Pembaca

13 Agustus 2020

Pergi ke Pare, Sowan Guru


Kemarin, Rabu, 12 Agustus, 2020, saya pergi ke Pare. Kami (saya dan beberapa anggota penumpang lainnya) merencakan perjalanan ini sedikit dadakan. Ide muncul ketika secara tiba-tiba saya teringat Kiai Baidlawi, seorang kiai di Pare yang kepada saya dulu sempat mengaji. 

Saya lantas kontak sepupu saya, Habiburrahman, untuk ikut. Saya kasih waktu 12 jam untuk memutuskan. “Siap,” katanya!

Karena rencana saya mau bawa mobil, maka saya ajak yang lain. Eman-eman jika saya hanya pergi berdua saja. Hingga menjelang keberangkatan, banyak anggota yang mundur. Yang ikut tetaplah 4 penumpang, plus saya jadi 5 orang, bahkan saya sempat menghubungi satu penumpang lagi di tengah perjalanan. Ternyata memang tidak jodoh, gagal juga. Yang berangkat ke Pare tetap orang yang itu-itu juga. 

Saya janjian dengan Habib di Masjid Al-Hikmah, sebelah barat terminal Sampang, sekaligus shalat duhur dan asar di sana. Jam menunjukkan pukul 13.00 ketika kami berangkat lagi. Mungkin hanya 15 menit saya di situ. 

Jalan macet gila-gilaan. Saya merasa heran. Ada beberapa titik kemacetan yang terjadi, termasuk di Pasar Blega, Patemon—sebelum Galis, dan termasuk Tanah Merah. Tidak ada pasar tumpah, tidak ada hajatan, tidak ada perbaikan jalan, ini macet karena apa? Sampai saya tulis catatan ini, jawaban itu belum saya tahu. 

Di Patemon saya bahkan sempat memarkir mobil karena suhu mesin sudah sangat panas. Jarum temperatur naik sedikit dari angka setengah, sementara antrian masih mengular. Sebetulnya, perjalanan saya ini rada-rada nekat juga, sih, karena kondisi radiator sedang sekarat (bengkel sudah menyarankan agar diganti saja tapi saya belum dapat gantinya). 

Kira-kira satu batang rokok habis, barulah kami jalan lagi, dibarengkan dengan ketika kondisi lalu lintas sedang sepi. 

Selepas itu, hujan turun. Temperatur ikutan turun. Eh, kipas kaca mendadak macet. Stres sebentar, saya panik. Saya menepi sejenak di badan jalan akses Suramadu setelah bertahan beberapa menit tanpa kipas di bawah gerimis, dan tidak mampu. Saya cek, tidak ada sekring yang putus. Saya cek lagi. Ternyata yang bermasalah adalah "modul kontrol interval"  (perangkat elektrik yang saya pasang untuk mengatur jeda kipas kaca, misalnya menyala tiap 6 detik—ya, kayak mobil-mobil baru itu, lah...). Makanya, saya putus saja kabelnya, kemudian saya langsungkan (by pass) kabelnya, kembali ke pengaturan pabrik. Akhirnya, di antara gerimis yang makin menderas, kipas kaca normal lagi. Saya butuh waktu sekitar 3 menit untuk menyelesaikan ini.  

Pukul 15.45 kami masih mencapai Kedung Cowek, turun dari Jembatan Suramadu. Jalanan ramai karena sore itu jelas berbarengan dengan jam orang pulang kerja. Rencana sebelumnya adalah mampir di Peterongan, ngajak Haris, satu penumpang yang lain, untuk ikut ke Pare. Namun, karena skenario kemacetan tidak terduga, akhirnya saya putuskan lewat tol saja. Kami pun naik tol dari Warugunung menuju ke Jombang. 

Bakda maghrib kami sudah turun dari tol dan melintasi area pondok pesantren Tambak Beras, lanjut ke Pare. Rencana semula adalah mampir dulu di Tebuireng, namun seperti yang tadi sudah dijelaskan, skenario berubah, maka kami lanjut saja menuju Pare (di selatan stasiun Jombang, arah Pare, saya sempat berpapasan dengan sesama Colt: kami bertukar lampu dan bertukar klakson, tanda saling menyapa). 

Tepat pukul 19.00, beberapa menit setelah azan isya, kami tiba di kediaman Kiai Baidawi, Gedangsewu, Pare, Kediri. 

Gus Yazid, putra kiai, mempersilakan kami duduk di ruang tamu. Kami masuk, duduk bersila. Tak perlu lama, Pak Kiai datang. Kami pun sowan. Waduh, senangnya hati ini. Teringat masa-masa mondok di sini, dulu. Ketika itu, saya cuman mondok kilatan dan sudah menikah tapi belum dikaruniai anak. Sementara saya di Pare, istri juga mondok di pondoknya, di Madura sana. Jadi, kami yang sudah menikah belajar berpisah selama beberapa hari untuk sama-sama tinggal di pondok yang berbeda. Sungguh ini pengalaman yang menakjubkan rasanya kalau dikenang kembali. 

“Kalau Habib yang dari Sumber Anyar itu? Di mana dia sekarang?”
“Abbasi dari Rubaru, tahu?” tanya Pak Kiai kepada Kak Fadlillah, kawan seperjalanan kami yang dari Rubaru. 
“Hatim, yang tempatnya tandus itu, dari Batu Putih, gimana kabarnya?”

Masih banyak nama lain yang disebut oleh Pak Kiai. Semua santri tersebut beliau ingat nama sekaligus tempat tinggalnya, bahkan santri yang pernah dikunjunginya beliau ingat dengan pohon yang tumbuh di depan rumahnya. Saya kaget karena ternyata kiai ingat kalau ada pohon sawo di rumah saya. Kata beliau, "Dulu, saya dikasih oleh-oleh buah sawo..."

Saya tertawa, tapi segera saya tahan. 

Betul, Pak Kiai ingat semua nama dan sekaligus alamat rumahnya. Salah satu anggota rombongan kami lantas nyeletuk kepada saya.
“Santri-santri apakah juga ingat sama kiainya? Cukup “ingat saja”, ndak perlu ingat dulu diajari apa saja! Ingat apa tidak, ya?”. Saya tidak menjawab karena itu pertanyaan yang tidak perlu dijawab, tapi direnungkan saja. 
 
Kami di situ sebentar saja, mungkin 30 menitan, atau lebih sedikit, tapi rentang segitu rasanya sudah cukup puas mengobati kerinduan. Setelah sowan dan minta doa, kami pamit. Kak Nasa'i ngajak saya ke Kwagean. Katanya beliau ingin sowan sekaligus nostalgia dengan pondoknya (Oh, ya. Kak Nasai ini, dulu, termasuk santri awal di Fathul Ulum, di Kiai Hannan, saat santrinya masih berjumlah 50 orang dan sekarang tumbuh pesat bersama bangunan-bangunan megah dan besar. Jadi, kalau ada pembaca yang ingin manaqib Kiai Hannan, tanyakan sama Kak Nasai ini. Beliau  adalah salah satu narasumber yang kompeten).

Sayangnya, Kiai Hannan tidak bisa menerima tamu karena sedang ada rapat. Saya bilang kepada Kak Nasai, saya tidak siap bermalam untuk menunggu karena saya sudah terlanjur janjian dengan Haris, di Corogo, Peterongan. “Andai Sampeyan bilang dari awal kalau mau ke Kwagean, akan saya atur jadwal keberangkatannya.”
“Iya, mungkin lain waktu,” kata dia.
“Iya, sih. Ini kan rencana tambahan. Coba direncanakan dari awal, insya Allah bisa.”


Oke, kawan! Kita atur lagi, kapan-kapan!

Saya sungguh agak trauma dengan frasa ‘kapan-kapan’ ini. Sungguh, beberapa kali saya dengar kata ini dan juga saya ucap sendiri, tidak segera terbukti, mengingat sekarang kita semua sama-sama sibuk. Waktu berjalan berasa cepat, dan kita seolah mengerjakan sedikit hal saja dari banyak rencana. Maka, kesempatan menjadi sangat mahal harganya, apalagi "kesempatan silaturahmi", yaitu kesempatan yang secara sepintas tidak menghasilkan keuntungan finanasial, sudut pandang keuntungan yang oleh banyak orang justru dijadikan pegangan. Benar, frasa "kapan-kapan" serasa begitu manis diucapkan tapi sangat pahit kalau dicicip perlahan-lahan, belum lagi jika kapan-kapan itu akhirnya tidak terjadi lagi sampai ajal menjelang. 

Depan PP Al-Masruriyah & Madrasatul QuranKami putar haluan, kembali ke Jombang untuk selanjutkan menuju Corogo. Tiba di depan PP Tebuireng, saya menepikan kendaraan. Turun dari mobil, ambil kamera, cekrak-cekrek, dan berkirim Al-Fatihah untuk semua isi makbarah, termasuk kepada Kiai Yusuf Masyhar, pendiri Madrasatul Quran, tempat saya dulu sempat bermalam untuk belajar meskipun hanya beberapa bulan. Saya, kami tepatnya, tidak bisa masuk ke dalam karena maqbarah ditutup untuk umum. Maka, saya kirim doa dari tepi jalan raya, bersama deru kendaraan yang lalu lalang... selesai membaca, naik lagi, gas lagi.  

Kami tiba di rumah Haris saat dia sudah tidur, tertidur tepatnya, mungkin pukul 22.30 atau 22.45. Kami ngobrol sebentar dan giliran saya yang tertidur di serambinya. Saya kelelahan, maklum, saya nyetir terus dari Guluk-Guluk sampai Pare, lalu kembali ke Jombang. Sakdi, adik sepupu saya, membantu mengemudi saat mobil berjalan lurus di tol, kira-kira satu jam lamanya. Tapi, ini pun masih mending daripada saya tak dapat bantuan sama sekali. 

Tepat pukul 02.12, kami pamit pulang. Saya pegang kemudi lagi. Kali ini saya lewat jalan arteri (Andai keberangkatan tidak macet, pasti saya juga pilih jalan arteri).

Malam itu, ruas jalan Jombang – Surabaya sangat sepi, sehingga laju kendaraan bisa dipacu lebih leluasa dalam durasi yang lebih lama, tidak sebentar ngebut dan sebentar ngerem, kondisi yang menyebalkan. Perjalanan pulang tanpa tol sama sekali. Saya masuk lewat tengah kota: lewat Jalan A. Yani, Dharmo,  Ngagel, Gubeng, Kenjeran, Suramadu.
 
Kami berhenti rehat di  Masjid Baiturrahman, Dumajah, saat kiraah menjelang azan subuh sedang berkumandang. Maka, sekalian istirahat badan, istirahat ban, istirahat mesin, sekali kami istirahatkan pikiran dari kecamuk benda-benda duniawi, kami subuhan dulu. 

Habis itu, kami lanjut lagi ke Sampang. Jalan masih sepi. Pemandangan alam cantik sekali. Kami ngantar Habib pulang ke rumah Pondok Mertua Indah di Perumahan Selong, Sampang.  Kami sampai di halamannya sekitar pukul 6 kurang lebih.

Ra Ipung, iparnya, kayaknya baru tidur (karena mungkin semalam begadang), maka saya pulang. Kini saya ikutan tidur di jok belakang, mungkin dipengaruhi tuan rumah tadi. Kini, Sakdi yang ada di belakang kemudi, bawa Colt sampai Pamekasan. Saya benar-benar tidur lelap di jok belakang hingga akhirnya harus kembali ambil peran setelah seluruh penumpang ngisi nasi pecel Blitar. Dari situ, setelah ngisi hidangan badani, kami masih sempat ngisi hidangan ruhani: tahlilan di asta Kiai Ruham, kiai yang kuturunannya tersebar di jawa bagian timur dan Madura, nyaris sewilayah Tapal Kuda. 

Perjalanan dilanjutkan dan kami tiba di rumah menjelang pukul 9 pagi: hampir 22 jam perjalanan pergi pulang, 528 kilometer dilalui, bensin tidak kehitung. Saya rasa, inilah rihlah ilmiah sejati, study tour menurut versi yang lain, perjalanan sowan-sowan guru.

Pergi ke Sana


Sudah lama saya ingin pergi ke SANA. Tapi, keinginan hanya tinggal keinginan karena tidak ada magnet khusus yang bisa membuat saya ke SANA. Hingga akhirnya, jatuhlah undian pelaksanaan silaturahmi Bani Syarqawi bulanan di kediaman Al-Anwari yang kebetulan tinggal di Korong Laok, Sana Tengah, Pasean. Maka, terjadilah.

Dalam perjalanan berangkat, kami lewat Bandungan (Pakong), Klerker, Sana. Pulangnya saya lewat rute Jungjang, Klapayan, Bangsoka, Platokan, Prancak, Bragung, rumah, dan tiba di sini dengan jarak tempuh 21,4 km menurut odometer Colt (berangkatnya ndak ngitung, tapi menurut Google Maps = 32,5 km).

Ternyata, di tengah perjalanan, di antara Jungjang dan Platokan, saat kami melintasi Bangsoka (bukan Basoka), di utaranya desa Montorna, masih ada jalan yang rusaknya sangat parah. Jaran pun kayaknya bakal nyarkot (gasruk), seperti mobil saya ini. Namun, melihat pemandangan ladang tembakau yang sangat indah, sepertinya kami masih punya harapan kalau jalan tak berkelas ini akan segera dilakukan pengerasan, syukur-syukur pengaspalan, agar kalau saya mau ke SANA dari sini tidak terlalu jauh. 

Perjalanan ke Sana Tengah adalah yang pertama bagi saya. Entah sudah berapa kali saya merencakana, gagal terus. Terakhir, ada undangan ke tempat yang saat ini dituju, tapi gagal karena saya berhalangan. Nah, kemarin, Sabtu, 8 Agustus 2020, keinginan tersebut terlaksana sudah.

01 Agustus 2020

Mempertimbangkan Lampu: Fungsional atau Ideologis

Saya suka orisinalan, yakni menggunakan barang-barang asli atau bawaan pabrik. Tapi, saya bukan puritan, bukan aliran garis keras. Memang, selagi bisa dan mungkin dijangkau, saya akan cari dan berusaha menemukan yang asli. Namun, jika tak ada, atau karena alasan praktis lainnya, yang bukan bawaan atau bahkan yang kualitas nomor dua pun akan saya gunakan juga. Begitu pula, prinsip ini saya terapkan untuk Colt.

Saat menerima Colt ini di akhir tahun 2008, saya ingat, lampu mobil tersebut masih menggunakan lampu standar, sealed beam, merek Kroto apa Koito, lupa. Terus, saya ganti dengan reflektor crystal pemberian kawan Angga (Arkadius Anggalih) untuk lampu jarak jauhnya (pernah pula ditukar dengan lampu jarak dekatnya). Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, dua tahun lalu, tepatnya Juli 2018, mobil saya diseruduk truk pengangkut garam. Pecah pula lampu ekor dan lampu depannnya sekaligus (karena benturan keras yang menyebabkan mobil saya yang sedang berhenti itu akhirnya ikutan nyeruduk mobil depannya yang juga sedang berhenti).

Pada saat itulah saya berpikir: saatnya kembali ke pabrik, restore factory setting, begitu kalau bahasa handphone. Saya cari lampu bekas Stanley atau Koito, lampu cor-coran, sealed beam, lampu yang bohlam sekalian reflektornya tidak dapat diganti itu. Keunggulan lampu ini lebih fokus, watt rendah, dan lebih terkesan klasik. Pencarian dilakukan dan ternyata sulit sekali menemukan lampu asli dengan kualitas bagus. Akhirnya, saya cuman nemu versi kualitas rendahan (merek Eagleeye, dan ternyata tidak fokus, mana wattnya besar pula). Sementara lampu sealed beam yang pernah saya kumpulkan ada 3 varian. Yang merek Koito rata-rata watt 37,5 untuk lampu jarak pendeknya.

Sebetulnya, alasan saya menggunakan lampu tipe ini lebih bersifat ‘ideologis’, sejenis antitesis. Saya benar-benar sering merasa terganggu, bahkan terzalimi, oleh pancaran cahaya lampu depan kendaraan-kendaraan bermotor yang sinarnya menyakitkan mata kita yang datang dari lawan arah. Pertama, mereka yang menggunakan spesifikasi lampu yang terlarang, seperti HID; kedua, mereka yang mengubah watt lampu melampaui spesifikasi pabrik; ketiga; mereka yang tidak bisa membedakan mana lampu jauh dan mana lampu dekat dan/atau tidak tahu kapan waktu yang benar untuk memfungsikannya kedua-duanya.

Kita lihat, orang-orang berlomba mengubah lampunya jadi lebih terang. Apa tujuannya? Salah satunya adalah untuk melakukan ‘perlawanan’ jika mereka ‘diserang’ oleh lampu kendaraan lain yang juga sangat terang. Kenyataan ini saya dapatkan dari hasil wawancara dengan beberapa orang terkait alasan mereka mengubah lampu depannya, atau memasang lampu tambahan, seperti sokle (lampu sorot) dan/atau lampu kilat (blitz).

Karena alasan itulah, saya lantas secara sadar mengubah lampu mobil saya menjadi lebih buram, sejauh mampu mata saya melihat, agar kendaraan-kendaran lain itu lebih puas dan makin merasa superior ketika berhadapan dengan Colt saya yang lampunya menyala merah, cenderung redup.

Namun, ternyata, sealed beam sering bermasalah. Sudah tiga kali saya pasang dan tiga kali pula putus. Biasanya, yang putus lampu jarak dekatnya. Ini menunjukkan bahwa lampu bekas itu memang sudah terlalu lama digunakan untuk menyinari jalan raya, khususnya lampu jarak pendeknya. Akhirnya, saya beli cangkang pemantul lampu biasa saja, dengan bohlam halogen watt 50/60, watt paling rendah yang saya tahu dan dijual di toko.

Malam yang dulu gelap, di kota-kota, kini nyaris tiada beda dengan siang hari, apalagi di kota metropolitan seperti Surabaya. Kapan waktunya kita menikmati kegelapan? Bintang-bintang yang indah hanya akan tampak saat gelap begitu pekat. Di atas itu semua, saya sadar, bertambahnya suhu panas di Bumi ini, salah satunya, disebabkan oleh polusi cahaya. Memang ini tidak prinsip, dan tidak tampak berdampak secara langsung, tapi ketika kita telah melakukan aksi untuk tidak turut serta menyumbangkan panas melalui suhu yang dipancarkan bohlam teramat terang itu, maka apa yang kita lakukan itu adalah aksi ideologis, seberapa pun itu kecilnya. Saya berpegang pada prinsip ما لا يدرك كله ، لا يترك كله yang artinya kurang lebih; jika tidak mampu mengerjakan semuanya, maka jangan tinggalkan seluruhnya.

baiklah, untuk sementara, saya pakai lampu halogen dulu, 60/50 watt, hingga saatnya saya nemu yang orisinal bawaan Colt-nya.




Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...