Halaman

24 November 2018

Hari Maulid Pergi ke Jombang


Hari ini tanggal merah, perayaan Maulid Nabi Muhammad, bertepatan dengan hari Selasa, 20 November 2018. Dan kali ini, hari ini, adalah perjalanan jauh pertama Colt saya setelah dicat. Perjalanan terjauh sebelumnya adalah ke Jogjakarta, awal tahun ini, saat Colt masih telanjang bodi. Perjalanan kali ini bertujuan Jombang, Rejoso Peterongan tepatnya.

Sempat dihantui rasa ragu sebelum berangkat, akhirnya saya pergi pula ke Jombang bawa Colt. Kami berangkat bakda shalat subuh. Hanya saya, Warid (sepupu dua kali) dan anak tertua yang pergi. Semua yang saya ajak pada berhalangan. Maklum, saya maklum saja. Ini tepat hari Maulid Nabi Muhammad. Jadi, mereka pada sibuk kondangan.

Masih sangat pagi ketika kami mencapai bengkel Mbah Fathor di Larangan Tokol, Tlanakan. Tentu saja tujuannya bukanlah memperbaiki, tetapi sekadar pamer. Maklum, saya nyebutnya “Mbah” bukan “mbah secara nasab dan silsilah”, melainkan karena dialah yang sering saya tanyai seputar Colt mengingat dia bengkel sekaligus pemilik Colt yang punya Colt sejak baru sampai hari ini. Beberapa waktu sebelumnya saya sempat cerita kalau Colt saya sudah kinclong sekarang.

Dia senang melihatnya secara langsung pagi ini. Hanya sekitar lima menit berselang, plus tadi berhenti saat isi premium 180.000 di Talang, kami berangkat lagi ke arah barat. Sempat pula kami mampir di Bandaran untuk beli nasi kobal, nasi bungkusan berlauk sambal, cakalan, dan sesobek telur dadar. Harganya  Rp 3000-5000 per bungkus.

Menjelang pukul 6, saya melipir sebentar di Camplong, ketemu Nuris Sholihin yang di Facebook ia sebut namanya dengan BIN (bukan intelijen, lho).  Singkat saja pertemuan itu, hanya serah terima majalah Ijtihad, majalahnya OMIM PP Sidogiri. Habis itu, saya berangkat lagi, sobek majalah, dan menemukan amplop berisi duit sebagai honor esai yang saya tulis di dalamnya, honor yang cukup untuk membayar bensin untuk perjalanan kami kali ini. Alhamdulillah.

“Kita mau lewat tol?” saya tawarkan pilihan kepada Warid.
“Terserah,” jawabnya pasrah.
“Tapi, baiknya kita isi e-toll dulu. Saya enggak tahu, ada berapa isi kartu ini, soalnya saya cuma pinjem.”

Ternyata, saya putuskan  lewat tengah kota saja, lewat Monumen Bambu Runcing, tembus Darmo, terus A. Yani. Ruas jalan di kota Pahlawan ini berasa Minggu meskipun hari ini adalah Selasa. Maklum, ada penanggalan merah. Saya mengingau, “Apa perlu aku pesan almanak yang angka-angkanya dicetak warna merah semua, ya, agar Surabaya jadi lancar jaya setiap hari seperti pagi ini?”

Saat melewati jembatan layang Wonokromo, saya bercerita—tentu untuk dua orang lain yang ada di dalam kabin mobil ini—bahwa jembatan ini adalah yang pertama di Jawa Timur. Sekurang-kurangnya, itu yang saya tahu.

“Dulu, saat awal-awal digunakan, kalau lewat di sini masih kena tarip Rp 300. Kalau tak keliru, ‘tol’ ini dibangun tahun 1983, disusul tol terpanjang kala itu, Perak-Gempol, 41 km, yang dibangun di tahun 1986. Jembatan layang ini, seperti juga di Trosobo, adalah demi mengurai kemacetan lalu lintas karena ada perlintasan rel kereta api di bawahnya.”

Akhirnya, karena waktu sudah jelang 08.30, dengan berat hati saya harus putuskan untuk lewat tol Surabaya-Jombang saja meskipun taripnya sangat mahal (jika tidak salah 60 ribu lebih). Demi menghemat waktu, akhirnya kami lakukan juga. Coba andai rencana yang semula terjadi, yakni berangkat pada malam harinya, tentu saja saya akan pilih lewat di “jalan reguler”, jalan yang ramai, yang di kanan-kirinya banyak orang, yang kanan-kirinya banyak toko, bukan hanya sawah dan sawah melulu, bukan hanya gudang dan pabrik melulu, sehingga naik mobil tapi berasa naik kereta api.

Oh, ya. Waktu perjalanan kami kali ini tidak dipangkas waktu makan karena kami makan nasi bungkus di atas kendaraan. Ini jelas lebih hemat waktu dan hemat biaya karena di samping yang dimakan itu nasi bungkusan yang harganya murah, juga tidak perlu parkir sampai setengah jam untuk makan di warung.  Mestinya, saya bawa sangu sendiri. Sayangnya, istri sedang sakit sehingga rencana mau ikut pun gagal, bahkan tak sempat menyiapkan bekal.

Kami memang biasa bawa bekal meskipun saat ini sudah banyak sekali warung makan bertebaran di sepanjang jalan, di Madura, beda dengan sepuluh tahun yang lalu yang masih terbilang jarang. Jangankan nasi, air minum pun kami bawa sendiri. Masa air minum saja harus beli di jalan? Begitu prinsipnya. Belum lagi sampah plastiknya. Mau dikemakan? Pada akhirnya dibuang juga, kan? Alasan hemat, keterjaminan kesucian makanan dan minuman,  bercampur pula dengan alasan penyelamatan lingkungan, klop sudah. Bahkan, kopi dan cangkir kecil serta nampan mininya pun saya bawa sendiri. Hanya kompor dan panci saja yang tidak bawa sendiri.

Menampaki ruas jalan tol, pagi itu, rasanya berat. Meskipun enak juga tidak dapat dipungkiri karerna saya sembari membayangkan kemacetan yang terjadi dari Krian sampai Mojokerto, begitu pula arus lalu lintas yang sengit dari Trowolan sampai Rejoso. Begitulah, apa-apa itu ada plus-minusnya selalu.

Agak gondok juga setelah saya tahu ujung pintu tol Jombang ini ada di Jalan Tembelang, jalur ke Ploso, ke Babat. Jadi, bagi yang mau ke arah Kertosono, ke Tambak Beras, ke Denanyar, sudah sangat pas, tapi bagi yang mau ke Rejoso, ini terlalu ke barat. Kami harus ke arah timur dulu dari pintu tol.

Saya langsung menuju Tebuireng. Beruntung, meskipun di situ macet karena hari libur dan pas maulid, tapi saya sangat senang karena nemu barang kesukaan, es tebu, langsung glek dua gelas. Saya sowan Gus Didik, pengasuh Madrasatul Quran, yang pada hari itu kebetulan ada di kediamannya, di halaman depannya bahkan. Beruntung sekali saya hari ini. Sesudahnya, barulah saya ngantar anak ke PP Terbuireng, sambil menjelaskan ini itunya, tokoh-tokoh yang ada di pesarean di sana.

Dari sana, pukul 11.00, saya ke Corogo, mampir ke rumah Haris, untuk tidur dan istirahat siang sebelum waktua acara tiba, pukul 14.00. dan hamdalah, saya bisa istirahat dengan durasi sekitar satu jam. Tubuh jadi bugar begitu bangun, apalagi makan.

Tepat pukul 14.00 saya baru berangkat, mestinya itu jam pelaksanaan acara. Saya tahu, acara pasti molor sedikit karena saya masih diarahkan ke Stasiun Peterongan oleh Gus Binhad, ngopi sejenak dengan Mas Andhi Setyo, lalu berangkat ke lokasi acara.

Acara diskusi literasi pesantren sekaligus beda buku kumpulan cerita pendek karya Zainuddin Sugendhal (Kucing Makan Koran) dan buku puisi Karra Abhel (Candu Setangkup Luka) berlangsung seru. Binhad Nurrohmat yang sedianya berposisi sebagai pembanding, karena terlanjur dikasih pelantang, malah berganti peran jadi moderator. Mas Andhi yang duduk di belakang ditunjuk maju ke depan olehnya, menemani Pak Nurdin.  Acara yang ditempatkan di lantai II Islamic Centre UNIPDU ini, juga sebagai ruang perpustakaan, berjalan secara gayeng selama dua jam setengah.

Yang mengejutkan adalah; di antara para peserta terdapat Zilvia, sepupu dua kali.
“Loh, Zil, kamu kok di sini?” tanya saya.
“Saya kuliah di sini, Kak.”
“Sejak kapan?”
“Sudah semester 5 sekarang.”
“Berarti kamu sudah dua tahun setengah ada di sini. Ealaaah, kirain, selama ini kamu di rumah saja,” dan saya pun tertawa, tidak membayangkan itu terjadi, kok bisa saya enggak tahu begitu.

Selesai acara, setelah cangkruk sebentar dengan IAA UNIPDU (acara bonus), saya bertandang ke wisma Alhambra, kediaman Ning Eyik dan Gus Binhad. Kami pamit pulang setelah isya dan langsung menuju ke rumah Haris, istirahat sejenak di sana, lalu melanjutkan perjalan pulang ke Madura setelah jam dinding menunjukkan pukul 21.05.

Warid yang pegang kemudia dalam perjalanan pulang dari Corogo (lokasinya selatan Samsat Jombang). Saya menemaninya duduk di depan, terkantuk-kantuk. Ngomong terus supaya dia tidak bosan.

Kami baru isi bensin lagi 110.000 di SPBU Galis, menjelang Gunung Gigir. Tiba-tiba, starter Colt tidak jalan, seperti kehabisan daya. Waduh, ada apa ini? Tampaknya ada masalah dengan strum. Seorang petugas SPBU lantas berjalan ke arah saya, mendekat, sambil berkata
“Loh, kok masih di sini? Kerasan, ya?”
Saya tahu, dia tidak butuh jawaban. Tapi, justru sayalah yang butuh kedua tangannya.
“Yolah, dorong dulu...”

Saya bawa mobil menggilinding, melaju, menembus malam, menuju Galis, Sampang, Pamekasan, dan tiba di rumah pukul 02.04. Perjalanan lima jam dari Jombang tanpa tol di malam hari nyaris sama dengan perjalanan siang lewat tol di siang hari, malah lebih singkat. Adapun biaya BBM tidak saya ukur, tapi uiritlah untuk ukuran Colt. Sejak pakai teknik Pengaturan Spuyer dari Luar, rata-rata konsumsi BBM itu menakjubkan, sekitar 1:12 – 1:13 /km. Tentu saja, akselerasi mobil tidak sedahsyat biasanya, rada nyendat-nyendat kalau gas diinjak sembarangan, harus kalem, sangat kalem. Untuk total jarak tempuh = 464 km kali ini, saya taksir BBM habis 36-37 literan.









6 komentar:

  1. Tulisannya sangat bagus.. menginsipirasi... Apa adanya.. Nice blog...
    Mantap...

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas segala pembelajarannya. Kami mohon maaf atas segala kekurangan dan ketidakelokan dalam penyambutan kemarin. Berkah maulid, saya bisa ketemu jenengan Ra. Terima kasih.

    BalasHapus
  3. Ada hikmah di setiap paragraf, itu yang bikin aku selalu ingin melanjutkan baca paragraf selanjutnya, plus karakter khas tulis Ra M Faizi yang menggelitik :-D :-D

    O ya, aku temukan lebih ketik dua "a" dan "n" satu di tiga tempat, Ra.. Satu di paragraf ketujuh >> Saya mengi(n)gau ... , paragraf kelima belas >> waktua acara ... , dan di paragraf ketiga dari akhir >> Warid yang pegang kemudi(a) dalam...

    Satu lagi, entah, barangkali Ra Faizi memang sengaja menulisnya agar enak dibaca >> beda(h) buku kumpulan ...

    Selalu bahagia usai membaca tulisan Ra M Faizi :-D

    BalasHapus