Pembaca

31 Desember 2011

Penghemat BBM: antara Spuyer dan Pengapian

Keluhan yang kerap dirasakan oleh pemilik colt T 120 adalah soal konsumsi bahan bakar. Mereka mengeluhkan ini karena soal boros. Mengapa? Jawaban untuk ini ada beberapa hal; pertama, sebelum punya colt, mungkin mereka terbiasa menggunakan Suzuki Carry; kedua, sebelumnya mereka naik sepeda motor; ketiga, mereka yang punya colt tersebut pernah hidup dalam dua zaman, yakni masa ketika bensin masih murah dan sekarang ketika sudah mahal. Karena itu, konsumsi BBM terasa boros.

Cara hemat yang paling mudah dilakukan adalah dengan mengganti spuyer. Pengalaman saya, menggunakan pasangan spuyer ukuran 85 untuk bawah dan 95 untuk atas/balap) adalah formasi paling ideal. Dengan pasangan seperti ini, konsumsi BBM menjadi standar, yakni kisaran 1:10. Namun ketika saya menggantinya menjadi 80 (untuk bawah) dan 85 (untuk atas/balap), konsumsi bahan bensin memang betul semakin irit, bahkan sangat irit. Sayangnya, suhu mesin jadi naik, yakni berkisar pada 80-90 derajat celsius (jarum menunjukka pada tanda nomor 2 dari bawah atau lebih sedikit hampir setengah).

Karena saya merasa sayang kepada mesin dan saya suka dengan ungkapan “biar pun tua asal di tanjakan tetap bertenaga”, saya kembalikan pada formasi semula, yaitu 85-95. Di samping itu, saya berpikir, barangkali, andai mesin colt ini bisa mengeluh, mungkin ia akan mengeluh saat melenguh. Dan ini akan terjadi jika spuyer dibikin terlalu kecil.

Saran lain untuk membuat lebih irit BBM (bensin) yang pernah saya dapatkan adalah dengan cara mengganti sistem pengapian, dari platina ke CDI (maksudnya CDI trigger; saya beli merek FLASH, rakitan alm. Pak Tamrin Ishak). Saya sudah melakukannya. Pendapat saya, cara ini tidak beirtu berpengaruh pada konsumsi BBM. Barangkali, memang ada pengaruhnya, tetapi saya tidak melihatnya begitu signifikan.

Pemasangan CDI hanya membuat performa dan akselerasi mesin lebih mantap. Kalau ini pasti. Tarikannya lebih bertenaga. Dan satu lagi, tidak perlu gonta-ganti platina. Soal CDI membuat lebih hemat, saya tidak begitu memperhatikannya.
Seorang montir spesialis mobil tua pernah menyampaikan pendapat pada saya, bahwa dia pernah mengganti karburator colt T dengan yang baru, juga merek Keihin. Ia juga pernah memasang karburator Toyota Kijang Super pada colt yang secara kebetulan memiliki dudukan yang sama. Hasilnya? Tetap saja. Konsumsi BBM tetaplah rata-rata, yakni 1:10 atau 1:-11 paling untung. Hal ini disebabakan, mungkin, karena sistem kerja mesin Neptune buatan Mitsubishi tidak diseting buat hemat, tapi untuk bertenanga.

Namun, jika colt T 120 Anda mengkonsumsi bahan bakar 1:8 atau bahkan kurang dalam situasi jalan yang normal, maka ini baru masalah namanya.

19 November 2011

Kelistrikan Pada Colt T 120


Salah satu kelemahan Colt T 120 adalah bidang kelistrikannya. Kelistrikan yang diatur oleh cut-out (ket-ot) sering bermasalah. Jika kita bawa mobil ke bengkel, mereka terkadang mengutak-atik cut out tersebut jika supply ke aki dianggapnya terlalu besar (bau angus dan aki cepat jebol) atau terlalu kecil (bikin strum kurang). Untuk mengontrol arus ini, terkadang kita memasang panel untuk kontrol arus dari dinamo ampere ke aki. Namun, sialnya, pemasangan kontrol ini justru sering menjadi masalah besar seperti yang pernah saya alami, yaitu adanya korsleting karena pemasangan kabel kurang rapi mengignat arus yang dilewatinya sangatlah besar.

Nah, untuk menyiasai hal itu, saya menggunakan dinamo amper ic. Saya tidak tahu dinamo yang saya pasang ini milik kendaraan jenis apa. Kata si tukang jual di loak, dinamo ini milik Daihatsu Zebra. Dengannya, saya merasa kelistrikan colt T saya ini sekarang lebih stabil; starter lebih kuat karena aki selalu terisi penuh; lampu lebih terang.

Namun, untuk pemakaian ini, saya harus menipiskan sedikit pegangan dinamo ampere tersebut dengan gerinda karena terlalu tebal. Setelah diatur sedemikian rupa sumbu mur-bautnya, akhirnya pemasangan selesai. Kelistrikan pada colt ini sekarang tidak perlu memasang cut-out lagi. Silakan mencoba.

15 November 2011

Cerita Pendek Hari Ini


Tiba-tiba, hanya beberapa meter selepas lampu lalu lintas di pertigaan Pegadaian (Gadin) menuju Jalan Kabupaten (Pamekasan), mobil Daihatsu Xenia Xi di depan saya ini berhenti tiba-tiba. Saya pun mengerem mendadak.

“Pasti ada orang ngawur berlalu-lintas,” batin saya.

Hingga beberapa detik, mobil tidak begerak. Delam gerak lambat, seorang nenek tua renta berjalan terseok-seoak di depan mobil, hendak menyeberang jalan raya, dari selatan ke utara.

“Oh, rupanya ada nenek menyebrang jalan,” kata saya, bicara sendirian.
Tapi, bukan itu yang membuat saya kaget. Ternyata, si nenek tidak menyeberang jalan, melainkan mendekati jendela mobil dari sisi kanan, samping pintu pengemudi, mengetuk kaca, menjulurkan tangan. Si nenek meminta-minta.

Dalam beberapa saat lamanya saya tertegun. Kaca Xenia itu tetap tertutup rapat, tidak dibuka. Dan si nenek melanjutkan perjalanannya, menyeberang jalan raya. Lebih dari itu, beberapa orang di seberang jalan hanya melihat adegan menggetarkan ini tanpa sedikit pun ada inisiatif untuk membantu si nenek menyeberang jalan.

Hari ini, batin saya, sebuah cerpen melodrama telah terjadi di dunia nyata.

Catatan: si nenek tidak saya jepret karena merasa tidak sopan. Nomor mobil saya tutup demi nama baik. Kejadian: 8 Nopember 2011.

09 November 2011

Colt Milik Kiai Masduqi Muntaha


Ini adalah colt milik Kiai Masduqi Muntaha, Kadur, Pamekasan. Saya sudah minta izin kepada beliau untuk mengambil gambar-gambar ini. Saya menjelaskan kepada beliau bahwa saya adalah reporter spesialis Mitsubishi Colt T-120 :-)

Colt ini buatan tahun 1980 dengan karoseri, jika tidak salah Internasional, tetapi rombak ulang (make over) oleh sebuah bengkel karoseri terkenal di Malang. Menurutnya, colt ini dibelinya dari keluarga almarhum Kiai Muhammad bin Imam (Gunung Sari). Banyak orang Madura mengenal kiai yang masyhur dengan sebutan “Kiai Muhammad Nungsari” ini. Saat Kiai Muhammad wafat, banyak orang yang ingin mengganti kendaraan yang beliau pakai semasa hayatnya tersebut. Namun, Kiai Masduqi-lah yang beruntung mendapatkannya. Menurut Kiai Masduq, beliau membeli colt ini dengan harga 27 juta. Meskipun banyak peminat yang berani membeli dengan harga di atas 30 juta, tetapi keluarga almarhum melepas colt ini dengan harga 27 juta. Padahal, kata Kiai Masduq, “Saya juga mau membayar lebih dari harga yang ditetapkan itu. Namun kelaruga almarhum tetap ngotot minta 27 saja.” Sebuah transaksi dan harga yang aneh secara bisnis :-)

Colt ini menggunakan sistem pengereman cakram milik holden dan semua jok model independen / reclining. Mesin tidak ada yang dioprek, standar.

















01 November 2011

Colt Pariwisata



Colt T selalu identik dengan taksi atau angkutan penumpang umum (plat kuning). Saya mengalami hal ini dalam keseharian hidup saya bersama Si Titos ini. Bahkan, beberapa orang meledek saya dengan sebuatan, “aman dari cegatan polantas belum tentu bebas dari cegatan calon penumpang.”

Nah, untuk menyiasatinya, saya memberikan label “Pariwisata” di kaca depan mobil. Tapi, rasa-rasanya tidak begitu ada gunanya.

11 Oktober 2011

Pompa Oli



Pompa oli merupakan urat nadi setiap kendaraan. Setiap kendaraan berbahan bakar minyak selalu menggunakan oli sebagai pelumas mesinnya.
Nah, ini pengalaman yang mungkin Anda perlukan.

Suatu saat, saya menjalankan kendaraan saya. Mobil ini baru saya ganti pelumasnya. Tiba-tiba, saat belum jauh dari rumah, lampu merah “Oil” menyala. Saya tetap menjalankan kendaraan tersebut sambil menganggap: pertama, filter oli minta digarti; kedua, switch oli rusak.

Namun, tak sampai semenit, suara mesin tiba-tiba berubah, agak terdengar kasar. Nah, karena lampu merah tetap menyala, segera saya mematikan mesin. Untunglah. Ternyata, oli dari bawah (calter) tidak bisa sampai ke atas mesin dengan dua alasan:

1. filter oli kotor
2. pompa oli macet

Kami membuka calter atau wadah oli itu, mencopot pompa olinya, lalu menyekur (meratakan permukaannya) dengan amrin. Selesai. Pasang. Tapi, lampu tetap menyala dan mesin tetap kasar. Astaga. Oli belum naik juga.

Akhirnya, paman saya (karena kebetulan yang memperbaiki Colt T ini paman saya), berpikir keras. “Ini pasti ada penyumbatan. Pompa oli? Tak mungkin. Filter oli? Lebih tidak mungkin.” Katanya bicara sendiri.

Akhirnya, kami menemukannya. Ada penyumbatan di saluran ujung belakang silinderkop. Setelah mendatangkan kompresor dan menyemprotnya, mengalirlah oli itu, normal kembali. Dicurigai, kotoran berasal dari remah-remah lem karet yang dipasang secara tidak rapi.

13 September 2011

Colt Angkutan Lebaran



Setiap hari lebaran, saya selalu cabis (sowan) ke rumah mertua di Pamekasan. Jarak dari rumah saya ke Pamekasan ini kira-kira 33 kilometer. Namun, di tengah perjalanan, kami mesti mampir di rumah bibi, di desa Montok (memang begini nama desanya). Penumpang penuh dan bawaan biasanya juga berjibun.

Nah, dari Montok ini, kami melanjutkan perjalanan ke Pamekasan, pergi bersilaturrahmi pada keluarga di sana.







Melawan Stereotip


Hari Sabtu kemarin (10 September 2011) saya mengantar temanten ke rumah mempelai pria. Dalam iring-iringan itu, saya mewanti-wanti agar rombongan berangkat bersama dari SPBU Talang, kira-kira `5 kilometer perjalanan dari Pamekasan menuju Sumenep.

Betul, kami memang berkumpul di SPBU tersebut karena berangkat tidak bersamaan. Dari sana, sedan Timor merah yang membawa mempelai, bersama Innova, kijang LGX, dua Suzuki Carry pun berangkat. Sementara colt saya berada di urutan paling belakang. Kami langusng menyalakan lampu hazard.

Akan tetapi, baru 1 kilometer meninggalkan SPBU, saya dihentikan oleh bapak polisi dan dia membiarkan 5 kendaraan lain yang saya sebut tadi begitu saja berlalu. Saya sakit hati. Apa yang membedakan colt saya dengan kendaraan lain itu? Penumpang sama-sama penuh, lampu hazard sama-sama dinyalakan. Untung tidak lama. Setelah mengeluarkan SIM dan STNK, colt T pun bergerak menyusul rombongan.

* * *

Dua hari setelah itu, Senin, lagi-lagi saya pergi bersam colt ini ke rumah H. Hisyam. Di sebuah tikungan yang tak jauh dari rumah, mobil saya terhenti karena terjebak taksi (L300 angkutan pedesaan) yang berhenti semena-mena sekitar 10 meter sebelum tikungan tajam. Saya melihat, kernet taksi tersebut sedang tawar-menawar dengan 3 orang penumpang. Kernet ngotot menjelaskan bahwa masih tersedia tempat duduk bagi mereka bertiga. Tetapi mereka rupanya ogah kalaupun muat namun harus berdeseak-desakan.

Entah mengapa, satu dari ketiga orang itu tiba-tiba menoleh ke arah mobil saya yang berada persis di belakang L300 plat kuning itu. Hebatnya, tanpa basa-basi dia langsung membuka pintu depan dan siap untuk duduk. Saya kaget. Saya melongo menatapnya. Dia tak kalah kaget, tercengang, lalu sadar kalau masuk ke mobil yang salah. Ia menutup pintu dan tertawa. Mereka bertiga tidak jadi naik colt, tidak pula naik taksi itu, tapi lari ke belakang bersama dua temannya.

* * *

Rupanya, sulit memang melepas image Colt T 120 sebagai taksi/angkutan umum jika mengingat masa jaya kendaraan jenis ini di masa lalu. Saya masih bingung, apa acara melawan stereotip agar Colt T “plat hitam” tidak secara rata dianggap sebagai angkutan “plat kuning”? Apakah dengan cara membuatnya full variasi, menggunakan ban lebar misalnya, atau sedikit dibuat mapa’ (ceper), ataukah dengan menambah sedikit moncong di depan agar seperti Alphard?

26 Agustus 2011

TOA-TOA Keladi


Saya sangat gemar memasang klakson, Terhitung "pernah" saya pasang 4 klaskon di mobil ini. Namun, jangan salah: "saya sangat tidak suka bunyi klakson!" Kesannya terburu-buru, awas, tegang, kaget, dan kesan tidak enak yang lain.

Karena itu, saya pasang mike kondensor di kabin, di atas stir, dan juga speaker TOA di balik bumper. Dengan cara ini saya bisa bicara apa saja kepada pelalu litnas, sejenis "Assalamualaikum" misalnya, atau "hati-hati Bung.." . . Ini terkesan lebih manusiawi. Atau, jika perlu, saya bisa membunyikan qiraah dengan volume tertentu, tidak pada batas mengganggu, untuk menghibur pengguna jalan raya...


12 Juli 2011

Keluarga Mitsubishi



Hari ini saya menghadiri undangan haul kakek-nenek. Sanak kerabat datang berkumpul. Paman, kakak, bibi, dan saudara-saudara yang lain pun berdatangan. Kami datang untuk doa bersama. Ya, mereka datang karena undangan kelurga besar Bani Aisyah. Yang menjadi menarik adalah karena mereka juga datang dengan kendaraan “keluarga Mitsubishi”

Keterangan: Dua Colt T-120 tahun 1980 mengapit L300 tahun 1982. Model: Mimi dan Labib (keponakan)


20 Juni 2011

Takziyah ke Basoka (via Bato Guluk)



Ini adalah rekaman video perjalanan pulang dari takziyah ke rumah Qosim di Basoka, Rubaru, kemarin (Ahad, 19 Juni 2011). Ayah Qosim, Abdul Mughni, wafat pada hari Jumat, dua hari yang lalu. Dokumentasi perjalanan sejauh kurang lebih 35 km pergi-pulang ini saya rekam dalam bentuk video. Sayang, video hanya diperoleh dari kamera berlensa 2 Mb. Namun, karena perjalanan ini melewati pegunungan yang indah, jalan berkelok-kelok, dan pada beberapa bagian sangat parah, penuh tanjakan yang mengharuskan mobil berjalan di posisi persneling 1, serta merupakan jalan paling curam di sekitar tempat tinggal saya (Bato Guluk), saya tetap ingin mengabadikan momen ini bersama Titos du Polo.

05 Mei 2011

Sekali Dorong, Dua-Tiga Kota Terlampaui


Catatan Perjalanan ke Situbondo – Banyuwangi – Jember

“Jadi, kamu tetap mau bawa Titos ke Jawa?” tanya ibu saya sambil menautkan alisnya, pagi itu.
“Iya, memang kenapa?” Saya balik bertanya. Saya tahu, Ibu agak trauma dengan kondisi “Titos”—nama panggilan kesayangan saya untuk Colt—ini mengingat perjalanan ke Jawa dengan beliau sebelumnya sempat mogok beberapa kali (kisahnya ditulis dalam bagian lain di buku ini). “Kan yang dulu itu kita berangkat tanpa cek kondisi kendaraan lebih dulu, Bu,” Saya berdalih. “Perjalanan kali ini tentu beda, Bu. Platina dan kaki-kakinya sudah dikontrol.” Saya memberikan penjelasan tanpa berpikir panjang, apakah ibu saya mengerti dengan penjelasan saya atau tidak.
“Tidak takut mogok?” Ibu ragu. “Kamu bawa sendiri? Tidak ngajak sopir?”
“Tidak. Insya Allah saya bisa mengatasinya sendiri.”

Ahad, 11 Juli 2010: Berangkat

Tubuh saya masih sangat capek. Semalam saya tidur lebih larut dari seharusnya. Sehabis Isya’, setelah acara peringatan doa bersama 1000 hari wafat ayah, saya masih menghadiri undangan haflatul imtihan, perayaan tutup tahun pelajaran di Madrasah At-Tarbiyah, di desa sebelah. Tak sempat tuntas merampungkan acara tersebut, saya izin pamit kepada tuan rumah karena pada malam itu juga satu acara lagi menunggu: diskusi epistemologi Islam bersama Dr. Samsuddin Arif dari International Islamic University (IIU), Malaysia, di aula Madrasah Aliyah Putri Annuqayah. Acara ini terpaksa dilangsungkan di malam hari karena waktu yang serbamepet. Semua acara di atas itu saya hadiri dalam keadaan persiapan mengemudi ke Jawa.


Pagi itu, setelah pamit ke Ibu, kira-kira pukul 9 lewat sekian, saya mulai menjalankan Colt dengan perasaan yakin. Kholis di samping kiri saya dan Abdullah di kursi tengah. Sementara itu, saya duduk di belakang kemudi dengan angka odometer tertera 8853/4. Bayangan pergerakan angka-angka yang akan terus berputar hingga kisaran 300 kilometer lebih langsung melahirkan sensasi awal yang berbeda di dalam hati.
 
Kira-kira 45 menit perjalanan dari Guluk-Guluk, mobil transit sebentar di Bagandan (8889/8 KM), Pamekasan, untuk menaikkan penumpang; istri dan anak saya, juga bibi dan ibu mertuanya, hendak turut serta pulang ke Jember.

“Mari, kalau sudah rampung, segera naik. Kita segera berangkat agar tidak terlalu malam tiba di Situbondo,” saya mengajak mereka untuk bergegas.

Tujuan pertama kami dalam perjalanan kali ini adalah Widuri, Asembagus (Situbondo). Sebetulnya, saya tidak dikejar waktu. Justru Abdullah-lah yang terburu-buru. Ya, malam nanti adalah malam final sepakbola World Cup 2010. Dia berharap, kami tiba di tempat tujuan sebelum laga final pertandingan sepakbola tingkat dunia itu disiarkan oleh stasiun televisi.

“Ayo, ayo..”

Setelah mengisi penuh tangki bensin di SPBU “Violet” Tlanakan, saya mencatat odometer pada angka 8896/5 dengan uang premium Rp 142.000 untuk 31,5 liter. Mobil saya jalankan secara wajar.

Sekitar tiga jam kemudian, pada saat kami melintas di atas Jembatan Suramadu, saya melirik odometer.
“Hemm… 9002/5!”. Kalau dihitung, sudah lebih 100 kilometer mesin 1300 cc ini menderu tanpa henti.
“Ini perjalanan pertama saya dengan Colt di siang hari. Wah, panas rasanya.” Tak terasa saya mengeluh, ngomong sendiri, entah untuk siapa. Saya melirik spion tengah, penumpang ajeg tanpa respon meskipun mereka mungkin juga merasa gerah. “Kalau jalan di malam hari memang lebih enak. Lalu lintas tidak macet dan cuaca lebih dingin,” sahut sebuah suara dari belakang.

Puluhan kilometer jalan lebar bebas hambatan telah kami lalui. Inilah jalan tol terpanjang yang saya tahu, yakni Perak-Gempol, 41 kilometer, yang pernah saya lalui dengan Colt T-120. Kapan, ya, bisa menjajal ruas jalan tol Jakarta-Cikampek atau Cipularang dengan mobil ini? Batin saya dalam hati.

Begitu mobil hampir mencapai ujung jalan tol yang diputus karena bencana Lumpur Lapindo, saya bersiap menyalakan sein kanan menuju Porong. Saya melirik ke samping kiri (kepada Kholis) lalu membisik. “Saya trauma dengan Pasar Porong,” Saya pun bercerita kepadanya, bagaimana trauma itu muncul, yaitu karena sudah dua kali mengalami mogok di depan pasar Porong dalam setahun ini.

Seolah-olah cerita picisan dengan suspense-suspense murahan, kekhawatiran itu benar-benar terjadi.
“Kerrrr….. traaaattt….tatttata..tattat……”
Terdenganr bunyi aneh dari bawah jok depan.
“Astaghfirullah!”

Saya menepikan kendaraan, menetralkan perseneling dan menyalakan lampu hazard, lalu mematikan mesin. Tetapi, astaga, mesin tidak mau mati. Kunci kontak mendadak tidak berfungsi. Saya turun dan segera menekuk punggung untuk melihat keadaan di bagian bawah mobil, barangkali ada sesuatu yang tersangkut mesin atau apa lah.

Tengok dari sisi kanan, tengok dari sisi kiri, tak ditemukan tanda-tanda kerusakan. Kholis pun juga turun untuk membantu melakukan pengecekan sumber bunyi. Kesimpulan: tidak ada apa-apa. Apakah tadi itu suara jin? Dugaan sementara; ada korsleting pada dinamo starter.

“Peduli amat. Ayo berangkat!”
Mobil masih tetap dalam keadaan menyala. Saya masukkan gigi satu, tancap gas, melewati Jempatan Porong dan sein kiri menuju Bundaran Gempol. Cemas berkurang karena ternyata mobil masih dapat berjalan normal. Bahkan, diajak ngebut pun, Colt tetap mampu meladeni tantangan.

* * *

Entah mengapa, siang itu jalan raya sangat ramai. Beberapa titik kemacetan terjadi di daerah Raci, Pasuruan. Mobil bergerak dari perseneling 1 ke 2, atau 2 ke 3. Kecepatan berkisar 30-40 km/jam saja, sungguh-sungguh gerakan beringsut yang membosankan. Karena tak tahan melawan jemu, akhirnya kami putuskan untuk shalat di Masjid Al-Mustaqim, di daerah Gerongan, beberapa kilometer sebelum kota Pasuruan.

Saya memilih masjid ini sebagai tempat istirahat karena beberapa alasan. Yang terpenting adalah karena ia memiliki keistimewaan letak, yakni berada di jalan yang agak menurun. Kalau nanti saya matikan mesin secara paksa dengan cara memasukkan perseneling, melepas kopling, sambil menginjak rem (sebab kunci kontak sudah tidak berfungsi lagi), mudah untuk menghidupkannya lagi. Dorong sedikit, biarkan menggelinding, lepas kopling, sesudah itu Colt pasti langsung brum, brum, brum dan menyala kembali. Jadi, saya pilih tempat ini bukan karena areal parkir yang luas atau pula karena ketersediaan airnya yang melimpah.

Betul, ternyata kontak tetap tidak berfungsi. Sementara penumpang menunaikan sholat, saya justru sibuk membuka jok depan untuk mengecek kondisi ban kipas (van belt) dan kabel, mungkin ada yang bermasalah. Tak ada. Saya makin yakin, masalah ini adalah masalah kelistrikan pada dinamo starter dan sekitarnya. Karena itu, meskipun nyatanya saya sangat lapar, saya mengganjal perut hanya dengan semangkok bakso karena selera sudah habis oleh bayangan “mendorong mobil di masa-masa yang akan datang”.

Setelah semua anggota rombongan perjalanan selesai shalat dan berkemas, Abdullah dan Kholis mendorong mobil. Sedikit saja, Colt menggelinding, mesin langsung menyala, direm, penumpang naik, dan saya pun lantas memacu kendaraan ke arah timur. Kepadatan arus lalu lintas mulai terurai. Pasuruan, Ngopak, Grati, Nguling, Tongas, relatif lancar.

Tiba di Probolinggo, di pertigaan Ketapang, saya ambil kanan lalu berhenti untuk menurunkan bibi dan mertuanya. Saya tidak berani mematikan mesin karena yakin kami akan repot dorong-dorongan lagi jika itu dilakukan. Menunggu bis tak muncul-muncul, akhirnya saya berpesan pada seorang abang becak agar dua orang perempuan penumpang kami ini dibantu, dicegatkan bis ke arah Jember untuk mereka. Saya pamit dan putar balik, melanjutkan perjalanan ke Situbondo.

* * *

“Boleh kalau saya tidak matikan mesin?”
“Wah, matikan saja, Pak!”

Maka, petugas SPBU Suboh itu mencekoki corong tangki bensin sampai penuh. Odometer menunjukkan angka 9197/4 di sini. Isi penuh tangki setara Rp. 122.000. Dengan demikian, konsumsi BBM didapat; 1 banding 11 kilometer. Perbandingan ini terbilang lumayan untuk ukuran konsumsi mobil tua plus banyak beban di jalan yang macet.

Seperti sudah diduga, mobil harus didorong untuk meninggalkan SPBU itu karena petugas pompa SPBU tadi menolak kalau saya tetap menyalakan mesin pada saat pengisian BBM.

Dari Suboh, jalanan semakin sepi. Hari telah masuk waktu Maghrib. Beruntung, di tengah perjalanan, sekitar daerah Mlandingan, sebuah Avanza penuh penumpang menyalip. “Nah, ini dia teman seperjalanan,” batin saya seraya menginjak pedal gas lebih dalam.  Lubang spuyer 95 pun menyembur. Karburator bakal lebih banyak menenggak premium.

Saya mengejar, membuntuti lebih tepatnya, dengan selah kira-kira 15 meteren, secara konstan hingga Panarukan. Bukan hendak mengadu mesin, ini sekadar membunuh bosan. Sama isi silinder mesin namun beda teknologi dan tahun produksi jelas tak layak untuk diperbandingkan.

Dengan kecepatan rata-rata 80-90 km/jam, begitu pendek rasanya jarak perjalanan ini. Tiba-tiba, seolah tanpa sadar, saya sudah memarkir Colt di halaman rumah Paman Sibaweh, Widuri, Asembagus pada odo 9265/4, pukul 19.25 WIB.

Sejauh 400-an kilometer perjalanan etape pertama telah selesai. Besok adalah perjalanan lanjutan. Sebagai sopir engkel, saya harus segera istirahat agar tenaga pulih kembali. Hidangan kopi panas mengendorkan saraf-saraf yang tegang selama berjam-jam. Saat itu, yang saya pikirkan hanyalah bantal untuk tidur, bukan tontonan final piala dunia FIFA dan tim mana yang harus memenangkan pertandingan, Spanyol ataukah Belanda. Bagi saya, tidur adalah final dari kerja keras seharian di atas lintasan aspal Sumenep-Situbondo.

Senin, 12 Juli 2010: Situbondo – Banyuwangi

Jadwal saya hari ini adalah mengantarkan Kholis pulang ke rumahnya di Galekan, Sidodadi, Wongsorejo (Banyuwangi). Karena harus melewati hutan Baluran, dengan bantuan Pak Imron (tetangga Paman Sibaweh), saya merasa penting untuk mengecek lebih dulu kondisi kelistrikan dinamo stater.

“Ada gejala ketidakberesan pada instalasi kabel,” kata Pak Imron seraya membereskannya.
Saya mengajak Pak Imron menemani kami pergi ke Banyuwangi. Meskipun dinamo telah diperbaiki, namun rasa cemas tetap bergelayut. Tidak terbayangkan andaikan Colt kami mogok atau pecah ban di tengah Hutan Baluran sepanjang 23 kilometer itu: tak ada montir, tak ada bengkel tambal ban, tak ada sinyal untuk menelepon bala bantuan.

“Pak, ikut kami ke Wongsorejo. Sampeyan duduk saja. Saya yang nyetir.”
Pak Imron tersenyum, “Sudah beres kok dinamonya.”
“Iya. Tapi, kalau pecah ban di tengah alas, bagaimana?”
Pak Imron (yang baru saya kenal pagi itu) mengangguk tanda setuju.

Perjalanan pergi ke Banyuwangi hari itu dimulai tanpa ada gangguan pada starter. Alhamdulillah. Jalan mulus dan lebar lengkap dengan bahu jalan yang baru, membuat perjalanan ke rumah Kholis sangat menyenangkan. Mengemudi di jalan yang berkelok-kelok, penuh tanjakan dan turunan, di antara hutan jati dan rerimbun pohon di sana sini, sangatlah mengasyikkan. Touring benar-benar terasa nikmatnya.

Sekadar bertamu di rumah Kholis, saya bahagia karena bisa bersilaturrahmi dengan keluarganya di sana. Makan-makan dan minum-minum pun usai. Tak lama setelah itu, urutan acara sesudahnya adalah pamit pulang.

Sepulang dari rumah Kholis dan kembali ke Asembagus, sehabis shalat ashar, kami minta izin kepada Paman Sibaweh, meninggalakan Widuri menuju Arjasa untuk selanjutnya menempuh perjalanan ke Panji Kidul demi mengikuti pengajian Layliyahan Malam Selasa di kediaman Kiai Sufyan Miftahul Arifin. Pamanda memberikan izin kepada kami setelah makan-makan.

Nah, dalam perjalanan ke Kota Situbondo, Colt kami membuntuti sebuah Espass berwarna biru. Mobil 1600 cc buatan Daihatsu keluaran akhir 90-an tersebut larinya ngacir sampai 100 km / jam. Saya berusaha mengikutinya dari jarak aman. Maklum, jalan sepanjang Asembagus-Kota Situbondo itu lurus, datar, lebar. Rupanya, mobil tersebut juga hendak pergi ke Panji Kidul, dan juga kebetulan mampir isi bensin di SPBU dekat kota.

Espass parkir di sisi mesin pompa ke-3. Saya pun masuk dan memarkir Colt di mesin pompa ke-4.
“Bensin kosong, Pak, ke sini saja!” kata petugas pada saya sembari menunjuk ke pompa mesin ke-3.
Saya berpikir, bersamaan saat masuk, harus bersamaan pula saat keluar.
“Pertamax!”
“O, kalau Pertamax-nya ada. Berapa?”
“Limapuluh ribu.”
Dengan percaya diri, saya isi tangki bensin premium itu dengan pertamax. Namun, apes, switch dinamo starter tiba-tiba tidak merespon kunci kontak. Kembali, mobil tidak bisa dinyalakan. Apa boleh buat, biarpun pertamax, tapi dorong lagi.
“Nggak biasa diisi pertamax kamu isi pertamax. Ya, kaget mesinnya!” kata sebuah sumber suara dari belakang, meledek saya.

Selasa, 13 Juli 2010: Jember

Bangun sepagi mungkin sudah saya rencanakan sejak semalam. Pukul 5 pagi, kami meninggalkan Panji Kidul menuju Jember. Ruas jalan Situbondo-Bondowoso masih relatif sepi kala itu. Saya baru mematikan lampu fog saat kami masuk daerah Prajekan karena hari mulai siang. Selepas Kota Bondowoso ke arah Jember, barulah jalan mulai padat. Anak-anak berseragam SMA dan bapak-ibu yang hendak pergi ke kantor memenuhi lajur di kanan-kiri jalan raya.

Kami tiba di Dukuh Mencek, rumah sepupu, dan bertemu dengan rombongan yang datang dari Madura sekitar pukul 7.30. Kedatangan kami ke Jember kali ini adalah untuk menghadiri undangan walimah putra dari Pak Sef (alias Pak Munir alias Pak Saifullah).

Setelah cukup isritahat, sehabis shalat Duhur, dari rumah Alwalid, iring-iringan mobil bergerak menuju tempat walimah akan dilangsungkan, di daerah Sumbersari. Pak Sef menyambut kami luar biasa. Pak Sef merupakan saudara jauh kami yang baru saja tahu ikatan kesaudaraan dalam bulan-bulan terakhir ini. Pesta pernikahan ini akhirnya selesai setelah ashar. Acara berlangsung meriah. Tuan rumah berbahagia. Bahkan, dari saking bahagia, Pak Sef mengganti uang bensin kami, berlipatlah senang itu.
 

Rombongan dengan mobil Kijang pulang lebih dulu karena bermaksud untuk melaksanakan shalat Duhur-Ashar di daerah Tanggul. Rombongan saya memilih shalat Ashar di rumah si sepupu. Kami baru pulang pada pukul 16.30-an.

Aneh, atau ajaib, saat akan berangkat, dinamo starter normal kembali. Dalam, hati saya bertanya, jika awal mula dinamo starter macet dan saya duga itu suara jin, nah, apakah normal ini merupakan efek uang ganti bensin? Saya tersenyum-senyum sendiri.

Colt berjalan tanpa ada gejala korsleting. Begitu pun ketika saya mengisi bensin penuh di SPBU Bangsalsari pada odo 9525, dinamo starter tetap normal, aman. Sore itu, tak ada acara dorong-mendorong lagi. Colt ‘Titosdupolo’ bergerak cepat, menembus rembang petang yang turun menyambut Maghrib.

Sebelum berangkat tadi, saya engikat janji denagn Paman Naqib. Kala itu, beliau sedang mudik ke rumah mertuanya di Tanggul. Kabarnya, Paman Naqib hendak menitipkan kardus-kardus berisi jeruk dan ransum lainnya. Kami janjian kencan di alun-alun kota. Cara ini dianggapnya dapat mengurangi beban bawaan sang paman yang hendak pulang ke Madura, besok, dengan bis.

“Saya sudah hampir sampai Tanggul, Om.”
“Ya, saya sudah menunggu di alun-alun.”
“Posisi tepatnya di mana?”
“Setelah lampu merah, menepi ke kanan, lalu parkir.”

Betul, rupanya Paman Naqib sudah menunggu di situ bersama iparnya. Kami bertemu di dekat alun-alun Kota Tanggul. Sementara kardus-kardus berisi jeruk itu dinaikkan ke mobil, mesin terbiar menyala karena khawatir dinamo starter kumat lagi. Sebab, akan sangat berat urusan kalau harus mendorong mobil yang sudah dipenuhi barang berjibun.

Berangkat.

Gas pada gigi satu rasanya harus diinjak lebih dalam agar mampu menarik beban berat ini. Tugas mesin terasa lebih ringan ketika perseneling telah mentok di gigi 4 dan menapak aspal mulus dan jalan yang datar. Selepas Tanggul, mobil menyusuri jalan di tepi sungai Bondoyudo yang lebar. Pemandangan indah terhampar di depan. Kiranya, inilah lintasan paling indah yang saya lewati selama ini.

Tugas Colt belum selesai. Masih ada satu penumpang lagi yang harus saya bawa, yaitu Bibi yang sebelumnya berangkat bersama dari Madura dan berpisah di Probolinggo itu. Saya pasang mata secara awas. Beliau bilang akan mencegat saya di daerah Batu Urip, selepas tikungan, setelah jembatan. Tidak ada GPS, tidak ada titik kordinat. Di manakah tempat itu?

Laju mobil saya turunkan begitu melihat aba-aba dari seseorang yang menggubit di kejauhan, di muka. Saya lalu menepikan kendaraan, turun dari aspal, membuka pintu untuk menyambutnya. Namun, kaget bukan alang-kepalang ketika saya melihat seorang lelaki tua yang memanggul “sahara”, sebuah koper yang besarnya luar biasa. Dia menyeberang jalan, mendekati saya.

“Ini bawaan bibi, Pak?”
Orang itu mengangguk.
Dug!
“Bagaimana mungkin koper raksasa ini dimasukkan ke dalam mobil yang sudah penuh dengan barang bawaan?” Saya membatin.
“Ini mau dibawa pulang, Bi?” tanya saya pada Bibi, melakukan konfirmasi.
“Iya. Emang kenapa?” tanya Bibi. “Tidak cukup, ya? Kalau tidak cukup, tidak apa-apa.”
“Ya, cukup sih cukup, asalkan Panjenengan mau duduk terjepit di kursi paling belakang.”
“Oh, ya, tidak apa-apa. Tidak masalah.”

Sahara dimasukkan, dan Bibi pun duduk desak-desakan bersama tumpukan barang di jok belakang.
Selesai, dan mobil kembali berjalan. Namun, sekitar 1 kilometer kemudian, terdengar bunyi mendenging. Hati pun mulai ragu. Masalah apa lagi ini? Mobil diberhentikan. Cek, tidak ada apa-apa. Mobil berjalan namun denging tetap terdengar.

“Kenapa?” tanya salah seorang penumpang dari belakang seusai melihat gelagat saya yang mungkin dianggapnya mencurigakan.
“Ada bunyi denging. Saya khawatir ada masalah lagi dengan mesin.”
“Bunyi denging yang mana?”
“Itu lho, coba perhatikan!”
Dan kami pun pasang telinga bersama-sama.
“O, denging itu, tho,” sambung Bibi. “Itu sih suara belalang yang ada di ladang tebu.”

Saya tertawa mendengar jawaban itu. Perasaan jadi plong. Gigi dinaikkan, gas ditambah. Colt masuk daerah Banyuputih pada saat Maghrib. Mobil-mobil padat merayap. Pergerakan lalu lintas ke arah Surabaya petang itu sangatlah membosankan. Mobil bergerak sangat lamban. Barangkali, jembatan rusak di Kedung Jajang, sekitar 5 kilometer setelah Klakah, menjadi salah satu penyebabnya. Bagaimana pun, untuk bermanuver, menyalip satu demi satu deretan truk dan kendaraan berat yang lain sulit dilakukan karena tenaga sudah banyak terkuras oleh muatan yang menggunung. Laju lalu lintas terus tersendat hingga Ranuyoso.

Bahkan, saat kami telah mengarah ke barat selepas kota Probolinggo, jalanan semakin padat merayap. Maunya, kami istirahat di Masjid Tongas. Namun karena ketika melintas di sana dan saya lihat areal parkir masjid sudah sangat padat dan rapat, ciutlah keinginan. Mobil terus menderu, melewati Nguling, Karanganyar, Ngopak, Gratis, hingga tibalah kami di Pasuruan.

Saya sadar, Colt ini bukanlah angkutan umum yang mengutamakan tepat waktu. Saya pun mengambil keputusan untuk istirahat. Di samping itu, cara ini juga demi menjaga keamanan berkendara karena daya penglihatan sudah sangat berkurang. Kami pun istirahat di sebuah masjid di Kota Pasuruan. Setelah shalat Maghrib-Isya, makan, saya tidur di sana dengan pulasnya, hampir dua jam. Tidur di mana pun, jika tubuh dalam keadaan penat, serasa di rumah sendiri, nikmat rasanya.

* * *

Saya bangun kira-kira pukul 22.40, ambil wudu, dan mengaba-aba semua penumpang untuk melanjutkan perjalanan. Namun, saat mobil hendak dinyalakan, tak ada respon. Dinamo kumat lagi. Apa boleh buat, mobil harus didorong kembali.

“Dorong, dorong, dorong…!”
Dan para perempuan pun mendorong Colt.
“Brum, brum, brum….”
Stasioner, penumpang naik, kami berangkat.

Mobil berjalan meninggalkan Kota Pasuruan. Sambil lalu, saya meminta bantuan Abdullah untuk mengirim SMS, bertanya kepada sopir Kijang yang ketika itu barangkali sudah berada di Madura, untuk menanyakan di mana letak SPBU yang buka 24 jam di Madura. Dia membalas SMS begini: “Pom Baranta dan Larangan Tokol” (Pamekasan). Berdasarkan jawaban ini, demi aman, saya isi penuh kembali tangki bensin di SPBU Raci, stasiun pengisian bahan bakar yang berada di beberapa kilometer sebelum masuk bunderan Gempol. Odometer menunjuk angka 9674 dan bensin habis Rp 67.000. Dengan perhitungan ini, kesimpulan dihasilkan: konsumsi bensin rata-rata kala itu adalah 1:10.

Karena mata sudah berbinar dan jalan serlah lapang di depan, sekarang saya menjalankan kendaraan tanpa was-was lagi. Rasa khawatir sempat mengganggu benak begitu kami masuk area Lapindo, deg-degan karena teringat peristiwa-peristiwa mogok di “zona trauma” ini pada saat berangkat.

Tengah malam itu, saat kami melintasi Jembatan Suramadu, perasaan saya senang sekali karena lebih kurang tiga jam-an lagi akan tiba di rumah. Para penumpang telah tidur. Mereka jelas capek. Musik saya bunyikan lebih keras untuk melawan kantuk.

Demikianlah, akhirnya, kami masuk pekarangan rumah sekitar jam 3 dini hari. Meskipun penat dan tubuh begitu letih, saya bertahan jaga hingga adzan berkumandang. Setelah shalat dua rakaat, berdoa dan bersyukur telah kembali dalam keadaan selamat, saya lantas meneruskan perjalanan di atas tempat tidur.

24 April 2011

I am V-Colt


Saya senang karena ternyata colt saya masih laku. Tempo hari, bibi saya meminjamnya untuk pergi ke Malang. Padahal saya sudah menawarkan diri, “Kalau Panjenengan mau, saya usakahan kendaraan yang lain, yang lebih baru, dan juga gratis, tetapi sejenis carry.” Tapi, bibi saya bilang, “Sudah, Nak. Aku pakai colt-mu saja.”

Saya senang karena meskipun di zaman sekarang nyaris tidak ada orang yang mencarter colt, tetapi paling tidak masih ada yang mau meminjamnya. Tercatat, dalam setahun ini sudah dua kali colt-ku dipinjam famili ke Jawa; yang pertama dipakai mbahku ke Jember 19 Nopember 2010 silam, dan kedua kalinya 11 April yang lalu ke Malang.

Saya senang. I am V-Colt

16 April 2011

Memutar FLAC di Mobil



salah satu hal penting di dalam mobil adalah tata suara (audio). Dengan Xperia, Anda dapat memutar FLAC (free lossless audio codec) yang suaranya jernih sejernih air dari pegunungan Prigen.

Mari mainkan :-)

29 Maret 2011

Undangan Ke Prancak



Tiba di rumah pada pukul 6.30, perjalanan pulang dari Jakarta, pukul 7.10, hari Ahad 27 Maret itu, saya harus pergi lagi ke Paojajar, Prancak, untuk menghadiri pernikahan Misbahul Ulum putra Bapak Moh. Nahrowi dan Istiqamatul Hasanah, putri Bapak Kamil Ma’mun. Tujuan itu, Paojajar, selama ini hanya saya dengar namanya saja. Konon, kondisi jalan ke arah sana, pada beberapa tempat seperti Dambir, kurang bersahabat bagi kendaraan non-Four-Wheel-Drive.

Hari itu saya juga tidak menduga kalau ternyata sisa hujan semalam akan mengakibatkan jalan tanah jadi berlumpur. Lubang di sana-sini dipenuhi genangan air. Tapi, apa lacur. Perjalanan harus dilakukan karena kepalang tanggung, sudah terlanjur.

Awalnya, saat memasuki kawasan Bragung, pemandangan indah tampak di depan mata. Jurang yang dalam, seperti ngarai dalam bentuk kecil, sangatlah mempesona. Saya membayangkan, para penggemar paralayang bisa mencoba tempat ini untuk terbang, meskipun tidak terlalu tinggi. Jalan yang sempit, rusak pada beberapa tempat, dipenuhi belukar di kanan-kiri, membuat saya harus selalu membunyikan klakson setiap bertemu tikungan. Ya, ini bukan Yungas, tapi Prancak.

Setelah melewati jalan beraspal yang lebih parah dari sebelumnya, akhirnya colt T -120 yang baru dicuci ini harus menerima nasib; menempuh jalan tanah berlumpur.


jalan berlumpur dimulai. saya berhenti, dikira mogok, padahal untuk sesi foto :-)

setang setir lurus tapi jalan mobil menyamping, "berjalan secara miring"

pulang: ada L300 bensin di depan

jalanan sepi dan lengang. perampok di zaman sekarang tidak membegal di tempat seperti ini :-)

eh, ternyata ada kawan sepermainan, Colt T pick up ("Kol Pikep" kata orang setempat)

sopir L300 itu tidak segera sadar kalau ban serepnya nyangkut ke tanah saat dua roda belakang mobilnya masuk ke kubangan dan bautnya lepas. Dia terus berjalan. Untung karena kendaraanku adalah "mobil yang bisa bicara", saya panggil dia dengan pengeras suara TOA, "Whoi... ban serepnya lepas!". Alhamdulillah, dia mendengar dan berhenti untuk memperbaiknya.

bukit itu kami rambah

ini salah satu jurang. Jangan tolah-toleh di sini, bahaya, kecuali mobil Anda menggunakan sayap.

12 Maret 2011

Colt T 120 dan Guluk-Guluk (oleh Andy Fuller)



Awal Pebruari lalu, Binhad Nurrohmat membawa teman Sarah dan Andy Fuller bertandang ke rumahku. Seperti biasanya, setiap kawan datang (termasuk teman-teman online yang main kemari, terutama mereka tahu kalau saya punya kendaran bulukan Colt T 120 tapi dengan ngototnya sering nampang di dunia maya) biasanya mereka bertanya, “Ada di mana colt T itu?”.

Setelah itu, saya akan mengajak mereka berkeliling dengan kendaraan tua ini. Kala itu, Andy tidak begitu banyak bciara. Belakangan saya tahu ternyata dia banyak mencatat. Kunjungan pertamanya ke desaku ditulisnya dalam sebuah catatan, termasuk sedikit tentang Colt T ini. Faizi’s most used bus is equipped with a microphone, which he talks into to communicate with friends and passers-by. He says it is a better alternative to using the car horn (klaxon) to alert someone that he has already arrived to pick him or her up. Tulisnya pada sebuah bagaian catatannya.

Simak catatannya di Going to Guluk-Guluk

09 Maret 2011

Bersih-Bersih



Sambil menunggu Paman Farhan mengganti sil kelep yang harga satuannya cuma Rp 8700,- (saat yang sama, saya cek harga sil kelep komplit milik L300 bensin Rp.290.000) tetapi membutuhkan waktu dua hari untuk mengurusinya, saya luangkan waktu untuk membersihkan perangkat panel depan (spedometer) colt T. Debu halus menumpuk di sela-sela panel, sangat banyak. Kaca buram penutup spedometer-nya pun sudah kusam dan hitam di sekelilingnya. Saya bersihkan hati-hati dengan tisu basah dan dilap dengan tisu kering.

Satu hal yang membuat saya terkejut adalah karena setelah saya cek lampunya satu per satu, saya temukan lampu speedometernya telah hitam di sisi-sisinya, namun kumparan kawatnya masih bersambung (hidup). Yang mengherankan adalah karena bola lampu itu bermerek sama dengan speedometer, “Yazaki.” Nah, saya langsung ambil kesimpulan sementara bahwa bohlam tersebut masih asli dan belum pernah diganti sejak tahun 1980 lalu.

17 Februari 2011

Kunci Ketinggalan



Dalam perjalanan pulang dari Pamekasan, tadi malam, seusai menjenguk bibi yang sakit, saya nyalakan lampu sein kiri, masuk pompa bensin Talang. Beruntung, mobil belum masuk antrean, saya cek, kunci lubang pengisian BBM tak ada, alias ketinggalan di rumah.

Dengan perasaan agak ragu, saya ngotot pulang. Alhamdulillah. BBM cukup sampai garasi. Ya, demikian memang jika kunci kontak dan kunci lubang pengisian BBM dipisahkan dan beda gantungan. Lupa merupakan bagian dari cerita sedih perjalananku, hampir terjadi sehari-hari.

22 Januari 2011

Knalpot Baru


Karena sudah tidak mempan lagi ditambal sulam, akhirnya knalpot colt Titos-ku ini diganti. Saya beli merek Matahari, produksi (Malang). Harganya Rp 130.000. Murah, bukan? Harga ini memang terhitung murah dibandingkan dengan knalpot produks yang sama untuk Suzuki Carry 1.0, yaitu Rp.190.000.


Setelah dipasangi muffler agar mirip knalpot Mercy, knalpot saya pasang. Nah, tadi malam, sewaktu kami bawa pergi untuk doa bersama/tahlilan, persis di tanjakan Panguray, kira-kira berjarak 1500 meter dari rumah, tersebar bau hangus masuk ke kabin. Kelihatannya kabel terbakar. Dengan sigap dan secepat saya tepikan mobil ke kiri dan mematikan mesin. Tapi, ternyata, bau hangus masih tetap ada. Maka, berdasarkan pengalaman yang lalu, segera saya ambil langkah paling aman: membuka jok pengemudi dan mencopot kelam/klem aki.

Agar tujuan pergi tahlil tetap terlaksana, mobil saya titipkan di rumah Haji Nahrawi, di sekitar situ, dan kami diangkut oleh Pak Jauhari dengan Carry-nya yang kala itu segera saya hubungi. Di atas mobil, saya ceritakan semua peristiwa itu kepada Pak Jauhari. Eh, malah dia tertawa, “Ya, itu karena knalpot baru. Memang begitu, cat knalpot yang terbakar itulah yang menyebabkan bau..” Saya ditertawakan oleh penumpang yang lain atas peristiwa tegang yang lucu ini.

Pagi tadi, saya ambil mobil di Haji Nahrawi (beliau adalah sopir mobil pesantren Annuqayah generasi awal; memiliki ciri unik dan antik, yaitu ke mana-mana selalu pakai terompah kayu, meskipun buat menginjak pedal gas, rem, dan kopling). Sebelum saya bawa pergi, mesin dinyalakan dan benar tidak ada apa-apa. Mungkin, kalau diperhatikan lebih dekat, hanya cat perak/silver knalpot yang tampaknya sedikit memudar warnanya.

Catatan: suara knalpot produksi "Matahari" ini agak mendengung, barangkali  disebabkan oleh lapisan peredam yang kurang berlapis. Ya, maklum, harga juga murah


15 Januari 2011

Delco



Salah satu penyebeb sering berubahnya setelan platina pada colt T-120 yang saya tahu diakibatkan goyahnya batang delco. Batang delco (entah apa istilah mekaniknya, pokoknya batang panjang yang berujung di mesin pompa oli itu) tersebut diperkuat oleh bos atau cincin (bearing/bushing) yang bergunan mengurangi aus karena gesekan. Nah, jika batang itu sudah aus, maka otomatis ia akan goser (bergoyang sedikit) saat berputar terus-menerus. Akibatnya, setelan tidak akan awet.

Kita bisa mengganti bos/cincin itu. Belilah di toko. Harganya berkisar 12.000 rupiah hingga 20.000 untuk kualitas yang lebih bagus. Bahkan, kita bisa memasukkan dua bos/cincin sekaligus itu ke dalam tabung delco itu jika memang sudah sangat goyah.

Nah, yang perlu juga diperhatikan, apakah otomat delco colt kita masih berfungsi apa perlu juga diganti? Jika tidak berfungsi, masin panas dapat mengakibatkan mobil sulit di-start. Pengecekannya mudah. Tiuplah lubang udara di otomat tersebut. Jika tidak ada reaksi, berarti otomat itu minta diganti. Harga berkisar 30.000-40.000 an.

Catatan: semua informasi ini saya dapatkan dari Paman Farhan yang menolong saya memperbaiki colt tadi malam, sampai larut, dengan kopi dan jagung bakar.

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...