Hingga menjelang pukul 6 pagi, bismini (sebutan kami untuk microbus seperti Isuzu Elf NHR/NKR) yang rencananya kami sewa belum datang juga. Ada penumpang yang mengaku sudah menunggu sejak 90 menit yang lalu. Rencana ‘wisata kuburan’ ke Sunan Cendana (cucu Sunan Drajat; di Kwanyar) dan Syaikhona Cholil bin Abdul Lathif (Mertajasa, Bangkalan) Jumat pagi 15 Januari 2016 itupun terancam gagal.
“Gimana ini kok nggak datang-datang?”
“Waduh, bisa malem nanti pulangnya.”
Berbagai keluhan berseliwer. Saya mendengarnya, juga merasa terpojok karena di samping perencana perjalanan, saya jugalah yang bertanggung mengordinasi armada, termasuk armada sewaan itu. Satu armada, sebuah Colt T120 milik salah seorang guru, sudah siap, sedangkan Elf tak kunjung datang. Daripada semakin gencar cecaran pertanyaan untuk saya, maka dengan berat hati, saya gagalkan saja. Saya hubungi Qudsi dan mengajukan alasannya. Qudsi yang kebetulan bertindak sebagai sopir kala itu meminta maaf karena kendala teknis ini. Kunci kontak yang ketelisut di tangan penanggung jawabnya adalah kambing hitam keterlambatan ini.
“Sudah, bawa Colt-mu saja!” kata bibi yang kebetulan mau turut, ikut bersama.
“Cukup kiranya?”
“Cukup, tapi agak berhimpitan, nggak apa-apa, ya?”
“Ya, nggak apa-apa, sih, asal sanggup berdesak-desakan sepanjang 250 kilometer pergi pulang!”
Akhirnya, saya mengeluarkan Colt dari garasi, dipanaskan mesinnya, langsung dibawa ke halaman madrasah dan tanpa babibu, 8 orang menyelusup masuk ke kabin. Kursi kayu imut sebagai bangku siluman pun digunakan untuk menampung pantat yang tidak kebagian duduk di ‘sofa’.
Pukul 6 lewat 5 menit, kami berangkat. Agak ketar-ketir juga bawa Colt “Titosdupolo” ini karena tadi harus didorong dulu sebelum dihidupkan. Saya duga, aki mulai lemah. Maklum, akinya memang bukan beli baru, tapi hasil tukar tambah. Yang ini sesungguhnya lebih mengkhawatirkan saya daripada karena pada saat itu saya juga sama sekali tidak pegang uang, sepeser pun.
Setelah isi bensin 100.000 di SPBU Talang hasil pinjam sama salah seorang penumpang, saya ngejos dengan prakiraan perhentian berikutnya adalah Kwanyar. Dengan kecepatan konstan 70-80 km/jam insya Allah kurang dari 3 jam kami akan tiba di tempat tujuan. Kami berjalan beriringan, dua colt, dua mobil tua, dengan penumpang-penumpang usia ‘anggur’ yang telah beranak-pinak dan sebagiannya malah sudah berucucu. Klop dah!
Membawa beban 9 orang, terasa benar akselerasi Colt ini agak terganggu, mungkin karena saya tidak terbiasa bawa penumpang sebanyak itu. Rasa khawatir akan dicegat polantas karena Colt dianggap bermasalah karena dituduh angkutan umum plat hitam juga muncul. Tidak apa-apa kalau cuma ini masalahnya. Hanya ada seorang laki-laki di sini, Hassan, sepupu saya, yang duduk di depan. Sisanya adalah ibu-ibu guru dan dua orang bibi saya. Masalah yang serius nyatanya adalah jika nanti mobil harus didorong lagi sedangkan bobot mobil buatan Mitsubishi tahun 1980 ini sudah penuh dempul sehingga membutuhkan ayunan sekitar 6 TMLD (tenaga manusia lelaki dewasa) untuk menghidupkannya. Biasanya, sih, begitu.
Jalan raya di hari Jumat itu lumayan sepi kecuali di daerah Blega yang memang selalu ada pasar tumpah setiap hari Jumat. Bikin pasar di pinggir jalan raya di mana-mana selalu begitu kejadiannya, atau memang begitu perencanaannya? Kemacetan adalah bagian dari tradisi pembangunan kita, saya kira.
“Mobil satunya mau masuk pom dulu katanya,” suara salah salah seorang penumpang dari bekalang.
“Iya, tapi kenapa? Bukannya tadi sudah isi bensin di Talang?” balas saya tanpa melirik kaca spion tengah.
“Asrof, anakanya Bu Sit, muntah terus katanya.”
“Berhentilah di mushalla sebelum pom Blega atau di Pom Blega itu sendiri, itu saran saya, sampaikan kepada Pak Saiful!”
Benar, mendekati pom Blega, Colt ijo bodi Adi Putro yang dikemudikan Pak Saiful itu sein kiri, masuk ke SPBU. Saya terus, lanjut, hanya membunyikan klakson sebagai “bye-bye” atau isyarat “kami monitor, kami lanjut saja”.
Pukul 08.52, di sekitar 100 meter menjelang pasar Tanah Merah, saya memarkir kendaraan, turun dari aspal, menunggu mobil satunya yang tertinggal. Lumayan, pori-pori tubuh kami pun bisa menyadap angin semilir setelah berasa dioven dalam kabin tak berpendingin. Sebagian penumpang kami langsung menjalin kontak dengan penumpang Colt Ijo, memberi tahu posisi kami dan menanyakan posisi mereka. Diketahui: Colt ijo masih terjebak macet di Pasar Blega, namun karena dipersilakan berangkat duluan sebab rombongan belakang juga tahu jalan, kami berangkat lagi.
Jalan raya di hari Jumat itu lumayan sepi kecuali di daerah Blega yang memang selalu ada pasar tumpah setiap hari Jumat. Bikin pasar di pinggir jalan raya di mana-mana selalu begitu kejadiannya, atau memang begitu perencanaannya? Kemacetan adalah bagian dari tradisi pembangunan kita, saya kira.
“Mobil satunya mau masuk pom dulu katanya,” suara salah salah seorang penumpang dari bekalang.
“Iya, tapi kenapa? Bukannya tadi sudah isi bensin di Talang?” balas saya tanpa melirik kaca spion tengah.
“Asrof, anakanya Bu Sit, muntah terus katanya.”
“Berhentilah di mushalla sebelum pom Blega atau di Pom Blega itu sendiri, itu saran saya, sampaikan kepada Pak Saiful!”
Benar, mendekati pom Blega, Colt ijo bodi Adi Putro yang dikemudikan Pak Saiful itu sein kiri, masuk ke SPBU. Saya terus, lanjut, hanya membunyikan klakson sebagai “bye-bye” atau isyarat “kami monitor, kami lanjut saja”.
Pukul 08.52, di sekitar 100 meter menjelang pasar Tanah Merah, saya memarkir kendaraan, turun dari aspal, menunggu mobil satunya yang tertinggal. Lumayan, pori-pori tubuh kami pun bisa menyadap angin semilir setelah berasa dioven dalam kabin tak berpendingin. Sebagian penumpang kami langsung menjalin kontak dengan penumpang Colt Ijo, memberi tahu posisi kami dan menanyakan posisi mereka. Diketahui: Colt ijo masih terjebak macet di Pasar Blega, namun karena dipersilakan berangkat duluan sebab rombongan belakang juga tahu jalan, kami berangkat lagi.
Pasar Kwanyar ramai sekali. Ini hari pasarannya, sementara besok, Sabtu, adalah pasar besar Tanah Merah yang jaminan macet pada seluruh ruas jalannya. Di makam Sunan Cendana, kami mengaji sambil lalu menunggu rombongan. Lantas diadakanlah tahlil bersama setelah semua anggota datang.
Usai dari makam Sunan Cendana Zainal Abidin, kami rencana langsung bertolak ke Mertajasa, namun Haji Saiful, kawan saya yang penduduk setempat dan pemilik toko Prima Vista, mencegat. Kami diberi oleh-oleh: krupuk khas Kwanyar, krupuk yang disangrai langsung ke pasir dan tanpa minyak goreng.
Setelah berangkat lagi, kami ambil jalur kiri, tembus Nyiorondung, bukan jalan yang tadi karena kami mengarah ke barat, ke kota. Hingga akhirnya kami tiba di Mertajasa, suhu udara lebih kejam lagi, panas luar biasa. Ini bikin saya merasa capek, ditambah karena kemarinnya, Kamis tanggal 14 Januari, sejujurnya saya juga baru saja datang dari Bangkalan, pergi ke saudara sepupu yang baru pulang dari tanah suci Makkah setelah tinggal di sana beberapa tahun lamanya.
Sebab masih dalam keadaan punya wudu, saya langsung masuk masjid, shalat sunnah, juga mengaji dan berdoa berbarengan saat dikumandangkannya qiraah mujawwad yang insya Allah dari lantunan suara al-ustad Muammar ZA, menandakan bahwa waktu shalat Jumat sudah hampir tiba.
Usai shalat, anggota rombongan ada yang mengaji lagi, ada yang menyantap bekal. Bawa bekal dari rumah adalah tradisi kami, di samping hemat, kesucian dan kehalalannya lebih terjamin. Prinsipnya, mereka tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk biaya makan yang biasanya lebih maal jika membeli di kedai atau warung tempat ziarah daripada bawa sendiri. Itulah salah satu perbedaan ‘wisata kuburan’ dan ‘wisata hiburan’ seperti ke pantai atau tempat lain. Konon, begitu alasan yang sering saya dengar. Sayangnya, karena kali ini saya tidak bersama istri, terlupakanlah bekal itu. Akhirnya, saya beli soto yang rasanya tidak terjelaskan begitu anehnya.
Ada kejadian aneh di Mertajasa. Kami bertemu dengan Bi Sabahah dan Bi Mal serta beberapa orang lain dari Poreh, Lenteng. Rencananya, mereka hendak melanjutkan perjalanan menuju Sunan Ampel. Namun, rencana itu gagal karena ada salah seorang penumpang mereka yang meninggal dunia secara tiba-tiba.
“Meninggalnya mendadak,” kata salah seorang yang saya tanya. “Dia wafat persis setelah bilang, ‘saya sudah 'tekka hajat' (terkabul) sampai di sini. Saya sudah ambil wudu dan rela untuk mati’. Benar, tak lama setelah itu, ia langsung meninggal’.
Beberapa menit lalu, jenzahnya dibawa pulang dengan ambulans. Dan rombongan sepakat hanya menyelesaikan shalat Jumat di Bangkalan, setelah itu, putar haluan, kembali ke rumah, pulang.
Begitu pula dengan kami, masa aktif di Mertajasa hanya sampai pukul 13.00. Rencana ke makam Rato Ibu pun ditunda karena berbagai pertimbangan. Kami berkemas. Kami bertolak.
Hassan masuk ke mobil begitu saya duduk di belakang kemudi sambil menunggu penumpang yang lain. Ia nyeletuk, “Mungkin kondisi ini cocok sebagai contoh pepatah ‘jauh panggang dari api,” selorohnya sambil mengipas-ngipas muka dan dadanya yang mulai menampakkan bulir-bulir keringat.
Lepas pukul satu siang, kami pulang. Alhamdulillah, perjalanan pulang kami lancar saja. Namun, kami tidak berjalan seiring lagi karena Colt satunya masih mampir di Patemon, mengantarkan salah satu penumpangnya menjumpai salah seorang sahabatnya yang tinggal di sana.
Sebetulnya, berjalan dengan kecepatan 70 km/jam itu adalah perjalanan yang paling standar dan aman, setidak-tidaknya untuk Colt. Mengingat begitu melubernya pengguna sepeda motor di jalanan, lari dalam kecepatan di atas 80 km/jam cukup punya resiko, terutama jika penumpang penuh. Pengereman mendadak tidak dianjurkan karena kerja rem tromol jelas beda dengan kerja rem ABS. Lagi pula, bunyi buzzer yang menandai kecepatan di atas 80 itu bakal sangat mengganggu jika terus-menerus dan cerewet. Makanya, biasanya saya bertahan di kecepatan mendekati 80: antara 70-75. Dengan begitu, tidak ada bunyi buzzer yang bagi penumpang tertentu akan mengesankan ketegangan, seperti yang dialami bibi saya ini.
Beliau, bibi saya itu, punya trauma pada bunyi buzzer. Jika terdengar bunyi "niiit... niiit... niiit..." (pertanda kecepatan sudah mencapai 80 km/jam), beliau gelisah.
Ceritanya begini:
Dulu, salah seorang putra beliau yang nonor 4, demam berat setelah beli es joli botol di Pelabuhan Kamal, Bangkalan, dalam suatu perjalanan pulang dari Jawa. Diduga, es itu basi atau kedaluarsa karena memang tidak jelas merek dan namanya. Kala itu, rombongan naik Colt. Mereka ingin segera tiba di rumah untuk mengobati si kecil. Maka, sepanjang jalan, mobil dibawa lari di atas kecepatan 80 km/jam. Akan tetapi, malang tak dapat ditolak, adik kecil tidak tertolong. Adik kecil meninggal tak lama setelah itu. demikianlah cerita hingga bibi saya itu trauma mendengar bunyi buzzer pada Colt T120.
Dalam perjalanan pulang itu, rencana untuk ngaso dan shalat di Masjid Al-Hidayah (Tentenan, Pamekasan) karena ada salah satu penumpang yang tidak sempat shalat jamak-qashar di Bangkalan pun digagalkan. Pasalnya, kami masuk kota Pamekasan ketika baru saja masuk waktu ashar. Dengan demikian, shalat ashar di rumah masih sangat leluasa dan memungkinkan. Akhirnya, pilihannya adalah: lanjut saja! Kami pun tiba di halaman rumah pada sekitar pukul 16.00.