Pembaca

13 September 2011

Melawan Stereotip


Hari Sabtu kemarin (10 September 2011) saya mengantar temanten ke rumah mempelai pria. Dalam iring-iringan itu, saya mewanti-wanti agar rombongan berangkat bersama dari SPBU Talang, kira-kira `5 kilometer perjalanan dari Pamekasan menuju Sumenep.

Betul, kami memang berkumpul di SPBU tersebut karena berangkat tidak bersamaan. Dari sana, sedan Timor merah yang membawa mempelai, bersama Innova, kijang LGX, dua Suzuki Carry pun berangkat. Sementara colt saya berada di urutan paling belakang. Kami langusng menyalakan lampu hazard.

Akan tetapi, baru 1 kilometer meninggalkan SPBU, saya dihentikan oleh bapak polisi dan dia membiarkan 5 kendaraan lain yang saya sebut tadi begitu saja berlalu. Saya sakit hati. Apa yang membedakan colt saya dengan kendaraan lain itu? Penumpang sama-sama penuh, lampu hazard sama-sama dinyalakan. Untung tidak lama. Setelah mengeluarkan SIM dan STNK, colt T pun bergerak menyusul rombongan.

* * *

Dua hari setelah itu, Senin, lagi-lagi saya pergi bersam colt ini ke rumah H. Hisyam. Di sebuah tikungan yang tak jauh dari rumah, mobil saya terhenti karena terjebak taksi (L300 angkutan pedesaan) yang berhenti semena-mena sekitar 10 meter sebelum tikungan tajam. Saya melihat, kernet taksi tersebut sedang tawar-menawar dengan 3 orang penumpang. Kernet ngotot menjelaskan bahwa masih tersedia tempat duduk bagi mereka bertiga. Tetapi mereka rupanya ogah kalaupun muat namun harus berdeseak-desakan.

Entah mengapa, satu dari ketiga orang itu tiba-tiba menoleh ke arah mobil saya yang berada persis di belakang L300 plat kuning itu. Hebatnya, tanpa basa-basi dia langsung membuka pintu depan dan siap untuk duduk. Saya kaget. Saya melongo menatapnya. Dia tak kalah kaget, tercengang, lalu sadar kalau masuk ke mobil yang salah. Ia menutup pintu dan tertawa. Mereka bertiga tidak jadi naik colt, tidak pula naik taksi itu, tapi lari ke belakang bersama dua temannya.

* * *

Rupanya, sulit memang melepas image Colt T 120 sebagai taksi/angkutan umum jika mengingat masa jaya kendaraan jenis ini di masa lalu. Saya masih bingung, apa acara melawan stereotip agar Colt T “plat hitam” tidak secara rata dianggap sebagai angkutan “plat kuning”? Apakah dengan cara membuatnya full variasi, menggunakan ban lebar misalnya, atau sedikit dibuat mapa’ (ceper), ataukah dengan menambah sedikit moncong di depan agar seperti Alphard?

9 komentar:

  1. ngga usah diapa2in mas.... full orisinil malah lebih cakep :)

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas saran, Mas Bint. Saya semakin pede :-D

    BalasHapus
  3. dikasih tulisan pariwisata mas bukan bumel wkkk piss

    BalasHapus
  4. @Mase: hahahaha.. itu ide bagus yang boleh saya terapkan. saya jadi berpikir untuk buat stiker yang bagus dengan tulisan "Pariwisata" deh...

    BalasHapus
  5. jaman dulu bukan pariwisata, tapi tulisan "Preman" ....

    BalasHapus
  6. ha.ha. iya., iya. betul, Mas Bint. Saya juga sering mendengar istilah "preman" itu untuk menunjukkan kalau kendaraan yang dimaksud adalah "plat hitam" dan tidak ngompreng. Apakah Ikang Fawzi dulu, saat menelorkan album Preman, di tahun 1987-an, juga pernah jadi sopir Colt T, ya?

    BalasHapus
  7. semuanya masih mending, karena konon T120 dulu juga sebagai pengangkut penarik amal liar yg sasarannya ke pelosok pelosok, kalo dzhon/imagesampai ke situ sudah parah.
    sollusinya : k`izi harus menaruh sejadah dan sorban di bagian sisi supir, bravo T120.

    BalasHapus
  8. sementara sudah kulakukan dengan menempeli kaca depan dengan stiker "Pariwisata", Neth

    BalasHapus
  9. Ini dia bentuk usaha kami

    http://titosdupolo.blogspot.com/2011/11/colt-pariwisata.html

    BalasHapus

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...