Pembaca

05 Desember 2013

Mobil pun Punya Buku Diary


Pada mulanya, saya bikin blog ini di awal tahun 2009. Ini bermula sejak saya punya Colt T-120 di akhir 2008. Saya barharap, dengan blog ini, saya makin rajin menulis, terutama pengalaman-pengalaman saya bersama Colt T-120. Jadi, blog ini saya proyeksikan sebagai ‘diary’ khusus Mitsubishi Colt T-120 yang saya miliki.

Dalam rentang tahun 2009-2010, beberapa kali saya mencatat perjalanan dengan jarak lumayan jauh, yakni sekitar 800 hingga lebih 1000 kilometer. Saya pun tertarik untuk membuat catatan perjalanan. Meskipun perjalanan jauh tersebut hanya berkisar di Jawa Timur, lebih tepatnya hanya ke area Banyuwangi, Situbondo, dan Jember, namun saya tetap merasa perlu dan merasa penting untuk menuliskannya. Betapa pun remehnya, catatan perjalanan akan tetap dibutuhkan sebagai tambahan informasi bagi saya pribadi dan bagi para pembaca pada umumnya.

Nah, ide muncul, lantas saya baca-baca lagi catatan perjalanan yang sudah saya posting di blog ini dengan rencana dicetak menjadi sebuah buku. Kebetulan, pamanda Zainur Rahman membuat lukisan apik bertema Colt. Inspirasinya adalah perjalanan Colt ke negeri asalnya, Jepang. Gambar itu kemudian diolah oleh sepupu saya yang bernama Ahmad Hassan (cek karya grafisnya di sini). Setelah  jadi calon kover buku, atas bantuan kawan Alek Subairi, materi ditata dan diatak lalu jadilah sebuah buku catatan perjalanan dengan Colt T 120  ini. Ukurannya pun dibuat lanskap demi kemiripin dengan buku kepemilikan kendaraan bermotor, BPKB.

Tentu, saya belum kepikiran untuk mengajukan buku ini kepada penerbit mayor. Teman saya, Alek, yang tiba-tiba mencetaknya satu eksemplar setelah ia layout, dan menyerahkannya kepada saya. Sudah pasti, saya senang sekali. Keinginan saya berikutnya adalah mencetak buku ini dalam jumlah tertentu untuk selanjutnya dibagi-bagikan secara cuma-cuma kepada teman-teman saya yang terlibat langsung dalam catatan perjalanan ini dan kepada mereka yang benar-benar suka dengan Colt T-120. Saya masih menunggu kejutan dan keajaiban hingga saya punya uang untuk mewujudkan keinginan ini. Sambung doa, ya!

T

M. FAIZI, penulis, pemilik Colt Pariwisata, blogger, tinggal di Guluk-Guluk, Sumenep



12 Oktober 2013

Kopdar Sesama Penggemar Colt T-120 di Tlatar Magelang



Hari ini saya teramat bahagia. Keinginan lama untuk bertemu langsung dengan sesama penggemar Colt terkabul sudah. Meskipun saya ‘hanya’ bertemu dengan tiga orang saja, namun mereka itu, bagi saya, adalah termasuk dedengkot Colt T-120. Acaranya pun tidak dikemas dalam sebuah acara kopdar, hanya pertemuan mendadak di Warung Pak Tekno, di Tlatar (Magelang).

Sebetulnya, hari itu saya ingin mengajak kawan Ucuk (Arientoko Haryo Pamungkas). Namun, sayang sekali kawan satu ini tidur pagi sehingga ia baru mendapati SMS/panggilan saya di ponselnya setelah saya sudah makan kupat tahu di Tlatar.

Sungguh ajaib karena di sana saya bertemu dengan Mas Hertanto (Jogja) dan Koh Hari (Sragen). Kami pun ngobrol sebagala macam tentang Colt. Bagi saya, ini adalah pertemuan yang pertama dengan mereka.

Setelah menghabiskan waktu kurang lebih 3 jam, bakda adzan duhur berkumandang, saya pamit pulang. Pak Tekno memberikan saran agar saya pulang lewat jalur dalam dan langsung tembus Muntilan, berbeda dengan jalur ketika tadi saya berangkat (lewat Blabak). Sungguh, pertemuan ini sangat menyenangkan.

* * *

Berikut foto tambahan dari Mas Hertanto yang dijepret secara rahasia (candid) dan baru dikirimkan ke saya beberapa bulan setelah kopdar ini berlalu :)


11 September 2013

Menggunakan Lampu Depan Halogen


Selama ini, lampu depan Colt saya masih sealed beam dari sono-nya. Mungkin memang sudah pernah diganti oleh si empunya sebelum saya, tapi yang saya maksudkan adalah bahwa sealed beam itu adalah pemantul lampu sekaligus bohlamnya. Jika elemen putus, pemantul lampu tersebut tidak dapat digunakan lagi. Begitulah, sealed beam berarti lampu yang tidak dapat diganti bohlamnya karena ia tidak bisa diganti dop/bohlamnya.

Nah, seiring dengan maraknya selera modifikasi kendaraan, sejak lama sudah banyak lampu Colt yang saya perhatikan menggunakan pemantul H4 (Halogen). Teknologi belakangan memungkinkan kita menggunakan multi-reflector (krsital) yang biasa terpasang pada mobil-mobil baru. Kaca pelindungnya polos namun pemantulnya memiliki banyak sudut.

Kebetulan, salah satu lampu jauh Colt saya mati. Maka, saya pun menjajal memodifikasi lampu depan ini. Keinginan ini muncul manakala saya dapat kejutan dari Maleo Kitting di Semarang yang mengirimkan pemantul atas pemberian sahabat Angga di Jakarta; kedua nama ini adalah sahabat online yang belum sekalipun pernah berjumpa dengan saya. Sepasang pemantul lampu ini bermerek “Carri H4 12 volt 55/60w”. Maka, lantas saya genapkan dengan sepasang pemantul “Depo 100–1104N–RD” yang saya gunakan buat lampu dekat. Saya membelinya dengan harga Rp 70.000 (sepasang).


Sayangnya, saat akan dipasang, masalah baru muncul. Rupanya, kedua pemantul itu lebih lonjong daripada sealed beam semula sehingga tidak pas dengan pengapit bawaan lampu Colt. Cara menyiasatinya adalah dengan mengganjal kedelapan baut dudukan lampu dengan baut. Masalahpun beres.

Namun, begitu diujicoba di malam hari, rasanya penggantian lampu depan ini kok anakronis, he, he. Saya merasa asing karena lampu Colt mendadak terang sekali. Saya merasa salah beli bohlam karena watt-nya terlalu tinggi; yakni Philips 100/90 (untuk lampu bagian luar/lampu dekat) dan Flosser 130/90 (untuk lampu bagian dalam/lampu jauh). Mestinya, saya memasang yang ukuran 55/60 watt saja. Tapi, biarlah saya pakai dulu yang ada untuk sementara waktu sambil lalu ujicoba. Jika ada kesempatan lagi pergi ke kota, mungkin saya akan menggantinya dengan bohlam yang jauh lebih kecil watt-nya.
* * *
Catatan: saya menggunakan dinamo ampere milik Suzuki Carry yang saya beli dari pasar loak dengan harga 200.000; dengan menggunakan lampu halogen yang watt-nya lebih tinggi, kita harus lebih rajin mengontrol air aki; jangan lupa pula untuk memeriksa saluran kabel karena sangat mungkin kabel yang terpasang sudah lapuk sehingga butuh ganti kabel yang baru (Rp.6000/meter); gunakan soket keramik agar lebih tahan panas (@ Rp 7000).

20 Juli 2013

Lampu Kontrol Oli


Dalam perjalanan ke Pasar Keppo, hari ini, Sabtu 20 Juli 2013 pukul 9.00, kira-kira berjarak 22 kilometer dari tempat saya, kontrol lampu “OIL” tiba-tiba menyala merah pada KM 20. tentu, ini pertanda bahaya yang artinya, oli sedang tidak terdistribusi dengan baik. Dengan kata lain, mesin ada di bawah dan pompa tidak bekerja.

Menghadapi situasi seperti ini secara tiba-tiba, tentu saya segera mematikan kunci kontak, mematikan mesin, dan seera menepikan kendaraan. Lemas tubuh ini, apalagi memang sedang bulan puasa, siang-siang lagi. Saya membayangkan, kami akan buka calter dan mengambil pompa olinya lalu nyekur (meratakan permukaan pompa), memasangnya lagi, dan baru pompa akan normal kembali.

Ternyata, setelah saya sampaikan hal ini kepada Paman Farhan, paman yang pintar mesin Colt, dia bilang akan segera mendatangi saya di TKP dalam waktu singkat. Sementara itu, saya sedang berada di Pasar Keppon mengantarkan istri belanja.

“Mobil sudah beres,” mendadak Paman menelepon.
“Lo, maksudnya, Panjenengan sudah di ada di tempat?”
“Iya, ini sudah mau pulang. Mobilnya gak apa-apa, kok!”

Kami pun segera pergi dari pasar dengan angkutan umum, dan menjumpai paman karena urusan memang sudah selesai. Hanya 3 menit, saya sudah nyampe lokasi. Dari sana, kami pulang ke rumah. Di atas mobil, Paman Farhan menjelaskan kepada saya bahwa pompa oli tidak mungkin rusak mendadak. Kalau lampu menyala secara tiba-tiba dalam keadaan mobil berjalan normal, maka yang harus dicek pertama kali adalah delco. Jika itu beres, maka baru cek pompa olinya.

Rupanya, betul, ternyata, baut-baut delco Colt saya ini longgar semua, nyaris berlepasan. Astaga, dan untunglah, gara-gata lampu merah itu, akhirnya baut-baut kembali dikencangkan, beres. Mesin dinyalakan dan kami pun pulang. TIba di rumah, saya langsung menulis catatan ini.

02 Juli 2013

Karet Bodi dan Anting Pir


Salah satu hal yang membuat tongkrongan mobil tidak menarik adalah saat bagian depan lebih renah daripada bagian belakang. Kesan yang didapat oleh kita adalah ‘mendongak’. Mestinya, mobil itu harus lurus, rata, depan-belakang, bukan?

Hal ini saya alami pada Colt saat saya pertama kali membeli. Didapatkan informasi bahwa bagian belakang mobil jadi lebih rendah (mengakibatkan mobil seolah mendongak) disebabakan oleh beban berat mobil yang selama ini dibawa. Akibatnya, kelengkungan per mulai berkurang.

Apa yang saya lakukan ketika itu? Saya beli penopang per (bagian belakang; anting per) kelas imitasi, kemudian membawanya ke bengkel las untuk dibuat lebih panjang. Dengan begitu, bodi kembali terangkat dan tongkrongan mobil lebih baik dipandang. Namun, ternyata, hal ini membuat suspensi sedikit berubah, sedikit keras bila lewat jalan berlubang.

Saran lain saya terima: membawa per ke bengkel agar di-stel ulang sehingga per kembali melengkung dengan maksud agar saat dipasangkan kembali nanti, bodi mobil kembali terangkat ke posisi semula. Namun, cara ini tidak saya lakukan melainkan cukup dengan mengganjal bodi dengan karet bodi yang baru. Setelah diperhatikan, ternyata benar, karet bodi yang  lama sudah tipis. Maka, saya belikan karet bodi buatan tangan (berasal dari ban bekas; buatan pabrik umumnya mahal dan sulit didapat). Harga satuannya hanya Rp.1500.


30 April 2013

Takziyah ke Haji Muzakki Jampareng



Hari ini, saya, bersama ibu, istri, serta seorang saudara sepupu, pergi takziyah (melayat) ke rumah H. Muzakki di Desa Jampareng Laok, Kecamatan Pasongsongan. Letak rumah duka sebetulnya tidak terlalu jauh. Jalan rusak menjadi penyebab lamanya waktu tempuh.
 
Hari ini Selasa. Haji Muzakki bin Sadin wafat 4 hari yang lalu. Dia adalah mitra usaha almarhum ayah saya. Sepeninggal mendiang ayah, Haji Muzakki masih sering datang ke rumah, bukan untuk urusan usaha pertanian, melainkan  sekadar bersilaturrahmi saja.  Hubungan yang dibangun bersama ayah saya tetap dipertahankannya bersama saya, meskipun kini bukan urusan bisnis lagi. Hampir setahun lamanya dia datang terakhir kali. Sementara saya hanya sekali diajak ayah ke sana, dulu.

Putri almarhum, Munifah, pernah tinggal dan bersekolah di tempat kami. Karena faktor inilah, salah satunya, membuat kami merasa perlu merawat hubungan tersebut, juga menjadi alasan takziyah hari ini. Di samping itu, kami sekaligus berziarah karena Hj. Munifah baru datang dari tanah suci Makkah, tadi malam. Dia bekerja di sana sebagai TKW bersama suaminya sejak beberapa tahun lalu, dan memang berencana pulang dalam bulan-bulan ini.

Setiba di situ, capek terasa, terutama tangan dan pergelangann karena memegang stir tanpa power steering di jalan berbatu-batu. Setelah saya ajak keluarga almarhum untuk tahlil, kopi pun disuguhkan. Basa-basa terjadi. Makanan dihidangkan. Setelah itu, seperti biasa, kami pamit pulang.

Sebelum memasukkan gigi perseneling, saya sudah mencatat odometer. Saya ingin tahu persis, seberapa jauh dan seberapa lama perjalanan kali ini. Kami pun berangkat. Saya tidak mencatat angka itu sewaktu berangkat karena walaupun jarak dan rute yang ditempuh itu sama, namun tadi kami masih sempat mampir 3 kali. Jadi, masa tempuh tidak sama.

Beberapa meter dari rumah almarhum, Colt langsung menempuh ujian berat, medan tanah berbatu dan pasti licin di musim hujan.

“Mobil ayahmu, dulu, harus diseret (diderek) sejauh beberapa puluh meter,” kata Ibu.
“Ya, maklum, Bu, itu Hiace yang tak berani jalan licin dan pantang lumpur. Colt Titos tidak takut medan berat seperti itu.”

Rupanya, jalan batu itu sepanjang 900 meter jauhnya. Kami mencapai “jalan hitam” (jalan beraspal) dan kami butuh waktu tempuh 10 menit lebih untuk ini. Saya hanya mempergunakan gigi 1 pada perseneling, tidak bisa lebih dari itu. Setelahnya, di hadapan kami adalah jalan aspal sempit dengan rerimbun semak di kanan kiri. Beberapa bagian kerakalnya berlepasan. Di bagian lain malah terbentuk “kubangan kerbau” yang sangat berbahaya bagi kendaraan dengan bumper rendah seperti sedan. Diperlukan waktu 20 menit persis untuk melewati jalan beraspal sepanjang 3,2 kilometer ini.

Dari titik pertemuan jalan kolektor itu, kami mengarah ke Ganding, kota kecamatan terdekat masyarakat setempat. Jaraknya 8,2 kilometer (dari Partelon Ganding ke rumah saya hanya 4 kilometer saja dengan jalan aspal yang mulus). Mobil berjalan ogah-ogahan.

Di tengah perjalanan, saat kami tiba di rumah Syakir, sepupu 3 kali, ada pemandangan unik. Di situ, ada cegatan “amal untuk perbaikan jalan”, bukan cegatan “amal untuk pembangunan masjid” sebagaimana lazim dijumpai. Konon, masyarakat setempat membangun jalan itu sendiri. Dana dan tenaga oleh mereka sendiri. Mereka sudah capek menunggu perbaikan jalan yang tak kunjung dimulai. Padahal, jalan kolektor yang menghubungkan Ganding dan Rubaru juga Pasongsongan itu relatif banyak dilewati kendaraan. (lebih lengkap ada di sini)

Tak jauh dari tumah Syakir, terdapat Bukit Canggur. Setelah itu, kami menghadapi tanjakan-tikungan yang populer dengan “Sa’im”. Itu merupakan tanjakan mengular dengan tikungan tajam. Dulu, sebelum jalan diaspal, sering terjadi mobil mogok, umumnya bak terbuka, tidak kuat nanjak. Beberapa kali terjadi kecelakaan yang berujung pada korban jiwa. Di malam hari, tak ada seorang pun yang lewat karena tempat itu sama sekali sepi, tak ada rumah penduduk sama sekali. Kini, banyak sudah yang mulai lewat di sana di malam hari karena jalan relatif lebih baik.


Selepas Sa’im, kini kami jumpai daerah Perigi. Di hadapan adalah jalan menurun. Pemandangan indah terbentang di depan mata. Kami sedang menuruni jalan bagian selatan perbukitan yang membujur timur-barat di tengah Pulau Madura.

Jika tadi kami berangkat dari Jampareng Laok pada pukul 11:12, kini kami tiba di rumah pada pukul 12.25. Berdasarkan catatan odometer, Colt T-120 ini telah menempuh jarak 16,3 kilometer dalam kurun waktu 73 menit tanpa henti. Waktu itu, tentu akan jauh lebih singkat andai jalan yang kami lewati sudah diperbaiki kelak.

29 April 2013

Filter Oli untuk Colt


Beberapa waktu lalu, saya pernah mengalami masalah peredaran oli dalam mesin, yakni "oli tidak segera naik". Yang dimaksud dengan "oli tidak segera naik" ini adalah bahwa oli yang telah mengendap di calter (tempat oli di bawah; tempat membuang oli tap) tidak segera tersebar dengan baik ke atas atau ke semua penjuru mesin. Artinya, kerja pompa oli tidak maksimal.

Adapun ciri-ciri oli tidak segera naik ini biasanya ditandai dengan lampu "oil" (warna merah) terus menyala. Atau, bunyi mesin sangat kasar karena tidak segera ada pelumas. Saran: jika dalam 10-15 detik mesin menyala dan lampu juga menyala, matikan mesin. Jangan dipaksa karena ini berbahaya.

Ketika mobil telah didiamkan semalam atau selama beberapa hari, saat kita menyalakan mesin kembali, oli akan kembali terdistribusi. Mestinya, saat mesin menyala, lampu kontrol itu langsung mati sebagai penunjuk bahwa pompa oli telah bekerja, yaitu menaikkan oli yang mengendap di dasar calter kembali beredar ke seluruh mesin. Jika keadaannya tidak seperti ini, pompa oli atau filter oli Colt kita sedang bermasalah.

Saya merasa aneh pada hal ini karena ketika itu saya baru saja mengganti oli sekaligus ganti filter. Karena penasaran, saya kembali ke toko onderdil dan mencari "filter oli khusus colt T-120". Ternyata, suku cadang itu memang ada. Maklum, selama ini saya menggunakan filter milik L300 yang kebetulan juga bisa dipasangkan pada Colt T-120. Filter Colt T-120 yang saya beli bermerek "Sakura". Harganya pun setengah dari harga yang dipakai selama ini, yaitu filter oli milik L300.

Betul memang, setelah saya tanya kepada sesama pengguna Colt T, banyak filter oli Colt T120 yang menggunakan filter oli milik L300 karena terbukti pas dan bisa bekerja. Umumnya, orang menggunakan filter oli milik L300. Namun, rupanya, terkadang filter L300 tidak bekerja dengan baik pada Colt T-120. Mungkin karena secara bentuk, kedua filter ini memang berbeda; filter Colt lebih panjang, dan filter oli milik L300 lebih pendek.

Nah, setelah saya ganti filter oli dengan filter oli yang khusus colt, sekarang masalah itu tidak terjadi lagi. Saat menyalakan mesin, lampu kontrol langsung mati. Dengan begitu, suku cadang yang saya pasang telah bekerja dengan baik.

03 April 2013

Membersihkan Karburator



Hari ini, selagi tidak ada kerjaan, saya membersihkan karburator Colt. Biasanya, karena alasan tidak ahli atau sibuk, saya melulu memasrahkan urusan semacam ini ke bengkel. Saya pikir, keuntungan membersihkan karburator sendiri, hal-hal yang oleh bengkel tidak dikerjakan, seperti membersihkan kotoran yang melekat pada bagian luar, bisa dilakukan sendiri. Adapun manfaat lainnya adalah belajar untuk tidak manja. Selebihnya, bagi saya, cara ini merupakan bentuk syukur karena punya sedikit pengetahuan yang tidak melulu diketahui, melainkan juga diterapkan.

Operasi membersihkan karburator, jika hanya sekadar membersihkan dan bukan mengganti suku cadang, biasanya hanya seputar pembersihan saluran bensin atau saluran udara. Caranya cukup mudah, yaitu dengan membawa karburator yang sudah dilepas dari manifold ke tukang kompresor. Kita cukup meminta mereka menyemprot saluran-saluran pada karburator agar bersih, itu saja.

Hari ini saya punya pengalaman baru. Seseorang bernama Mondir (yang kebetulan juga seorang montir), memberitahu saya bahwa ada spray (tabung semprotan) yang dirancang khusus untuk membersihkan karburator. Saya pun membelinya dengan harga Rp 22.000. Meskipun si teman ini kasih tahu saya setelah saya baru saja membawa karburator tersebut ke tukang kompresor, saya tetap mencoba menyemprot ulang dengan spray tersebut. Walhasil, cairan cokelat kehitaman pun keluar. Saya beranggapan, semprotan ini cukup ampuh. Mungkin. Cairan kehitaman itu merupakan sisa kotoran yang tidak mampu dibersihkan oleh angin melalui kompresor.

Sempat sih saya kesulitan saat hendak memasang kembali karburotor itu. Namun, saya kira, salah pasang baut; salah peletakan; salah urut, dlsb, merupakan hal yang biasa bagi mereka yang tidak berpengalaman sebagai montir. Sabar dan telaten adalah kuncinya. Namun, beruntung, saya tidak mengalaminya. Setelah semua terpasang dengan baik dan mobil bisa dinyalakan dengan stasioner, sungguh saya merasa puas dan senang.

10 Maret 2013

Tromol


Sebetulnya, dengan pemakaian normal dan benar, tromol rem mungkin tidak perlu diganti, bahkan hingga mobil mangkrak dan tidak digunakan lagi. Tromol rusak bermula dari kampas (kanvas) pada ‘sepatu rem’ yang terkikis habis. Jika kanvas tipis lalu tak tersisa, maka tromol akan rusak/tergurat oleh besi yang menjadi pelapis kanvasnya. Setelah permukaan tromol tergurat, itu artinya pengereman tidak bekerja maksimal kembali.

Ini saya alami pada tromol belakang Colt. Tidak merasa pakem pada kerja pengereman, akhirnya roda belakang dibongkar. Ditemukanlah masalah itu. Ternyata,  tromol sudah aus, mengalami guratan serius (tiga lapis). Dipakai sih mungkin bisa, tetapi karena rem dan pengeraman itu berhubungan langsung dengan keselamatan, dengan nyawa, saya tidak mau berspekulasi. Tromol harus diganti.

Mencari suku cadang Colt, apalagi yang asli, di zaman sekarang tidaklah mudah. Untunglah, setelah saya mencari suku cadang di Toko Samudera, Pamekasan, saya pun mendapat sepasang tromol untuk roda belakang. Begitu tanya penjaga, dia langsung mengernyitkan kening dan menyatakan bahwa yang tersisa di gudangnya tinggallah yang asli.

“Yang ada tinggal yang asli.”
Mang berapa harganya?”
“Mahal.”
“Ya, mahal itu berapa?
“500-an.”
“Itu sepasang?”
“Enggak, satu saja.: Dia diam sesaat lalu  menambahkan, “Kalau mau tahu harga yang pasti, tunggu saya tanya dulu harganya.”

Petugas itu lalu bertanya kepada si pemilik toko yang menjadi kasir, seorang ibu tua keturunan Tionghoa. Saya lihat, lama sekali si ibu ini membuka buku indeks harga suku cadang yang ada di mejanya itu. Berkisar hampir 5 menitan, barulah ditemukan bahwa harga tromol Colt T-120 itu, ‘dulu’, adalah 391.000 sebuah. Atas dasar ini, saya butuh uang 800 ribu lebih.
Dalam hati, saya berdoa agar si penjual ini terketuk hatinya untuk melepas barang yang bertahun-tahun tak lalu dan merupakan stok terakhir itu. Saya berdoa agar harga turun seredah-redahnaya. Ya, begitulah kira-kira doa kebanyakan para pembali. “Ya Tuhan, berikanlah petunjukan bagi penjual ini agar mereka sadar bahwa pembeli barang seperti ini sudah sangat langka. Buatlah harga itu murah adanya.”

“Kalau Anda mau, saya kasih buka dengan harga 238.000, tapi bayar sekarang. Kalau besok atau kapan, saya tidak menjamin harganya akan tetap.”
Tanpa diancam pun, saya jelas akan membeli tromol itu. Maka, tanpa sadar saya bilang, kok kado murah banget jika harga sebelumnya nyaris 400 ribu(?). Maka, tak pelak lagiu, saya berkata kepada penjaga: “Bungkuuuuus!”




01 Februari 2013

Colt untuk Arnaw


Hari ini saya pergi ke rumah Saiful, kepala desa Palalang, Pakong, Pamekasan. Kami diundang ke sana ‘hanya’ untuk makan-makan. Dengan tiga mobil rombongan kami menyerbut; saya bawa Colt, Mamak dengan Hiace-nya, dan Malthuf membawa Hijet.

Acara semacam ini kami sebut ‘arnaw’. Kegiatan seperti ini sebetulnya sudah sering berlangsung. Kata ‘arnaw’ berawal dari sebuah ‘kasus’ di facebook, tepatnya bermula dari salah seorang teman di facebook yang mengamati perkembangan teman bersama kami. Dulu, facebook memberitakan setiap kegiatan pertemanan di beranda/wall. “Si Anu dan Si Fulan are now friend”, begitu laporannya. Saking seringnya membaca tulisan “are now”, akhirnya frase ini adaptasi saja ke dalam bahasa kami, “arnaw”. Lalu, arnaw digunakan secara arbitrer/semau-maunya, selama hal itu masih bisa dipahami oleh kami secara bersama. Akhirnya, ‘arnaw’ bisa berarti berteman, sedang ada di, makan-makan, dan seterusnya.

Hari ini adalah sejenis arnaw itu. Kami dapat undangan makan besar di rumah lurah yang sangat lucu dan masih muda itu. Pak Saiful menggantikan ke-kepaladesa-an orang tuanya yang telah menjabat 3 periode berturut-turut.

Saya termasuk orang yang biasanya selalu mengkordinasi kegiatan arnaw ini. Karena itu, saya selalu harus siap dengan kendaraan (Colt) untuk mengangkut saudara/teman yang akan bergabung, tentu sambil menjaga kemungkinan jika yang lain tidak ada yang bawa mobil. Alhmadulillah.  Colt Titos Dupolo saya ini menjadi andalan kegiatan ini selama 3 tahun terakhir. Saya sangat senang karena hal ini sesuai  dengan niat awal membeli Colt, dulu, yaitu untuk kegiatan silaturrahmi, bukan untuk yang lain.

Yang membuat kegiatan arnaw menjadi istimewa adalah karena arnaw merupakan silaturrahmi murni, bukan dalam rangka yang lain, misalnya berkumpul karena kebetuloan ada takziyah, berkumpul karena ada undangan resepsi, berkumpul sebentar karena kebetulan-kebetulan yang lain, dan seterusnya. Arnaw merupakan usaha mengembalikan semangat silaturrahmi kepada prinsipnya yang asasi. Nah, agar waktu tidak terbuang percuma dengan ngobrol dan makan, saya usul agar dalam setiap acara diselipkan kegiatan ekstra, seperti tahlilan atau shalawat, atau apalah. Selebihnya adalah ngobrol santai dan makan.

Arnaw membuat saya terseret ke masa lalu, masa di mana orang-orang tidak terlalu sibuk dan masih sangat leluasa untuk pergi bersilaturrahmi. Dengan cara seperti ini, saya merasakan betapa nikmatnya pergi silaturrahmi itu, pergi  tanpa dibebani apa-apa. Akan kebih nikmat jika sambil mengingat kehidupan zaman sekarang yang serba-sibuk dan serba-tidak sempat.

Sore itu, Pak Saiful memohon pembacaan tahlil sebelum pemukulan hadrah dan baca shalawat. Setelah itu, pesta besar dimulai. Hidangan kali ini pun tidak biasanya, yaitu bebek dalam versi goreng dan kuah sebagaia menu utama, dilanjutkan dengan makan durian dan susu degan sebagai penutupnya. Acara yang dimulai pukul 14.30 ini akhirnya berakhir pukul 16.15. Kami pulang dalam keadaan kenyang dan senang, menempuh jalan beraspal sejauh 20-an kilometer. Jalan aspal yang kontur tanahnya penuh gelombang ini rasanya seperti jalan tol saja.

Dalam perjalanan pulang ke Guluk-Guluk, di belakang kemudi, saya lalu ingat pesan nenek, dulu,  ketika saya baru membeli Colt ini. “Untuk pertama kali, Colt-mu itu hendaknya dipakai buat kegiataan silaturrahmi, dibuat pergi ke acara walimah atau ziarah haji karena sekarang musim ziarah haji. Sebab, mobil itu juga punya kebiasaan, maka hendaknya diawali dengan yang baik-baik lebih dulu.” Heran, rasanya Colt saya ini memang selalu saya gunakan untuk bersilaturrahmi, arnaw, kegiatan yang senang.












26 Januari 2013

Silsilah Mobil


Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang memiliki fanatisme kuat terhadap kiai, bahkan cukup mencengangkan. Contoh, terkadang masyarakat membeli sebuah kendaraan bukan karena atas dasar entitas, melainkan juga karena alasan identitas. Sebut saja mereka membeli mobil yang pernah digunakan oleh kiai fulan sebagai prioritas, walaupun sejatinya mereka mampu untuk membeli yang baru.
Ada sebuah cerita unik.
Konon, sejak wafat salah seorang kiai kharismatik, sebut saja Kiai Muhammad, ahli warisnya hendak melepas kendaraan kesehariannya, yaitu sebuah mobil lawas Colt T-120. Lalu,  beberapa orang berebut untuk mendapatkannya. Di antara mereka adalah bahkan seseorang yang sudah mempunyai kendaraan sendiri dan lebih bagus. Ke-justru-an yang lain adalah, para calon pembeli sudi membelinya dengan harga yang lebih tinggi justru dari harga yang dibanderolkan oleh ahli waris. Keunikan yang lain adalah bahwa mobil tetap dijual dengan harga normal. Padahal, transaksi ini bukan menggunakan sistem lelang (yaitu dijual kepada penawar tertinggi). Mobil dilepas dengan jual-beli biasa.
Bukankah ada unsur yang aneh dari model transaksi di atas ini? Identitas lebih penting daripada entitas. Apa yang penting dari kisah di atas adalah bahwa 'sanad' atau silsilah kendaraan pun, jika itu berhubungan dengan kiai, akan menjadi bagian dari diskusi di wilayah keagamaan masyarakat (Madura). Mereka bangga menggantikan kendaraan atau barang bekas dari kiai. Alasannya, bagi mereka, barang itu diyakini pasti dugunakan hanya untuk yang baik-baik. Jika berupa mobil, tentu mobil tidak akan pernah dipakai untuk acara dugem; jika itu sarung, maka sarung bekas kiai itu dibuat shalat; bukan sekadar dipakai untuk kemul, selimut buat tidur dan ronda.
Tak heran, mobil pun ada riwayat dan silsilahnya. Seseorang bergairah untuk mendapatkan sebuah colt bulukan yang setelah diusut ternyata pernah dimiliki oleh (almarhum) Kiai Fawaid Asad, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo. Dengan kata lain, kendaraan itu juga menjadi kendaraan Kiai Asad Syamsul Arifin, salah satu tokoh penting terbentuknya Nahdlatul Ulama (NU). Kiai As’ad merupakan kurir Kiai Kholil Bangkalan kepada Kiai Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng, Jombang. Jelaslah, colt tersebut digunakan untuk tujuan-tujuan dakwah dan kebaikan semata.
Saya temukan silsilah ini setelah colt berada di tangan Kiai Muzakki, yang ia beli dari Kiai Munif. Berdasarkan sanad kepemilikannya, “nasab” colt terus bersambung hingga Kiai Fawaid. BPKB model lama menjadi buku periwayatan paling sahih akan hal ini.

(teks dikutip dengan sedikit perubahan dari artikel "Kiai dan Fashion: Menimbang Sebuah Representasi" oleh M. Faizi, segera terbit di Arruz Media; foto-foto oleh Hasbul, pemilik mobil) 

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...