadi. Gaya hidup, biaya hidup, semuanya jauh berbeda ketimbang masa kami, dulu, masih menjadi mahasiswa. Itulah salah satu tema permbicaraan kami, bukan masalah-masalah pelik, apalagi masalah politik.<br /><br />“Yang depan ini, sana, sananya lagi,” kata Bu Siti sembari menunuk-nunjuk lokasi asrama, “kos putri semua...”<br />“Saya ingin residensi di sini saja,” kata saya. Residensi di sini pasti lebih menarik daripada di Eropa, batin saya. Ha-ha-ha, kami lantas tertawa bersama-sama.<br /><br />Sebetulnya, Mbah Darmawan Budi Suseno meminta saya bertandang ke rumahnya, di Kafe Matoa, Colomadu, tapi saya minta maaf karena hari sudah malam. Akhirnya, kami melanjutkan perjalanan dan tiba di Jogja pukul 23.00 dalam keadaan mengantuk, tapi, eh, malah sudah ditungguin Edi Mulyono dan Binhad Nurrohmat di Kafe Lehaleha ... Untuk sementara, capeknya durasi 27 jam perjalanan, 554 kilometer, sejenak kami lupakan... <br /><br />“Apa tidak capek?” tanya mereka.<br />“Capek, ya, jelas,” kata saya. “Namun untuk menguranginya, saya ciptakan kebahagiaan sebelum dan selama perjalanan. Bahagia akan membuat capek kita kalah, dan rasa itu jadi tak berdaya, gantian kita yang berjaya.”<br /><br />SEHARIAN DI JOGJA<br /><br />Seharian, Sabtu 27 Agustus, saya cuman duduk-duduk di Kafe Leha-Leha, menerima kawan-kawan yang datang silih berganti, udah kayak dokter saja. Sorenya baru diajak makan oleh Batul dan Mahrus dan diminta berkunjung ke rumahnya. Bakda Maghrib, barulah kami pergi ke Parangtritis.<br />Malam itu, bersama rombongan dari Banten, saya nginap di sana. Sementara yang lain banyak yang mengingap di Gamping, di rumah Pak Benta yang secara tempat parkir memang memungkinkan karena halamannya luas.<br /><br />Ahad, 28 Agustus, barulah saya mengikuti acara Colt. Pak Bambang dapat hadiah kulkas tapi beliau tidak datang karena kurang sehat. Seorang ibu, saya lupa namanya, malah dapat doorprize sebuah mobil Colt Bagong. Beliau sangat bahagia dan terharu. Saya dapat jatah memberikan sambutan di tempat itu, pada sesi awal acara.<br /><br />Sebetulnya, saya hanya berandai-andai… andaikan acara silaturahmi seperti ini dibuat lebih fokus pada perseduluran dan perbengkelan, rasanya juga tak akan kalah bermanfaat, semisal ada sesi berbagi pengalaman dan tips mengingat Colt itu adalah mobil tua yang walaupun perkasa namun kerja kesehariannya kayak kerja rodi saja. Dan yang jadi pertanyaan bagi saya, mengapa di acara-acara kopdar seperti ini selalu ada pentas dangdutnya? <br /><br />Saya bukan anti-Dangdut, tapi jelas saya (secara pribadi) harus berkeberatan atas kegiatan yang mengundang syahwat. Apakah itu karena faktor pribadi saja? Tentu saja tidak! Sebab, saya tidak menontonnya. Apa yang saya pilih adalah karena visi dan cara saya bersikap yang semua itu saya ketahui dan saya pelajari dari nenek-moyang dan guru-guru saya. </p><br /><br /><p><br /><br /> </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyNa3cn3VFxRjIduimWEWOMwjcb9hQVg8zeXkJ82KzpGaUc9_iJbV4aw7nRS_U5n_8BtgKRLaqVx2UEvRcIwZeztYSACSPjpUxkV-W4zvz3fqji6NejAK6HBlVRYdZS9qB11a-Y_MJZY-p5YcqwTPqPKIaFklqKJ3uYmLHTdjgJuHhSV-g4uA0rH4RRg/s1020/292758754_418786046793618_6845773245497042129_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1020" height="301" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyNa3cn3VFxRjIduimWEWOMwjcb9hQVg8zeXkJ82KzpGaUc9_iJbV4aw7nRS_U5n_8BtgKRLaqVx2UEvRcIwZeztYSACSPjpUxkV-W4zvz3fqji6NejAK6HBlVRYdZS9qB11a-Y_MJZY-p5YcqwTPqPKIaFklqKJ3uYmLHTdjgJuHhSV-g4uA0rH4RRg/w400-h301/292758754_418786046793618_6845773245497042129_n.jpg" width="400" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKL6tbhn26a4AJC9eIE6j4nie0Ocicto2gHRB8TK5bkQ_wHqt-bymRhXAlreTOKSeiw8kILOfiALID8wzB7qsjKlAyBjtD3WUlGnoQJr4kCrIcs0OtkjFxJDbvK6z5LcQ5j7IotCvttIpvH9-R-9AHW1sCJecSjo2yWRWQfPOLvsVzbGZhi2FxBr7eiQ/s1020/293928925_375345688082835_1856689257040211088_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1020" height="301" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKL6tbhn26a4AJC9eIE6j4nie0Ocicto2gHRB8TK5bkQ_wHqt-bymRhXAlreTOKSeiw8kILOfiALID8wzB7qsjKlAyBjtD3WUlGnoQJr4kCrIcs0OtkjFxJDbvK6z5LcQ5j7IotCvttIpvH9-R-9AHW1sCJecSjo2yWRWQfPOLvsVzbGZhi2FxBr7eiQ/w400-h301/293928925_375345688082835_1856689257040211088_n.jpg" width="400" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvWpS35UqcFSmd0saW4k19CPphkUVNzopt0PhMS_NhO4MJX8x1vDXfNgy5P2dsb5aLyTPW28NWD6zoFluCc_T_07VOiNo4tDW2JVDX1iPyebJV7QBiClVCnCXsOQHvQpx1zZoHuCHsMFQy3ZJPpp1MUoLMKHQCKv4pW9lSL5TU3iza44zT_7PFucLx5g/s1020/295514676_743026900122125_2853596688363354173_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1020" height="301" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvWpS35UqcFSmd0saW4k19CPphkUVNzopt0PhMS_NhO4MJX8x1vDXfNgy5P2dsb5aLyTPW28NWD6zoFluCc_T_07VOiNo4tDW2JVDX1iPyebJV7QBiClVCnCXsOQHvQpx1zZoHuCHsMFQy3ZJPpp1MUoLMKHQCKv4pW9lSL5TU3iza44zT_7PFucLx5g/w400-h301/295514676_743026900122125_2853596688363354173_n.jpg" width="400" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDxiIBnhx1d02WcrA5zP-GbNl0mB05Aqk4QnCdDtkVxcdxHx-P2K5MPAU6heDgp3qYUELnFpcnrHE9VtLhrdUKFbwljBRkFT2aQDK9fyxY3rS3Z8bC774ShXqtcFG2c3EPF4XUi0Dw0oST5D2kbELk67thLYT_ooCrU0-567AcFXlw2DC-Yg4Jyi9q1w/s1020/299181602_444588624356280_7324216958315488689_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1020" height="301" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDxiIBnhx1d02WcrA5zP-GbNl0mB05Aqk4QnCdDtkVxcdxHx-P2K5MPAU6heDgp3qYUELnFpcnrHE9VtLhrdUKFbwljBRkFT2aQDK9fyxY3rS3Z8bC774ShXqtcFG2c3EPF4XUi0Dw0oST5D2kbELk67thLYT_ooCrU0-567AcFXlw2DC-Yg4Jyi9q1w/w400-h301/299181602_444588624356280_7324216958315488689_n.jpg" width="400" /></a></div><br /><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0NQS6606xYTQsjdrCnzDWwmnk--eqXt75d3OyCUKWlT29nuJlU8RF_953gcHImJyXFiniZfM5qXoNOAjOMzaEavbF2zEWTexR-MBpP1GVOQX-9eo4KYpiQ4xYCP7lU6Rz6kx0-c59nLaVvpXlzvwmwsLj50nUjlLrnUr7qYivsPQkU1k36sV9DQOPWw/s2040/299975907_900230684700398_598217536233891885_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1536" data-original-width="2040" height="301" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0NQS6606xYTQsjdrCnzDWwmnk--eqXt75d3OyCUKWlT29nuJlU8RF_953gcHImJyXFiniZfM5qXoNOAjOMzaEavbF2zEWTexR-MBpP1GVOQX-9eo4KYpiQ4xYCP7lU6Rz6kx0-c59nLaVvpXlzvwmwsLj50nUjlLrnUr7qYivsPQkU1k36sV9DQOPWw/w400-h301/299975907_900230684700398_598217536233891885_n.jpg" width="400" /></a></div><br /><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsavIFQmlve4o6EsUuJKABJywQ0NEgDKrJxTWBgmTAYgSwcEPGgtDZH9HREuan22uyxt03OtkgITDqdOpPjODIbAadqA8FvwRu4Vf1ZO9ATh1onLIOKdIbt9BsnAxfLXaHftGWpnhDktnrYLqfCHeVn4nDqUmvA0bhZH9xghexMjhJFyk1ZWsDFAM1Rg/s2040/300052154_752489255859305_1209068195668804710_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1536" data-original-width="2040" height="301" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsavIFQmlve4o6EsUuJKABJywQ0NEgDKrJxTWBgmTAYgSwcEPGgtDZH9HREuan22uyxt03OtkgITDqdOpPjODIbAadqA8FvwRu4Vf1ZO9ATh1onLIOKdIbt9BsnAxfLXaHftGWpnhDktnrYLqfCHeVn4nDqUmvA0bhZH9xghexMjhJFyk1ZWsDFAM1Rg/w400-h301/300052154_752489255859305_1209068195668804710_n.jpg" width="400" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlwdCYOzvqFrGEhCqk37o1xPVR6o5f6nD_viKEg4cO6UKU7Qgo6vNB-mk0WspniUiaxdsRd5RyDmi_4pDEYf2HOeDJS-qjYi6pcqg_3CjO32Uw3iFhYggoE7-PxXp5G0HWvOsavGc8Fv91iwNIF-RHOnu5LMtVQirFNaiwtU2P7ine5o0iIeqXDcbCQg/s1020/300378719_1151396899111028_4526097176172704442_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1020" data-original-width="768" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlwdCYOzvqFrGEhCqk37o1xPVR6o5f6nD_viKEg4cO6UKU7Qgo6vNB-mk0WspniUiaxdsRd5RyDmi_4pDEYf2HOeDJS-qjYi6pcqg_3CjO32Uw3iFhYggoE7-PxXp5G0HWvOsavGc8Fv91iwNIF-RHOnu5LMtVQirFNaiwtU2P7ine5o0iIeqXDcbCQg/w301-h400/300378719_1151396899111028_4526097176172704442_n.jpg" width="301" /></a></div><br /><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSBMU7EKp8alggyo4jr5NHvVj-C15AX6chc-MH4GEoGfs0K5_PLlaDFptmE8xWOcxsP3e-FblIrg1LwdzEnI80fef7Wf3qyawdp8X4JHYAWkXjIPxESQ8PzE_Oo4AVcyjyGE64MrvXpyWHVdm4oJUUbRzroV124-BxAz9VwqCKkgEnnrSHcxRBKHULPg/s2040/300905807_768913767663134_7795877819837323623_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1536" data-original-width="2040" height="301" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSBMU7EKp8alggyo4jr5NHvVj-C15AX6chc-MH4GEoGfs0K5_PLlaDFptmE8xWOcxsP3e-FblIrg1LwdzEnI80fef7Wf3qyawdp8X4JHYAWkXjIPxESQ8PzE_Oo4AVcyjyGE64MrvXpyWHVdm4oJUUbRzroV124-BxAz9VwqCKkgEnnrSHcxRBKHULPg/w400-h301/300905807_768913767663134_7795877819837323623_n.jpg" width="400" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZECajHCw-H4quSITDNI1AhYfvBW671orCI3ETc30BOylJ9MWBJHkfnQzlnLTK6O_zyUhj9PL4HFl7quOzeYFJtL-47NfZc22eOqfdLsCZhMBHMHOAUSUfK3v-rW9bmkszoVVUdECBmVLP3BYKtcbrExijAxVYoluK4SgAf0m4p5pZtYYVdcpgmIY4iw/s2040/301719969_618462029856805_153332390533024242_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2040" data-original-width="1536" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZECajHCw-H4quSITDNI1AhYfvBW671orCI3ETc30BOylJ9MWBJHkfnQzlnLTK6O_zyUhj9PL4HFl7quOzeYFJtL-47NfZc22eOqfdLsCZhMBHMHOAUSUfK3v-rW9bmkszoVVUdECBmVLP3BYKtcbrExijAxVYoluK4SgAf0m4p5pZtYYVdcpgmIY4iw/w301-h400/301719969_618462029856805_153332390533024242_n.jpg" width="301" /></a></div><p></p><p> </p><p> </p><p> </p><p> <br /></p><p>PULANG <br /><br />“Kalau nanti kemaleman, nanti aku kesiangan nyampe di Jombang.”<br />“Emang kenapa?” <br />“Soalnya, habis dari Jombang, kami mau ke Surabaya dan diperkirakan tiba di sana pukul 9 pagi. Jam segitu, warung Ayam Gringging Lombok sudah buka. Aku mau ditraktir teman makan.”<br />“Ah, gampang, pasti nutut, Kok.”<br />“Loh, tapi mobilku kan tidak bisa ngebut terus-terusan di tol, beda cerita kalau aku bawa mobilmu itu...” Saya menunjuk sebuah mobil yang parkir tak jauh dari tempat saya duduk: Toyota Fortuner, GR <br />“Jangan itulah, soalnya anakku masih senang banget. Gimana, mau Venturer saja?”<br /><br />Hati saya goyah. Pikiran bimbang, antara mengiyakan atau tidak. Hampir saja saya iyakan, tapi untung saya segera ingat, bahwa jika Colt saya ditinggal di Jogja, maka yang harus menanggung repotnya tetaplah saya karena tidak sembarang orang boleh mengemudikannya, lagi-lagi saya yang harus mengembalikan si Venturer untuk menjemput si Colturer. <br /><br />“Oh, maaf, gak jadi. Biar aku pulang nanti saja, tetap naik Colt.”<br />“Ya, deh, tapi tunggu sebentar lagi.”<br /><br />Setelah mengulur-ulur waktu, akhirnya kami diperkenankan untuk pergi meninggalkan Kafe Main-Main, menjelang waktu—mungkin—pukul duabelas malam dan kalaupun kurang, tak seberapa. <br /><br />Malam itu, kami melewati jalan Solo yang mulai sepi. Yang membedakan, di Jawa, malam pun masih banyak sepeda motor, beda dengan di Madura. Jalan 70 km / jam pun sudah cukup kencang sebetulnya. Kecepatan segitu sangat saya sukai asal stabil, daripada lari sampai 90 atau 100 km / jam tapi sering ngerem dan/atau menghindari rintangan yang mengharuskan kita ngerem sampai mengkeret. Inilah salah satu alasan saya kenapa tidak membeli Venturer dan pilih Colturer saja, biar tidak ngebut dan terpaksa jalan pelan saja. <br /><br />Anam—yang kala itu pegang kendali—sempat kebingungan di dekat terminal Tirtonadi. Rupanya ada perbaikan (atau pembuatan) jalan melingkar, dekat terminal. GPS menuntun ke arah yang tidak benar, entah karena stress atau karena sinyal yang lemot. Walhasil, setelah beberapa kali salah, kami tidak jadi lewat Taman Jurug yang tembus ke Palur sebagaimana dikehendaki, tapi lewat by pass yang mecungul tak jauh dari pintu tol Karanganyar. <br /><br />Dan perjalanan lewat tol tak perlulah diceritakan karena sudah pasti begitu-begitu saja, lebih-lebih trip ke Jogja sudah saya jalani berkali-kali. Sebetulnya, saya agak ragu karena kami buat target masuk pagi ke Jombang, yakni demi melalap penganan nostalgia, yaitu ketan urap Merdeka. Tapi, untunglah, perjalanan lancar dan tanpa kendala. <br /><br />Mobil parkir sejenak di Ngawi untuk pipis lalu saya yang ganti mengemudi. Adapun laju kendaraan saya bawa dengan kecepatan konstan 95 km / jam, sampai di Masjid Moeldoko, pintu keluar Kertosono. Jalan arteri kami susuri dengan kondisi jalan yang ternyata sudah tidak menarik lagi. Sepeda motor bagai laron mencari cahaya. Semua alat transportasi berroda dua ini berseliweran di tengah kegelapan, bikin kepala langsung puyeng rasanya. <br /><br />Sungguh, saya jadi ingat Ben Sohib yang bilang, bahwa sepeda motor di Indonesia itu, mengingat rangkanya, cc-nya, dan kondisi jalannya, sangatlah tidak pantas dibawa ke jalan raya. “Itu cukup beredar di komplek-komplek saja. Itu cuman alat, bukan alat transportasi. Jaminan keamanan dan keselamatannya sangat-sangat tidak terpenuhi.” Begitu katanya, kurang-lebihnya. Saya mikir, agaknya dia banyak benarnya mengingat data yang menunjukkan bahwa hampir 70 persen kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa itu memang selalu melibatkan sepeda motor. Tapi itu konon, saya lupa datanya ambil di mana. <br /><br />“Subuh-subuh begini orang pada mau ke mana, ya?” tanya saya pada Anam.<br />“Ya, pada mau ngantor, Kak.”<br />“Kok berangkatnya subuh?”<br />“Kantor mereka jauh. Wong waktu saya mau berangkat ke Surabaya itu, waktu saya nunggu bis di depan Taspen (Malang) itu kan habis subuh, sepeda motor udah sangat banyak. Orang Malang yang kerja di Pandaan dan sekitarnya itu ya berangkat jam-jam segitu.”<br />“Ooo...”<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_9TFqzybnMZDEGxMQURik7D0yT2YaNvJt-t7qmfD8q1AHxbrad1CClkqfFQfqN7oIrTtAssmAJecX4B2ZY2AzxfenuOlnZBeaaoI1Wc_DG4CmGAOgtgNbDlqMZVT9q4fzgur25nkPe-UFgG1xoOl2HbDdfAheBOtGqoSkLGOqGsZtgoZlIgyguj5tjQ/s2040/301208969_5459481414091103_7429483152452395781_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1536" data-original-width="2040" height="241" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_9TFqzybnMZDEGxMQURik7D0yT2YaNvJt-t7qmfD8q1AHxbrad1CClkqfFQfqN7oIrTtAssmAJecX4B2ZY2AzxfenuOlnZBeaaoI1Wc_DG4CmGAOgtgNbDlqMZVT9q4fzgur25nkPe-UFgG1xoOl2HbDdfAheBOtGqoSkLGOqGsZtgoZlIgyguj5tjQ/s320/301208969_5459481414091103_7429483152452395781_n.jpg" width="320" /></a><br />Setelah shalat subuh di masjid dekat pondok, kami masuk pondok Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, dalam keadaan ketan urap sudah siap dihajar. Gus Binhad menyuguhkannya untuk kami, sedangkan pondok menyuguhi kami dengan pemandangan paling menyenangkan: lalu-lalang santri mau belajar. Dua kenikmatan ini berpadu di pagi hari.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbf73ND2lbm2w7Dg5TJt_6FTnkrnZXfsdla1mykQLP02E_g5frNcMDeiVlHslfI0LeXwIsuSfiJcmlgxj64ogDDGIG53GRGNuBiTzgRVMm3jnMoKwHMxmjUtSFG0ZOwG-orjPZ3xt6Q5l46wgk3mYbCP-_CwBM_7Hm6696zqMNiBKr-SHD-Z149StQwg/s1920/302145393_610983947249475_5521203462167303318_n.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1080" data-original-width="1920" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbf73ND2lbm2w7Dg5TJt_6FTnkrnZXfsdla1mykQLP02E_g5frNcMDeiVlHslfI0LeXwIsuSfiJcmlgxj64ogDDGIG53GRGNuBiTzgRVMm3jnMoKwHMxmjUtSFG0ZOwG-orjPZ3xt6Q5l46wgk3mYbCP-_CwBM_7Hm6696zqMNiBKr-SHD-Z149StQwg/s320/302145393_610983947249475_5521203462167303318_n.jpg" width="320" /></a><br />Kami minta izin segera pergi karena ngejar jam tayang pukul 9 di Surabaya. Namun, dalam praktiknya, dalam perjalanan pulang lewat jalan Nasional/arteri, kami masih singgah ke makam sahabat kami, Haris, di Corogo. Dia meninggal setahun yang lalu, kira-kira sebulan sebelum istri saya. Tempat istirahatnya ditempatkan di pemakaman uumum, di sebelah utara kampung, yang posisinya berada tak jauh di belakang kantor Samsat Jombang (berhadap-hadapan dengan Pabrik Pei Hai). <br /><br />Di Surabaya, kami singgah di Ayam Gringging Lombok yang ada di Waru. Waktunya sudah telat, sudah jam 10 soalnya. Dan mestinya, yang bayar ini adalah Doni Bemo, kawan saya yang pertama kali hendak mentraktor, eh, traktir saya.. Tapi karena hari itu dia berhalangan (namun berjanji akan menunaikan janji di lain kesempatan), akhirnya saya yang bayar karena liur terlanjur meleleh dan hasrat kuliner terlanjur meronta-ronta. <br /><br />Perjalanan ke Madura, dari situ (setelah menurunkan Anam di pintu keluar Terminal Purabaya karena dia harus segera ke Malang), tinggal berdua saja: saya dan Khatir. Kami melewati kota Surabaya via Ngagel, tembus Kedungcowek, dan terus lanjut ke timur, pulang dan tiba di rumah dengan selamat. <br /><br />Biasanya, setelah saya tulis catatan perjalanan, ada saja yang bertanya: habis berapa bensinnya? <br /> </p><p>Ah, sudahlah, jangan tanya-tanya. Dulu, jika saya melak</p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><p><br />ukan kalkulasi, saya bikin perhitungan yang presisi, bukan cuman pakai ukuran tangki penuh ke tangki penuh selanjutnya lalu dibagi angka jarak tempuh. Biasanya, saya memakai perhitungan pakai jeriken demi pengukuran yang pasti, apakah Colt ini bisa berjalanan 1:11 atau 1:12,5 (data terbaik), atau malah 1:8. Akan tetapi, cara macam itu nyaris tidak pernah saya lakukan lagi. Jalan saja, habis isi lagi; jalan lagi, tidak mogak bisa dibuat berjalanan normal, apalagi sudah terbukti bisa melibas tanjakan Sarangan di Magetan, Puncak di Bogor, dan Bedugul di Bali, itu sudah lebih dari cukup untuk bersyukur dan menyenangkan diri ini.</p><p> </p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixUCOye2t1Bxekf0SvfDCtIE-ylTHxWfWqBzJHReVMQy_OMDwYVCEYSQnGpdUN8yXlTkfljm4Oc33jd_Wx8r_o-a9ARQl3hsXtvMLLpz8FiGfUF-_eGOqlZDOk0sSu98Wmm1ERS5qLi2zzXkdWrZ-aOie45yoTwkNPcHF07DdmbilcuC1HRJ9EZ6BxUQ/s2040/301982348_4771121979653893_751477250545657859_n.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1536" data-original-width="2040" height="301" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixUCOye2t1Bxekf0SvfDCtIE-ylTHxWfWqBzJHReVMQy_OMDwYVCEYSQnGpdUN8yXlTkfljm4Oc33jd_Wx8r_o-a9ARQl3hsXtvMLLpz8FiGfUF-_eGOqlZDOk0sSu98Wmm1ERS5qLi2zzXkdWrZ-aOie45yoTwkNPcHF07DdmbilcuC1HRJ9EZ6BxUQ/w400-h301/301982348_4771121979653893_751477250545657859_n.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">dapat posisi samping panggung, jejer doorprize<br /></td></tr></tbody></table><p> <br /></p><p></p><p> </p><p> <br /></p>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-83113232458765147602022-05-29T08:25:00.002+07:002022-05-29T08:25:40.486+07:00Takziyah ke Demangan, Bangkalan <br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgICESoKReOjIn7aLPZjfZQjAQgYuYdtKuggsERjC8nxmtKWZONpLINFDJaO4oQUW3QIxFCJ45eLgVjOfVQlODKXqkOd-mX0HhcErahoHUaTdDq-1r2DgnVDf3XOmJqxBh5CfZ8Qk8jhbKXvqsN9mZR0Po8T0VkiMr2S5FCiihmheIx4p331v-HK8NyTg/s1040/282204948_422892462701096_1715407692959557855_n.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="780" data-original-width="1040" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgICESoKReOjIn7aLPZjfZQjAQgYuYdtKuggsERjC8nxmtKWZONpLINFDJaO4oQUW3QIxFCJ45eLgVjOfVQlODKXqkOd-mX0HhcErahoHUaTdDq-1r2DgnVDf3XOmJqxBh5CfZ8Qk8jhbKXvqsN9mZR0Po8T0VkiMr2S5FCiihmheIx4p331v-HK8NyTg/s320/282204948_422892462701096_1715407692959557855_n.jpg" width="320" /></a></div><p>27 MEI 2022</p><p> </p><p>Mengantar ibu dan bibi untuk takziyah ke Demangan (ponpes Syaikhona Cholil), Bangkalan, Jumat lalu, saya sempat merencanakan jumpa kawan Erwien, di Bangkalan. Jika ke Demangan saya mau turut berduka cita atas wafatnya Kiai Fakhrillah Aschal, maka bertemu Erwien adalah bersuka cita untuk kesempatannya hendak kopdar triwulan di Batu (karena biasanya selalu gagal kopdar; dan entahlah untuk yang kali ini, saya gak tahu). Dua ungkapan berbeda itu sama-sama mengandung ‘unsur’ Bangkalan.<br /><br />Saya berangkat selepas shalat Jumat, tepatnya pukul 13.11. Dalam perjalanan 130 kilometer ke arah barat itu sudah sesuai perkiraan: tiga jam sampai Tangkel dan tambah entah berapa menit lagi (biasanya 30 menit) lagi ke lokasi karena sangat bergantung pada padatnya arus lalu lintas yang biasanya cenderung tersendat-sendat.<br /><br />Kami melakukan shalat ashar di Blega. Setelah itu, kami berangkat lagi, langsung menuju Demangan. Seperti dugaan saya sebelumnya, Jumat sore itu pasti macet, tak hanya di Madura, tapi di manapun. Pasalnya, rata-rata para perantau itu pulang (kampung) sehabis kerja kantoran di dalam sepekan, terutama mereka yang ‘melaju’, yang kerja di ibu kota atau di kota besar tapi keluarga dan anak tetap tinggal di desa. Yang demikian itu sangatlah banyak di sekitar kita.<br /><br />Ke Demangan, kami takziyah untuk kewafatan Kiai Fakhrillah Aschal, putra keempat dari Kiai Abdullah Schal. Kami diterima oleh Nyai Muthmainnah, putri pertama Kiai Abdullah, di kediamannya yang notabene memang berhadap-hadapan dengan rumah duka sebab sore itu Kiai Fakhruddin, pengasuh pengganti, sedang bepergian ke Sidogiri. Di ruang tamunya yang luas, kami dijamu makan bahkan juga dipersilakan shalat di sana. <br /><br />Sebetulnya, kehadiran kami ini kurang pas kalau disebut takziyah secara definitif karena yang diutamakan adalah kunjungan pada tiga hari pertama kewafatan. Masyarakat (Madura) bahkan punya kebiasaan hingga hari ketujuh kewafatan. Selepas itu, mereka beraktivitas kembali seperti hari-hari biasa. Nah, berkunjung di luar hari itu dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas mereka. <br /><br />Akan tetapi, di samping karena tidak semua orang punya waktu senggang untuk takziyah dan di sisi lain mereka juga merasa terpanggil untuk tetap menyampaikan rasa duka ataupun—sebagian mungkin—sekadar ‘setor muka’, maka akan tetap selalu ada satu-dua orang yang datang selepas hari ketujuh, bahkan terkadang tetap banyak jumlahnya. Dan kami ini adalah di antara golongan itu. idak apa-apalah jika kunjungan ini tidak disebut takziyah sesuai defini dan konvensi. Kita pakai istilah lain agar tetap punya ganjaran, yaitu kunjungan silaturahmi.<br /><br />Di belakang kami, ada dua mobil lagi, dua Avanza. Yang pertama adalah rombongan Dik Khalid dan Ubaid. Mobil kedua adalah rombongan Pamanda Bahrussalam dan umminya. Avanza kedua bahkan baru datang menjelang kami pulang. <br /><br />Datang menjelang maghrib, pulang menjelang isya, kami terus ke Nilam, depan Bangplaz, ke rumah adik saya yang mengelola SD Assalam. Di situlah saya menelepon Erwien dan ternyata gagal ketemuan karena Erwien sedang dalam perjalanan menuju rumah kawannya sementara saya sudah siap untuk pulang. <br /><br />Sebentar saja di sana, akhirnya kami pulang pada pukul 20.30. Pergi-pulang, 260 kilometer, saya di belakang kemudi sementara adik saya di sisi kiri. Oh, iya. di Madura, jalan rayanya sangat sepi di malam hari. Belum tiga jam, kami sudah sampai rumah, padahal jarak tempuhnya sama, 130-an kilometer; kecepatannya juga sama, antara 60-80 km/jam. Jadi, ruwetnya lalu lintas di jalan sangat mempengaruhi lancar-tidaknya perjalanan, bukan semata-kata faktor kecepatan. <br /><br /><br /></p>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-44679703328949137582022-05-28T11:11:00.001+07:002022-05-28T11:22:26.252+07:00Syawalan ke Pekalongan (Pergi)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh82kHclOGGeP5dpjGdimUCra0IhecY77_9uRXOtutAvjMbghDeEK5vp5IeMppI9_sDbRqoHg5tyQ05Kl95kYZKhf7TXSdFs4dESdHA6shRz5bKmXt2SNAeiWeRZTdzDbgjTSiFyDzn41OaMPeCrVtJwH5QvkZy3DKP2l4JP6qj9UE91XMQ7Nc3g9WDhg/s2048/279661041_10228206051478053_8935003825042880511_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="944" data-original-width="2048" height="185" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh82kHclOGGeP5dpjGdimUCra0IhecY77_9uRXOtutAvjMbghDeEK5vp5IeMppI9_sDbRqoHg5tyQ05Kl95kYZKhf7TXSdFs4dESdHA6shRz5bKmXt2SNAeiWeRZTdzDbgjTSiFyDzn41OaMPeCrVtJwH5QvkZy3DKP2l4JP6qj9UE91XMQ7Nc3g9WDhg/w400-h185/279661041_10228206051478053_8935003825042880511_n.jpg" width="400" /></a></div><p><br />4 Mei 2022<br /><br />Syawalan tahun ini (1443H/2022M) dipenuhi keharuan. Ia adalah fase hidup saya yang untuk pertama kalinya menjalani puasa-lebaran-syawal hanya dengan anak-anak, tanpa istri, setelah 18 tahun kami hidup bersama. Agar tidak terlalu larut dalam kegalauan, akhirnya saya merancang bepergian pada saat-saat mestinya ada di rumah, yaitu pada tanggal muda bulan Syawal. Anggap saja ia “syawalan”: bertandang, silaturahmi, dari satu pintu ke pintu rumah teman lainnya. <br /><br />Saya memilih Pekalongan. Wow, kok jauh? <br /><br />Jawab; harapannya adalah agar saya bisa singgah di beberapa titik, ke rumah/orang yang lokasinya berada di jalur Pantura, jalur yang sangat jarang saya lewati naik mobil, juga agar bisa sowan ke Kanzus Sholawat, ke Habib Luthfi bin Yahya. Saya bahkan merancang untuk larat ke barat, mentok di Tegal atau Losari lalu pulang lewat selatan, lewat Kebumen, dst. Tetapi, karena satu target utamanya (yaitu sowan Abah Habib Luthfi bin Yahya) tidak belum kesampaian (saya sempat sowan pada dua kunjungan sebelumnya), rencana menambah rute perjalanan pun gagal. Saya (dan yang lain) memilih untuk putar haluan, balik kanan, pulang, meskipun sebelum berangkat kami memang sudah sepakat untuk menerima kenyataana yang dihadapi, seperti apa pun itu.<br /><br />Saya bersyukur karena perjalanan kali ini masih menyimpan banyak alhamdulillah-alhamdulillahnya, seperti bertemu dengan kawan-kawan yang sama sekali tidak diperkirakan sebelumnya. Pada akhirnya, saya sadar, bahwa bepergian di tanggal muda bulan Syawal itu sangat mungkin akan bernasib begitu. Banyak kawan yang ternyata pulang kampung atau mudik ke rumah istrinya, atau entah ke mana. Saya kira, orang mudik itu hanya orang Jakarta, ternyata tidak. <br /><br />“Kamu, sih, yang berpikiran bahwa orang itu di rumah saja kalau lebaran, soalnya kamu cuman melihat kamu sendiri yang selalu begitu, gak kemana-mana,” tegur salah seorang paman saya, menyalahkan timing dalam melakukan perjalanan saat saya berkisah kepadanya sepulang dari Pekalongan. <br /><br />*** <br /><br />Berangkat berlima (Anam, Miftah, Abdullah—dipanggil Cak Badi, dan seorang santri, Atiq), saya keluar dari pekarangan rumah pukul 22.00, 4 Mei 2022 (malam Kamis, 4 Syawal). Mobil tercatat telah bertolak dari pekarangan rumah Anam—yang jaraknya 9 kilometer dari rumah saya; dia juga pernah bareng saya keliling Jawa di bulan Oktober 2021 yang lalu—pada pukul 22.30. Mobil cus sampai Sampang di bawah kendali saya sendiri.<br /><br />Selepas Sampang, saya tidur dan Anam yang mengganti. Saya tidak tahu apa saja yang terjadi di perjalanan kecuali terbangun saat mobil berasa pelan. Dari bangku belakang, saya perkirakan, lajunya sekitar 60 km / jam saja, sangat jarang menyentuh 80 km per jam (sebab hal itu bisa diketahui tanpa harus melihat <i>speedometer</i> karena <i>buzzer</i>-nya akan berbunyi nit-nit-nit). Yang ajaib, begitu lowongnya jalan raya hingga nyaris membuat saya tak percaya kalau kami sedang melintasi Jalan Nasional yang biasanya ruwet oleh seliweran kendaraan-kendaraan besar.<br /><br />“Ini di mana?”<br />“Lamongan.”<br />“Oh, sepi sekali, saya kira di hutan apa gitu.”<br />“Iya, dari tadi memang seperti ini.”<br /><br />Seperti itulah percakaan yang terjadi di antara kami, hanya sesekali saja, kecuali Anam dan Cak Badi yang ngobrol sepanjang jalan karena mereka berdua duduk di depan, bertandem. Yang lain di tengah dan di belakang, tidur atau main ponsel.<br /><br />Memilih ruas jalan arteri di saat jalanan sepi adalah keberuntungan. Tak ayal, perjalanan malam itu terasa sangat menyenangkan. Kami tak perlu merogoh kocek buat membayar tol, lebih-lebih karena saya mengingat tanggal 22 Syakban yang lalu (seminggu sebelum Ramadan [25 Maret 2022]) waktu menghadiri Jumat Kliwonan di Kanzus Sholawat, di Pekalongan. Kala itu, nyaris semua rute yang kami lewati adalah tol Trans-Jawa. Top up 800.000 ribu tak cukup untuk pergi-pulangnya. Saya merasa, betapa besar biaya untuk membayar ongkos “rasa nyaman di perjalanan”, padahal itu pun juga membosankan.<br /><br />Azan subuh sudah lewat setengah jam ketika kami melipir ke <a href="https://goo.gl/maps/AkNgpsZzxoYNP9MeA">Masjid An-Nur</a>, di Bancar, dekat perbatasan provinsi, untuk shalat. Rencana singgah ke rumah kemenakan (Fawaid) yang kebetulan mudik ke Jenu pun digagalkan karena waktunya tidak pas, masih kepagian saat kami melintasi kota Tuban.<br /></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhajlqdj1-M3_Viz-yo4B5eycM0qBfRhE_Ach1CDvJU9l8-sWa89y7OvkJ_H2q6Ejnnm4UblJurpW9XAapbySg-9o2ohaT7kTLkYbxbanNWD9EETajye7CPxYQPirc2Fl45SC80yXDJwDLn5xfhdMdjLfEoaNWgUKgbUtnQkTLHr5hGLBNlXslG90XMJA/s2048/284293932_10228319880563709_7787501813711214249_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1362" data-original-width="2048" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhajlqdj1-M3_Viz-yo4B5eycM0qBfRhE_Ach1CDvJU9l8-sWa89y7OvkJ_H2q6Ejnnm4UblJurpW9XAapbySg-9o2ohaT7kTLkYbxbanNWD9EETajye7CPxYQPirc2Fl45SC80yXDJwDLn5xfhdMdjLfEoaNWgUKgbUtnQkTLHr5hGLBNlXslG90XMJA/s320/284293932_10228319880563709_7787501813711214249_n.jpg" width="320" /></a></div><br /><p><br />Sementara yang lain meregangkan otot dengan telentang, saya meminta Atiq membeli air panas di warung seberang jalan karena bubuk kopi dan lain-lainnya kami bawa sendiri dari rumah. Jujur, saya ogah membeli kopi di warung makan, kecuali memang jika tidak benar-benar terdesak. Kasusnya, sering dijumpai hanya kopi sesat yang tersedia, kopi yang bahan bakunya hanya sedikit persen biji asli, selebihnya adalah daun dan kulit buah kopinya. Jadinya, ia sejenis “kopi jadi-jadian”, kopi hantu-lah!<br /><br />Sebetulnya, saya membawa pemanas air DC 12 Volt, tapi butuh durasi lama untuk memanaskan air hingga 75 derajat celcius (apalagi lebih dari itu, sampai 85 derajat misalnya [standar panas air kopi menyeduh kopi], pasti lebih lama lagi). Saya bahkan juga bawa inverter, dari DC 12v ke AC 220v. Tapi, ia saya gunakan untuk hal lain. Makanya, saya cenderung memilih beli di warung saja. Bekal makanan pokok pun bahkan kami bawa sendiri, terutama abon, serundeng, dan lauk-pauk lainnya. Air minum satu galon. Lontong juga kami bawa, tapi tak seberapa. <br /><br />Itulah salah satu tips berhemat biaya perjalanan. Jatah anggaran singgah di warung makan bisa lebih besar daripada biaya BBM, lho, jika kita pergi bersama rombongan. Cobalah sesekali dihitung, pasti bengkak dananya. Masalah berikutnya, saya berkomitmen untuk tidak sembarangan mampir di warung makan sebelum memastikan (atau memperkirakan) bahwa si pengelola warung itu tidak jorok, paham najis-mutanajjis, ngerti masalah-masalah seputaran kehalalan makanan. Bagi saya, ini prinsip sebagai bentuk ikhtiar (upaya untuk berhati-hati). Maka, daripada repot mencari warung yang spesifikasinya begitu, saya putuskan untuk membawa sendiri saja dari rumah: aman dan murah. Tentu saja, <br /><br />Catatan: Tentu saja, Anda tidak perlu sama dengan saya. Ini cuman komitmen dan sikap. <br /><br />Setelah singgah di sebuah mushala kecil di tepi jalan, di Pati, untuk makan, kami menuju Kerjasan, Kudus, untuk nyambangi kakak sepupu yang sedang mudik. Ini tak terhitung kali bagi saya. Ada satu hal penting di sana.<br /><br />Di Kerjasan, terdapat sebuah rumah bersejarah. Posisinya berada di belakang <a href="https://goo.gl/maps/yS5CD29KZiNSKEm69">SD Muhammadiyah 1 Kudus</a>, atau sebelah utaranya <a href="https://goo.gl/maps/mJSPLMU6iKD98y5J6">Madrasah Tsanawiyah NU Banat</a>, atau di sebelah baratnya <a href="https://g.page/QUDSIYYAH?share">Madrasah Aliyah Qudsiyyah</a>. Itulah rumah asal (‘patobin’ menurut istilah [sebagian] Kiai Muhammad Syarqawi, pendiri PP Annuqayah, Guluk-Guluk, Suemenp. Beliau asli Kudus, namun hijrah ke Madura. Saat ini, yang menempatinya adalah salah satu keturunannya, kerabat kami juga. Kakak sepupu saya berjodoh di sana. Dengan begitu, beliau menjadi perekat hubungan kekerabatan kami yang entah berapa puluh tahun lamanya terpisah dan bahkan sempat tidak diketahui.<br /><br />Selesai mandi dan sepeminuman teh, kami melanjutkan perjalanan. Nah, di situlah kemacetan mengular. AC mobil yang hanya engkel di depan dan menyala sesekali saja terpaksa harus menyala besar dan terus-terusan. Rupanya, begitulah cara menguras bahan bakar, he, he, he… Dari Demak hingga Semarang, kondisinya jalan begitu saja. Kalau enggak macet, ya, tersendat. Singkat cerita, kami baru tiba di Pekalongan sekitar pukul 14.00. kami tetap memilih rute arteri, non-tol, bahkan sempat pula mencoba jalan lingkar alas Roban yang biasa dilewati truk-truk berat itu. <br /><br />Duapuluh Empat Jam di Pekolongan<br /><br />Tiba di Pekalongan, kami disambut oleh Wisnu dan Robin. Mereka mengajak saya ke kediaman Habib Bidin (menantu Habib Luthfi, pimpinan Az-Zahir) untuk rehat dan/atau mandi. Saat itulah, saat membongkar isi tas untuk mencari sabun, barulah saya sadar bahwa ponsel NOKIA 8118 (reborn) saya tak ada. <br /><br />“Waduh! Ketinggalan di Kudus!”<br /><br />Meskipun ponsel pasti aman, tapi ini mengkhawatirkan. Pasalnya, hampir semua nomor kontak teman-teman—yang rencana mau saya sambangi dalam perjalanan pulang nanti—ada di sana. Masih untung saya sempat login ke Facebook di ponsel android-nya Anam (karena verifikasi kode login dikirim ke ponsel via SMS) sehingga saya masih bisa menggunakan Messenger untuk berkomunikasi. <br /><br />“Kalian sudah dapat izin, kok, enak saja nyelonong?”<br />“Iya, tidak apa-apa, memang diperkenankan.”<br /><br />Di Az-Zahir, ada banyak tamu juga di situ. Sepertinya, mereka mau syawalan, sowan, atau entah apa. Tapi, kami tak lama di sana, segera pindah ke Kanzus untuk melihat situasi, lalu lanjut ke ndalem tengah (utama), siapa tahu Habib Luthfi muncul dan kami bisa sowan kepadanya. Akan tetapi, melihat banyaknya tamu yang ‘keleleran’ di lantai bawah, ciut juga nyali ini. Rasa pesimis muncul. Satu-satunya harapan tersisa adalah modal pengalaman pertama saya di bulan Oktober tahun lalu: pertama kali nyampe, tapi langsung bisa sowan dua kali di dalam satu hari. <br /><br />Demikianlah pengalaman saya (kami) selama 24 jam di Pekalongan: Kamis jelang asar tiba, Jumat jelang asar pulang. Seperti tamu-tamu yang lain (kalau tidak salah juga ada dua orang menteri), kami belum ketibaan rezeki berjumpa dengan Habib Luthfi. Tapi, ia tak membuat kami berkecil hati. Bulan depan, atau entah kapan, insya Allah kami kembali lagi, di acara Jumat Kliwonan, atau Maulidan, atau tidak dalam rangka apa pun selain sowan. <br /><br />Catatan: Oh, iya. Saat sedang rehat di gedung Kanzus Sholawat, saya sempat dikunjungi Fauzi Amrullah, kawan lama yang sekian waktu tidak pernah bersua. Katanya, dia mengetahui bahwa saya berada di situ berkat komentar-komentar saya di Facebook. Ini menyenangkan sekali. Media sosial yang cenderung hanya buat main dan buang-buang waktu terasa sekali manfaatnya. Dia membawa serta dua orang putranya. Satu di antaranya telah mondok di Kediri. <br /><br /><br /></p>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-43557421953369257012022-05-28T10:44:00.002+07:002022-05-28T11:34:26.578+07:00Syawalan ke Pekalongan (Pulang)<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFiuYdML-9Ketre4u4xHy61QxO_whfr34HRiXUgL6u4Zk7qEyL51Hermv51PKf87Pw-6gDzIc5fNeHtys_m8Plr4DbtB_OtyptD5BzoVuOCoXC5Gz3Zi6T7XY300rKOQkPWL0fSqa_bHYZ4Zprri8Vq8XEGiEF8poTG6MGi7YrxOCeDomiHLlzJoyMAw/s1203/COLT%20ke%20Pekalongan.png" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="1203" height="144" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFiuYdML-9Ketre4u4xHy61QxO_whfr34HRiXUgL6u4Zk7qEyL51Hermv51PKf87Pw-6gDzIc5fNeHtys_m8Plr4DbtB_OtyptD5BzoVuOCoXC5Gz3Zi6T7XY300rKOQkPWL0fSqa_bHYZ4Zprri8Vq8XEGiEF8poTG6MGi7YrxOCeDomiHLlzJoyMAw/s320/COLT%20ke%20Pekalongan.png" width="320" /></a></div><br />Jumat, 6 Mei 2022<p></p><p><br />Dalam perjalanan pulang, kami putuskan untuk lewat di jalur yang sama dengan saat kami datang. Rencana awalnya, saya akan melebar sedikit ke selatan, melipir ke Kediri. Bahkan, ada pula ide lewat Cepu/Blora untuk mengobati rasa penasaran karena gagal dilewati saat berangkat. Tapi, semua jadwal banyak berubah gara-gara dua hal: pertama karena tujuan sowan akhirnya tertunda dan ponsel saya yang ketinggalan di Kudus. Dua hal ini membuat gairah turun drastis dan akhirnya rencana tersebut kami gagalkan tunda.<br /><br />“Lain waktu saja,” kata saya pada semua! <br /><br />Semula, saya memang merancang rute lewat Bojonegoro. Jadi, rute Babat ke utara dicoret, ganti ke Babat ke barat, lewat Cepu. Kisah-kisah mistis di sepanjang jalan itu juga saya kantongi, termasuk kisah tentang keanehan Todanan dan kendaraan yang tersesat—atau disorientasi dalam istilah lainnya yang meskipun tidak benar-benar sepadan—masih kuat melekat dalam ingatan. Andaipun kami gagal lewat di rute itu manakala berangkat, mungkin akan dilewati di saat pulang. Ternyata, rencana itu tidak jadi. <br /><br />Pulang bakda ashar dari Pekalongan, kami lewati arteri. Sebetulnya, saldo <i>etoll</i> masih cukup bahkan hingga Warugunung, Sidoarjo. Tetapi, tapi kami pilih jalan Pantura saja, jalan Deandels, jalan panjang 1000km yang punya penuh cerita. <br /><br />Saya mengamati kota-kota kecil yang dulu sangat akrab saat masih sering naik bis malam dan belum ada Trans-Jawa. Rumah-makan yang besar, yang dulu terkenal, baik persinggahan bis ataupun truk, masih ada yang bertahan dan sebagiannya sudah gulung tikar. Tol panjang yang membuat seluruh pulau Jawa nyaris bersambung dari Anyer hingga Probolinggo (saat ini—dan mungkin terus berlanjut sampai Banyuwangi) adalah satu aktor dari sekian banyak yang berdampak pada perubahan besar sosial-ekonomi ini, bahkan perubahan psikologis manusia juga mungkin. <br /><br />Semua itu telah berubah, dan mungkin memang gilirannya berubah. Tapi, saya melihatnya sebagai perubahan non-alamiah, tidak seperti batang pohon pisang yang tumbang karena telah berbuah, melainkan perubahan yang sengaja diciptakan oleh manusia. Barangkali, perubahan itu disengaja untuk mencapai target tertentu meskipun—bisa jadi—dampaknya tidak setimpal dengan yang dibayangkan atau direncanakan sebelumnya. Apalah daya kita? Kita menjadi bagian dari perubahan meskipun tidak bisa ikut mengubah. Sebab itu, maka kita harus mengambil sikap dan berkomitmen dalam posisi ini, harus punya sikap.<br /><br />Dengan modal kontak melalui Messenger, di luar dugaan, gayung bersambut. Hari itu, Jumat sore, 6 Mei 2022, saya bisa singgah di rumah Rifqie Fairuz di <a href="https://goo.gl/maps/28wJJzTyAx8KepqR8">Pegandon</a>. Rumahnya sedikit masuk dari Pantura, pertigaan Petebon, kira-kira 4 kilometer ke selatan. Dengan jarak yang sama, dari rumah Fairuz, jika diarahkan ke selatan lagi maka akan kita jumpai—kata dia—pintu Tol Kendal. Tapi, tetap seperti tadi, kami tetap lewat arteri. </p><p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTw3pLKC5FutTeBTuBdtdZJrQXDlRFqP2ZnPIz567Tc9PBCzNwhz9HTJIWUyNntDq0x-q7bzkymKF1JH6YLodc3BRTeGDyhThjxvTt0MIAvqOV1zkTDBqEtRd4XXMO-mh7sHS-g-553HecngyD9YTFxd2AazXvyeiRDnDNKv4gwDhS9q2lFWn_fF3VsA/s2048/279575592_10218307450991865_4326537301167594832_n.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="2048" data-original-width="1536" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTw3pLKC5FutTeBTuBdtdZJrQXDlRFqP2ZnPIz567Tc9PBCzNwhz9HTJIWUyNntDq0x-q7bzkymKF1JH6YLodc3BRTeGDyhThjxvTt0MIAvqOV1zkTDBqEtRd4XXMO-mh7sHS-g-553HecngyD9YTFxd2AazXvyeiRDnDNKv4gwDhS9q2lFWn_fF3VsA/s320/279575592_10218307450991865_4326537301167594832_n.jpg" width="240" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh607r8gbAWpvnZoyan08Ju3mjRJqiOvEOphA5bPclwlRT_4TgIoDuwDkhIcF0Hxah3kbKEmsDchhQ-GjJ2XZ39FQDyQAfR1LWyRvGVFmBtmSwD2wwkVgJh592bBDCELe-C0Xa5nAc9-DDIPi-EmeEMQibmjOY4yfmdR-QRrM-wDszhzdwuPRtvT-RNEg/s2048/279286640_10218307450631856_4339339359741522341_n.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1536" data-original-width="2048" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh607r8gbAWpvnZoyan08Ju3mjRJqiOvEOphA5bPclwlRT_4TgIoDuwDkhIcF0Hxah3kbKEmsDchhQ-GjJ2XZ39FQDyQAfR1LWyRvGVFmBtmSwD2wwkVgJh592bBDCELe-C0Xa5nAc9-DDIPi-EmeEMQibmjOY4yfmdR-QRrM-wDszhzdwuPRtvT-RNEg/w320-h240/279286640_10218307450631856_4339339359741522341_n.jpg" width="320" /></a><br /><br />Tak lama di sana, hanya seseruputan kopi dan secuil cemilan yang dilumat di dalam mulut dalam keadaan tergesa-gesa, kami gas lagi menuju perumahan Permata Puri, tepatnya di rumah Marwini yang berlokasi Jalan Watuwila V DX (baca: D sepuluh), nomor 12-A (wah, repot sekali, ya, banyak kode dan nomor-nomornya), Ngaliyan, Semarang. Saya tidak ingat, kala itu, kami masuk dari Kalikangkung atau dari Krapyak.<br /> <br />Setelah dijamu bakso dan mandi, kami berangkat lagi. Tujuan berikutnya—yang semula adalah cus Madura—kini bertambah, yaitu rumah Mas Gunawan. Orang ini saya kenal di Jogja, di Kafe Basabasi, dan bermula dari komen-komenan di Facebook. Rumah beliau ada di Manyaran yang secara jarak sangat dekat dari Ngaliyan. Ketersesatan oleh Google Maps-lah yang membuatnya jauh. Sejauh ini, saya memang nyaris tidak menggunakan aplikasi tersebut kecuali bersama orang yang sedang menggunakannya, dan sejauh ini—sesuai keterbatasan pengalaman saya—Google Maps masih belum bisa membedakan kelas jalan di tingkat bawah, seperti di kelas residental atau kelas kolektor, atau seperti III, apalagi subkelas-nya, seperti IIIa, IIIc, dll. Entah lebar jalan itu 2,1 meter atau 2,5 meter, misalnya, kita enggak tahu.</p><p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSOxRFoYjj_lpGe79LR5znoJNiXAy-70ZJGDKfb3oxLME9rT9LIfPfZqxD1amQCiUU3PypXJ7yxVJNiL5og7rXDoows3jZ20GnHIW8yDXlGLoau8idCMmuJdJtZQYK5vWWZvcHJvGwcjtelduJOck9WfZvQR9KoMAjrN5bHY069jkSkhtCQzAySPGGSQ/s1080/282168925_332851358963723_9108284087846481299_n.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="810" data-original-width="1080" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSOxRFoYjj_lpGe79LR5znoJNiXAy-70ZJGDKfb3oxLME9rT9LIfPfZqxD1amQCiUU3PypXJ7yxVJNiL5og7rXDoows3jZ20GnHIW8yDXlGLoau8idCMmuJdJtZQYK5vWWZvcHJvGwcjtelduJOck9WfZvQR9KoMAjrN5bHY069jkSkhtCQzAySPGGSQ/s320/282168925_332851358963723_9108284087846481299_n.jpg" width="320" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkDRFF6zGEAQks0bvWtxvTOLrxAVsSfDo7DBEuWe8MHi4IQJH-s_hDkUwDnl9vOW3YwOLS4dBwEsbU3ccGTVUPUB6QCKovEhop1br7vHAFyeXeWjwlubI39eJ7t0Lz0pdYmCRspSnPSJStMimCwh1Ctsl9arobN4LvgDzorkrHS4huf_xz5keldeuMwQ/s1548/280743070_3134819696733649_2054496853385495974_n.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="716" data-original-width="1548" height="148" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkDRFF6zGEAQks0bvWtxvTOLrxAVsSfDo7DBEuWe8MHi4IQJH-s_hDkUwDnl9vOW3YwOLS4dBwEsbU3ccGTVUPUB6QCKovEhop1br7vHAFyeXeWjwlubI39eJ7t0Lz0pdYmCRspSnPSJStMimCwh1Ctsl9arobN4LvgDzorkrHS4huf_xz5keldeuMwQ/s320/280743070_3134819696733649_2054496853385495974_n.jpg" width="320" /></a><br />Kami dipandunya blusukan ke jalan-jalan yang sangat sempit, menanjak curam, nurun terjal. Intinya, saya sempat cemas, khawatir mobil tidak kuat. Semarang adalah kota yang kontur jalannya dipenuhi naik-turun seperti itu. <br /><br />Kami rumah beliau, kami duduk dijamu tempe kemul. Masih banyak sekali toples cemilan sisa lebaran di atas meja. Setelah ngeteh dan ngopi dan berfoto bersama, barulah kami lanjut pulang, eh, setelah dikasih oleh-oleh segepok juga ding. Oleh beliau, kami diarahkan pulang lewat sisi utara kota Semarang, sepertinya area pelabuhan Tanjung Mas. Soalnya, saya melihat banyak sekali genangan air. <br /><br />‘Ini kota pantas kalau rawan banjir,’ kata saya dalam hati. Letaknya—konon—sangat mirip dengan Amsterdam yang posisinya lebih rendah dari laut. Jika tanggul tidak kokoh, bencana pasti mudah mengancam. Rob pasti datang saat laut pasang.<br /><br />Dalam perjalanan ke Kudus, saya menjalin komunikasi dengan Mas Fawzy Agus. Karena sudah malam, maka akhirnya kami janjian bertemu di dekat Menara saja, di sebuah jalan tempat mangkal gerobak kuliner agaknya, tidak di rumah beliau, di Jekulo. Kami diajak makan tahu khas Kudus, entah tahu apa namanya, tahu-tahu enaaak aja di mulut. Yang pasti, tahu tersebut berasa manis dan banyak bumbunya. Saya perkirakan, kemampuannya bisa nyetok energi kami sampai Madura atau Surabaya.<br /><br />Dan sama seperti saat ketemu Mas Gunawan, pertemuan dengan mas Fazwy Agus pun tak begitu lama, sebatas makan dan ngobrol sewajarnya. Sebetulnya, rencana pertemuan ini sudah dirancang tahun lalu, di Tangerang, saat saya bertandang ke rumah Pak Bambang dan Pak Broto. Tapi, karena ada hal penting yang tak dapat ditinggalkan, kata beliau, pertemuan saya dengan Mas Fawzy akhirnya gagal, tapi sukses setahun berikutnya.<br /><br />Selepas Kudus, saya tidur. Kalau tak salah ingat, kami keluar dari Jekulo pada saat pukul 23.00 lebih. Entah siapa yang mengemudi, saya tidak tahu. Sepertinya Anam dan mungkin sesekali diganti Cak Badi (Abdullah). Mobil berjalan ke arah timur dan suasana jalan tidak ramai. Barangkali, orang-orang sudah banyak yang kembali ke Jakarta karena mereka memanfaatkan semua ruas jalan tol Trans-Jawa yang pada malam itu telah diterapkan untuk penggunaan 4 lajur: semuanya ke arah barat.<br /><br />Menjelang Subuh, kami masuk Babat, lewat depan pondok tua yang legendaris, PP Langitan. Kami masih lanjut terus ke timur, lewat Lamongan, dan baru shalat Subuh di daerah Gresik, sebelum masuk Tol Kebomas. Sialnya, si Agus minta jemput. Dia ingin ikut ke Madura tapi nginap di Sidoarjo. <br /><br />“Ini kalau ke Sidoarjo bukan mampir lagi namanya, tapi sengaja pergi ke...”<br />“Kan cuman dekat?”<br />“Dekat-dekat apanya? Dari Kebomas biasanya di Dupak lanjut Kenjeran, lha, ini harus nambah lagi 30 kilometer ke selatan. Jauh, lho, belum lagi nanti baliknya, tambah 30 kilometer lagi.” <br />“Ya, tak apa-apa, kan cuman lewat tol.”<br />“Masalahnya, kita ngejar waktu pagi agar bisa lewat Tanah Merah karena hari ini adalah hari Sabtu. Tahu sendiri, kan? Sabtu itu jadwalnya pasar Tanah Merah, pasar paling macet di Madura.”<br /><br />Percakapan ini terjadi setelah shalat subuh. Tapi, saya lantas tertidur lagi dan saat itu Anam yang mengemudi. Rupanya, percakapan si Agus berlanjut dengan si Anam dan tahu-tahu saya dibangunkan saat mobil hanya berjarak duaratusan meter menjelang di pintu Tol Sidoarjo. Wah, ya, sudah, lanjut saja. <br /><br />Pasar Tanah Merah memang menakutkan di hari Sabtu, tapi tidak bisa disebut sebagai Black Sabbath, lho. Kalau lagi apes karena kita melintas di pada pukul 8 pagi, misalnya, bisa saja kita terjebak satu jam, bahkan lebih. Aneh sekali karena pasar ini sudah punya jalan lingkar. Entahlah, pasar Tanah Merah memang punya misteri tersendiri. Beberapa kali periode bupati di bangkalan terlewati, kemacetan di pasar ini tetap tak bisa teruraikan. Makanya, untuk menghindarinya, kami berencana lewat Sukolilo (“Klelah” kata orang Bangkalan), lewat arsenal Batu Porron, tembus Kwanyar, lanjut terus ke timur, lewat Modung, dan barulah nongol dari arah selatan Pasar Blega. <br /><br />Secara jarak, rute yang saya sebut di atas hanya menghemat 2 kilometer, tapi setidaknya diuntungkan karena aman dari kemacetan. Namun, rencana itu gagal setelah dikasih tahu oleh H. Syaiful Bahri, si kawan dari Kwanyar yang kami singgahi, bahwa jalan ke Modung sangat rusak dan hancur. Durasi waktu bakal impas kalau lewat di sana.<br /><br />Kami langsung sein kiri begitu mobil lepas dari ruas Jembatan Suramadu, lewat Sukolilo, Labang, dan tembus di Pasaw Kwanyar. Ternyata, pasar juga sedang ramai-ramainya, awut-awutan juga.<br /><br />“Jangan parkir di sini, gak bisa!” kata H. Syakur, salah seorang penderek H, Syaiful, orang yang hendak kami tuju, memandu mobil. “Ke dalam saja,” lanjutnya. Ia mengarahkan kami parkir ke rumah tuannya itu, masuk gang. Akibatnya? Tahu kan akibatnya? Kami pun jadi rehat, telentang-telentang, tidur-tiduran, dan bangun-bangun sudah disiapkan hidangan, “waduh” tapi campur “waw”! Terjadilah efek depan, perut jadi kenyang, efek yang gak ada samping-sampingnya sama sekali. “Pinter benar ini orang,” kata saya dalam hati, “Tahu kalau kami memang niat mau sarapan di jalan pulang, nanti, tapi ternyata disiapkan lebih dulu sebelum kami tiba di warung makan...”<br /><br />Di hari ke-6 bulan Syawal itu (7 Mei 2022), jalanan Madura ramai sekali, lebih-lebih di pasar yang hari pasarannya jatuh satu hari sebelum Hari Raya Ketupat, ya, seperti hari itu di Tanah Merah. AC mobil —yang biasanya menyala sesekali saja—pun dengan ‘terpaksa’ harus nyala terus-menerus, dari Sidoarjo tadi bahkan hingga kami sampai tiba di rumah. Itulah tiga kata kunci: lancar, nyaman, selamat, tiga hal yang telah mampu melupakan kami akan jauhnya jarak yang sudah ditempuh dengan mobil yang sepuh, sertanya juga melupakan banyaknya liter bahan bakar yang kami beli... <br /></p><br /><br /><br /><br />Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-64144749792165288312022-02-15T10:56:00.008+07:002022-03-05T23:00:10.048+07:00Keunggulan dan Kelemahan Menggunakan Kipas Radiator Elektrik<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjn4kSUQF8cK-_E7prlwza2yrwK5J0GrTMmmeB9ufKi_9aGU4T18vRn2wcj1HyaZaa1i0nwc0znv5uZUdsegJqFBheaHEpch_HZNhPwfcGt8OP6jFVsG5tdiDK3_wU-qEP7vGpZOq8bW6geRTbdBOgqT3JcRJ4fEXLMOKFaEYD0In5gT-k3r6bIfjJK4w=s4000" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="3000" data-original-width="4000" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjn4kSUQF8cK-_E7prlwza2yrwK5J0GrTMmmeB9ufKi_9aGU4T18vRn2wcj1HyaZaa1i0nwc0znv5uZUdsegJqFBheaHEpch_HZNhPwfcGt8OP6jFVsG5tdiDK3_wU-qEP7vGpZOq8bW6geRTbdBOgqT3JcRJ4fEXLMOKFaEYD0In5gT-k3r6bIfjJK4w=s320" width="320" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: xx-small;">dinamo tidak center, agak tidak kena puli</span><br /></td></tr></tbody></table>Mobil
saya menggunakan kipas pendingin raditor elektrik. Yang dicangkok
adalah kipas milik Suzuki Karimun. Kenapa pilih ini? Karena bentuknya
paling pipih, paling ramping, dan paling gratis (he, he, he). Harga
bekas di pasaran sekitar 600-700. Barunya di atas satu juta lebih
sedikit. Punya Pak Joko pakai punya Camry, bentuknya mirip, sama-sama
tipis.</p><p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"> </p><p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Keunggulan
kipas ini jelas akan mengurangi beban mesin meskipun entah seberapa
kian persennya. Beban mesin berkurang karena puli-nya tidak lagi
terbebani oleh baling-baling yang mengangkut angin. Jika pagi hari,
kita bisa berjalan sampai 4 kilometer dan kipas elektrik belum sempat
menyala juga (itu kalau Anda tidak pakai thermostat). Jadi, bunyi
mesin semakin halus, tidak berisik. </p><p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhAzLbuDcqP7DJOcfHeZg9Di9z5eON5kRPwmojhYXSU_FHmA7crnhZ65UdFTfxcyj1QNRPOZXLd5U2vr717Dihl6cWPZh6z1ShWMEdg9OEjJ_9QOJdCg13DMI0B2NANhkuHT3ir8NnDrZGCNwvPrSnk36JN-vChmNdeEXcQTaB1UgOVmeGAOGn1p949Bw=s4000" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="4000" data-original-width="3000" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhAzLbuDcqP7DJOcfHeZg9Di9z5eON5kRPwmojhYXSU_FHmA7crnhZ65UdFTfxcyj1QNRPOZXLd5U2vr717Dihl6cWPZh6z1ShWMEdg9OEjJ_9QOJdCg13DMI0B2NANhkuHT3ir8NnDrZGCNwvPrSnk36JN-vChmNdeEXcQTaB1UgOVmeGAOGn1p949Bw=s320" width="240" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: xx-small;">modul penetas telur untuk menghidupkan relay ke kipas</span><br /></td></tr></tbody></table>Keunggulan
lainnya adalah; saya telah melepas kipas tambahan atau <i>extra
fan—</i>yang sebelumnya dipasang di depan radiator untuk jaga-jaga
dalam memberikan bantuan pendinginan buat radiator mana tahu ada
kemacetan panjang dan kita ingin menyalakan AC (saya pakai AC). Kipas
elektrik ternyata cukup mengatasi dalam keadaan idle. Dan inilah
tujuan utama dari pemasangan kipas elektrik ini. Catatan: Tapi, ini
berlaku di (kemacetan) di Madura saja, tapi saya kurang yakin kalau
kemacetannya ala di Jakarta yang secara auranya sangat panas:
aspalnya panas, udaranya panas, dan orang-orangnya juga mudah panas.
</p><p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"></p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Adapun
kelemahannya; temperatur mesin akan naik secara signifikan (bahkan
hingga nyaris 90 derajat; jarumnya nyaris mencapai setengah pada
Colt) jika kita injak gas secara stabil dalam kecepatan 90 km / jam
selama beberapa menit, anggaplah selama 10 menit. Situasi ini akan
merepotkan jika kita sering bepergian jauh dan melewati jalan tol.
Kok bisa? Karena RPM mesin sangat tinggi sementara RPM kipas tetap
segitu saja, beda dengan kipas bawaan Colt yang akan berputar cepat
sesuai putaran RPM mesin.
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Untuk mengatur pada suhu berapa kipas harus menyala, kita bisa atur pada modul yang aslinya buat penetas telur (inkubator). Bahkan, kita bisa nyetel sambil berjalan. Kalau pakai sensor panas yang biasanya dipasang di dekat thermostar, biasanya pilihannya cuman ada dua: menyala pada suhu 76,6 derajat atau 82 derat. Kalau yang ini, dan harganya cuman 60 ribu, bisa dinyalakan bahkan sejak 50 derajat (tapi tentu buat apa menyalakan kipas di suhu seperti itu?</p><p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Untuk
sementara, saya masih bertahan menggunakan kipas elektrik. Alasannya;
karena saya tidak terbiasa ngebut di atas 100 km / jam (rata-rata
60-70 di jalan arteri; atau 80-90 di jalan tol). Tapi, saya pun
jarang lewat jalan tol panjang (kecuali ke Jakarta tempo hari dan
atau ke Jogja. Tapi, bosan juga, sih, kalau terus-terusan seperti
ini. Saya harus cari cara yang lain lagi.</p><p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"> </p><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjdzSWrB5VEH8EGfWTCgKdo5bh_WZv4XJzNNDaolEM_d2al7wdjkL6mQRrhxuY8bTQgdVROwM3_cOOVImgBol4Z_5v-GvTBz0H7ox3CNiak7H1MZfoverUuMYPc_qRYGV0tkWpnlOgkwqNqVtkAQq8ZZTHNnPg9tOhVb3khIEJyMy2heOYx1Y7PKt9RCg=s3264" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="3264" data-original-width="2448" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjdzSWrB5VEH8EGfWTCgKdo5bh_WZv4XJzNNDaolEM_d2al7wdjkL6mQRrhxuY8bTQgdVROwM3_cOOVImgBol4Z_5v-GvTBz0H7ox3CNiak7H1MZfoverUuMYPc_qRYGV0tkWpnlOgkwqNqVtkAQq8ZZTHNnPg9tOhVb3khIEJyMy2heOYx1Y7PKt9RCg=w150-h200" width="150" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: xx-small;">kipas kondensor pakai Avanza</span><br /></td></tr></tbody></table><p></p><p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"> </p><p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgrLD8P2-Tg3ZabhuJX5lfIhhIQZhXlRwhCSwylxiZiToWcFN6GSCeWNp0_NQCLHpJ0gnuJdOS8ZLWhYkm4DB5DRxElS68Mv0_uC4mV-7JT_yNd_590Nzzq21HEKpiLvtBs7lepBuZcKuuxcFQ9gv-1fNsmSThDbbYGMQ4IOM9OmN8N686IwiohGRYQuA=s4000" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="3000" data-original-width="4000" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgrLD8P2-Tg3ZabhuJX5lfIhhIQZhXlRwhCSwylxiZiToWcFN6GSCeWNp0_NQCLHpJ0gnuJdOS8ZLWhYkm4DB5DRxElS68Mv0_uC4mV-7JT_yNd_590Nzzq21HEKpiLvtBs7lepBuZcKuuxcFQ9gv-1fNsmSThDbbYGMQ4IOM9OmN8N686IwiohGRYQuA=s320" width="320" /></a>Langkah
terakhir, saya menggeser plat nomor yang sebelumnya sedikit menutupi
gril bumper depan. Saya juga memasang bilah karet (yang biasa buat
ngepel lantai itu) di bawah labrang depan. Fungsinya adalah untuk
menangkap angin yang datang dari arah depan agar bisa langsung
nyembur ke radiator.
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhFZJ062pDtcIHqYM3sCzZpmVutHIiBI1VvAjlHGjxw-i4VO1iGtYZpyimpj-MZIgRd7u5UM0x2_w_nkij_eVIpdi8eIVOgzoP3jtdRZxrrQjhkQwGcVkxQc_z-4Aef84JMGS9zPW9bY_yIU98FfxKAIUV70bHFOhSDLmHtWXw-cFHjquhRDVRFWAAjXA=s4000" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="3000" data-original-width="4000" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhFZJ062pDtcIHqYM3sCzZpmVutHIiBI1VvAjlHGjxw-i4VO1iGtYZpyimpj-MZIgRd7u5UM0x2_w_nkij_eVIpdi8eIVOgzoP3jtdRZxrrQjhkQwGcVkxQc_z-4Aef84JMGS9zPW9bY_yIU98FfxKAIUV70bHFOhSDLmHtWXw-cFHjquhRDVRFWAAjXA=s320" width="320" /></a>
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><a name="_GoBack"></a>
Dengan cara ini, ternyata masalah berhasil diatasi. Catatan: Saya
belum mencobanya dalam kecepatan tinggi (100 km/jam) yang konstan dan
lama, hingga satu jam, misalnya.
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Yang
perlu diingat, karena kipas kondensor AC saya menggunakan punya
Avanza (strumnya lumayan besar) dan kipas radiatornya menggunakan
punya Karimun (juga besar), maka benarlah ia memang meringankan beban
mesin, tapi di sisi lainnya memberi beban tambahan pada dinamo
ampere. Sementara dinamo ampere saya pakai punya Carry (atau mungkin
Zebra, dah lupa). Supply-nya jelas kurang kalau kita gunakan pada
malam hari. Nah, untuk menyiasatinya, kita harus pakai lampu LED
karena lampu pijar itu benar-benar sangat boros dan sangat menyedot
daya. Tapi, ya, itu, lampu LED juga punya kelemahan di bidang
penerangan pada musim hujan, bahkan yang warnanya kuning sekalipun,
tetap tak seberfungsi lampu pijar.
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><br />
</p>
<p class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">Itulah
beberapa kekurangan dan keunggulan perangkat yang dipasang pada Colt
dan menggunakan perangkat pabrik di luar Mitsubishi. Silakan Anda
pilih yang sesuai dengan selera Anda.
</p>
<style type="text/css">p { margin-bottom: 0.1in; direction: ltr; color: rgb(0, 0, 10); line-height: 120%; text-align: left; }p.western { font-family: "Calibri", serif; font-size: 11pt; }p.cjk { font-family: "Calibri"; font-size: 11pt; }p.ctl { font-family: "Arial"; font-size: 11pt; }</style>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-80986362996985007372022-02-13T09:14:00.006+07:002022-02-13T13:06:05.425+07:00Seribu Kilometer untuk 500.000 Kilometer (Etape IV)<div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID"><b>SENIN,
7 FEBRUARI</b></span></span></span></span></span></p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
</p></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEga11w4aIpvb-4N5L4LICZpvHsWeDULt8Qrw8W1pr8gsNdE2D-oZEWRWU-5PmGpc_hjCSpaoLB2wVLBELKjqd3wtzEboiARZ8gXMlL4taIQrf9oCxZQEiAEmKqDYz3I28kE4yL8JGHWE8hJMTWIaQM-AKWyZgMG0BlbIMTxOdeOG8VT-py667NPkmfSng=s3264" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="3264" data-original-width="2448" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEga11w4aIpvb-4N5L4LICZpvHsWeDULt8Qrw8W1pr8gsNdE2D-oZEWRWU-5PmGpc_hjCSpaoLB2wVLBELKjqd3wtzEboiARZ8gXMlL4taIQrf9oCxZQEiAEmKqDYz3I28kE4yL8JGHWE8hJMTWIaQM-AKWyZgMG0BlbIMTxOdeOG8VT-py667NPkmfSng=s320" width="240" /></a></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID"> </span></span></span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Pagi
sekali, rencananya bahkan sehabis subuh, kami pulang. Tapi, saya
ingat, ini hari Senin. Saya harus mulang kitab dulu (melalui
sambungan telepon kalau sedang berada di tempat yang jauh). Maka,
setelah pukul 06.30, setelah tugas, saya pamit. Eh, malah tak boleh
sama tuan rumah. “Makan dulu,” katanya. Itu sudah saya duga dan
biasanya emang begitu. Dalam hal ini, pepatah “tamu bagaikan mayat”
berlaku. Artinya, tamu harus mau dititah tuan rumah. </span></span></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Setelah
makan, obrolan masih berlanjut. Waduh. Akhinya, saya baru bisa pamit
pukul 08.30, banyak waktu molor dari yang direncanakan sejak awal.
Biarlah, saya pasrah, padahal sudah saya bilang, bahwa saya buru-buru
karena malam nanti ada undungan menghadiri Haul Gus Dur di Sumenep. </span></span></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Meskipun
masih harus mampir di Klathakan untuk ambil titipan dari Ummah untuk
saudaranya di Madura, saya bawa mobil santai saja. Ruwet pikiran
melihat seliweran orang begitu banyak yang serampangan. Untuk
menghemat waktu, saya cuman numpang pipis saja saya di sana, tak mau
disuguhi kopi, lalu melanjutkan perjalanan. </span></span></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Mulai
dari Bletok, barulah saya bisa melaju agak kencang, lebih cepat dari
tadi, kira-kira 70-80 (padahal sebelumnya cuman 60) karena jalan
sudah mulai rada lengang, mungkin karena gerimis. Di satu sisi,
gerimis membuat jalan lengang, tapi jalan jadi berbahaya. Kalau
terang, semuanya jadi enak, pandangan juga serlah, tapi lalu
lintasnya ramai. Paling enak kalau lewat jalan tol, gerimis pun masih
bisa kencang. Enak pun ternyata masih ada “tapi”-nya juga: tapi
di tol itu membosankan dan harus membayar mahal. Apa-apa itu ternyata
ada plus-minusnya. </span></span></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Cling!</span></span></span></span></span></p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Hingga
akhirnya, saya teringat sesuatu dan saya menepi di ruas jalan tempat
istirahat, di atas Binor, atasnya PLTU Paiton. </span></span></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>“<span><span lang="id-ID">Kenapa?”</span></span></span></span></span></p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>“<span><span lang="id-ID">Mau
nyuting odometer, ini mobil mau sampai 500.000. Saya mau pinjam
ponselnya,” kata saya sama Kak Fadlillah.</span></span></span></span></span></p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEi_C67t6k_gDTaSkQFGhUcwnkw3AB4U9fsG5auEoqYCGkcXS6Bo9Q2oA2qgu5Y7qQNxlcYFjgQxokpPEeWWo4NVQebWcCgft6GmM_jY7CXKZMb02ilJqQ31s91pFb-I-bPWvdFV37g31Dj4YYzlwliazCChubFIjXxV_IZK5BIPEHUKVLDOTnAI907zng=s4160" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3120" data-original-width="4160" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEi_C67t6k_gDTaSkQFGhUcwnkw3AB4U9fsG5auEoqYCGkcXS6Bo9Q2oA2qgu5Y7qQNxlcYFjgQxokpPEeWWo4NVQebWcCgft6GmM_jY7CXKZMb02ilJqQ31s91pFb-I-bPWvdFV37g31Dj4YYzlwliazCChubFIjXxV_IZK5BIPEHUKVLDOTnAI907zng=s320" width="320" /></a><br /></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Akhirnya,
saya mulai menjalankan mobil lagi, pelan saja. Odomter mobil bergerak
dari angka 499.997/2 dan mencapai angka 500.000 saat mobil berada di
sisi selatan PLTU Paiton. Horeee. Saya senang sekali, tapi senang
untuk apa sebenarnya. Saya yakin, angka itu bukanlah angka sejati.
Odometer pernah mengalami putus. Di kepemilikan sebelumnya, bisa jadi
hal yang sama juga terjadi, bahkan bisa saja pernah direset, pernah
di-nol-kan ulang. Tapi, mana saya peduli. Apa pun dan bagaimanapun,
pada momen itu, saya tetap mencatatnya sebagai sebuah momen penting
dalam kesejarahan mobil ini di bawah kepemilikan saya selama 13 tahun
terakhir.</span></span></span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID"> </span></span></span></span></span></p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhD41e-78UZq3Qy7_OeV6cozW-F002GyjwPlJ5dPOpmTxivjUBpypSC_zrA8SBCeofxhUTzLwaZk_j7xQssu4wt2swAM3VnKEuwTj5PHLMCUU5rI8RSnqhfHAiPVKT6yrIkQ8ELsc1dy3ooETUUIDCh8CUrvOAsCwBYhW6zAdRSsWCy5KTS7Nn8TRUXKQ=s4160" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3120" data-original-width="4160" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhD41e-78UZq3Qy7_OeV6cozW-F002GyjwPlJ5dPOpmTxivjUBpypSC_zrA8SBCeofxhUTzLwaZk_j7xQssu4wt2swAM3VnKEuwTj5PHLMCUU5rI8RSnqhfHAiPVKT6yrIkQ8ELsc1dy3ooETUUIDCh8CUrvOAsCwBYhW6zAdRSsWCy5KTS7Nn8TRUXKQ=s320" width="320" /></a><span><span><span lang="id-ID">Di
Pajarakan, saya dikontak Iyok Fakhrud. Dia bilang baru saja
berpapasan. Saya man tahu dia naik apa. Sebelumnya juga begitu,
sempat diberhentikan Subhan di Lubawang, sebelah barat Besuki. Itulah
salah satu keuntungan mobil tua yang warnanya tak pernah diganti dan
ada stiker khusus yang memudahkan orang mengenalnya: font besar
bertulis “Pariwisata” di atas kaca depan. Semua ini tak akan
terjadi andai saya naik Avanza Hitam atau mobil orang kebanyakan
lainnya.</span></span></span><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Perjalanan
terus saya lanjutkan karena badan masih terasa mampu. Hujan mengguyur
secara gila saat kami lewat Tongas, bahkan sampai Bangil. Mobil-mobil
berjalan sangat lambat sambil menyalakan lampu utama. Kali ini, saya
memang tidak lewat tol karena jalanan terbilang sepi. Eman-eman uang
80 ribu dikeluarkan untuk sesuatu yang tidak penting-penting amat
(beda dengan saat berangkat karena lewat tol memanglah dibutuhkan).</span></span></span></span></span></p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Di
Tangkel, sehabis adzan asar, saya berhenti sejenak untuk mengambil
kiriman dari adik kandung kepada ibu di rumah (saya tidak masuk ke
rumahnya karena butuh jarak 20 kilometer pergi-pulang dan itu jelas
makan waktu jika dilakukan, sementara saya ngejar waktu untuk hadir
ke acara di Sumenep pada malam harinya). Selagi nunggu kiriman,
tiba-tiba seorang anak muda bernama Dayat menghampiri saya. Oh,
rupanya dia juga punya Colt. Katanya, dia melihat Colt saya dari
jarak agak jauh sedang parkir, maka dari itu ia kemudian mampir. </span></span></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Jalan
lagi, sebentar saja, saya shalat zuhur-asar di <a href="https://goo.gl/maps/vbF85KdsnGoyQ5y19">Masjid Baiturrohman,Dumajah</a>.
Di situ, saya ketemu dengan Kiai Fauzan Badruddin. Di mana-mana kok
ketemu kenalan, kata saya dalam hati. Betapa banyaknya orang baik di
dunia ini. </span></span></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Tak
lama di sana, kami lanjut lagi, tapi berhenti lagi di Sampang karena
sudah tak tahan lapar. <a href="https://goo.gl/maps/9FZVwjkuXCa5ysuaA">Depot Al-Ghozali</a>, di Tanglok, lepas kota
Sampang, adalah tempat jujukan. Kami makan rawon di sana. Tak lama
juga, makan, bayar, pergi lagi. Kami lanjut ke timur. </span></span></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Setelah
menurunkan ‘paket’ dari Klathakan di pertigaan Sumber Anyar,
masih ada waktu tersisa untuk menjamak shalat maghrib-isya di <a href="https://goo.gl/maps/qmZoC55kZqRzyTa79">Masjid Nurul Falah</a>,
selatan SPBU dekat Talang Siring. Sama seperti sebelum-sebelumnya,
setiap kami singgah hanya benar-benar sesuai waktu yang dibutuhkan,
tak ada santai-santai dulu. Seperti itu pula pada persinggahan
terakhir: habis shalat, langsung berangkat. Kami tiba di rumah
beberapa menit setelah azan isya. Sambil menurunkan semua barang di
mobil, saya menyeduh kopi. Tapi, hanya beberapa kali sesapan, Innova
Reborn berwarna putih masuk ke halaman. Ini pertanda Om Mamak yang
datang.</span></span></span></span></span></p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Oleh-oleh
sudah masuk rumah. Mainan sudah diberikan ke anak. Cucian sudah
diletakkan di tempatnya. Saatnya saya pergi lagi, menghadiri undangan
haul. Kepada panitia sudah saya wanti-wanti sebelumnya, jauh hari:
Saya cuman mau datang, duduk di kursi hadirin. Saya tidak mau
menjalankan tugas lebih dari itu. Dan kebetulan, kala itu, saya
memang capek, habis nyetir dari Situbondo. Makin kuatlah alasan saya.</span></span></span></span></span></p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Kami
pergi ke Sumenep dengan Innova Reborn. Tujuannya adalah <a href="https://goo.gl/maps/yXbq6iug1JnFfCGv8">Kafe Tanean</a>, sebuah kafe baru yang sangat
besar, dekat Asta Pangeran Katandur. Di dalam kabinnya yang senyap,
saya merasakan sedikit perbedaan dengan Colt yang baru saja saya
rasakan. Empuknya tak seberapalah bedanya. Sini ada menangnya, sana
ada menangnya juga. Sini menang senyap, sana menang murah. Terus,
saya cari perbedaan-perbedaan lainnya. Apa, ya, kira-kira? Maksud
saya, perbedaan prinsip antara Colt dengan Innova? Lalu, saya temukan
hasilnya: Lari dengan kecepatan 80 kpj di atas Innova itu masih asyik
buat ngobrol macam-macam, bahkan obrolan serius, politik kebangsaan
misalnya. Tapi, dengan kecepatan yang sama, di atas Colt T120, kita
tidak bisa ngobrol terlalu ngelantur karena sopir harus mikir soal
kepakeman rem, kelimbungan bodi, serta kemungkinan pelimpasan stir.
Itu dia bedanya.</span></span></span></span></span></p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p>
<span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span><span lang="id-ID">Eh,
sebentar, tapi, saya ingat cerita di atas. Sepanjang jalan naik
Innova, dari Guluk-Guluk sampai Sumenep, bahkan andai dilanjutkan
sampai ke Jakarta, tak ada satu pun yang menyapa, tak ada orang kasih
lampu atau isyarat klakson, tak ada yang kenal. Kenapa? Ia tak ada
identitas. Di jalanan, ia terlalu banyak kawan sejenisnya. </span></span></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span></span></span></p></div><div style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in; text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><br /></span></span></span>
</p></div><div style="text-align: left;"><p><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span>
</span><style type="text/css"><span style="font-family: inherit;">p { margin-bottom: 0.1in; direction: ltr; color: rgb(0, 0, 10); line-height: 120%; text-align: left; }a:link { color: rgb(0, 0, 255); }</span></style></span></span></p></div>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-91666025400070582612022-02-13T09:13:00.003+07:002022-02-13T13:07:11.791+07:00Seribu Kilometer untuk 500.000 Kilometer (Etape III)<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID"><b>AHAD,
6 FEBRUARI</b></span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Pagi
hari Ahad tak ubahnya Sabtu malamnya, masih lanjut ngobrol, tempat
yang sama, seolah-olah itu kelanjutan tadi malam yang dipisahkan oleh
fase tidur sebentar. Masih di tempat Hariri, kali ini datang
tambahan: Pak Muqiet dan Pak Taufiq. Mereka menemani saya ngobrol
pagi itu. Betapa terhormatnya sampai-sampai saya merasa rikuh.
Obrolannya tidak serius, melainkan haha dan hihi. Itulah tema
kesukaan kami semua.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Setelah
disuguhi sarapan yang lebih tampak sebagai prasmanan besar di malam
hari atau </span></span><span><span lang="id-ID"><i>gala</i></span></span><span><span lang="id-ID">
</span></span><span><span lang="id-ID"><i>dinner,
</i></span></span><span><span lang="id-ID">saya
pamit, tapi masih dicegat oleh Pak Muqiet. </span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-size: medium;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhVD7esF29km8yKTLEAnCj80vV3_93CA5HwPFN_vWfpTLnkTuSg58IQKgnPuQMVixvWaWgqBb0Fh4WRsfRRlO_1Pv0rMl6JyOO4GVWIsKlBDR7v_JBT5hlyZRm2CfTidV_nvw5iB5t1T6aUM5UBZDqD3P7bBmh_9lHjhSaaRuy-6RcQX0SjV96kUaZpOA=s1600" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhVD7esF29km8yKTLEAnCj80vV3_93CA5HwPFN_vWfpTLnkTuSg58IQKgnPuQMVixvWaWgqBb0Fh4WRsfRRlO_1Pv0rMl6JyOO4GVWIsKlBDR7v_JBT5hlyZRm2CfTidV_nvw5iB5t1T6aUM5UBZDqD3P7bBmh_9lHjhSaaRuy-6RcQX0SjV96kUaZpOA=s320" width="320" /></a><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Tolong
mampir ke rumah meski sebentar.” </span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Tapi,
saya agak terburu-buru,” kelit saya.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Sebentaaar
saja, berdiri di depan pintu pun tidak apa-apa. Yang penting,
kunjungi rumah kami, sebentar saja supaya kami juga dapat berkah yang
dibawa tamu.”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-size: medium;"><br /><br /><br /><br /><span style="font-family: inherit;"><span><span lang="id-ID">Undangan
dipenuhi dengan syarat tak lebih dari secangkir kopi. Sewaktu kami
ngobrol (lagi) di kediaman mantan Wakil Bupati Jember tersebut, eh,
ternyata, di belakang, mobil saya dicucikan. Seorang lelaki paruh
baya tampak menyemprotkan air dan mengelap bodi mobil. Waduh, ini
jebakan, tapi asyik juga, sih. Rupanya, begitulah cara beliau membuat
kejutan. </span></span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Dari
Karangharjo, saya menuju Sempolan, pertigaan jalan raya
Jember-Banyuwangi. Saya ikat janji dengan Kak Fadlillah di sana. Pas!
Kami bertemu dan hanya sebentar dalam selisih waktu. Sebetulnya, saya
juga ingin mampir di Suren untuk bertandang ke rumah Lora Miftah,
tapi kata kabar tersiar, beliau kurang sehat dan masih butuh
istirahat. Jadi, rencana bertemu dengan beliau </span></span><strike><span><span lang="id-ID">gagal</span></span></strike><span><span lang="id-ID">
ditunda.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Dari
situ, kami meluncur ke timur, menuju perkebunan pinus di <a href="https://goo.gl/maps/exG8ZkiQQA7AXACU6">Garahan</a></span></span><span><span lang="id-ID">
untuk menghadiri kopdar Triwulan Komunitas Colt Jember (JCL).
Istilahnya, sekalian mampir mumpung saya memang hendak melintasi
Gumitir.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-size: medium;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgVKN5jQkkMw8Sky8MDzWH5pKar8hvE1l_Ftq4ELjrFDD4hS7Wnyaj4K75r9Qu350ePasIcx8B74eboGBFK1uKEUqsTrMRypxSlddXgD-HehZQul4REA6m753rgyJZWvPADCd8sr88vt7hIOy5JaqVLaslwM-P5mHezGsxlQIH_fjQtUq39uXdv3swZ1w=s1000" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1000" data-original-width="736" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgVKN5jQkkMw8Sky8MDzWH5pKar8hvE1l_Ftq4ELjrFDD4hS7Wnyaj4K75r9Qu350ePasIcx8B74eboGBFK1uKEUqsTrMRypxSlddXgD-HehZQul4REA6m753rgyJZWvPADCd8sr88vt7hIOy5JaqVLaslwM-P5mHezGsxlQIH_fjQtUq39uXdv3swZ1w=s320" width="236" /></a><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Kopdar
Colt JCL ini, kabarnya, dilaksanakan tiap tiga bulan sekali. Tapi,
selama dua tahun terakhir kosong karena pandemi. Untuk kopdar pertama
setelah lama </span></span><span><span lang="id-ID"><i>diem-dieman</i></span></span><span><span lang="id-ID">,
mereka buat pengumuman di Facebook. Saya menyatakan bersedia hadir
karena memang ada rencana ke Jawa. Hukum “sekalian” dan “mumpung”
pun berlaku. Eman-eman jika datang untuk satu kepentingan padahal
bisa nambah untuk kepentingan yang lain. Maka, saya ikut pepatah:
“sekali ngegas dua-tiga kota terlampaui”.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Dalam
acara itu, hadir teman-teman Jogja, Kediri, Malang, juga Surabaya.
Lainnya saya kurang tahu. Tapi, yang paling banyak jelaslah yang dari
Jember dan Banyuwangi, kebanyakan mobil bak terbuka. Acara resminya
sebetulnya tidak lama, satu jam tak sampai. Tapi, orang-orang tidak
segera bubar. Sebagian menyelenggarakan rapat untuk acara mendatang,
sebagian lagi mandi, atau bersepada, atau main ATV (memang ada
persewaannya, termasuk anak saya ikut main). Sebagian lagi entah pada
ngapain saja. Entahlah.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Sekitar
pukul 13.00 lewat, saya meninggalkan lokasi, berbarengan dengan
beberapa mobil yang keluar. Rombongan Jogja sudah pergi dari tadi.
Saya belok kiri, yang lain belok kanan. </span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Tak
jauh dari tempat itu, Colt langsung menghadapi tanjakan mengular,
Gunung Gumitir. Ini jalan memang paling asyik suasananya. Tapi,
sekarang tidak seserem dulu. Waktu kecil, saya sering lewat jalan
ini, ketika kendaraan tak seramai sekarang. Dulu, kalau malam,
mobil-mobil yang mau melintasi hutan ngumpul lebih dulu di Garahan.
Setelah ada beberapa, baru mereka konvoi lalu mulai jalan
bersama-sama. Kenapa begitu, adakah mereka takut hantu hutan atau
takut perampok, wallahu a’lam. </span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Lepas
hutan, masuk Kalibaru. Dari spion kanan, tampak ada dua Colt yang
membuntuti. Saya sein kiri supaya mereka menyalip, namun mereka tetap
di belakang. Akhirnya, saya paham. Rupanya, mereka mengawal,
mengiringi. Dan ketika saya telah tiba di tempat persinggahan,
<a href="https://goo.gl/maps/GoBFET3uqpqXFu8x8">Majlisus Sa’adah</a>, Wadung, Glenmore, untuk menyambangi sepupu saya,
tiba-tiba Colt station berhenti juga (yang pikap lanjut). Loh,
ternyata, yang nongol adalah Mas Agus Supriady (beliau ini beberapa
kali membeli buku sama saya). Maka, terjadilah perbincangan sekejap.
Lain waktu, saya ingin bincang lebih lama dengan dia, tidak di tepi
jalan, tapi di suatu tempat yang lebih nyaman. Kapan itu? Saya tidak
tahu.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Cik,
aku cuman mau numpang tidur sejenak, ndak usah repot-repot,” kata
saya pada si sepupu yang perannya saat itu adalah sebagai tuan rumah.
Itu ucapan serius, bukan basi-basi.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Iya,
Kak, silakan,” jawab si Locik yang bernama asli Yazid lebih datar
lagi.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Tapi
setelah kurang lebih satu jam tidur, saya bangun dan tiba-tiba saya
melihat makanan yang sudah disediakan. Basa-basi gagal, ternyata saya
diperlakukan sebagai tamu beneran. Ya, terlanjur ada, diembatlah itu
si nasi dan si ikan dan si lauk-pauk lainnya. </span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Dan
seperti yang sudah saya sampaikan di awal kedatangan, sesuai S.O.P,
saya langsung pamit pergi, melanjutkan perjalanan ke timur. Masih ada
dua titik persinggahan yang harus disamperi, padahal rencana pulang
ke Madura adalah malam nanti? Mungkinkah? </span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-size: medium;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEi_Y8rOKsQoOKzm2R-XfmJRW1v7S9LEzzFqi68I3JJ3Pmalu1iPQ9Eg7XNqHwpKSwd2i6TpeFl6cFRzQEghMLffKl-fouxmJbaekvuOtdZBKtbzNUK9pHWD1OLmRvYWQk8n63_rRg8gTnr2CiKaRNUEdPbqCUhpPQliu33bDPfZMhNm98xZjVSrzyZLlg=s1600" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEi_Y8rOKsQoOKzm2R-XfmJRW1v7S9LEzzFqi68I3JJ3Pmalu1iPQ9Eg7XNqHwpKSwd2i6TpeFl6cFRzQEghMLffKl-fouxmJbaekvuOtdZBKtbzNUK9pHWD1OLmRvYWQk8n63_rRg8gTnr2CiKaRNUEdPbqCUhpPQliu33bDPfZMhNm98xZjVSrzyZLlg=s320" width="320" /></a><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID"><a href="https://goo.gl/maps/aTUUq4Cdj4YNvfBr9">BustanulMakmur II</a> itu masuk ke utara,
Kak,” kata Yazid yang saya panggil Locik.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Ke
utara di mana?”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Pokoknya,
nanti setelah sampai Genteng, Kak Izi bakal ketemu dengan tiga lampu
merah. Nah, setelah lampu merah yang ketiga itu ada jalan masuk ke
utara, belok kiri. Letaknya di belakang kampus Ibrohimi.”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Baik,
pasti ketemu.”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-size: medium;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEggDqOSuz-2MmjEZP8ksS08OZSDpwqbzORtWdc3Vuegzv2h9Ij1Q7L9Se970G2CzmiPj7ogqt92MaANbnlO6MGLziGQ99Qdu_cMTFfBIiUCdDdo3qeeBpQscR_2deChl7xHp72iZTvih32xi_oC7tWfUxy588mI34tfed_4It6UFHTavikIunm88CIGUg=s4512" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3000" data-original-width="4512" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEggDqOSuz-2MmjEZP8ksS08OZSDpwqbzORtWdc3Vuegzv2h9Ij1Q7L9Se970G2CzmiPj7ogqt92MaANbnlO6MGLziGQ99Qdu_cMTFfBIiUCdDdo3qeeBpQscR_2deChl7xHp72iZTvih32xi_oC7tWfUxy588mI34tfed_4It6UFHTavikIunm88CIGUg=s320" width="320" /></a><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Tujuan
ke Bustanul Makmur adalah untuk mengunjungi Rifki dan adiknya, Afthon
Dhani. Kedua saudara ini adalah sepupu persis almarhumah istri saya
(juga famili saya). Keduanya sedang menjalani guru tugas dan desainer
di pondok yang didirikan oleh Kiai Saifuddin tersebut. Sore itu,
Dhani sedang ngajar dan Kiki sedang keluar. Saya menunggu. Setelah
bertemu Dhani, baru Kiki datang menjelang maghrib. Kejutan baru
terjadi. Ternyata Kiki—panggilan Rifki—baru pulang dari Bustanul
Makmur Pusat. Dia mengatakan bahwa saya sempat dirasani Gus Endi.
Terpancing oleh itu, akhirnya kami pergi ke sana.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-size: medium;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjWmAsFaJQI53ZVeRnvHFDivJ4xzagnhXM-14rZW0rtk1HmXkGMpZBsd4VFgVxbqD9stvBSQyGSVqoowI36oYgeBohgHXRgOEmM3298ZGZrEjC32vBGyL_klAfQ3n-cwnN6-i2mmBk5rbMLnn-rLwdFBrtHNFYZKs0HbACzcRzyKanMCrFX7amgTQyd-w=s5056" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3792" data-original-width="5056" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjWmAsFaJQI53ZVeRnvHFDivJ4xzagnhXM-14rZW0rtk1HmXkGMpZBsd4VFgVxbqD9stvBSQyGSVqoowI36oYgeBohgHXRgOEmM3298ZGZrEjC32vBGyL_klAfQ3n-cwnN6-i2mmBk5rbMLnn-rLwdFBrtHNFYZKs0HbACzcRzyKanMCrFX7amgTQyd-w=s320" width="320" /></a><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Maka,
bertemulah kami di <a href="https://goo.gl/maps/n5oHBBjUBWwGc9zz6">Bustanul Makmur Pusat</a> yang ternyata memang merupakan kediaman Gus Endi. Saya bertemu beliau
di Buleleng, dua tahun lalu, di rumah sepupu beliau, pamanda Ahmadul
Faqih Mahfudz (yang secara nasab merupakan sepupu Gus Endi dari jalur
ayahnya; merupakan paman saya dari jalur ibu saya yang nyambung
melalui embah putrinya. Tapi, Gus Endi ternyata bukan paman saya
karena beliau berada di jalur nasab yang berbeda). Di sana, kami juga
bertemu dengan Gus Imdad dan Gus Nawal serta seorang temannya dari
Jember. Pertemuan yang kurang tepat secara waktu—karena habis
maghrib—itu sangat gayeng sehingga sempat membuat saya lupa diri,
lupa bahwa masih ada satu titik tersisa yang harus disingghi.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Karena
saya tidak menggunakan Google Maps, maka saya tidak bisa
memperkirakan jarak. Makanya, saya terkaget-kaget karena ternyata
rute Genteng – Banyuwangi itu sangat jauh, lebih-lebih malam itu
gerimis dan jalan sangat padat, ditambah rutenya tidak akrab. Begitu
membosankan, tapi saya jalani saja dengan santai. Bonusnya adalah
salah jalan di Banyuwangi. Saya sempat muter-muter beberapa kali dan
baru berhasil mengakses kembali Jalan Nasional ke arah Ketapang
setelah buang jarak dan buang waktu kurang lebih 15 menit lamanya.
Itu buang-buang jika mengingat saya sedang kejar waktu ingin sowan ke
Kiai Fadlurrahman, tapi itu juga tambahan pengalaman sebab akhirnya
saya jadi tahu tempat-tempat yang semua tidak pernah saya lewati.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Terus,
bagaimana cara saya agar tahu jalan masuk ke pondok pesantren asuhan
Kiai Fadol (panggilan masyarakat terhadap Kiai Fadlurrahman Zaini)
itu sementara congap (pertigaan jalan masuk)-nya sangat tersembunyi?
Yang saya lakukan adalah menelepon adik agar mengecek jarak dari
Pelabuhan Ketapang ke congap yang mengarah ke pondok beliau, PP
Al-Abror Ar-Robbaniyun. </span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">18
kilometer,” katanya.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Pas?”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Iya.”
</span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Saya
pun menginjak gas tanpa ragu dan baru kembali memperhatikan
pergerakan odometer mobil setelah odo mencapai 17 km. Setelahnya,
barulah saya mencari jalan masuk ke arah kanan, ke timur, ke arah
pondok, eh, ternyata masih larat juga. Masih untung ada tukang sate
yang menyelamatkan. Saya bertanya kepadanya. Kata dia, saya kelewatan
sekitar hampir satu kilometer. Barangkali, tukang sate itu sudah lama
sekali tidak bertemu dengan orang yang bertanya lokasi karena
orang-orang pada pakai aplikasi (setelah tiba di rumah dan menulis
catatan perjalanan ini, saya cek di Google Maps melalui PC, ternyata
jarak dari pintu pelabuhan Ketapang ke congap itu cuman 16 kilometer.
Adik saya sepertinya salah paham karena angka 18 kilometer tersebut
adalah jarak dari pintu pelabuhan ke pondok <a href="https://goo.gl/maps/pkh3sYUevzhzpnDg6">Nurul Abrorar-Robbaniyyin</a>, bukan ke
congap). </span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Sowan
ke Kiai Fadlurrahman Zaini di malam itu gagal. Kata petugas,
sepertinya waktu sudah kemaleman untuk bertamu. Jam menunjuk 21.30.
Memang iya, sih. Mereka memberi saran agar kami bermalam. Saya
berterima kasih karena itu tidak mungkin. Tak apa-apa, semoga lain
waktu kami bisa ke situ. Sebelum pergi, sempat terlintas kenangan
terakhir di tempat itu bersama mendiang istri saya, melintasi
khayalan. Saya ingat sowan terakhir kami dua tahun yang lalu. Di
sana, kami disambut dengan penuh kehangatan (dan ...ah, tapi saya
jadi sedih).</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Perjalanan
diteruskan ke Arjasa setelah kami singgah sejenak di sebuah kedai, di
Galekan. Menghubungi nomor Moeftin Nadzir tapi tak aktif, ya sudah,
lanjut saja. Hujan lumayan deras. Sempat saya gelagapan di dalam
hutan Baluran. Saya deja vu, ingat kejadian serupa 12 tahun yang
lalu. Tapi, kali ini lebih mencekam karena dua kali lampu depan mati
mendadak lalu hidup kembali. Kak Fadlillah mengaku cemas atas
kejadian itu (tapi ia sampaikan setelah tiba di Madura). Mungkin,
mati lampu dianggap isyarat kurang baik. Tapi, bagi saya tidak karena
saya tahu persoalannya. Kejadian mati lampu mendadak memang sudah
terjadi sebelumnya, beberapa kali, tapi belum ketemu masalahnya. Baru
setiba di Asembagus lah saya tahu. Ternyata, penyakitnya adalah
penjepit sekring tabung goyah, bukan relay lampu yang karatan seperti
yang saya duga sebelumnya.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Akhirnya,
saya tiba di Arjasa dalam keadan penat tak berdaya. Rencana mau
lanjut malam itu juga digagalkan. Sebetulnya, saya bisa tidur
sejenak, bangun, dan langsung berangkat. Tapi, bukan itu alasannya,
bukan capeklah alasan terbesarnya, melainkan karena saya tak ingin
pagi esoknya anak saya bangun dan menemukan saya tak ada lagi dari
sisinya.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Besok
saja, Kak,” kata saya pada Kak Fadlillah.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span><span style="font-size: medium;"><style type="text/css"><span style="font-family: inherit;">p { margin-bottom: 0.1in; direction: ltr; color: rgb(0, 0, 10); line-height: 120%; text-align: left; }a:link { color: rgb(0, 0, 255); }</span></style></span></p>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-45259372469374765202022-02-13T09:12:00.006+07:002022-02-13T13:07:47.476+07:00Seribu Kilometer untuk 500.000 Kilometer (Etape II)<span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID"><b>SABTU,
5 FEBRUARI </b></span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><p><span style="font-size: medium;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgQ9Tr8aEI_sYRzUL4wEyXF9GXEidxh60oDHlD-VwQ5IQC5Cq-2wUPbVBkwMYjGCNviR2w_NVEEgafTU6JgF2vWGWIKpuGhEarfM_qqb19zmYhEG9-e25El_mJpoJ4y3u4NqamSJWFDvs8MARTs_58D-T88En1Qv4zBm48z93xCIVpuJP9aJfoNyr1FBA=s800" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="800" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgQ9Tr8aEI_sYRzUL4wEyXF9GXEidxh60oDHlD-VwQ5IQC5Cq-2wUPbVBkwMYjGCNviR2w_NVEEgafTU6JgF2vWGWIKpuGhEarfM_qqb19zmYhEG9-e25El_mJpoJ4y3u4NqamSJWFDvs8MARTs_58D-T88En1Qv4zBm48z93xCIVpuJP9aJfoNyr1FBA=s320" width="320" /></a></span></p></div><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Ra
Nuriz ada, ya?”</span></span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Insya
Allah ada.”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Ndalemnya
yang sebelah mana?”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Yang
paling timur.”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Terus,
saya mau parkir di mana?”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Di
situ!” </span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Santri
petugas parkir menunjukkan arah yang saya perkirakan 100 atau 150
meter di depan. Tapi, sebelum mesin mobil saya matikan, saya bilang
pada mereka, “Sebentar, saya mau menghadap dulu...”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><p><span style="font-size: medium;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiFxxL0TSoQPq6Goqf4b-6BhrUmxIOGofELdIL4fj5IPEWnhVbs6Ecmr02idfKLiMDAKmbs6CEOTmjwCEkhjS83UZObw3XXlaiif1k0VxRNULz1oeUKuYiN6zJ1bDitzmlJLkwWXKwkEjA0oADQZ7PY9s09B7o9OR8AdayHVRCnVjDsw0fwzkeUdfxqxA=s3264" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2448" data-original-width="3264" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiFxxL0TSoQPq6Goqf4b-6BhrUmxIOGofELdIL4fj5IPEWnhVbs6Ecmr02idfKLiMDAKmbs6CEOTmjwCEkhjS83UZObw3XXlaiif1k0VxRNULz1oeUKuYiN6zJ1bDitzmlJLkwWXKwkEjA0oADQZ7PY9s09B7o9OR8AdayHVRCnVjDsw0fwzkeUdfxqxA=s320" width="320" /></a></span></p></div><p><span style="font-size: medium;">
</span></p><p><span style="font-size: medium;">
</span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Pintu
utama PP Walisongo di Panji memang tutup, tapi saya tahu, saya bisa
masuk lewat pintu samping. Begitu kata orang yang saya tanya lebih
dulu. Saya mau ketemu Pamanda Nuriz, menantu Kiai Cholil As’ad.
Pagi itu, saya mau bersilaturahmi sekaligus belajar ilmu </span></span><span><span lang="id-ID"><i>arudl</i></span></span><span><span lang="id-ID">
kepada beliau, tak apa-apa meskipun sebentar. Dan benar, Man Nuriz
muncul lalu bertanya.</span></span></span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Bawa
Pariwisata?” tanyanya seraya tersenyum. Beliau paham, maksudnya
adalah Colt T120 milik saya yang di kaca depannya tertempel stiker
“Pariwisata” dan sudah terpasang kurang lebih 12 tahun yang lalu.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Iya,
parkir di luar.”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Wah,
jaaaangan, masuk saja, dibawa masuk ke sini.”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Astaga,
terpaksa, mobil saya dimasukkan. Wah, mobil kurang ajar ini, he, he,
he. Mobil tamu mestinya parkir di tempat yang disediakan, tapi karena
mendaapat perintah tuan rumah, jadilah mobil dibawa masuk oleh Kak
Fadlillah dan diparkir persis di depan pintunya tuan rumah, gaya
sekali!</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Itulah
kegiatan pertama saya di Sabtu pagi. Setelah makan dan pamit kepada
bibinda di Arjasa, saya minta izin bawa anak saya jalan-jalan ke
Jember. Beliau membolehkan. Hitung-hitung, supaya dia belajar kenal
dan tahu famili serta teman-teman ayahnya. </span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Di
rumah Man Nuriz, terjadilah percakapan asyik, makin asyik setelah
secara tiba-tiba datanglah Zainal Asyikin, makin asyik sajalah. Kami
dijamu makan enak dan dibawakan buah tangan kopi ketika pamit pulang.
Pagi itu, kami dapat ganjaran silaturahmi, dapat ilmu, dapat buku,
dapat ini dan itu.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Di
luar, kami berpencar. Zainal pulang ke Corasale, saya belok kanan,
menuju Bondowoso. Di tengah perjalanan, area sekitar Wonosari, saya
sempat tidur sekejap di tepi jalan karena tak tahan kantuk. Tidur
semalam rasanya belum tuntas. Kucek mata, kami lanjutkan perjalanan
ke Jelbuk, ke dusun Palalangan, Sukowiryo. Saya mengantarkan Kak
Fadlillah untuk menjumpai tetangga rumahnya yang kini mukim di sana. </span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">***
</span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Sepertinya
Colt Pariwisata beredar di area Jelbuk, Keh?”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Iya
Benar. Dari siapa, ya?”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Saya
Sabil.”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Ooo...
kok Anda tahu?”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Tadi
saya sempat nguntit di belakang mobil Sampeyan.”</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
</p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><p><span style="font-size: medium;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgRgZFRcw9435xqcto5nHopAlDL-I7j6OKGiq8444sphAIVKF4MFpt6tam-ddLjLar14LZe3lj_PLd6eAlN1QHULei1o6ZRM2ALp0QmxgJOZaeWRpX0SgJ4FJ_3DAmJdQth1yLPdPgW5_QeO6E9F3Y_p4HciB0JFNTXICINtUe4by2fzamUsCYO6tum0Q=s1600" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgRgZFRcw9435xqcto5nHopAlDL-I7j6OKGiq8444sphAIVKF4MFpt6tam-ddLjLar14LZe3lj_PLd6eAlN1QHULei1o6ZRM2ALp0QmxgJOZaeWRpX0SgJ4FJ_3DAmJdQth1yLPdPgW5_QeO6E9F3Y_p4HciB0JFNTXICINtUe4by2fzamUsCYO6tum0Q=s320" width="320" /></a></span></p></div><p><span style="font-size: medium;">
</span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Di
atas ini adalah sebagian percakapan saya dengan Sabil melalui
telepon, sesaat sebelum mencapai lokasi rumah Pak Abdul Hayyi, tempat
tujuan kami. Lokasi rumah beliau rada terpencil, masuk ke jalan kecil
yang rimbun. Situasi jalannya malah seperti dalam dongeng. Suasana
rumahnya membawa saya pada nostalgia suasana kampung di awal tahun
90-an: sepi. </span></span></span><span style="font-size: medium;">
<span style="font-family: inherit;">
</span></span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Habis
asar, kami pulang. Arahnya beda dengan jalan ketika kami datang yang
mulutnya berada di selatan Puskesmas Jelbuk. Tuan rumah mengarahkan
kami supaya belok kiri, nanti, setibanya di jalan masuk ke dusun
Pelalangan. Saya mengarahkan mobil sein kiri, ke arah timur, menuju
pertigaan Sumber Kalong untuk selanjutnya belok kanan, menuju
Kalisat. Inilah rute paling singkat menurut Pak Hayyi, bukan menurut
Google Maps (karena kami berdua memang tidak pakai peta digital).</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Tujuan
kami ke Kalisat ada dua: Kak Fadlillah demi mengunjungi cucunya
(putranya diambil menantu K. Muzammil), sementara saya mau jumpa sama
Isom, putra Kiai Rasyidi. Ternyata, saya gagal bertemu karena si
calon tuan rumah tidak dapat dihubungi. Akhirnya, saya lanjutkan
perjalanan ke <a href="https://goo.gl/maps/ovh5skaCLxBeGmkF7">Kancakona Kopi Jember</a> (lokasinya berdampingan
dengan BLK Jember di Tegal Besar), untuk mengikuti diskusi yang
diselenggarakan oleh Lesbumi NU Jember, bincang-bincang dengan
cerpenis Muna Masyari. Saya pergi berdua dengan Salim, anak saya.
Sementara Kak Fadlillah nginap di Kalisat. Kami janji ketemuan lagi
esok paginya. </span></span></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Malam
Ahad itu, saya menutup rangkaian silaturahmi hari kedua di
Karangharjo, di rumah Nur Hariri. Senang tak terkira saya rasakan
karena hal ini ibarat pengabulan atas keinginan yang saya sampaikan
pada tuan rumah, kira-kira sebulan yang lalu (semoga kedatangan saya
tidak mengganggu mereka dan andai saja mereka direpotkan, semoga
mendapatkan ganti kebahagiaan dari Allah swt). Di sana, kami ngobrol
sampai larut dengan Mamat, Oling, Manamo, dll. Saya juga diajak
melihat unit usaha pondok <a href="https://goo.gl/maps/8RrHhYtXR2Ky5AxHA">Al-Falah</a> yang baru, yaitu mesin sangrai (roasting) kopi produk lokal Jember.
Dan saya disuguhi kopi dari hasil kerja mereka.</span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span><span style="font-size: medium;"><style type="text/css"><span style="font-family: inherit;">p { margin-bottom: 0.1in; direction: ltr; color: rgb(0, 0, 10); line-height: 120%; text-align: left; }a:link { color: rgb(0, 0, 255); }</span></style></span></p>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-51457942853187410962022-02-13T09:11:00.001+07:002022-02-13T13:08:22.317+07:00Seribu Kilometer untuk 500.000 Kilometer (Etape I)<p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">JUMAT,
4 Februari 2022</span></span></span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID"> </span></span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
</p><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; text-align: left;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><p><span style="font-size: medium;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhYvnjcXzPicjbgZjRLXC3OqIR1tgrTw_PRdbiBvK8-wUqXzczIgahGAZqzvowSGtMgwxR5Y8-ynJUbaaOgq2aDgKCO90R3Isb4qvkaXicjPyLIp3nrdpKj-aDxIdXlBOZbR2yk_pYKLoFAnZnSd_Jy8mYFT3tbRFefeX_GpvYiLMe8GNaPyvJGx1V-cg=s1600" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhYvnjcXzPicjbgZjRLXC3OqIR1tgrTw_PRdbiBvK8-wUqXzczIgahGAZqzvowSGtMgwxR5Y8-ynJUbaaOgq2aDgKCO90R3Isb4qvkaXicjPyLIp3nrdpKj-aDxIdXlBOZbR2yk_pYKLoFAnZnSd_Jy8mYFT3tbRFefeX_GpvYiLMe8GNaPyvJGx1V-cg=s320" width="320" /></a></span></p></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><p><span style="font-size: medium;">angka odo sebelum berangkat<br /></span></p></td></tr></tbody></table><p style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"><span style="font-family: inherit;"><span><span lang="id-ID">Berangkat
Jumat pagi ke Situbondo membuat saya harus merancang shalat Jumat di
jalan. Cerita akan berbeda andaikan saya berangkat malam Jumatnya
(maka saya akan mengganti Jumatan dengan zuhur-jamak-ashar dan
waktunya relatif lapang). Maka, diputuskanlah Kwanyar sebagai tujuan
transit: istirahat dan shalat karena saya memperkirakan tiba di sana
pada pukul 11 kurang. Ternyata benar, pukul 10.40, kami sudah sampai.
Masih ada waktu untuk </span></span><span><span lang="id-ID"><i>qailulah</i></span></span><span><span lang="id-ID">
(tidur sebentar) karena saya memang mengantuk. </span></span></span>
<span style="font-family: inherit;">
</span></span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><p><span style="font-size: medium;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjX9CjZ4w4HlBVkBe5cfIk4-K_VeOPSSfByHqCqdzeuGoN67X1E5MxsBwQbGDjv6pJZAW96aXRekM_jxGYFYY54HAlJz4Jm4X4MFXIbZDKSdR4S_m1aLHLCS2FnS-12sVbZoFgFs-nyjGynMXchgDmc4L2oCGd0NhOiRRwQpXQ6UkxKhBO5RGil-LssJQ=s1600" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjX9CjZ4w4HlBVkBe5cfIk4-K_VeOPSSfByHqCqdzeuGoN67X1E5MxsBwQbGDjv6pJZAW96aXRekM_jxGYFYY54HAlJz4Jm4X4MFXIbZDKSdR4S_m1aLHLCS2FnS-12sVbZoFgFs-nyjGynMXchgDmc4L2oCGd0NhOiRRwQpXQ6UkxKhBO5RGil-LssJQ=s320" width="320" /></a></span></p></div><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Gak
tahunya, tuan rumah, H. Syaiful Bahri, membuyarkan rencana itu. Dia
ajak saya mengobrol, dari sebelum shalat dan berlanjut bakda Jumat.
Akhirnya, saya pergi meninggalkan Kwanyar menjelang pukul 14.00 dalam
keadaan masih mengantuk karena tidak sempat istirahat. Saya lewat
Sukolilo, tembus Labang, dan turun, langsung ke Jembatan Suramadu. </span></span></span><span style="font-size: medium;">
</span><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-size: medium;"><br /><br /></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><p><span style="font-size: medium;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgNdl22BWjUEdY6di-UMPJQqThJLqNBT_NCqfBl6GZOmrVIOUi4m_jE5f9lOAh4Z2wdjQVFpOER-E55heYlZbPZoBnTe-3ICm5AQToLIvG-HPaKOXFeV1Qq6KStC0hcG4dpl_Oc90au-3fDnHvRTT0VQlWsPZX7TRle05IOQhYYSRh3is89-dRJJs2GMA=s1600" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgNdl22BWjUEdY6di-UMPJQqThJLqNBT_NCqfBl6GZOmrVIOUi4m_jE5f9lOAh4Z2wdjQVFpOER-E55heYlZbPZoBnTe-3ICm5AQToLIvG-HPaKOXFeV1Qq6KStC0hcG4dpl_Oc90au-3fDnHvRTT0VQlWsPZX7TRle05IOQhYYSRh3is89-dRJJs2GMA=s320" width="320" /></a></span></p></div><p style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;">Untunglah,
saya bisa membayar rasa kantuk tersebut di <a href="https://goo.gl/maps/q7ax7VAZoGudwp286">Jungkir Balik</a>, sebuah kafe yang terletak
persis di sebelah barat stadion Delta Sidoarjo. Ini terpaksa
dilakukan karena saya sudah tak tahan. Saya bayuangkan, andaikan ada
orang yang memvideo, langkah saya pasti lucu: seseorang masuk ke kafe
tapi membawa bantal kecil, tidak pesan kopi, malah mau tidur. </span><span style="font-size: medium;">
<span style="font-family: inherit;">
</span></span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Kepada
salah seorang pelayannya yang nongol duluan (yang agaknya tahu saya
karena saya memang agak sering ke situ) saya sampaikan maksud dan
tujuan saya datang. </span></span></span>
</p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Mbak
Lia ada?” Saya berbasa-basi.</span></span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Belum
datang,” jawabnya setelah membuka pintu.</span></span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Oh,
anu... Mas, saya cuman mau numpang istirahat.”</span></span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">“<span><span lang="id-ID">Oh,
iya. Silakan.”</span></span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Lalu,
saya membalas senyumannya sembari melenggang sebelum ditawari minuman
kopi atau nge-bakso.</span></span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Di
lantai tiga (lantai duanya kedai Bakso Cak To), teradapat mushala. Di
situlah saya telentang dan dalam sekejap saja sudah terpejam. Satu
jam berselang, kira-kira pukul 16.25, saya bangun dan langsung mancal
mobil menuju ke timur, masuk tol lagi, turun di Grati, bayar mahal,
dan tidak gratis. </span></span></span>
</p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Dalam
perjalanan kali ini, saya ditemani Kak Fadlillah. Ya, kami hanya
berdua. Penumpang lain gagal ikut karena alasan satu dan dua,
eman-eman, sih, sebenarnya. Lalu, karena terasa mulai lapar,
mampirlah kami di sembarang warung. Yang tampak pertama setelah kami
ambil keputusan adalah adalah <a href="https://goo.gl/maps/us395BTZorFXSu5N9">Warung Sinto</a>, warung rawon semboyannya.
Lokasinya di sekitar Dringu, timurnya kota Probolinggo. Saya kurang
ahli dalam kuliner, jadi mending tidak usah komentar saja soal
rasanya, kayak rawon pada umumnya. Sebetulnya, saya mau melipir di
Warung Kencoer yang beberapa bulan sebelumnya tutup dan kini buka
kembali meskipun agaknya ganti manajemen. Kenapa gak jadi? Saya juga
gak tahu dan tidak ingat, kenapa tidak jadi.</span></span></span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><span><span lang="id-ID">Perjalanan
ke timur terbilang lancar, tersendatnya cuman sedikit. Jumat sore dan
malamnya, suasana jalan selalu pada umumnya, ramai. Para kelas
pekerja perantauan angkatan PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad) akan
melakukan ritual nyambang anak-istri pada sore hari atau malamnya.
Mungkin sebab inilah kami baru tiba di <a href="https://goo.gl/maps/pcQ2bZ8dZw6gwAms7">PP Is’aful Mubtadiin</a>, Desa Lamongan, timurnya SKB
Arjasa, pada pukul 21.30. Agak malam tak apa-apa karena saya senang
sekali bisa jumpa dengan anak kedua saya yang sudah 4 bulan tinggal
di sana (ceritanya nanti ada di blog ini, di postingan yang berbeda,
dan saat ini masih ditulis). </span></span></span>
</p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit; font-size: medium;"><br /></span>
</p><p style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit; font-size: medium;">
</span></p><p style="text-align: left;"><span style="font-size: medium;"><style type="text/css"><span style="font-family: inherit;">p { margin-bottom: 0.1in; direction: ltr; color: rgb(0, 0, 10); line-height: 120%; text-align: left; }a:link { color: rgb(0, 0, 255); }</span></style></span></p>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-20235075661417046762022-02-13T06:57:00.004+07:002022-02-13T06:57:36.868+07:00Platina, Trigger, atau CDI buat Colt T120, Pilih Mana?<br>postingan menyusulTitosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-66607849833063071592021-12-30T16:30:00.006+07:002022-03-06T07:28:00.514+07:00Ngerem di Klaten, Berhentinya di Jogja<p><br />Berat sekali bepergian ke suatu tempat untuk menghadiri suatu acara yang tidak begitu ada acaranya, padahal di rumah sendiri akan berlangsung suatu acara. Itulah yang saya alami. Saya diundang hadir main ke rumah Pak Bambang di Klaten, sementara di rumah, saudara sepupu dua kali hendak menikah. <br /></p><p><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhtRLkpgR7rokG2MYxSs3H7qFibkB6fCGa0wKvOOGyZzvQCSrRkkXyVknaMUTTe-ZxnzBpUCaDktYyqtXO2fj_O79aFM1sksrCuQReJjtJX4yhjrTnd0ZdnzrSVtDX3-867cmxBu01Pos-LBTxmSibarZ-pEIO6yVDao24CFMDj0DnhPwPnLADQfAp6zg=s1056" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="815" data-original-width="1056" height="247" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhtRLkpgR7rokG2MYxSs3H7qFibkB6fCGa0wKvOOGyZzvQCSrRkkXyVknaMUTTe-ZxnzBpUCaDktYyqtXO2fj_O79aFM1sksrCuQReJjtJX4yhjrTnd0ZdnzrSVtDX3-867cmxBu01Pos-LBTxmSibarZ-pEIO6yVDao24CFMDj0DnhPwPnLADQfAp6zg=s320" width="320" /></a><br />Karena saya tidak bisa membagi diri menjadi dua, maka saya harus memilih salah satunya. Saya hadir ke Klaten karena undangan datang sudah lebih tiga bulan lamanya, terus, yang di rumah, saudara-saudara yang lain diperkirakan akan hadir semua. Dengan begitu, unsur keterwakilan saya kira sudah tepat. Itu keputusan saya. Cus.<br /><br />Perjalanan malam itu, saya berangkat tengah malam lewat Pantura Madura mengingat kemacetan di Blega belum juga dapat diprediksi dengan benar. Saya bersama Khatir dan Makmun. Khatir nyopir sampai dekat Suramadu karena dia sudah tangar sebab sudah tidur lebih dulu, sedangkan saya tidur di mobil. <br /><br />“Kita lewat tengah kota saja, ya.”<br />“Iya,” kata Khatir, ketika saya masuk duluan dan duduk di belakang kemudi, menggantikannya. “Sebetulnya, lewat di Jalan Soekarno-Hatta pun juga gak apa-apa.”<br />“Sudah, lewat tengah saja, lewat Jalan Raya Dharmo, A. Yani, tembus Sidoarjo.”<br /><br />Kepadatan lalu lintas baru mulai terasa saat kami melintasi Sidoarjo, sementara di Surabaya tadi, jalan masih relatif sepi, tidak seperti di Jakarta yang tengah malam pun tetap ramai sekali (sebagaimana kami lintas dua bulan sebelum ini).</p><p>Ketika saya baru saja parkir di bahu jalan, di bawah pohon sono,
kira-kira 150 meter di selatan pertigaan Kejapanan untuk nunggu Agus
yang kabarnya mau ikut dan saat itu—menurut laporannya—dia sedang sedang
naik angkutan umum dan sudah dekat dengan lokasi, tiba-tiba ada
seseorang yang memanggil-manggil saya.<br /></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><iframe allowfullscreen='allowfullscreen' webkitallowfullscreen='webkitallowfullscreen' mozallowfullscreen='mozallowfullscreen' width='320' height='266' src='https://www.blogger.com/video.g?token=AD6v5dy4pOzDfpmFqtKVsEF1Tsa92Nu9ru1sttugQVSanPkswbkl-Et0aeAFM441J8aw706qLI_ww6MiiwemgL-o2A' class='b-hbp-video b-uploaded' frameborder='0'></iframe></div>(rekaman video diambil oleh Puger Nurengga Midya dari seberang jalan)<p><br />“Mbaaaah….” <br /><br />Di seberang jalan, ada mobil towing ke arah selatan, ke arah Pandaan. Eh, Mas Puger rupanya. Saya nyeberang, nyalami ayahnya dan dia.<br /><br />“Kenapa di situ?”<br />“Saya mau ke Klaten, tapi mau ke Kepung dulu, Kediri.”<br />“Oh, iya. Mau ke rumah Pak Bambang, ya?”<br />“Iya.”<br />“Saya kira mogok, he, he…”<br />“Enggak, kok, cuman lagi nunggu penumpang yang mau ikut.”<br />“Baik, saya lanjut saja, ya!”<br />“Iya.”<br /><br />Kami pun berpisah. Agus datang, dan mobil distarter, dan mogok beneran. Waduh, cilaka benar. Towing tadi rupanya merupakan isyarat yang datang duluan, sejenis kaweruh sak duruning winarah.<br /><br />“Kenapa?” tanya Khatir. <br />“Saya tidak tahu.”<br />“Terus bagaimana?”<br />“Terus, ya, didorong, dong… masak mau diperbaiki di sini, buang waktu saja.”<br /><br />Didorong dan jrebb...bret...bret…. Jreeeeng, mesin menyala dan langsung menyusuri jalan Mojosari, ke Mojokerto, ke Mojoagung, lalu belok kiri, nembus jalan kolektor sejauh 30-an kilometer hingga akhirnya saya tiba di pasar Kepung, pare, Kediri. Di sana, saya mau nyambangi kawan Shoim.</p><p><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjwHKDcQOhwcV-AddqIi3-NLDFgaFY9ucxmS70OLaRM6hFTFFhf-BmHiBjVny-nVuLdQmsY7hop2zO7Traff_KGMY2Rr0Z-E5Iwxq-_uMt4mxYZDtV06V2F-yBvpKIt1HQDCTSXrXSw8S3d1ZptL3snIzpWZb62EI-mb_3g1DsYEHtuP-IkF2LZU6Gt4A=s960" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="960" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjwHKDcQOhwcV-AddqIi3-NLDFgaFY9ucxmS70OLaRM6hFTFFhf-BmHiBjVny-nVuLdQmsY7hop2zO7Traff_KGMY2Rr0Z-E5Iwxq-_uMt4mxYZDtV06V2F-yBvpKIt1HQDCTSXrXSw8S3d1ZptL3snIzpWZb62EI-mb_3g1DsYEHtuP-IkF2LZU6Gt4A=s320" width="320" /></a><br />“Secara kalkulasi ekonomi, perjalanan 30 kilometer limpas dari jalur utama itu adalah kerugian jika hanya akan ditukar dengan secarangkir kopi. Tapi, jika tujuannya adalah demi membahagikan teman yang mengharapkan suatu kunjungan, maka harganya tidak bisa lagi dapat di-kurs dengan rupiah, jauh melebihinya...” kata saya dan disusul dengan tawa kecil para penumpang.<br /><br />Saya ingat, jika melintasi Mojoagung, biasanya saya menghubungi Koh Hari atau Haris. Tapi, hari itu, Koh Hari bepergian dan Haris sudah pergi selamanya. Betapa berharganya seorang teman. Hanya itu yang saya batinkan. <br /><br />Tiba di Kepung, saya disuguhi kopi arabica oleh Shoim. Belum habis secangkir, disuguhinya lagi: robusta, entah dari Kediri atau dari Wonosalam, Jombang, saya tidak ngurus. Dia hanya bilang, “Ini kopi lokal.” Akan tetapi, di tengah obrolan, saat saya sudah pamit mau pergi, tiba-tiba datang seorang lelaki yang diperkenalkan Shoim dengan nama Kiai Nuhin. Ladalah, ternyata iparnya Kang Ahmad Jauhari alias Heri dari Panceng Gresik. </p><p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhmLX751g6aSr_J_wp17ttpn2RIE_r0VwBDoPGcgoaKlwSeYzkGc8Z3MjIXrZlKYLBjLtBEY1C2QACqpDawsoY0EiH-SHXO9L1WGAjmBk8qN4j31sbgnMKtsQpbnksn2WMPUvwGViKSt1IdnEiDKxtyIgQFmyf3GlZaXLhxxJN0PvpFXRCPZMBCZLLxNw=s800" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="600" data-original-width="800" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhmLX751g6aSr_J_wp17ttpn2RIE_r0VwBDoPGcgoaKlwSeYzkGc8Z3MjIXrZlKYLBjLtBEY1C2QACqpDawsoY0EiH-SHXO9L1WGAjmBk8qN4j31sbgnMKtsQpbnksn2WMPUvwGViKSt1IdnEiDKxtyIgQFmyf3GlZaXLhxxJN0PvpFXRCPZMBCZLLxNw=s320" width="320" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiTA0tL2xVHdZtruN4sU27PdV2726GL8-j-lsUUGQl9hT3XpAy-zUYi9TZvJ6J9pimIN0F5JJx2GXbPOy9H4epSuagOWohC9KDMlZ4HuXQo8Tfkm8VFCLGcyWqNHBATbanb715YsXv4UiSHuZeVWfq-dctgaaIiulaAruHgLCZUgQ29HYWquMg7eWEf5g=s800" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="451" data-original-width="800" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiTA0tL2xVHdZtruN4sU27PdV2726GL8-j-lsUUGQl9hT3XpAy-zUYi9TZvJ6J9pimIN0F5JJx2GXbPOy9H4epSuagOWohC9KDMlZ4HuXQo8Tfkm8VFCLGcyWqNHBATbanb715YsXv4UiSHuZeVWfq-dctgaaIiulaAruHgLCZUgQ29HYWquMg7eWEf5g=s320" width="320" /></a><br />Oleh beliau, diajaklah saya ke kediamannya, saya tolak tapi beliau menunjukkan ekspresi luar biasa mengharap. Saya tak berdaya, meluangkan waktu kira-kira 40 menit untuk bicara di depan santri-santri lembaga pendidikan Al-Hikmah, Kepung, Pare, Kediri. Seperti biasanya, tak lebih dari materi belajar dan semangat belajar sampai mati. Sepertinya, hanya itu yang saya tahu dan hanya itu yang penting disampaikan di saat itu.</p><p><br /> </p><p><br />Meninggalkan Pare, saya lewat Purwoasri, tidak balik ke Jombang meskipun tadi ada panggilan dari Pak Sularso dan Pak Wahib. Waktu terbatas adalah alasannya. Dalam pada itu, ada dua tempat yang sangat ingin saya singgahi tapi ternyata tidak berjodoh: yang pertama adalah ndalem Kiai Baidlowi di Pare dan ndalem Gus Furqon di Purwoasri. Keduanya harus—sementara—dilupakan karena saya harus segera tiba di Klaten secepatnya.<br /><br />Braan – Caruban ditempuh lewat arteri. Jalanan tidak begitu ramai. Selap-selip kendaraan lewat kiri dimainkan di ruas Kertosono – Nganjuk karena jalannya lebar dan lurus. Hutan Saradan pun menyajikan pemandangan seperti dulu, teduh. Beberapa warung makan besar sudah tutup. “Ini pasti dampak Tol TransJawa,” kata saya. “Nasibnya sama dengan beberapa warung makan besar di area Kanci hingga Brebes, mungkin juga di daerah lainnya.”<br /><br /><br />Saat masuk tol, kemudi diganti Makmun sampai Solo. Saya tidur, lalu menggantikan dia dari Kartasura, menuju masjid Al-Aqsha, Klaten, untuk shalat. Tapi, lagi-lagi tergoda Jogja, dari masjid itu bukannya ke rumah Pak Bambang sebagai tujuan utama perjalanan, saya malah belokkan mobil ke kanan, ke Jogja karena ternyata Pak Bambangnya juga belum tiba di rumah dan masih di Gamping.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgdXHecd76rh969HXVnNa0TkFL__xR4f4L0Ci23K1UEneGztKoX9QL4PkQDNnFvtfs-M02YmayFIgpr-w5p6oBW1Bs3fD7NmG27jYQ71tjACg80g1QHQLkRIWGc1Xg8dKbe-dZXWpV-XMpjLAvg56ygbxKWzb4WgYVa21XTTPHrgZ5b8SKpmBjCOlqQ_w=s1824" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1368" data-original-width="1824" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgdXHecd76rh969HXVnNa0TkFL__xR4f4L0Ci23K1UEneGztKoX9QL4PkQDNnFvtfs-M02YmayFIgpr-w5p6oBW1Bs3fD7NmG27jYQ71tjACg80g1QHQLkRIWGc1Xg8dKbe-dZXWpV-XMpjLAvg56ygbxKWzb4WgYVa21XTTPHrgZ5b8SKpmBjCOlqQ_w=s320" width="320" /></a><br />Kami bertemu dengan Pak Bambang dan Mas Reza (sementara rombongan yang lain di luar saja) malah di kafe Main-Main, saat kami dijamu Imam Rofiie dan Pak Edi sembari ambil cetakan buku yang sudah dipesan beberapa waktu yang lalu. Barulah, setelah hampir 21.30, kami meninggalkan Jogja menuju Klaten, tapi sebelumnya masih tersandera oleh Hanafi di kedai kopinya, Mato, di Seturan, sehingga waktu tiba di rumah Pak Bambang adalah pukul 00.30 karena pakai acara tersesat segala di tengah jalan di semak-semak karena sinyal GPS hilang mendadak. <br /><br />AHAD PAGI: ACARA TANPA ACARA<br /> </p><p>Paginya, Ahad, 26 Desember 2021, kami kumpul-kumpul di rumah Pak Bambang, bersama teman-teman dari Tangerang dan Serang dan Bogor. Satu demi satu, kawan-kawan dari Klaten dan Solo dan Jogja berdatangan. Saya tidak tahu, ini acara apa. Sepertinya, ia merupakan acara tanpa susunan acara. Saya datang ke sana hanya karena undangan Pak Bambang sebagai tuan rumah. Datang untuk apa? Entah, datang untuk, ya, sekadar datang saja.</p><p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjaJpQT0EBYn3CBmSSUXvpVRv8_6XHPlmpnj_c1M6XkjHzTwH8MsZ3TsUCFfRn2eDZjyv2KlLKbECoo4T-B1iXSjHHDfAoHcgXA4tl5RULpFlIOH6m3naaEpI6dWiw21IJfXfDsIAxC65gTUO9VYnFvfLKU5brcHFcXh2Bjr12ElONdmYvbTcQdIi4WPw=s816" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="459" data-original-width="816" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjaJpQT0EBYn3CBmSSUXvpVRv8_6XHPlmpnj_c1M6XkjHzTwH8MsZ3TsUCFfRn2eDZjyv2KlLKbECoo4T-B1iXSjHHDfAoHcgXA4tl5RULpFlIOH6m3naaEpI6dWiw21IJfXfDsIAxC65gTUO9VYnFvfLKU5brcHFcXh2Bjr12ElONdmYvbTcQdIi4WPw=s320" width="320" /></a><br /><br />Acaranya berlangsung di bawah pohon sawo dan druian yang rindang. Kami bercakap-cakap tentang banyak hal sambil makan cemilan khas desa, mulai dari gorng pisan, kacang rebus, ketela rebus, hinga jadah. Minuman ada the dan kopi. Acara guyub rukun dengan suasana Jawa tempoe doeloe.</p><p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEg2jl4DdXy82R5YEM7oADRMiCC8cmUeOTUDkJjpQ3BwGl3M6EzC1g4n4AyHR2cOvvkzVoLdRkwv5jdl2yP5biYXeJeb3rVGl0yLPqJTmeWOx7TZoEvefG25h9JKMg6C5qKXPXzrBeSs3jshBb8nYPMC_JzFp1OGZyW2SVJcdu6yCl_iqWIrrggq7Hk2kA=s960" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="528" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEg2jl4DdXy82R5YEM7oADRMiCC8cmUeOTUDkJjpQ3BwGl3M6EzC1g4n4AyHR2cOvvkzVoLdRkwv5jdl2yP5biYXeJeb3rVGl0yLPqJTmeWOx7TZoEvefG25h9JKMg6C5qKXPXzrBeSs3jshBb8nYPMC_JzFp1OGZyW2SVJcdu6yCl_iqWIrrggq7Hk2kA=s320" width="176" /></a><br /><br />Mbah Cepuk, Mas Wiro, Mas Rosyad, ada juga Mas Hertanto, Mas Benta, Pak Joko, dan banyak yang lain, sudah pulang duluan, satu per satu. Uniknya, setiap mobil yang hendak pulang, dicegat dulu, diajak foto bersama, baru boleh dilepas pergi. Begitulah, ‘perpisahan’ itu jadi menyenangkan sekali. Selain teman-teman tuan rumah yang datang dari Serang dan Banten, tampaknya kamilah yang jadi rombongan yang pulang terakhir kali, pada pukul 15.30.<br /><br />Perjalanan pulang dengan cara masuk dari pintu tol Boyolali (bukan dari Colomadu atau masuk kota Solo lebih dulu dan baru masuk Tol Karanganyar) dipilih karena pertimbangan menghindari kepadatan arus lalin yang diperkirakan mengular di sepanjang Klaten sampai Kartasura, tapi ternyata perkiraan kami keliru. Justru arah Jatinom ke Boyolali-lah yang sangat padat sehingga mobil berjalan tersendat. Ada banyak truk pasir dan mobil-mobil kecil yang merayap, main serobot pula. Yang suka nyalip satu mobil lalu ngerem mendadak juga banyak. Waduh, enggak di Madura, enggak di mana-mana, kelakukan manusia macam ini kalau memang sudah begitu bawaannya, ya, tetap begitu saja tak pilih tempat, tak pilih waktu.<br /><br />Sepanjang jalan tol, dari Boyolali sampai Mantingan, hujan rinai turun membuat suasana semakin syahdu. Saya menyalakan lagu pelan saja, dipadukan dengan semburan AC yang dingin, membuat Colt ini jadi terasa sangat mewah. Tentu saja, jarum penunjuk bensin berasa lebih cepat melorotnya. Saya dan Makmun di depan, tidak tidur, sebab saya yang nyopir dan Makmun menemani, sedangkan Khatir dan Agus sudah begaya macam pejabat saja, tidur berleha-leha di kursi tengah. Mereka bahkan baru bangun setelah menjelang Walikukan, beberapa menit sebelum kami tiba di Widodaren, Ngawi, rumahnya Mas Fadli dan Mas Alwi.<br /><br />Tujuan saya ke sana adalah ambil meja lipat yang saya pesan beberapa waktu yang lalu. Kok pesan meja sampai Ngawi, sih? Apa di Madura tidak ada meubel? Pesan meubelair di Widodaren adalah salah satu cara agar saya dapat dua kali: <br /><br />ada alasan main ke sana. Dan ini adalah kunjungan saya yang ketiga kalinya. Pertemuan dipungkasi dengan sate dan gulai yang sangat lezat, yang kalau dijelaskan di sini khawatir pembaca akan ngeces dan pengen juga menikmatinya. <br /><br />“Gantian, tinggal kamu yang belum nyetir,” kata saya kepada Agus,<br />“Siap!”<br />“Iya, siap, tapi ndak boleh sambil nyopir, sambil mainan handphone, lho!”<br />“Ha, ha, ha…”<br /><br />Kami shalat maghrib isya di Masjid At-Takwa, Walikukun, lalu masuk arteri, melewati hutan pohon jati sampai Ngawi, barulah saya ijab-kabul kemudi dengan Agus. Gilian dia yang berugas dan Khatir menemani. Saya ngantuk dan mau tidur, di kursi tengah. Maka, dengan demikian, semua orang yang ada di mobil ini adalah penumpang sekaligus sopir semua, beda kasus dengan bulan Oktober lalu saat saya ke Jogja, mengajak tiga orang yang ketiga-ketiganya memasrahkan stir hanya only khususon kepada saya. Waduh!<br /><br />Sekitar pukul 00.15, kami sudah tiba di kafe-nya Agus, AKUI, yang berlokasi di sebelah selatan pos saptam perumahan Taman Dayu, Pandaan, padahal tadi pukul 21.00 kurang dikit, kami masih shalat isya di Walikukun dan baru masuk tol hampir satu jam sesudahnya (karena jalan gerimis) melalui Gerbang Tol Ngawi. Mengingat ini, kita harus bersyukur akan adanya jalan tol. Tidak mungkin jarak sejauh 260-an kilometer bisa ditempuh sesingkat itu, apalagi dengan ‘motuba’ seperti Colt T120 ini. Tetapi, jika dipikir lebih jauh, tidak senyaman dan seenak itulah kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Tumbalnya juga banyak: Kita telah kehilangan sensasi emosional di jalan; warung-warung yang tutup di ruas arteri, perubahan psikologi sosial, alienasi, dan masih banyak sekali dampak perubahannya. <br /><br />Anda jual, kami beli. Semua punya konsekuensi.<br /><br />Mestinya, kami sudah masuk Surabaya, tapi ini malah mau ngopi di Pandaan. Tengah malam, tentu saja kafe tutup, tapi pelayan masih ada karena si empunya yang datang. Maka, kami pun ngopi tidak jelas, tidak jelas apa maunya: ngopi menjelang pukul 1 pagi, di bawah langit, dengan pemandangan alam yang pastinya indah sekali andai itu terjadi di pagi atau sore hari, sebab lokasi kafe ini yang bersehadapan dengan ada Gunung Penanggungan ke barat dan hamparan sawah jika kita melihat ke timur. Tapi, ini gelap? Sama saja dengan melihat wallpaper di laptop yang mati. <br /><br />“Kita harus ulangi pada waktu yang berbeda,” kata saya pada mereka. <br /><br />Akhirnya, kami pulang pukul setengah dua setelah ditahan-tahan lebih dulu sama si Agus. Saya ambil kendali kemudia dan memutuskan lewat jalur arteri saja, Jalan Nasional 21 Madura. Jika waktu berangkat lewat pesisir utara karena takut kena macet, kali ini nekat, lewat jalur selatan, lewat pusat kemacetan karena pengecoran jalan: Blega. Dasarnya bukan ngawur, tapi firasat dan terawangan yang kuat bahwa arus lalu lintas bakal lancar. Maka, ketika mobil sudah masuk Kedungcowek, persiapan melintasi Suramadu, kami berdoa, berkirim Alfatihah untuk nenek moyang, untuk semua orang yang pernah membuat dan merintis jalan di Madura, dengan harapan perjalanan jadi lancar tanpa gangguan dan kemogokan, eh, kemacetan juga ding.<br /><br />Benar dan alhamdulilah. Kejadiannya mirip film-film laga khas Hollywood. Di Blega, saat kami baru tiba di ujung antrian panjang, iring-iringan mobil-mobil dari lawan arah (dari timur) sudah selesai melintas dan kini giliran kami yang lewat. Walhasil, mobil saya pun katut, bahkan menjadi mobil terakhir yang boleh melintas sebab setelah itu akses dari arah barat/Surabaya ditutup kembali. Hamdalahaaah. Benar-benar seperti film laga jadinya. <br /><br />Melihat kelakuan orang-orang, saya tah habis pikir. Antrian segitu saja, menyerobotnya masih gila-gilaan, padahal kan sudah jelas dapat jatah jalan, toh. Heran benar sama manusia macam ini. Apakah jenis spesies yang punya otak tapi tidak berpikir? Semacam ada prosesor tapi tidak ada operating system-nya? Atau sejenis PC Under-DOS yang ada di antara Intel Core? Entah, tak paham. Yakin, mereka bukan tidak tahu akan bahaya. Mereka tahu, tapi tidak mau tahu atau tidak tahu diri. <br /><br />Di antara adegan-adegan berbahaya itu, antara lain, nyalip satu truk dan langsung ngerem mendadak di depannya, membuat truk yang bermuatan berat tersebut harus ngerem mendadak pula, yang tentunya jelas tidak mungkin akan menghentikan laju mendadak pula, dan itu sangat berbahaya. Kecelakaan-kecelakaan penyerudukan banyak terjadi dan bermula dari aksi model nyalip seperti ini. Semua diukur pakai ukuran sendiri, tidak tahu tonase, tidak paham jarak aman, tidak ngeri, eh, tidak ngerti. <br /><br /><br />Pak sopir truk bermuatan berat itu pasti emosi, tapi mereka tak berdaya. Makanya, saya yakin, sopir-sopir truk berat pastilah manusia terpilih yang ada pada ranking atas di bidang kesabaran dan ketabahan. Saya membayangkan, seakan-akan truk-truk dan mobil-mobil besar tapi lugu itu turut berdoa: Ya Allah, kami memohon keadilan-Mu. Semoga mereka yang memperoleh kesempatan lebih cepat sampai daripada kami ke tujuannya, tapi dengan cara menyerobot itu segera diberi hidayah dan kami mendapat gantinya, seperti kebahagiaan yang mestinya jatah mereka, berilah kepada kami yang telah dianiyaya; rezeki yang hendak mereka dapat, pindahkanlah ke tangan kami<br />yang telah terzalimi.<br /><br />Tapi, itu cuman imajinasi, entah seperti apa yang bakal dan sesungguhnya terjadi. Dan apakah doa seperti ini layak? Tidak pantas bagi manusia mendoakan buruk bagi sesamanya. Tapi, yang saya bayangkan ini truk dan muatannya yang berdoa, bukan manusianya; mobilnya, bukan sopir dan penumpangnya. Apakah imajinasi ini rasional dan masuk <i>a-colt</i>? Entahlah. <br /><br />Setelah subuhan di Jrengik, saya tetap menuntaskan tugas persopiran sampai kota Pamekasan lalu memasrahkan stir kepada Makmun karena jam sudah menunjukan pukul 06.00, yaktu waktunya saya mengajar secara daring, menggunakan ponsel, disambungkan dengan audio di rumah. Begitulah, bepergian sebisa mungkin tidak sampai menghapus tugas untuk mengajar. Tempat boleh terpisah, tapi ilmu harus tetap dipersatukan. Jarak dan tempat bukanlah masalah. <br /><br /><br /></p>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-37627181588137456912021-10-31T22:58:00.000+07:002022-03-05T22:59:22.224+07:00Coltober <p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjhnF9aaOKdU3H58bOW6aBhWo79ANKzWpVrZuspbGrco9RECQGDmjSRHUgO5Rd7MiZ708M_OYACdR2C5Zyv9jXKHvr7osSM0O5H9xDK_fWk7RTWZgkNGIOwws_G5BHaoQgdd8K7Xi8WJ0UhebfouR9OMYMy2zMyoMXqouA-J_zIkHLXrx3-jWU_HsnOHA=s1703" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="776" data-original-width="1703" height="146" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjhnF9aaOKdU3H58bOW6aBhWo79ANKzWpVrZuspbGrco9RECQGDmjSRHUgO5Rd7MiZ708M_OYACdR2C5Zyv9jXKHvr7osSM0O5H9xDK_fWk7RTWZgkNGIOwws_G5BHaoQgdd8K7Xi8WJ0UhebfouR9OMYMy2zMyoMXqouA-J_zIkHLXrx3-jWU_HsnOHA=s320" width="320" /></a>Selama bulan Oktober, perjalanan yang saya tempuh naik Colt T120 ini mencapai 4.386 kilometer. Jarak ini saya catat untuk tiga rute terjauh. Masih ada beberapa puluh kilometer tambahan di akhir bulan. Cuman itu tidak saya hitung karena hanya rute lokal saja. Atau begini, anggap saja total jarak tempuhnya adalah 4.400 kilometer. Dan ini adalah jarak terjauh dalam satu bulan selama saya punya Colt ini sejak 2008.<br /><br />Adapun ketiga rute terjauh itu adalah; <br /><br />pertama, perjalanan dari rumah (Guluk-Guluk, Sumenep) ke Balaraja di ujung barat (tinggal 60 kilometer lagi ke Pelabuhan Merak), lalu berputar ke selatan, ke Bandung, Ciawi, masuk ke tengah, ke Purwokerto, Wonosobo, dan kembali pulang lewat arteri Pantura. Dalam perjalanan ini, saya tidak menghitung biaya bahan bakar karena sudah pasti banyak. Anggap saja satu liter banding 10 atau 11, pasti banyak, kan? Tolnya saja habis 725.000 sampai Balaraja untuk perjalanan ke barat. Pulangnya tidak banyak karena hanya terpotong waktu masuk tol Cikupa ke Bogor, terus dari Bandung ke Ciawi, dan dari Gresik ke Pasar Turi. Jadi, tak sampai satu jutalah. Selama perjalanan satu minggu ini kami bertiga (berempat sampai Pekalongan, satu penumpang balik ke Madura karena sudah merasa puas setelah sowan Habib Lutfi). Kami bawa termos buat nasi dan lauk pauk kering, seperti serundeng, kacang, abon, dll. Air satu galon tidak habis. Rute ini kami nyopir bertiga: Anam, Qudsi, dan saya. Data rute ini: berangkat Kamis 30 September, sampai rumah hari Kamis 7 Oktober 2021.<br /><br />kedua, dari rumah ke Umbulsari di Tanggul, Jember, di bagian selatan, lalu nyeberang ke pantura Jawa Timur, ke Asembagus, dan pulang ke Guluk-Guluk via Ujung Perak dan menyeberang naik kapal fery ke Kamal, Bangkalan, lalu lanjut ke timur, pulang, kembali ke Guluk-Guluk. Rute ini saya nyopir sendirian. Berangkat Rabu (malam Kamis) 13 Oktober, sampai rumah Sabtu 16 Oktober 2021, dan yang terakhir; <br /><br />ketiga; perjalanan ke Jogja dan pulang lagi ke Madura. Perjalanan berangkat lewat tol sampai Kartosuro, pulangnya lewat tol dari Solo ke Ngawi, lalu lewat arteri via Caruban dan baru masuk tol di Kertosono. Rute ini saya nyopir sendirian. Datanya: berangkat Ahad 24 Oktober, sampai rumah lagi Kamis sebelum subuh, 28 Oktober 2021. <br /><br />Semua rute ini saya jalani bulan Oktober dengan total jarak sebagaimana disebut di atas, 4.386 kilomter. Dari jarak tersebut, saya membuat simulasi jarak andaikan jarak tersebut diterapkan ke jalur Sumatera. Maka, jarak tersebut setara atau mirip dengan jarak dari rumah saya ke Banda Aceh (lewat Lintas Timur Sumatera) lalu kembali lewat jalur pesisir barat dan berakhir di Penyabungan, Maidailing Natal. Barangkali, andai saya gabungkan dengan beberapa puluh kilometer jarak tambahan di akhir bulan Oktober untuk area lokal, jaraknya bisa lebih jauh lagi, bisa-bisa sampai ke Bukittinggi. <br /><br />Anda bisa membaca semua catatan perjalanan di atas secara rinci melalui label; <a href="https://titosdupolo.blogspot.com/search/label/Coltober" target="_blank">#coltober,</a></p><br /><p> <br />Dari perkiraan ini, maka tiba-tiba muncul ide untuk menjajal turing sekali jalan ke Banda Aceh. Siapa mau dan siapa mendukung? <br /></p>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-21654607440790679822021-10-30T06:51:00.005+07:002022-03-06T10:20:34.580+07:00Nggelundung Sampai Jogja <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEizALdxHDFBvbu2_7m8mRllphzIqL3gkEDGs2C-KWhgj_lt8b1Hh4iGG7jM9lAsxJkPf0y8SXz-To8aaxNgVd0L1wwkHJfKSxF_nzF5DEfrXFar7umjkERFSJu0koR9NEHloSvIjp9LG_63IgABprMo6NZZjjqwtP4jXSUrDuOAD7VqTKZPpY9uO7nc5A=s960" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="960" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEizALdxHDFBvbu2_7m8mRllphzIqL3gkEDGs2C-KWhgj_lt8b1Hh4iGG7jM9lAsxJkPf0y8SXz-To8aaxNgVd0L1wwkHJfKSxF_nzF5DEfrXFar7umjkERFSJu0koR9NEHloSvIjp9LG_63IgABprMo6NZZjjqwtP4jXSUrDuOAD7VqTKZPpY9uO7nc5A=w400-h225" width="400" /></a></div><p><br />Ahad, 24 Oktober 2021<br /></p><p><br />Sebetulnya, saya sudah dilanda rasa malas sejak berangkat untuk menuliskan kisah perjalanan ke Jogja ini. Pasalnya, pergi ke tujuan itu sudah saya lakukan berkali-kali. Maret tahun ini saja, saya sudah ke sana, bahkan itu menjadi kenangan terakhir perjalanan jauh bareng almarhumah istri sebelum beliau dipanggil Tuhan pada 10 Agustus yang lalu. Jogja menjadi salah satu kota tujuan yang paling sering saya kunjungi. <br /><br /><br />Akan tetapi, kisah perjalanan naik Colt ini tetap harus ditulis sekadar untuk merekonstruksi (merawat) ingatan. Menulis adalah kegiatan meremajakan akal-pikir, mengolah memori dan menata cara berpikir, sesederhana apa pun itu wujudnya. Lebih-lebih dalam perjalanan kali ini, ia menjadi istimewa karena saya tidak bisa menuliskannya secara langsung sebab menjadi pengemudi tunggal, beda dengan kisah perjalanan sebelum-sebelumnya yang biasanya kami nyopir keroyokan.<br /><br />Oh, ya. Nyopir sendirian ke Jogja, 500 kilometer sekali jalan, semua penumpang cowok tapi tak satu pun bisa mengemudi, rasanya diri ini sudah kayak sopir pikap yang muat beras. Itulah bayangan yang melintas dalam pikiran saya sesaat sebelum berangkat: belum-belum sudah capek duluan. Makin capek karena masih diwanti-wanti oleh ibu saya agar ngajak sopir, tapi saya kasih alasan yang masuk a-colt kepada beliau bahwa saya akan mencari sopir sampai ketemu. Kalaupun tidak nemu, kata saya, saya akan nyopir sendiri dan pasti saya tahu diri, kapan harus nyetir, kapan harus berhenti.<br /><br />“Tenang, Bu. Abdi(na) sudah gede. Kalau ngantuk, saya akan istirahat, tidak akan ngotot, sebab saya bukan sopir ajaran, sudah sejak kelas 6 MI (madrasah ibtidaiyah, sekolah dasar) mulai belajar ngontrol oli, ngecek radiator, dan menghidupkan mesin. Jadi, Ibu harus percaya kepada saya bahwa saya bukan anak kecil atau anak tua yang kekanak-kanakan yang terkadang nekat enggaya menguat-nguatkan diri padahal sudah ngantuk berat. Saya pasti berhenti, kok...”<br /><br />Rupanya, saya berhasil meyakinkan ibu dan beliau memberikan izin. Alhamdulillah saya panjatkan. Mulailah saya menjalankan mesin, keluar dari pekarangan, beberapa saat setelah shalat isya dan berkemas-kemas, Ahad malam Senin, 24 Oktober 2021.<br /><br />Tapi...<br /><br />Baru jalan 8 kilometer, saat baru tiba di Prenduan untuk jemput Zubairi dan janjian dengan Pak Yasin, ambil oleh-oleh yang akan saya bawa, eh, mobilnya sudah mogok. Starter tidak jalan, daya baterenya habis. Waduh, saya baru ingat sekarang, bahwa dinamo mobil ini bermasalah. Sebetulnya, sejak seminggu sebelumnya, ketika saya membawanya ke Jember dan Situbondo dan juga nyopir sendirian, tanda-tanda kemogokan itu sudah tampak. ‘Mengapa saya lupa?’ tanya saya, merutuk sendiri, merutuk yang bukan waktunya. Ini tidak penting dijawab, juga tidak penting diperbaiki. Ini saat yang pas dan tepat untuk pergi.<br /><br />Tak ada alasan lain kecuali.... dorong! <br /><br />Hamdalah, mobil langsung hidup, langsung berjalan sampai Tanjung untuk menjemput penumpang satu lagi, Bung Acing, dan tentu saja tanpa mematikan mesin. Kami lanjut sampai Belgia, pipis, berhenti untuk meregangkan otot, memecah konsentrasi, dan itu semua sudah cukup syarat untuk disebut istirahat. Hanya tiga menit, gas lagi.<br /><br />Mobil harus dorong lagi setelah isi bensin di Jalan Perak Timur, sebelum masuk tol.<br /><br />Sebetulnya, perjalanan di malam hari, lebih-lebih lewat tol, akan sangat sulit untuk diceritakan dan karenanya saya tidak menemukan variasi gaya menulis yang lain, kecuali hanya memasukkan unsur eksternal yang tidak begitu penting dalam inti cerita. Misalnya, bumbu kisah tentang sudah berkali-kalinya saya naik Colt ini ke Jogja, dan ternyata, ya, begitu-begitu saja. Tentu saja kisahnya beda banget dengan pengalaman pertama, ketika saya melakukannya di tahun 2018, ketika jalan tol dari arah timur masih terputus di Kertosono dan dari arah barat entah sampai mana. <br /><br />Malam itu, saya mengendalikan Colt secara single sampai di tempat istirahat Sragen (mungkin), sekitar 20-an kilometer sebelum pintu tol Colomadu, Kartasura. Saya berhenti karena mau shalat subuh dan juga karena tidak tahan, segera tidur setelah shalat, tergeletak sampai pukul 06.30. Sama seperti dua kejadian tadi malam, pagi itu diawali dengan senam: dorong mobil lagi. </p><p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgzbWHaYYsvpoll4tSs0vziFqz71hV1aT0GibLOBAQXb2pSGhOX9JIT2WnetX1hdJnLlMryHM7zc0wqfGergTR7LcD10Qyopxgg2Y9OC9urWkJRlSydh4j75TdPCX7Ur7C90CBieBp3VhzkNfxvYqIKSf2FMiRyiRtIPB3QHqQbIlwutViwoL1xlHaPjw=s1280" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgzbWHaYYsvpoll4tSs0vziFqz71hV1aT0GibLOBAQXb2pSGhOX9JIT2WnetX1hdJnLlMryHM7zc0wqfGergTR7LcD10Qyopxgg2Y9OC9urWkJRlSydh4j75TdPCX7Ur7C90CBieBp3VhzkNfxvYqIKSf2FMiRyiRtIPB3QHqQbIlwutViwoL1xlHaPjw=s320" width="320" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjs91jTaMb0PeiyMVkWRcnVSDw25h4WkalPmQ6q87psdeV6SSgErZvL2HY4hYVrfBjlaiG_7w9j8Po6WO-fQRfHwEwD6EByEjacMC1my9ycN16HYuU03zaDpzQLLS7XLRRHRkXHyhlsYjXrKwJKRPZBiBSy05u8jxSFoMuaWBvN187Ho-ZiX9Q69Yk_5w=s1032" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="581" data-original-width="1032" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjs91jTaMb0PeiyMVkWRcnVSDw25h4WkalPmQ6q87psdeV6SSgErZvL2HY4hYVrfBjlaiG_7w9j8Po6WO-fQRfHwEwD6EByEjacMC1my9ycN16HYuU03zaDpzQLLS7XLRRHRkXHyhlsYjXrKwJKRPZBiBSy05u8jxSFoMuaWBvN187Ho-ZiX9Q69Yk_5w=s320" width="320" /></a><br /><br />Bisa dikatakan, ini adalah turing galau (meskipun pada dasarnya saya sendiri rada sungkan menggunakan istilah turing. Sebab, turing (pengindonesiaan daripada touring) cenderung dimaknai sebagai jalan-jalan tanpa tujuan, atau dengan tujuan tapi tidak begitu penting. Makanya, nyaris saya tidak pernah menggunakan kata turing karena itu sama dengan memberi niat perjalanan. Agar perjalanan kita dapat dua hal; tujuan dan pahala, maka niatnya harus benar sebelum berjalan. Beruntung, adanya undangan untuk hadir di acara Maulid Nabi di kafe Basabasi di Jogjakarta menjadi penyelamat niat perjalanan galau saya ini. <br /><br /><br />Senin, 25 Oktober 2021<br /><br />Pagi itu, di Jogja, sungguh merupakan pagi yang paling menyenangkan dalam sepekan ini. Bagaimana tidak, saya duduk-duduk sambil menikmati minuman dan cemilan, sementara si empunya <a href="https://g.page/kafemainmain?share">Kafe Mainmain dan Lehaleha</a> belum datang (dia yang ngundang saya hadir ke siti untuk acara maulid Nabi, menemani Habib Husin Jafar al-Hadar), sambil lalu pula saya berkirim pesan ke Pak Benta tentang masalah dalam perjalanan semalam, tentang mogok dan bla-bla-bla-nya. <br /><br />Eh, tak lama kemudian, datanglah Pak Benta, Mas Hertanto (Ha Heng), dan Mas Nur Susena, serta tiga kawan lainnya. Mobil saya dibawanya untuk dicek dinamonya. Benar-benar berasa sultan sekali. Ongkang-ongkang kaki di kafe Main-Main, mobilnya jalan-jalan. Besoknya tinggal ambil di Gamping dalam keadaan sudah beres. Alangkah betapanya itu! Oh, iya, catatan tambahannya: tidak ada biaya sama sekali. Gile lu, Ndro!<br /></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgUi8Emot0eBFrhg3_rVShrmt4Dw2WaN1uyILfqp7pGvNTP5Ti4mkLH-mTmg02r9heC4XcwNkbH43H-D6Yf88DHBXfcManzdodVFAvvDgM3rVpdxo-WBGxhGrmxoQiCFsj1rWp6UdwIyBsnVma4NRx_JlFQLyJhcQvOpwvw_Ctb9t541vd9rdJNLY1c5w=s960" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="960" height="217" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgUi8Emot0eBFrhg3_rVShrmt4Dw2WaN1uyILfqp7pGvNTP5Ti4mkLH-mTmg02r9heC4XcwNkbH43H-D6Yf88DHBXfcManzdodVFAvvDgM3rVpdxo-WBGxhGrmxoQiCFsj1rWp6UdwIyBsnVma4NRx_JlFQLyJhcQvOpwvw_Ctb9t541vd9rdJNLY1c5w=w289-h217" width="289" /></a><iframe allowfullscreen='allowfullscreen' webkitallowfullscreen='webkitallowfullscreen' mozallowfullscreen='mozallowfullscreen' width='320' height='266' src='https://www.blogger.com/video.g?token=AD6v5dxx99gTrdmhUzsgdHza3Hw6b25e26MzQ9VDaypdBhRJvecgCIdnhcW2PRoJDGihdTt6Zmc3oOGe7f1eI9dU6Q' class='b-hbp-video b-uploaded' frameborder='0'></iframe></div><p></p>(video ini milik Koh Ha Heng alias Hertanto Wibowo waktu bawa mobil saya)<br /><p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiIAJb_TWN4wfRWjS_Q6ZgI72bf-K7sOfajye8nl73lM8zG6azPaivQGzfpaySxQTHbFGs-N8e7tA1Rshh8PQ0S0-x04-VVg8FqPmLI-McS9IL8ZNRK1-0zrYpbh5fF72S1xdWXOaZca6a8KU23ENCY2ORtYq0rGm3qvw-cJ7otQ2PQOBwxYhwnRCqJMg=s960" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="540" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiIAJb_TWN4wfRWjS_Q6ZgI72bf-K7sOfajye8nl73lM8zG6azPaivQGzfpaySxQTHbFGs-N8e7tA1Rshh8PQ0S0-x04-VVg8FqPmLI-McS9IL8ZNRK1-0zrYpbh5fF72S1xdWXOaZca6a8KU23ENCY2ORtYq0rGm3qvw-cJ7otQ2PQOBwxYhwnRCqJMg=w181-h320" width="181" /></a>Acara saya di Jogja kali ini adalah untuk menghadiri undangan Pak Edi Mulyono dalam rangka merayakan Maulid Nabi Muhammad saw. Acaranya diselenggarakan dua kali, di <a href="https://g.page/basabasinologaten?share">Kafe Basabasi Nologaten</a> dan <a href="https://g.page/kafe-basabasi-tamantirto-umy?share">Kafe Basabasi Tamantirto</a>, dekat UMY. Pada kedua acara itu, saya didapuk untuk membacakan shalawat Nabi sesi pembuka (julus, dibaca duduk). Sungguh, pergi ke Jogja kali ini sangat enak bukan cuman sekali, tapi berkali-kali. Sehabis acara di Kafe Basabasi dekat UMY itu, barulah saya ambil mobil di Pak Benta untuk dibawa pulang besoknya.<br /><br /><br />Rabu, 27 Oktober 2021<br /><br />Saya tidak bisa pulang pagi karena dua anggota lain entah masih ada di mana. Saya menunggu mereka di tempat andalan, Kafe Leha-Leha dan Kafe Main-Main (yang letaknya memang bersisian) setelah semalamnya saya tidur nyenyak di kontrakannya Imam Rofi’ie. Menunggu dengan cara seperti ini tidak begitu membosankan.</p><p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiETIwsUOiK6clgGdD_xm5pif_KEgohy5jQODsw4B7SCF0xswjKkGwSe6QgiVChWLPHVCf9kaY0-QK6FQiUnb2XcHFQiGAijaPTUksDgj9qtfAWogQQY-Q9bka_S1t83af2bRhmUgv6wcDHhg9ABzHVQXvbET-bxMcrY6NPNoMOkLYiyx1qrwPIIlYomg=s960" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="960" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiETIwsUOiK6clgGdD_xm5pif_KEgohy5jQODsw4B7SCF0xswjKkGwSe6QgiVChWLPHVCf9kaY0-QK6FQiUnb2XcHFQiGAijaPTUksDgj9qtfAWogQQY-Q9bka_S1t83af2bRhmUgv6wcDHhg9ABzHVQXvbET-bxMcrY6NPNoMOkLYiyx1qrwPIIlYomg=s320" width="320" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEinR8QlhFKBnYZ3bYVrvqiv9lBoEqTxHlpF-zRqIYWUAgnTUAafWviPQbB5maQ-FJ-l86HzGayiqamcO2FRzQxyZrGyWEo53ZDkcr1MVawFnvc4DsItvTwR2FsC2Sg-HW7U6hb8_Xuy2iP8E9xqPxcVBEZ7JGlAJRgK3tc4ZXufKlXOzYSiSWbhUS5Q_Q=s1600" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEinR8QlhFKBnYZ3bYVrvqiv9lBoEqTxHlpF-zRqIYWUAgnTUAafWviPQbB5maQ-FJ-l86HzGayiqamcO2FRzQxyZrGyWEo53ZDkcr1MVawFnvc4DsItvTwR2FsC2Sg-HW7U6hb8_Xuy2iP8E9xqPxcVBEZ7JGlAJRgK3tc4ZXufKlXOzYSiSWbhUS5Q_Q=s320" width="320" /></a><br /><br />Zubair dan Mat Khotib datang dan barulah kami berangkat setelah sebelumnya mampir dulu ke Hanafi. Waduh, makin molor waktunya. Juga mampir di toko mainan, di Klaten, buat anak-anak di rumah. Akhirnya, siang kami baru sampai di Kartasura. Sembari berjalan dan kami menjalin kontak dengan Om Dharmo di Colomadu untuk menanyakan teknis berkunjung ke Studio Rekaman Lokananta yang kini jadi museum itu, eh, malah dia maksa-maksa saya untuk mampir. <br /><br />“Pokoknya mampir dulu sebentar ke rumah. Nanti saya antar langsung ke Lokananta!” kata dia. <br />“Baik, cuman mampir, jemput, dan lanjut, ya! Ndak usah pakai duduk-duduk segala. Kami kejar waktu agar tidak molor sampai di Madura,” kata saya sebelum tiba.<br />“Gampang itu!”<br /><br />Setelah jemput Om Dharmo dan ternyata tetap harus duduk sebentar dan makan cemilan, akhirnya kami lanjut ke <a href=" https://goo.gl/maps/6BfQHtwjW8eRiZm27">Lokananta</a> yang terletak di Kerten. <br /><br /><br />Kami masuk ke museum, bayar tiket 20 ribu kalau tidak salah. Dan kami pun melihat rak-rak penuh kaset dan piringan hitam, juga mixer 32 saluran dengan sistem analog, juga studio yang sangat lebar dan sepertinya dipersiapkan agar muat untuk orkestra. “Masih berstatus sebagai studio paling luas di Indonesia,” kata Mas Pemandu kami yang saya lupa namanya. <br /><br />Saya dan anggota rombongan, termasuk Mas Dharmo, bersama Mas Rudi Hantoro dan Siti Muslifah serta Gunawan Tri Atmodjo dan seorang perempaun yang entah siapa seseorang, di dekatnya, berjalan-jalan keliling museum yang luas itu. Habis itu, kami makan di kantinnya. Pertemuan mendadak dan menyenangkan, begitulah kesan saya.<br /><br />Sebetulnya, magnet terbesar yang menarik saya datang ke sana adalah rekaman qiraah Syaikh Mahmud Khalil al-Husari. Ini rekaman yang melegenda karena tarhim, adzan, dan qiraahnya sangat eksklusif, tidak ada versi serupanya di belahan manapun di dunia ini kecuali di Indonesia. Begitulah yang saya tahu. Alasannya adalah karena langgam Al-Husari versi rekaman 30 juz Alquran-nya ternyata berbeda dengan yang versi Lokananta. Yang saya tahu, rekaman itu dilakukan di Solo, pada tahun 60-an. Tapi, kata petugas, ternyata bukan demikiannya kejadian sejatinya. “Masteringnya di Mesir, penggandaan di Solo,” jelas mas petugas di depan kaset qiraah yang sengaja saya bawa dari Madura itu. Intinya, apa pun kisahnya, rekaman ini sangat populer karena sudah pernah saya dengar ia diputar di Sumatera Utara hingga Maluku, di Jawa maupun di Madura. Saya membuatnya menjadi <a href="http://kormeddal.blogspot.com/2009/03/al-hujurat-dan-ar-rahman-versi-al.html">mp3 pada tahun 2005</a>. <br /><br />Setelah sore dan hujan tinggal gerimis, pulanglah kami. Targetnya adalah segera sampai di rumah, malam itu atau sepagi mungkin, karena besok Kamis-nya saya harus hadir di acara Maulid Nabi yang lain. Saya tidak khawatir, hanya takut kecapekan di tengah jalan dan harus tidur sebab dua penumpang tersisa sama-sama tiada bisa memegang kendali supaya enak jalannya. Tuk - tik tak - tik tuk - tik tak - tik tuk - tik tak - tik tuuut.<br /><br />Rupanya, dalam perjalanan itu, mata saya sudah tidak kuat akibat akumulasi dua malam yang tidur kurang rehat dan seharian tadi keliling-keliling dulu sebelum nyopir. Saya masuk dari Gerbang Tol Gondangrejo, tak jauh dari Kerten. <br /><br />“Kita harus mampir di Sidqi,” kata saya kepada Muhammad, sepupu saya yang ikut saat pergi dan pulangnya, dan juga Zubairi yang saya kira juga kenal dengan petugas KUA Beringin Ngawi ini (sedangkan Om Washil netap sejenak di Jogja).<br />“Di mana rumahnya?”<br />“Aku ndak tahu persis karena dulu hanya ketemuan di jalan. Biar aku hubungi. Kalau ada orangnya kita mampir sejenak buat rehat, kalau tidak, kita lanjut dan cari tempat yang lain.”<br /><br />Gayung bersambut. Sidqi bisa dihubungi. Hamdalah, dapatlah saya tempat untuk rehat barang sejenak melepas penat. Sore itu, sekitar jelang pukul 17.00, hujan masih turun dari langit manakala kami merapat ke rumahnya yang lokasinya tak jauh dari jalan raya. Saya tidur-tidur ayam, tak bisa tidur beneran. Biarlah, yang penting ada tempat buat melepas konsentrasi dan mengendurkan otot dan punggung, kata saya dalam hati.<br /><br />Setelah shalat maghrib-isya, pamitlah kami pulang. Dan kami memilih lewat arteri, via Kandangjati, menuju Caruban. Tujuannya adalah mengunjungi Sutris. Saya dapat kabar, si Sutris ini sekarang merintis usaha kedai makanan ringan tapi kopinya kopi beneran, bukan kopi sasetan. Maklum, Sutris ini seorang barista senior yang pengalaman kerjanya 10 tahunan di Kafe Jungkir Balik, Sidoarjo. Saya kenal dia di sana. Rupanya, dia memanfaatkan halaman parkir sebuah kios cuci mobil yang tutup di kala malam. Posisinya berdekatan dengan Kantor Pos Caruban.<br /><br />Jalur Kandangjati ini umumnya dilalui bis-bis patas atau Mila atau AKAS ASRI atau bis-bis malam dari arah Bali tujuan Jogja. Sedangkan bis reguler lainnya lewat Madiun dan Maospati (Magetan). Dengan lewat jalan ini, jarak bisa dihemat hingga 20 kilometer. Tapi, bis-bis reguler dari Surabaya tujuan Jogja tidak lewat di sini karena para penumpang kebanyakan hendak ke Madiun atau Magetan. <br /><br />Perjalanan dari kota Ngawi ke Caruban via Kandangjati memanglah cuman 40 kilometeran. Tapi, saya sangat tersiksa karena ini pengalaman pertama kali menggunakan lampu LED dan celakanya tidak fokus ditambah hujan pula. Tepian jalan hitam beraspal nyaris hanya bisa diperkirakan. Mata saya jadi sangat lelah.<br />Mau taubat rasanya untuk memakai lampu LED lagi.<br /><br />Setelah ngopi-ngopi bareng Sutris di Caruban, perjalanan dilanjutkan lewat arteri. Mau balik ke pintu tol Caruban kok buang jarak, mau masuk di pintu tol Nganjuk itu terlalu jauh aksesnya. Diambillah keputusan: ngetol dari Kertosono. Tak apa-apa rada jauh dari Caruban, itu saya kira itulah rute yang paling masuk a-colt.<br /><br />Begitu masuk tol Kertosono, mobil saya bawa lari konstan kira-kira kecepatan 95 km / jam hingga pintu tol Warugunung, di Waru, Sidoarjo. Tak sampai satu jam ternyata. Masih ada sisa tenaga untuk terus melanjutkan perjalanan hingga menyeberangi selat Madura, melewati Suramadu. Rupanya, energi saya sudah bakal habis setiba kami di Patemon. Maka, tanpa ba-bi-bu, ketika belok kanan di Tangkel, saya bilang ke Mat Khotib:<br /><br />“Tolong ke sinikan bantal, dan nanti tutup semua pintu mobil. Setibanya di masjid, aku bakal langsung tidur, sudah gak tahan.”<br /><br />Mobil masuk parkiran, saya ambil bantal, bahkan tanpa perlu menutup pintu, saya langsung telentang, tergelepar, dan lalu tidur. Dua orang penumpang lainnya-lah yang bertugas menutup dan mengunci pintu. Mereka tampaknya juga tiduran. Tentu saja, kami tak boleh lama-lama di situ. Pokoknya, sebelum subuh, saya sudah harus tiba di rumah karena nanti pukul 7 pagi harus berangkat lagi ke Pamekasan untuk menghadiri acara Maulud Nabi Muhammad saw di IAIN Madura. <br /><br />Inilah pengalaman pertama ke Jogja nyopir Colt, sendirian. Hamdalah, menyenangkan. </p><p>_______________________ <br /></p><p>Foto-foto di Lokananta:<br /></p><br /><br /><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEi-uk0_v8ZFtq-YIMcfoqMDJ3u9dIF8ISJcOG0E1_Kl7fzhSeLjRmvib1OaTsgvx4StKZMN1bdNlpZ3-vGAn5klJZP8mWjqCYmR36ezva2p9e5jE1qDFmn3oV6x1bNIZ0dTKzW8nlY_kKKsRS3QO9mmD21uj1omq5lImUv1VybZW4JSHy8Le5Fr7tREyQ=s1440" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1440" data-original-width="1440" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEi-uk0_v8ZFtq-YIMcfoqMDJ3u9dIF8ISJcOG0E1_Kl7fzhSeLjRmvib1OaTsgvx4StKZMN1bdNlpZ3-vGAn5klJZP8mWjqCYmR36ezva2p9e5jE1qDFmn3oV6x1bNIZ0dTKzW8nlY_kKKsRS3QO9mmD21uj1omq5lImUv1VybZW4JSHy8Le5Fr7tREyQ=s320" width="320" /></a></div><br /><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgCZaij8rJ2IFFtOebfDWLFjdEnIuOkGs_rQ9SkPMEXnKg7JDH5B1OzvVTmg9TS0Rk1QaoYgqEvXblHOb5_FN8vPCNDn04dfgia7sGNafQtgxX9kcIiUvpNmSQv_3qStW7sfRhSuhlW05xwhQmRCYiGprv8CrP8MKyg9GqQzMUBCZmVAzV8kIvqu_Cq9w=s960" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="960" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgCZaij8rJ2IFFtOebfDWLFjdEnIuOkGs_rQ9SkPMEXnKg7JDH5B1OzvVTmg9TS0Rk1QaoYgqEvXblHOb5_FN8vPCNDn04dfgia7sGNafQtgxX9kcIiUvpNmSQv_3qStW7sfRhSuhlW05xwhQmRCYiGprv8CrP8MKyg9GqQzMUBCZmVAzV8kIvqu_Cq9w=s320" width="320" /></a></div><br /><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiNn-CT5GEdYsZTUcEBGzIsEPW-QzAOFKvT-J7XFlGgHFoG0MmXWYX5i0ITEInzKIYwZtz09ArcTDxc_rSKsNCE8v08NZo-MoA1zTV1Yc-3PCXnxi1YQtfOdKZRi5BD6zsUW9wrn5b3RV0ncnYMju2yW7nGhr68bTWi26Od6MSciSyIcIJq1Hn2Fpymag=s960" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="960" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiNn-CT5GEdYsZTUcEBGzIsEPW-QzAOFKvT-J7XFlGgHFoG0MmXWYX5i0ITEInzKIYwZtz09ArcTDxc_rSKsNCE8v08NZo-MoA1zTV1Yc-3PCXnxi1YQtfOdKZRi5BD6zsUW9wrn5b3RV0ncnYMju2yW7nGhr68bTWi26Od6MSciSyIcIJq1Hn2Fpymag=s320" width="320" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiEBTmPEt9wvEQ1dp7hVYLjIJy3cEi-XLM70kw4tV4NrebW6IpDYp89qaOfjhGpk76OnOgQrIJ8-cWkvTsCkIlo8eV7bZ3R6zpbgC3WT7oiRpxej6kmN9vpcINuFuBw7iyJAzSTh-SUW6gDCktFx5uw-cKCRheohQmu6lzHlUNbdah4sLdBp98yfZnVnQ=s960" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="960" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiEBTmPEt9wvEQ1dp7hVYLjIJy3cEi-XLM70kw4tV4NrebW6IpDYp89qaOfjhGpk76OnOgQrIJ8-cWkvTsCkIlo8eV7bZ3R6zpbgC3WT7oiRpxej6kmN9vpcINuFuBw7iyJAzSTh-SUW6gDCktFx5uw-cKCRheohQmu6lzHlUNbdah4sLdBp98yfZnVnQ=s320" width="320" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiWMQ6bReDfZcYAH33BHiZdt1BRrOxDDxiy2YCM0YSoYMALDiGccwKH_ESQL1JdLv5jb3m6btICPj3yole2j_kkc270AKAZT9r8u6FSyE7X_xtRIiVqxmNBOVBvTizRT37tde9iFUb2f8yr9gDQXU7zBCdL2bl-0eYIqBh4U0u3b_vRSSbB6UuuAnOatw=s960" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="528" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiWMQ6bReDfZcYAH33BHiZdt1BRrOxDDxiy2YCM0YSoYMALDiGccwKH_ESQL1JdLv5jb3m6btICPj3yole2j_kkc270AKAZT9r8u6FSyE7X_xtRIiVqxmNBOVBvTizRT37tde9iFUb2f8yr9gDQXU7zBCdL2bl-0eYIqBh4U0u3b_vRSSbB6UuuAnOatw=s320" width="176" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEj0gqp7-1-xOnhSeD1iplvj5PlgdVc_VgyvkRFAt6fEy0oyKNCdDmuzyu9i1QqGVVN1zvpOWLTYued9aalRx_ymCi8npArnGir6m03-AKjJQHdv2Yn2qT50DTgqYH_f9Z9YL1eYvu4nuhSGrR-yTfWzLEcY49CYE6PCn9vEenw1YrC735OPwit7bsZ5lQ=s960" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="960" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEj0gqp7-1-xOnhSeD1iplvj5PlgdVc_VgyvkRFAt6fEy0oyKNCdDmuzyu9i1QqGVVN1zvpOWLTYued9aalRx_ymCi8npArnGir6m03-AKjJQHdv2Yn2qT50DTgqYH_f9Z9YL1eYvu4nuhSGrR-yTfWzLEcY49CYE6PCn9vEenw1YrC735OPwit7bsZ5lQ=s320" width="320" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhKjsvmTl9GuCPrWnT5KkSAwQld-ZbZKzjL5ewsVSlz7kIHiafbeLKJmXWH4GOx86rTZMuDRouWiRs7lMruyGLSPjWbbZ69iQzIA_heMX52jWDA_zpUeHD7ixTnWQaO8b363alv_HBKD8spP4wubeyIeMZK8ydhyNUzNZcGF2e7WkxYJ-43pN_ZyfrskQ=s960" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="960" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhKjsvmTl9GuCPrWnT5KkSAwQld-ZbZKzjL5ewsVSlz7kIHiafbeLKJmXWH4GOx86rTZMuDRouWiRs7lMruyGLSPjWbbZ69iQzIA_heMX52jWDA_zpUeHD7ixTnWQaO8b363alv_HBKD8spP4wubeyIeMZK8ydhyNUzNZcGF2e7WkxYJ-43pN_ZyfrskQ=s320" width="320" /></a></div><br /><br />Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-6579620500658927562021-10-26T15:57:00.023+07:002022-02-20T18:05:44.248+07:00Takziyah, Silaturahmi, Ziarah: Seribu Kilometer (Etape IV)<span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID"></span></span></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: inherit; font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhO9dd4ihvltRo3gkTKWjGJimES8G79YtovEFyRlV_mMcjiPgbIlyILFdyJTQSpMEOAoNYJGZPDtNENv6Idxk5onkC9Dk1OIRtJ6cpqOT_6qxbej2gveyl-4lm9xhOtmBZ9yi7Xw0pg3xV4_srb5ZhD_J93P_gYIrHwSvhlQq3UU3Hz-kprn10bt7aJrA=s1024" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhO9dd4ihvltRo3gkTKWjGJimES8G79YtovEFyRlV_mMcjiPgbIlyILFdyJTQSpMEOAoNYJGZPDtNENv6Idxk5onkC9Dk1OIRtJ6cpqOT_6qxbej2gveyl-4lm9xhOtmBZ9yi7Xw0pg3xV4_srb5ZhD_J93P_gYIrHwSvhlQq3UU3Hz-kprn10bt7aJrA=s320" width="320" /></a></span></div><span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><br />SABTU</span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID"><b>,
16 OKTOBER 2021</b></span></span>
</span><p></p><span style="font-family: inherit;"><span>
</span><span>
</span></span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;">Di
Kraksaan, kami mengingap di rumah kayu, sebuah rumah persinggahan
yang memang dipersiapkan oleh tuan rumah (Kiai Mustofa) untuk para
pelintas dan tamu, terutama kenalan dan familinya. Begitu dawuhnya.
Jika Nyai Hamidah Wafi merupakan sepupu dari ibu mertua saya, maka
Kiai Mustofa ini merupakan kemenakannya (tepatnya, kemenakan sepupu
alias putra dari sepupunya). Jadi, hubungan kefamilian kedua orang
yang baru disebut di atas itu sangat dekat sekali.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;">Setelah
istirahat cukup pada malam hari dan membuka Sabtu pagi dengan
sarapan, barulah kami dapat izin untuk pulang. Dalam hati, saya
bersyukur telah diberikan banyak famili dan kerabat yang baik hati,
yang membuka pintu untuk disinggahi atau diinapi. Bayangkan jika
tidak, berapa banyak dana yang harus dirogoh untuk penginapan?</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;">Ruas
jalan Kraksan-Probolinggo jaraknya 25 kilometer, tapi berasa sangat
jauh karena di ruas jalan itu sangat padat lalu lintasnya, dari dulu.
Sekarang rada mending karena ada pelebaran jalan mulai dari Gending.
Baik dari arah timur atau sebaliknya, saya selalu dihantui rasa cemas
setiap kali akan melintasinya.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;">Kondisi
jalan mulai normal setelah sampai di Bayeman, lepas kota Probolinggo.
Lalu saya putuskan untuk masuk tol dari Gerbang Tol Tongas. Alasannya
adalah karena jalan aksesnya paling dekat dengan Jalan Nasional,
berkebalikan dengan Mojokerto Timur dan Beji yang sangat jaaaaauh.
Saat keluar dari pintu tol Waru, saldo tersisa 50.000-an, aman. Tapi,
tiba-tiba, anak ketiga ngajak saya naik kapal.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;">“<span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">Ba,
dulu Abah pernah bilang, katanya kita mau naik kapal?”</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span>“<span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">Sekarang,
tah?” </span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;">“<span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">Ayo,
ayo, ayo...”</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">Biasanya
turun di Dupak lanjut Pasar Turi, haluan diubah, lurus terus ke
utara, nembus Jalan Jakarta, ke Kilometer Nol, terus ke Jalan
Barunawati dan putar balik di Jalan Perak Barat ke Perak Timur untuk
mengakses Jalan Prapat Kurung Utara dan terus ke Jalan Kalimas Baru,
menuju Pelabuhan. </span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiaXZDm754rRwSGfTmATR-KVfJOReOqBt3eD9ourLudwLr_9A2K1j0Pdxpvsa31SYq5dv-iBNq500KN9RusTdABLqP0F_q3GGx_kU7ZI3WzN5DlAJptJLxV0gjkV47Kkrst28PMKvOR4vfek_VQ4FV8bK7OqsYhlDzSrNhBxWUsdUfIcFmyTWsR2Bgf1A=s1024" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiaXZDm754rRwSGfTmATR-KVfJOReOqBt3eD9ourLudwLr_9A2K1j0Pdxpvsa31SYq5dv-iBNq500KN9RusTdABLqP0F_q3GGx_kU7ZI3WzN5DlAJptJLxV0gjkV47Kkrst28PMKvOR4vfek_VQ4FV8bK7OqsYhlDzSrNhBxWUsdUfIcFmyTWsR2Bgf1A=s320" width="320" /></span></a><span style="font-family: inherit;"><br /><span><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID"></span></span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">Kami
antri agak lama dari biasanya. Permasalahan terletak pada saldo yang
tak cukup untuk penumpang dan hanya cukup untuk kendaraan. Akhirnya,
transaksi dilakukan terpisah, antara penumpang dan kendaraan (rupanya
ini salah satu perbedaan “penyeberangan” dengan “tol laut”
[seperti di Ketapang-Gilimanuk] yang tidak menghitung penumpang, tapi
sekali masuk bayar 160.000, kayak masuk pintu tol). Penumpang bayar
Rp5000 per kepala; mobil bayar 46.000 kalau tak salah ingat. </span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">Kalau
apa-apa itu dihitung berdasarkan uang, maka jelas jalan dan cara yang
saya pilih ini merugikan sebab Jembatan Suramadu dan bisa dilewati
kapan saja secara cuma-cuma. Tapi, melihat kebahagiaan diri
sendiri—eh, anak-anak, padahal angin laut bertiup kencang dan
panas, bubar deh semua hitung-hitungan ekonomis di atas. </span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">hanya
menghitung Kalau kami bayar sendiri-sendiri untuk penumpang, Rp5000
per orang. Mobilnya 46.000 kalau tak salah. Semua penumpang sangat
senang meskipun siang itu angin laut berhembus dengan panasnya. </span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjUv9Nbi19-iuNcfoY_8-rCT7rD7TaXN18RumPH4MCZbbS3h94VdMzwFdlJbQaEJ5RcujseCZCxqeoj6QD5G-zbz-h6VQBbSeNfoas7_-vCBjxTXzmZxMftuYwoQJ0atFWzdsUtAz48bj-P_4d-t-rIbOw8E1HLaLdBGTOP6v-n7k9Rx90BSHWQ9VXtUA=s1024" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjUv9Nbi19-iuNcfoY_8-rCT7rD7TaXN18RumPH4MCZbbS3h94VdMzwFdlJbQaEJ5RcujseCZCxqeoj6QD5G-zbz-h6VQBbSeNfoas7_-vCBjxTXzmZxMftuYwoQJ0atFWzdsUtAz48bj-P_4d-t-rIbOw8E1HLaLdBGTOP6v-n7k9Rx90BSHWQ9VXtUA=s320" width="320" /></span></a><span style="font-family: inherit;"><br /><span><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID"></span></span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">Suasana
tempo dulu kembali hadir, masuk dalam kabin mobil tua ini, pas
sekali, </span></span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID"><i>chemistry.</i></span></span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">
Penjual asongan pun merapat ke jendela mobil bahkan sebelum kami
turun, sama persis dengan situasi 25-30 tahun yang lalu. Mereka
menawarkan minuman, cemilan, rokok, permen, dan teh dingin. Saya
ingat, terakhir lewat di penyeberangan situ adalah 12 tahun yang
lalu, dan itu pula waktu terakhir saya melintasi selat ini untuk yang
terkahir kali naik Colt.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjPZvTIjTQJeWrg7I92MAi8f0mqrr9Qyw9wJOepAP3NKNRvJqC8LU8GtXHCNXABRybaXyo8Vjr0CF_C2XFnBG-hWO9e_E2cRkVY-WHV4DisWc06vWb_dkWtWTNOhS4U1KYhjX1U2xskB77_fEGzMtCAksGdXeyB3HjA0fBatOglnC1keAGdvuJ0lZGpPA=s1024" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjPZvTIjTQJeWrg7I92MAi8f0mqrr9Qyw9wJOepAP3NKNRvJqC8LU8GtXHCNXABRybaXyo8Vjr0CF_C2XFnBG-hWO9e_E2cRkVY-WHV4DisWc06vWb_dkWtWTNOhS4U1KYhjX1U2xskB77_fEGzMtCAksGdXeyB3HjA0fBatOglnC1keAGdvuJ0lZGpPA=s320" width="320" /></span></a><span style="font-family: inherit;"><br /><span><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID"></span></span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">Sementara
anak-anak naik ke dek atas, saya melihat pemandangan laut di dek
bawah. Hanya ada tiga mobil di geladak. Sisanya sepeda motor dan
penumpang. Saya sangat bahagia siang itu, bahagia karena bisa
membahagiakan anak-anak, juga karena bisa membahagiakan diri sendiri
dengan nostalgia. </span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;">Setelah
sandar, ada yang berbeda. Kini, mobil tidak keluar secara rebutan dan
serabutan, tidak kayak dulu. Saya berpikir, apakah saat ini
orang-orang lebih paham etiket atau karena memang tidak ada yang mau
direbut, diserobot, dan diributkan?</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">Dari
Kamal, kami terus ke utara, ke kota Bangkalan, melewati ruas Jalan
Nasional Telang yang kini sepi namun pemandangan alamnya masih sama
seperti puluhan tahun yang lalu. Jalannya sudah bagus, tapi tanpa
pelebaran. </span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;">Kami
singgah di rumah saudara saya, Iffah, yang mengelola lembaga
pendidikan (SD Assalam) di Perumahan Nilam, depan Bangplas (Bangkalan
Palza). Di sana, kami shalat dan makan lalu tak menunggu lama lagi
untuk meneruskan perjalanan ke timur, pulang.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;">Demikianlah
laporan kisah perjalanan ini, perjalanan yang sangat mengesankan di
satu sisi dan juga penuh kesedihan di sisi lainnya: perjalanan
pertama bersama semua anak namun tanpa seorang ibu.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;"></span><span style="font-family: inherit;"></span>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-28197230629040424702021-10-26T15:51:00.032+07:002022-02-20T18:04:08.044+07:00Takziyah, Silaturahmi, Ziarah: Seribu Kilometer (Etape III)<span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;"><br /></span></span></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgQl8HmaXBnUMOfe2HRJzKDdreI39kSUoI9I7vi-jJQhMWATLhT_TS-Bj-cn6SD5dNjtQnhU4tHRl6vN4qJnJlwwumNaCrF8FzLGtDSGP3XJa8eWAqvJPGdU9Vtoxo8Q8fVo8a04fw_49NVEUQQtEKW1urs5kpJ_cgKYL4k9qZvaPRMkVPMj5vn_Pxt5w=s1024" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgQl8HmaXBnUMOfe2HRJzKDdreI39kSUoI9I7vi-jJQhMWATLhT_TS-Bj-cn6SD5dNjtQnhU4tHRl6vN4qJnJlwwumNaCrF8FzLGtDSGP3XJa8eWAqvJPGdU9Vtoxo8Q8fVo8a04fw_49NVEUQQtEKW1urs5kpJ_cgKYL4k9qZvaPRMkVPMj5vn_Pxt5w=s320" width="320" /></a></span></span></span></div><span style="font-family: inherit;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">JUMAT</span></span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID"><b>,
15 OKTOBER 2021</b></span></span></span>
</span><p></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">Jumat
pagi, kami pamit pulang, tapi bibi tidak mengizinkan seperti
biasanya. Akhirnya, kami pakai teknik: pamit sementara untuk takziyah
ke Kiai Afifuddin Muhajir (Kiai Afifuddin terkadang disebut orang
dengan nama “Kiai Khofi”, entah kenapa kok bisa begitu) di
Sukorejo dengan perjanjian setelah takziyah kami kembali. “Baru
boleh pergi jika begitu,” kata Bibi. </span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;">Diantar
oleh Maulidi, saya sowan kepada Kiai Afifuddin. Istri beliau, Nyai
Fatimah, wafat tiga hari yang lalu. Nyai Fatimah ini putra Kiai Idris
Munawwar, sepupu pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah, Kiai Ahmad Azaim
Ibrahimi. Satu tambahan informasi, Nyai Fatimah lahir di dusun
Sabajarin, Guluk-Guluk, tempat kelahiran saya (karena Kiai Idris
sempat tinggal di dusun tersebut, mungkin saya belum lahir atau masih
kecil di kala itu).</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">Dari
Sukorejo, kami menunaikan janji, balik lagi ke Asembagus. Sekitar
satu setengah jam kemudian, itu pun dengan setengah ngotot, barulah
kami diizinkan pulang. Bibi memang suka begitu, tidak menerima alasan
logis seperti apa pun kalau itu berupa singgah sebentar. Sekali
mampir, harus lama, kalau bisa harus menginap. Masalahnya, di hari
jumat tersebut, kami harus pergi karena satu dan lain hal. </span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiKcF9rRTHIIK7hLPaOTG1DE19b2dGh2iMXsMfjPXTUBLeVM6jJPsPhCYqV6XeEvxD6F9YYFbjFlf5ApNFO9whyC2A9YKOp-KHQ9isgEgPhsm29Z9GfBT89ol_BzyKcUSnAlwHCFG2dEgzjrTg1FbGhKb9Zml5xzJUaXFs1DvDlR8mDF0H6OR8CNm3CZA=s1024" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEiKcF9rRTHIIK7hLPaOTG1DE19b2dGh2iMXsMfjPXTUBLeVM6jJPsPhCYqV6XeEvxD6F9YYFbjFlf5ApNFO9whyC2A9YKOp-KHQ9isgEgPhsm29Z9GfBT89ol_BzyKcUSnAlwHCFG2dEgzjrTg1FbGhKb9Zml5xzJUaXFs1DvDlR8mDF0H6OR8CNm3CZA=s320" width="320" /></span></a><span style="font-family: inherit;"><br /><span><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID"></span></span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;">Maka,
kami pun bergerak menuju Desa Lamongan, di Arjasa (Lamongan bukan
nama Kabupaten, dan Arjasa yang ini bukan Jember) untuk menjumpai
bibi yang lain, Bi Nur Azizah.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;">Bibi
saya menggoda anak saya yang nomor dua, Muhammad Muhibbuddin Assalim
(Salim), supaya tinggal bersamanya. Eh, tak dinyana, Salim langsung
mengangguk, mengiyakan. Saya juga rada terkejut, kok semudah itu ia
mau. Bibi berjanji akan mulang dia ngaji, belajar agama dan lainnya
karena di sana juga ada madrasah diniyahnya. Di samping itu, di rumah
Bi Azizah ada Bi Khotim (iparnya) yang kebetulan belum dikarunia
putra sehingga pasti lebih fokus dalam mendidik. Akhirnya, dengan
keluasan hati, saya pasrahkan Salim untuk tinggal di sana.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgyjwKJzB84t4m5uGynzRiYJbtTwZErmgGqCd85rotL-nUSE_WSfSs9NSfIovATdFuj2Ep50DT2aqtQqRSYJgTwEIFuvaq2ZAsqmnlMTE9cO-HyoVaAExd0uo8c35v_xLfpBV3SWeckiaFSiJ1R1HUajBjvmtxoALQWDu4-WsPCOILBgL6JR7c5O16xxQ=s1024" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgyjwKJzB84t4m5uGynzRiYJbtTwZErmgGqCd85rotL-nUSE_WSfSs9NSfIovATdFuj2Ep50DT2aqtQqRSYJgTwEIFuvaq2ZAsqmnlMTE9cO-HyoVaAExd0uo8c35v_xLfpBV3SWeckiaFSiJ1R1HUajBjvmtxoALQWDu4-WsPCOILBgL6JR7c5O16xxQ=s320" width="320" /></span></a><span style="font-family: inherit;"><br /><span><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID"></span></span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;">“<span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">Surat
pindah sekolah akan disusulkan, ya!” kata saya.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;">Di
saat itu dan di tempat itu pula saya merasakan betapa beratnya
melepas anak untuk berpisah pada saat selama 9 tahun tinggal serumah.
Tapi, liburan puasa dia pulang dan kami berjumpa. Kata saya
menghibur. Beda ceritanya jika berpisah dengan seseorang yang tak
mungkin bertemu lagi selama-lamanya.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><br /><span></span></span></p><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">***
</span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;"><span>
</span><span>
</span></span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;">Masih
seperti kemarin-kemarin, saya mengemudi seorang diri. Doanya masih
sama: semoga tidak mogok, tak ada dorong-mendorong lagi. Sebetulnya,
kalau ingat mogoknya, ketar-ketir juga bawa mobil tua. Makanya, saya
lupakan itu kalau mau pergi ke mana-mana. Untunglah, karena dalam perjalanan ini kami sering mampir dan singgah, maka tubuh berasa tak begitu payah, termasuk dalam perjalanan pulang ini saya masih sempat rebahan di rumahnya Nyai Ummah, di Klathakan. Ummah ini adalah adiknya Hasyim, anggota penumpang kami yang juga ipar saya. <br /></span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjuCnOwKIBfUa_23byFlgZjLYjzXx36Kp74YJ9jHvw7iDnvRUM_doyQghIWxj3oeb0a-kAVMI3S9eEp28pQiduQPuL_mP9Yp0BRwsZPTKyrsWwYxI5Wgr77puj3cOHbqzJ164q9Go4rLTRVT7-pTD_gxrIOlp2yaLO4mDOG0esaEjgtipjpB8cN3v5FrQ=s1024" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjuCnOwKIBfUa_23byFlgZjLYjzXx36Kp74YJ9jHvw7iDnvRUM_doyQghIWxj3oeb0a-kAVMI3S9eEp28pQiduQPuL_mP9Yp0BRwsZPTKyrsWwYxI5Wgr77puj3cOHbqzJ164q9Go4rLTRVT7-pTD_gxrIOlp2yaLO4mDOG0esaEjgtipjpB8cN3v5FrQ=s320" width="320" /></span></a><span style="font-family: inherit;"><br /><span><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID"></span></span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;">Persinggahan
kami berikutnya adalah Kraksaan, PP Badrid Duja, tapi sebelum itu ada
titik persinggahan di PP Nurul Jadid. Jadinya, kami mampir dulu di
pondok saya masa dulu itu, PP Nurul Jadid daerah Jalaluddin Ar-Rumi,
asuhan Kiai Malthuf Siraj dan Nyai Hamidah Wafi.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEj64K0mvXozpn63XSsQ5iwcBf8oucOQ6qNWo41Wjz-Jb2V-1Z0guHDEtogoYSQwC1YWJn-8pjXqo1wvPdaFMVedqNJvggKl30MS66DCJ2X7jJga0UUC3VUYG-dS1HII3_FBlgMu5qcY9a4Y9fCOQynWOdFr7C0bLhc00rfNinku0FQbxPIrWQpkAxAFTA=s1024" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEj64K0mvXozpn63XSsQ5iwcBf8oucOQ6qNWo41Wjz-Jb2V-1Z0guHDEtogoYSQwC1YWJn-8pjXqo1wvPdaFMVedqNJvggKl30MS66DCJ2X7jJga0UUC3VUYG-dS1HII3_FBlgMu5qcY9a4Y9fCOQynWOdFr7C0bLhc00rfNinku0FQbxPIrWQpkAxAFTA=s320" width="320" /></a>Berkat
bantuan Firman, santri Ar-Rumi senior yang saya kenal, dengan mudah
saya bisa memasuk portal pondok tanpa pemerikasaan KTP. Dan dengan
cara itu pula, dengan mudah saya berziarah ke makam pendiri, KH Zaini
Munim, dan juga ke komplek makam yang lain, yaitu makam Kiai Hasan
Abdul Wafi, menantu Kiai Zaini sekaligus ipar Kiai Zuhri (pengasuh
PPNJ saat ini) yang letaknya di sebelah barat ndalem beliau, di
selatan. </span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgtI9SADM0dMUiBLirTfBSsrDwX5OshVaEDvrZ0irc39QISANB_L108sTeQwvE9SaWCxTaSkhQCxomnY9PBndPQhQtvtLCQxpJ1fiQ3Bfw7vpNEcnL8r6JVGxsOx8wOU0e0NefsCMeiychDw2IK93McEsE9FQg7aQ6_DNreQmQ93Z9SyzxBQ0Ldo2NFlQ=s1024" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgtI9SADM0dMUiBLirTfBSsrDwX5OshVaEDvrZ0irc39QISANB_L108sTeQwvE9SaWCxTaSkhQCxomnY9PBndPQhQtvtLCQxpJ1fiQ3Bfw7vpNEcnL8r6JVGxsOx8wOU0e0NefsCMeiychDw2IK93McEsE9FQg7aQ6_DNreQmQ93Z9SyzxBQ0Ldo2NFlQ=s320" width="320" /></span></a>
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;">Sebetulnya,
saya ada rencana sowan Kiai Zuhri sekaligus takziyah ke Kiai Hefni,
menantunya, yang baru saja kehilangan istri tercinta, Nyai Hanunah
Nafiiyah, yang juga merupakan putri kesayangan Kiai Zuhri Zaini.
Tapi, karena kondisi Covid belum sepenuhnya mereda dan PPNJ
menerapkan pengawasan yang ketat, saya tahu diri. Bahkan Kiai Zuhri
dan Nyai serta Kiai Hefni sudah lebih dulu takziyah istri saya, di
Madura, beberapa waktu yang lalu</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><br /><span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID" style="font-family: inherit;"><span><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID"></span></span></span>Dan
saat balik dari maqbarah untuk melanjutkan perjalanan ke Kraksaan,
ternyata kami bertemu dengan Nyai Hamidah. Beliau meminta kami untuk
bermalam. Saya minta maaf karena terlanjur janjian. Semoga lain waktu
saya—atau kami—bisa kembali ke sini untuk tujuan yang lain, di
antara adalah untuk memondokkan anak putri saya yang dulu memang
pernah diinginkan oleh almahumah istri saya dan pernah pula
disampaikan kepada Bu Nyai.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" class="western" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
</p><span style="font-family: inherit;">
</span><style type="text/css"><span style="font-family: inherit;">p { margin-bottom: 0.1in; direction: ltr; color: rgb(0, 0, 10); line-height: 120%; text-align: left; }p.western { font-family: "Calibri", serif; font-size: 11pt; }p.cjk { font-family: "Calibri"; font-size: 11pt; }p.ctl { font-family: "Arial"; font-size: 11pt; }a:link { color: rgb(0, 0, 255); }</span></style>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-66394647429064473752021-10-26T15:47:00.002+07:002022-02-20T18:05:22.089+07:00Takziyah, Silaturahmi, Ziarah: Seribu Kilometer (Etape II) <span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"><b>KAMIS,
14 OKTOBER 2021</b></span></span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="color: black;"><span style="font-family: inherit; font-size: small;">Tiba
di Tanggul, azan subuh baru berkumandang. Kami pun mandi di komplek
makam yang airnya melimpah ruah itu. Saya shalat berjamaah di sana,
bersama penduduk setempat dan para penziarah. Seterusnya, kami nyekar
ke makam <a href="https://goo.gl/maps/dqntboDcHzj3j3wn6">Habib Soleh</a>.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;"><span></span><span></span></span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgEmvqFyNOlKmbkFhC1ve2c7RX_Px-nuYk2WyDaU-JRjUc8MHNb9TL2U9feqdPhHQY-8GIPaT_s7XrswxRvGZOL5e0PHmbctWVpoZqzHubjkf0X67IuzuvF_rwIQG2d0b_xao9mcRJKBsoVMIefZknEjShz5xpAFlBLJClE-j3JsZyTrwnGtjNn4HdWYg=s1024" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEgEmvqFyNOlKmbkFhC1ve2c7RX_Px-nuYk2WyDaU-JRjUc8MHNb9TL2U9feqdPhHQY-8GIPaT_s7XrswxRvGZOL5e0PHmbctWVpoZqzHubjkf0X67IuzuvF_rwIQG2d0b_xao9mcRJKBsoVMIefZknEjShz5xpAFlBLJClE-j3JsZyTrwnGtjNn4HdWYg=s320" width="320" /></span></a></div>
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="color: black;"><span style="font-size: small;">Sambil
menunggu ponsel tersambung dengan paman Naqib yang konon sedang
pulang ke rumah mertuanya di Mundurejo, saya menunggu penumpang lain
di areal parkir. Sesudah semua berkumpul dan Paman sudah menelepon,
kami pergi. Saya diarahkan ke selatan, ke arah PG Semboro. Kami mau
ke sana, mau istirahat, mau rehat, tiduran sebentar untuk melepas
penat. Tujuan kami berikutnya adalah rumah istri paman, Nyai Fadilah
Hunaini, putri almarhum Kiai Mukhtar, di dusun Umbulan, Mundurejo,
Umbul Sari. Menurut si paman, tujuan kami sudah dekat, tapi ternyata
menurut putaran roda mobil Colt ini lumayan jauh. Saya masih harus
berperang melawan kantuk dan rasa jenuh setelah semalam suntuk
mengemudi sendirian dari Madura. </span></span></span>
</span><p></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span></span><span></span><span></span></span></p><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="color: black;"><span style="font-family: inherit; font-size: small;"><a href="https://goo.gl/maps/rieEb2jxo4f6opWG8">DusunUmbulan</a> ini cukup unik. Ia terdiri dari beberapa kelompok:
Madura-Islam, Jawa-Islam, dan Jawa-Kristen. “Mereka semua hidup
berdampingan,” kata Nyai Fadilah, istri paman, tuan rumah yang kami
sedang kunjungi itu. Hamdalah, di tempat itu, saya dan anggota
rombongan bisa tidur, mandi, bahkan lengkap dengan makannya. Wow,
enak sekali.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit;"><span><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"><span lang="id-ID">Kira-kira
pukul 9.30, kami pulang untuk melanjutkan perjalanan menuju Jember.
Tapi, rute kali ini berbeda dengan rute yang tadi. Peta digital yang
memandu, memerintah kami kesana-kemari, ke utara dulu, baru ke timur,
lalu serong lagi sedikit ke arah timur laut. Begitu saja kami manut,
seperti kerbau dicocok hidungnya. Alangkah pintarnya aplikasi dan
betapa culunnya kami. Pernah Anda bayangkan, enggak, keculunan Anda
pada saat Anda dipandu aplikasi peta semacam ini dan Anda manut
begitu saja dan ternyata salah? Masuk ke gang atau ke jalan yang
buruk? </span></span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="color: black;"><span style="font-size: small;">Ya,
kami menuju Jember via Gambirono. Kami ikuti saja perintahnya
meskipun awalnya ragu. Yeah, mau gimana lagi? Nasib pengekor emang
seperti itu. </span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="color: black;"><span style="font-size: small;">Tema
besar perjalanan kali ini sebetulnya adalah “takziyah yang
tertunda”. Ada yang wafat baru lalu, ada yang wafat sudah lama.
Semua ketertundaan itu disebabkan oleh dua hal: pertama,
tujuan-tujuan kami ini terbilang jauh (dari Sumenep, kira-kira 400-an
kilometer dan ternyata 1000 kilomter lebih pergi-pulang); kedua,
sepanjang waktu 7 bulan terakhir, saya memang tidak pergi ke
mana-mana karena selama 4 bulan menjaga istri yang sakit dan 3 bulan
berikutnya menunggu orang yang datang silih-berganti untuk takziyah
ke tempat kami setelah akhirnya beliau wafat. </span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="color: black;"><span style="font-size: small;">Tujuan
takziyah yang pertama, ke Jember, juga berikutnya (Bondowoso), dan
Asembagus, terbilang kategori ‘takziyah original’ alias langsung
karena keduanya masih wafat dalam sepekan dengan kunjungan kami itu. </span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="color: black;"><span style="font-family: inherit; font-size: small;">Saat
tiba di Jember untuk takziyah ke Nyai Muflihah Bahar, secara tak
sengaja, saya bertemu dengan Qomar, teman kuliah dulu, yang sedang
menggarap furnitur untuk rumah milik sepupu saya, Walid, justru di
tempat kami menuju. Lokasi rumah si sepupu ini berada tepat di
seberang jalan rumah duka. Kejutan berikutnya adalah; di rumah si
sepupu itu pula saya bertemu dengan Mas Fadal, saudara kandung
daripada almarhum Kak Muniri, yang memang akan kami layati
berikutnya. Ia berjanji akan menyertai kami ke Bondowoso, mengantar
kami sampai ke halaman rumah Wakil Rais Syuriah Pengurus Cabang
Nahdlatul Ulama (PCNU Bondowoso tersebut.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="color: black;"><span style="font-family: inherit; font-size: small;">Nyai
Muflihah adalah putra Kiai Bahar. Beliau itu ipar bibi saya, ibunya
Walid. Dengan Walid, saya sepupu karena ibu Walid itu sesaudara
dengan ibu saya, tapi dengan Nyai Muflihah, saya kurang tahu jalur
nasabnya, tapi pasti masih ada hubungan famili, mungkin famili jauh.
Nyai Muflihah wafat justru sepulang beliau dari Madura, yang salah
satu tujuannya adalah takziyah. Oh, kematian memang benar-benar tidak
dapat ditawar dan tidak dapat diduga.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><span style="color: black;"><span style="font-size: small;">Adapun
Kiai Muniri merupakan adalah saudara kami yang lain, tiga kali sepupu
(dalam istilah Madura adalah tello (tiga) popo (sepupu). Umumnya,
atau setengahnya, orang Madura sangat peduli terhadap urusan silsilah
begini. Tello popo itu artinya sepupu tiga kali atau tiga kali
sepupu. Artinya. Buyut saya dan buyut almahum Muniri sesaudara.
Kakek kami berdua hubungan nasabnya sama-sama sepupu. Lalu, orang tua
kami sepupu dua kali. Maka, saya dan Kak Muniri adalah sepupu tiga
kali. </span></span></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="color: black;"><span style="font-family: inherit; font-size: small;">Sayangnya,
tak pernah satu kali pun saya ke bertandang rumahnya selain datang
kali ini dan itu untuk takziyah. Sering saya bilang, kalau sempat,
pergilah silaturahmi di saat bukan untuk takziyah, sehingga
silaturahmi itu benar-benar silaturahmi (cek wordpress). Meskipun
sama-sama niat sambil lalu silaturahmi, tapi akan beda suasananya
jika silataruhmi berbumbu takziyah, apalagi jika dibumbui mau pinjam
uang. Sebab itulah, silaturahmi menjadi mahal (bagi sebagian orang)
karena ia merupakan kegiatan mengorbankan waktu tanpa kita dapat
mengantongi kuntungan finansial secara langsung.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span><span style="color: black;"><span style="font-family: inherit; font-size: small;">Karena
perjalanan malam itu terlanjur diplot berakhir di Asembagus, maka
kami harus lanjutkan perjalanan, tak boleh bermalam di Dadapan. Kami
pun mengingap di rumah paman—yang notabene suami daripada bibi
langsung dari almarhumah istri saya. Beliau wafat kira-kira 3 bulan
yang lalu. Ke rumah paman ini, kami sudah sering sekali bertandang,
bisa tiap tahun bahkan yang terakhir adalah tanggal 14 Februari tahun
ini. Ketika itu, saya masih datang bersama istri dan pada kunujungan
saya kali ini, kedua-duanya sudah sama-sama tiada.</span></span></span></p><span style="font-family: inherit;">
</span><p align="justify" lang="id-ID" style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;">
<span style="font-family: inherit;"><span><br /></span>
</span></p><span style="font-family: inherit;"><span>
</span><span>
</span></span><p style="line-height: 100%; margin-bottom: 0in;"><span style="font-family: inherit;"><br /></span>
</p><span style="font-family: inherit;">
</span><style type="text/css"><span style="font-family: inherit;">p { margin-bottom: 0.1in; line-height: 120%; }a:link { color: rgb(0, 0, 255); }</span></style>Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5839095030662177540.post-58157221185855950592021-10-26T14:56:00.002+07:002022-02-20T18:05:09.673+07:00Takziyah, Silaturahmi, Ziarah: Seribu Kilometer (Etape I)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEi81c_ZttvHsysTcbv2LyIxG4ztOrk-jn67dyyLwru4yK13_S4tnptYlhbUhleOMFZZ-EV1VMJyDNzreqXQ5hlnYSikOtvwyfXIfI6Dr8WQ0Ud3zQcGy1wUlNqA2UDEBuJoFq_T4JN4bCTN4WQEcF4RK-PBnC5N_-zPqcz3w3jzZZLj8f_vFi8KXyCimA=s1024" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="1024" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEi81c_ZttvHsysTcbv2LyIxG4ztOrk-jn67dyyLwru4yK13_S4tnptYlhbUhleOMFZZ-EV1VMJyDNzreqXQ5hlnYSikOtvwyfXIfI6Dr8WQ0Ud3zQcGy1wUlNqA2UDEBuJoFq_T4JN4bCTN4WQEcF4RK-PBnC5N_-zPqcz3w3jzZZLj8f_vFi8KXyCimA=s320" width="320" /></span></a></div><span style="font-family: inherit;"><b><br />Rabu, malam Kamis, 13 Oktober 2021</b><br /><br />Baru sampai Tambung, pertigaan masuk kota/Pademawu, Colt ini sudah mogok. Mana pas di lampu merah lagi! Mesinnya mati. Ketika di-<i>start</i>, terdengar bunyi seperti anak kecil mewek, mau nangis. <br /><br />“Mesinnya ngambek, nih, tidak mau nyala,” kata saya pada penumpang, berusaha menenangkan. <br /><br />Ketika lampu berubah hijau, ketakutan yang paling saya khawatirkan terjadi beneran: bunyi klakson bertubi-tubi di belakang. Ingin emosi, tapi untuk apa. Ingin bilang sama orang-orang itu supaya sabar dan segera ambil sisi kanan, tapi apakah mungkin? <br /><br /><br />Saya merutuk dalam hati. “Sialan bener mereka! Apakah manfaat cerewet dengan membunyikan klakson seperti itu? Apa susahnya, sih, ambil kanan dan menyalip mobil kami? Siapa pula yang kerasan di lampu merah? Emang kami ini mau menginap di sini?” <br /><br />Rutukan-rutukan ini akan terdengar ceracau orang gila andai saja diucapkan melalui megaphone. Untungnya, semua kata-kata itu mendengung, karena tidak berani keluar dari mulut, hanya menggelembung, hendak meletup, tapi di dalam pikiran. Untunglah saya masih sadar. <br />“Sabar, sabar, sabar,” kata saya sama para penumpang. <br /><br />Dua orang pemuda yang berdiri di sisi barat jalan (mungkin sedang menunggu bis melintas) langsung paham terhadap bahasa tubuh saya. Ketika saya memandanginya, mereka langsung datang ke mobil saya untuk mendorongnya. Spontan, saya arahkan mobil belok kiri, ke jalan lingkar sebab jalannya sedikit menurun sehingga bobotnya akan lebih terasa ringan bagi mereka yang mendorongnya. Tapi, celakanya, ternyata mereka hanya membuat mobil bergerak sedikit, sudah pergi sebelum mesin mobil menyala. Untunglah saya tidak panik sehingga mobil saya biarkan terus menggelinding hingga beberapa meter. Setelah dirasa cukup lajunya, saya masukkan gigi ke versneling ke gigi ketiga, lepas kopling, dan....greng...greng... greng...nyala! <br /><br />Hore...<br /><br />Langsung putar balik, belok kiri lagi, dengan kencang saya bawa ia berlari ke arah kota. Tujuan kami selanjutnya adalah ke Sumber Anyar, Larangan Tokol, sebuah desa di pesisir selatan Pamekasan. Saya mau menjemput ipar di sana karena mau ikut saya ke Jawa. <br /><br />Pada perjalanan malam itu, sedikit saya cemas mengingat semua penumpang adalah perempuan. Hanya ada empat laki-laki di dalam mobil, itu pun cuma saya dan tiga anak lelaki saya yang kecil-kecil. Akan terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia jika mereka dipaksa untuk mendorong mobil yang mogok. <br /><br />Salim, anak kedua, masih berusia 9 tahun. Dia yang duduk di depan, menemani saya. Di kursi tengah ada ipar perempuan dan anak perempuannya, juga anak perempuan saya, Fatimah. Di jok belakang, ada dua orang peremuan lagi, Yen dan Nila, serta dua lelaki anak saya yang lain yang kedua-duanya masih berumur 7 dan 4,5 tahun. Saya berdoa, semoga mereka, juga kami, tidak direpotkan oleh mobil tua ini. <br /><br />Tapi, saat baru saja mau berangkat dari Sumber Anyar, mobil tidak bisa di-start lagi. Waduh, apa-apaan ini? Baru 40 kilometer dari rumah sudah dua kali bikin masalah, padahal Jember itu 360 kilometer, belum lagi ke Situbondo dan seterusnya. Andai saja mobil bisa berpikir, pasti dia tidak mogok karena sayalah satu-satunya lelaki dewasa di dalamnya.<br /><br />Tanpa pengecekan terlebih dahulu dan langsung dipancal, itu saya kira problemnya. Tapi, saya juga terlalu percaya diri, sih. Mungkin karena kondisi mobil yang dianggap siap karena baru saja melalap duaribu kilometer aspal Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, seminggu yang lalu.<br /><br />Pukul 22.00 kurang beberapa menit, ada Kak Fauzan dan Le’ Hasyim. Mereka datang untuk memberikan bantuan. Ada juga beberapa orang lain, tapi saya tidak kenal. Dan dengan kekuatan mereka, sekali sorong, mesin langsung brum-brum-brum. Setelah babibu dan dadadada, saya ucap salam kepada mereka, berangkat. <br /><br />Menurut kalkulasi saya, ada ‘kerugian’ waktu 30 menitan gara-gara acara dua kali dorong, tadi, di Tambung dan di Sumber Anyar. Untuk menutupi ‘kerugian’ tersebut, saya melajukan mobil lebih cepat dari tadi. Tetapi, baru sampai di Blega, mata sudah panas, mengantuk. Waduh, cilaka! Tak pelak, segera saya mampir di <a href="https://goo.gl/maps/e4nTex5kEbAJET5J9 ">Mushalla Al-Khalili</a>. Letaknya kira-kira 500 meter di timur SPBU Blega. Saya harus memutus konsentrasi sejenak, turun dari mobil, pipis, lalu ambil wudu. <br /><br />Mushalla ini agaknya mushalla umum. Ada warungnya juga. Ini mushalla sepertinya juga ‘tak-bertuan’, hanya mushalla kecil yang diperuntukkan untuk pelintas dan/atau musafir yang singgah. Dari dulu, saya perhatikan, mushalla ini tidak menyediakan “kotak amal”, mungkin karena alasan tadi itu: tak bertuan, eh, bertakmir, padahal masjid yang kini sangat makmur dan kaya, seperti Masjid Raudatul Muttaqin di Sumbersari, Bayeman, harta masjidnya nyaris sepenuhnya diperoleh dari kotak amal orang yang singgah. Tapi, bisa jadi, si pemilik atau pengelola mushalla umum ini memang orang kaya yang ingin menanggung semua pembiayaan mushalla seorang diri saja. <br /><br />Start lagi, nyala. Hamdalah, ternyata tidak ada masalah. Tapi, saya masih ragu karena belum dapat kepastian dari pertanyaan: Tadi itu mogoknya gara-gara dinamo ampere atau dinamo starter? Karena keraguan itu pulalah akhirnya saya ambil keputusan untuk lewat tol saja, menggagalkan rencana semula, lewat arteri sampai Probolinggo.<br /><br />Sejak masuk Kedungcowek hingga lampu merah terakhir menjelang pintu tol Dupak, saya benar-benar menyetir mobil dalam keadaan tidak sesantai biasanya karena sembari mengatur kecepatan agar tidak sampai berhenti saat menunggu lampu merah. Jika lampu lalin di depan sedang hijau, saya memburunya supaya mampu melewatinya, namun jika sedang merah, saya bikin laju mobil melambat sejak jauh. Soalnya, saya khawatir, meskipun mesin sudah diperkirakan normal sejak rehat di Blega, tapi saya tidak mau berjudi dengan cara berhenti di lampu merah. Apa jadinya jika mesin mendadak mati di tengah kota Surabaya, tengah malam pula, sementara seluruh penumpang saya anak-anak dan para wanita?<br /><br />Tak pelak lagi, mobil saya arahkan ke pintu tol Dupak. Untungnya, sisa saldo e-toll masih banyak karena seminggu yang lalu, sisa dari perjalanan jauh ke Banten. Saya cek, ia masih tersisa 200 ribuan sementara tarif tol dari Surabaya sampai Probolinggo itu tidak sampai 100.000 (mungkin 81.000).<br /><br />Turun di gerbang tol terakhir, Leces, jam menunjukkan pukul 02.00 persis, empat jam perjalanan dari Pamekasan. Harus diakui, adanya tol Trans-Jawa, termasuk relasi Gempol-Probolinggo Timur yang baru-baru ini dibangun (Perak-Gempol adalah jalan tol panjang pertama di Indonesia, kayaknya lebih dulu dari jalan tol Jakarta-Cikampek), dapat menghemat waktu sekitar satu jam, atau lebih. Tapi, jelas, jika kita lihat dampak sosialnya, korban dan dampaknya juga banyak. Tentu saja, saya tidak akan membahas hal itu dalam tulisan ini karena saya tidak ahli di bidang itu.<br /><br />“Enggak ada yang mau ke toilet?” tanya saya kepada penumpang saat kami melintas di Ranuyoso.<br />“Tidak ada,” jawab seseorang.<br />“Ini masih malam. Subuh masih lama. Kita lanjut saja. Gimana kalau kita subuhan di Tanggul saja? Sekalian ziarah ke makam Habib Soleh?”<br />“Oh, baik. Saya setuju itu,” kata ipar saya. <br />“Kita bisa mandi-mandi dan ganti pakaian di sana.”<br /><br />Perjalanan berlanjut. Tapi, laju mobil ndut-ndut sekarang, menjadi antitesis dari momen sebelumnya. Bagaimana tidak, ruas jalan Ranuyoso dan Klakah memang terkenal padat dan menanjak. Mobil-mobil besar dan bermuatan berat jelas sangat lemot di jalur ini. Menyalip tidak seleluasa di tempat lain karena di samping menanjak, di ruas ini, sering pula banyak karnaval kendaraan yang tersendat di belakang truk-truk besar yang berjalan sangat pelan.<br /><br /><br /></span><br />Titosdupolo (Colt T120)http://www.blogger.com/profile/01501550088213733208noreply@blogger.com0