Pembaca

10 Agustus 2018

Merenungkan Mobil di Areal Parkir Sambil Menebak-nebak Pemiliknya


Saya masuk ke areal parkir dengan percikan peluh di dahi, meleleh di leher. Siang hari memang bikin gerah kalau ada di luar tapi bikin lupa pulang kalau sudah masuk ke mal. Cuman, ingat, keringat ini adalah simbol kerja keras seorang lelaki akibat pontang-panting membanting stir, maju-mundur beberapa kali karena menyiasati lahan parkir. Penyebab lainnya adalah karena indikasi masalah yang diduga berasal dari platina sehingga membuat mobil berangguk-angguk seperti sedang menari.

Patner saya melenggang menuju ke pertokoan. Apakah saya perlu menggandeng tanggannya? Tidak! Karena tangan saya sudah terlanjur belepotan, digunakan untuk menyelusup ke bawah jok, merogoh sistem karburasi yang tidak bekerja dengan baik dan pengapian yang tidak sempurna. Maklum, Colt T itu mesinnya ada di bawah jok, beda dengan Kijang dan Kuda yang ada di depan, angkutan zaman sekarang yang bahan pangannya bukan rumput dan daun, tapi bensin dan solar.

Start mesin, nyala, tapi bretbet. Cilaka. Ada apa ini? Bikin masalah kok siang-siang dan di tempat yang jauh dari bengkel lagi! Rutuk saya kepada mesin, penuh murka. Cling! Saya dapat ide (sebab Ida sudah digandeng si Ali): Masalah jadi ruwet itu karena dipikir, tho? Makanya, saya lalu melupakannya, tidak memikirkannya, dan hilanglah semua masalah tadi.

Kini saya berteduh, duduk di bawah pohon ketapang yang daunnya dapat dihitung dengan jari. Pohon itulah satu-satunya tempat berteduh—di tempat itu—yang secara sukarela menggratiskan oksigen di siang hari. Ada juga tempat berteduh yang lain yang menggratiskan wifi, tetapi harus bayar 5000 hanya untuk secangkir kopi sesat, eh, saset.

Setelah ngaso, mulailah saya iseng, memperhatikan orang-orang yang pulang belanja sembari menebak mobil yang akan mereka naiki. Pekerjaan ini sebetulnya tidaklah lebih iseng daripada; 1 duduk di tepi jalan, menebak-nebak nomor ganjil atau  genap pada mobil yang akan nongol, dan; 2  memperhatikan dua orang yang sedang duduk di kejauhan, lalu menebak, manakah di antara mereka yang berdiri lebih awal. Kedua tebak-tebakan tadi berpotensi judi amat tinggi, beda dengan tebakan keisengan saya.

Saya cermati: ada yang kucel, ada yang klimis, ada yang menor, ada yang cuek. Karena posisi saya dekat dengan pintu keluar, maka jelas saya dapat melihat mereka semua yang kinyis itu masuk ke mobil apa, mereka yang pucat biasanya masuk ke mobil apa, begitu seterusnya. Dari sinilah kemudian muncul praduga-praduga tidak ada salahnya.

Semula, saya mengamati sebuah Innova Venturer berwarna putih, 2,4. ‘Wuiw, mewah sekali ini mobil, pasti!’ kata saya di dalam hati. Ia bersisian dengan “Carry” di sampingnya. Inikah penyebabnya? Adakah persepsi saya berubah andai Innova tersebut bersisian dengan—cukup ubah satu huruf saja supaya menjadi—“Camry”, misalnya?

Spontan, saya membuat perbandingan: Yang kanan pake AC sebagai pengatur suhu, yang kiri pake AC sebagai “Angin Cendela”; yang kanan muat tujuh orang tapi wagu kalau diisi segitu; yang kiri muat satu tim kesebelasan dan masih dimaklumi oleh orang kebanyakan. Persamaannya; yang kanan irit, yang kiri juga irit. Bandingkan lagi; masih lebih irit yang kanan, kan? Yang Innova? Iya, tapi dia itu boros saat dibeli, beda dengan yang kiri: irit saat dibeli, irit saat dipakai, irit saat bayar pajak, tapi boros pada grudak-gruduknya di jalan berlubang. Bedanya lagi: yang kanan power streering; yang kiri power sepiring.

Enggak bakal habis kalau mau membanding-bandingkan kendaraan itu, apalagi memang enggak sebanding. Secara logika, pembandingan ini pun sudah cacat bahkan sebelum diajukan. Lagi pula, ngapain dibanding-bandingkan?

Seorang lelaki gempal dan besar datang membawa dua plastik kresek besar warna merah, diikuti seorang ibu-ibu yang bawa keranjang belanja, pake troli. Sepertinya mereka habis kulakan. Bersama mereka, beberapa langkah di belakangnya, seorang lelaki resik berbaju hem dengan ujung lengan baju dilipat seperempat, putih bergaris, berjalan seiring dengan seorang nyonya yang tidak terlalu tua. Dan manakala tinggal sepuluh langkah ke tempat mobil diparkir, lelaki gempal mengeluarkan kunci kontak dan tidak ada respon apa pun dari mobil, sedangkan lelaki perlente itu mengeluarkan kunci kontak dan langsung direspon oleh kedipan lampu sein secara bersamaan pada lampu Innova. Sudah sepantasnya pemandangan ini, kata saya dalam hati.

Sejurus kemudian, saya melihat: seorang bapak 65-an tahun dan pasangan 50-an masuk ke pelataran parkir. Lagi-lagi saya menebak: berdasarkan tongkrongan si ibu yang masih seger dan manja, dan lebih tampak sebagai anak tertua atau anak menantu daripada istrinya, ia menjinjing tas bermerek. Tas itu mungkin dibelinya di Orchard, Singapore, meskipun dia tidak tahu, ia adalah hasil produk kriya dari sekelompok ibu-ibu rukun PKK di Tanggul Angin, Pasuruan. Pas, tebakan saya tak meleset. Mereka masuk ke All New Accord.

Apa-apa itu memang sudah ada pantas-pantasnya. Ada juga, sih, yang dianggap pantas atau tidak itu hanya karena kungkungan stereotip. Tapi, intinya, ya, begitu. Ibarat kata, jika ada anak usia 15-an tahun naik sedan bongsor buatan Honda yang biasanya ditumpaki bupati atau rektor tersebut, jangan salah jika si anak langsung dituduh pakai mobil dinas bapaknya yang plat nomornya bergincu merah namun diubah sementara ke hitam supaya bebas buat jalan-jalan.

Sekali lagi, apa-apa itu ada pantas-pantasnya, bukan semata benar dan salah. Yang beli Avanza dan Xenia itu biasanya model bapak-bapak tanggung dan atau remaja dewasa. Yang bawa Swift biasanya anak muda bercelana ¾ dan berkaus T-Shirt dengan rambut tersisir ke belakang, atau jabrik, yang boleh jadi mereka pengen Mini Cooper tapi dilampiaskannya ke lain merek hanya karena mirip bentuknya. Yang agak tuwir tapi ingin tampak mudah, eh, muda, dan suka modif-modif boleh jadi pilih Genio atau sekelasnya.

***

foto hanya pemanis; RM Duta, Ngawi 
Beberapa saat kemudian, muncul seorang pemuda tigapuluhan tahun. Kulitnya tidak terurus, menandakan dia pekerja keras. Tubuhnya yang kerempeng menandakan kurang gizi. Ini bukan kata dokter, tapi kata hati saya atas dasar asumsi yang dibangun oleh wawasan yang entah itu wadag atau berisi, lahir dari verwachtung horizon saya sendiri (saya mohon ampun atas kekejaman persepsi ini). “Orang ini pasti bawa VIAR yang warna merah itu,” batin saya. Eh, ternyata dia melenggang terus, melewati parkiran, lanjut ke jalan. Ekor mata saya mengikutinya dan saya pun terbelalak manakala melihat dia masuk ke kabin sebuah tronton, Volvo FL, truk yang rodanya selusin dengan serepnya itu. Ia menyalakan mesin, menghidupkan sein, dan menjalankannya.

Oh, ampun, ampun, ampun. Tebakan yang dari tadi benar jadi hancur oleh kesalahan yang satu ini. Betapa menipunya pandangan fisikal itu. Astaga, saya tersedak dibuatnya. Saya tak mau tebak-tebakan lagi. Tapi, sialnya, muncul lagi seorang sepuh, oh, tidak, lelaki tua 55-an secara tampang. Kehadirannya membangkitkan kembali rasa iseng saya. Maka, saya pun menduga usianya malah di atas 60-an tahun secara KTP. Garis-garis kerutan di dahi dan ujung mata dapat memancarkan kematangan dalam pengalaman. Ini pasti orang penting, pikir saya. Mulai dari petugas parkir sampai tukang sunggi serta beberapa awak pertokoan itu tampak menjura saat ia melintas, atau sekurang-kurangnya menampakkan senyuman. Yang diperlakukan begini, kan, biasanya kiai atau ustad. Lah, ini? Makin heran saya karena ternyata dia tidak masuk ke Innova, tidak pula ke Camry, tidak ke CRV, tapi malah ke L300 pikap bulukan.

“Hei, dia itu siapa? Kayak orang biasa tapi semua orang menghormatnya? Ustad kalian?”
Dua orang petugas kebersihan yang menjawab, tanpa menoleh. “Bukan, dia pak bos, pemilik pertokoan ini.”
“Lah, kok mobilnya cuma L300 pikap?”
“Apa urusan? Kamu ini kurator pengadilan atau hansip? Ngurus harta orang kok segitu jelimetnya.”

Dibilangin begitu, saya pilih menghindar. Sumbu pendek kayak itu janganlah dilawan. Saya lalu duduk kembali di bawah pohon sembari berpikir, mengapa pikiran-pikiran seperti ini bisa muncul dari pikiran saya? Mengapa saya ada di sini dan memperhatikan orang-orang? Mengapa saya berpikir begitu dan mengapa mesti berpikir begitu?

Lagi asyik-asyiknya terpekur, tiba-tiba ada tepukan di pundak kanan.
“Mas!”
Saya menoleh, ternyata Yanto, jukir kenalan yang sudah lama kerja di situ dan enggak naik-naik juga pangkatnya. “Sampeyan mau terus di sini sampe sore? Atau malah sampai malam?”
“Wah, kaget aku, Yan. Ya, ndaklah, kalau bisa jangan sampai lah...”
“Kok kalau bisa?”
“Kayaknya, aku gak bisa pulang. Mobilku mojok, eh, mogok. Platinanya soak.”
“Sudah kuduga!”

M. Faizi (admin)
---------------------
CATATAN: esai ini rencana dikirimkan ke Mojok.co, tapi tidak dimuat-muat, akhirnya saya posting saja di blog ini. Mutung
Esai berlatar fakta, kecuali bagian “Apa urusan? Kamu ini kurator pengadilan atau hansip?” dan seterusnya. Bagian terakhir ini murni imajinasi saya



Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...