Pembaca

19 Juli 2020

Ziarah ke Sunan Cendana dan Mertajasa

10 Juli 2020

Perjalann ziarah atau nyekar ke Sunan Cendana (Kwanyar) dan ke Syaikhona Kholil (di Mertajasa), keduanya di Bangkalan (bersama sekeluarga lengkap + ibu) kali ini akhirnya terlaksana setelah begitu lama saya menginginkannya terjadi. Hari itu bahkan dapat dua bonus lagi: bertemu dengan Erwien—yang sebelumnya hanya kenal di Facebook, juga nyambangi adik saya yang tinggal Perumahan Nilam, kota Bangkalan.

Kami berangkat pukul  07:25, lebih cepat 35 menit dari yang dijadwalkan. Persinggahan pertama adalah SPBU Larangan, sementara istri beli oleh-oleh, saya beli bahan bakar. Beginilah cara mengurangi terpangkasnya waktu (di luar durasi waktu perjalanan yang biasanya berkisar 3 jam) mengingat hari itu adalah hari Jumat dan saya memperkirakan shalat Jumat di Kwanyar.

Namun, sampai di Larangan Tokol, kira-kira 5 km lepas kota Pamekasan, masalah muncul. Untungnya, hal itu diketahui persis di depan Masjid At-Taqwa, saat kami berhenti, tepat di samping bengkel Pak Haji Fathor. Maka, beliau ngasih klem bekas tapi masih bisa dipakai—dan menurutnya lebih bagus dari klem yang saya pakai.

Selang radiator yang ujungnya ke pompa air (water pump; "terpom" kata sebagian orang Madura) nyaris lepas. Akibatnya, air buat pendinginan banyak yang terbuang. Hampir 20 menit kami nunggu agak dingin dulu agar bisa mengencangkan kelam. Untungnya, kami parkir dekat rumah Haji Fathor dan dari beliau saya mendapatkan kelam yang lebih bagus, bahkan beliau juga yang bantu memasangkannya.

“Kalau ujung kelam berjalan tidak simetris pada saat dikencangkan, itu tandanya kelam sudah tidak bisa dipakai,” kata beliau ngasih sandi sambil memutar baut kelam.

Pukul 9 lewat sedikit, akhirnya urusan beres dan kami jalan lagi. Sengaja laju mobil agak dibuat lebih kencang oleh saya supaya nutut Jumatan di Kwanyar karena waktu tadi sudah terbuang 15-20 menitan. Tapi, kalau lagi apes, ya, tidak kemana-mana juga, kayak jodoh begitu.

Di Gunung Gigir, tepat di pertigaan akses ke Modung, selang radiator lepas lagi.
di Congaban, Lombang Daja, pertigaan jalan di Alas Gigir, jalan akses ke Modung.
Mesin tiba-tiba mati. Refleks saya mundurkan mobil dengan pelan karena biasanya cengkeraman rem tidak sekuat saat berjalan maju. Untungnya, mobil yang menggunakan rem tromol—seperti Colt ini—tetap bisa ngerem meskipun mesin mati, beda dengan mobil yang pakai cakram dan senil.

Di sebuah kedai, mirip dangau, penumpang istirahat. Gunung Gigir ini dulunya angker. Tak ada rumah sama sekali, sekarang sudah ramai. Dan seperti biasa, saya harus nunggu 15 menitan untuk mendinginkan mesin supaya tidak panas saat nanti kelamnya akan dipasang dan dikencangkan. Sambil menunggu dingin, saya melihat: ibu, istri, dan anak-anak tampak lelah. Mereka duduk di dangau itu. Kasihan, tetapi tentu mereka juga iba melihat keringat saya memercik. Sambil nunggu mesin dingin, rasa cemas menyelinap: sepertinya saya tidak akan nutut shalat Jumat.

Setelah agak dingin, baru saya tahu bahwa permukaan corong pompa air tersebut masih ada sisa lem karet. “Mungkin ini yang menyebabkan selang radiator tidak bisa kuat mencengkeram,” kata saya ngomong sendiri. Maka, saya gosok dengan amplas lalu dipasangi lem yang memang saya bawa. Aman. Radiator diisi air dengan air minum galon yang secara kebetulan juga selalu saya bawa.

Begitulah, akhirnya, kami bergerak lagi dan mobil mencapai pasar Kwanyar pada pukul 11.40, tetap dengan dikumandangkannya azan zuhur tanda pelaksanaan shalat Jumat akan segera dimulai. Kami langsung menuju makbarah, tahlilan di sana, sambil lalu menunggu khatib naik ke mimbar dan memulai khatbah jumatnya.

Pukul 13.00, kami bergerak ke Perumahan Nilam, depan plaza Bangkalan, nyambangi adik saya. Saya tidur sebentar di situ dan berangkat lagi habis shalat asar ke Mertajasa, nyekar ke makbarah Syaikhana Muhammad Khalil bin Abdul Lathif.

Sepulang dari makbarah, setiba kembali di Nilam, saya disambangi oleh Mas Erwien, sesama penggemar Colt yang selama ini hanya saling sapa di grup Colt Facebook.

foto milik Erwien
Kamu pulang jam 21.30 ke arah timur. Alhamdulillah, kami tiba di rumah lewat tengah malam.














05 Juli 2020

Nostalgia ke Bengkel Ayah


Masih kuat saya ingat, waktu kecil dulu, ketika ayah saya punya Colt T120 pikap, sesekali beliau pergi ke bengkel ini,  Pak Mawi. Perisitwa tersebut mungkin terjadi sekitar tahun 1991-1993. Setelah itu, karena ayah saya tak punya Colt lagi, beliau jarang datang ke Pak Mawi, tapi bukan sama sekali.

Ketika saya punya Colt di akhir tahun 2008, terpikir oleh saya untuk nyambung hubungan lagi. Kata hadis yang saya baca, termasuk membuat kebaikan terhadap orangtua adalah dengan tetap menjalin hubungan baik terhadap relasi yang telah dibangun oleh ayah kita. Dan cara ini, bagi saya, adalah salah satunya.

Namun, kesibukan demi kesibukan membuat saya tidak kunjung bisa menyambangi beliau, bahkan sempat ragu, apakah Pak Mawi ini masih ada atau sudah wafat. Sering saya melintas di depannya, karena posisi rumah beliau yang dekat jalan raya Guluk-Guluk – Pakong. Kalau saya bepergian ke daerah Pamekasan melewat jalur tengah, maka sudah pasti saya lewat di tempat ini, Baban, sebelah barat Cenlecen. Desa Cenlecen ini adalah desa paling barat di kecamatan Guluk-Guluk (sedangkan saya berada di ujung timur kecamatan Guluk-Guluk).

Nah, baru pada hari ini, Ahad, 5 Juli 2020, saya berhasil pergi dan berkunjung kepadanya. Saya tiba pukul 8 pagi, sekitar 30 menit perjalanan dari rumah dalam kecepatan santai sekali. Dekat, kan? Dekat sekali, tapi kalau sudah tidak ditakdirkan sampai, lebih-lebih juga dibumbui malas dan enggan nyambung persahabatan, yang dekat pun jadi jauh.

Di serambi rumah beliau ada sepasang orang duduk-duduk, begitu pula ada dua orang lelaki sepuh di bengkel, seberang rumahnya. Saya pun bertanya pada salah satu dari dua orang sepuh yang ada di sana.

“Pak, benar di sini bengkel Pak Mawi?”
“Benar”
“Panjenengan?”
“Bukan, yang itu!” kata si bapak satu menunjuk bapak sepuh satunya.

Saya mendekati beliau yang sedang memperbaiki mobil lain, mungkin hanya tinggal sentuhan ringan, hampir selesai. Saya berkata pelan, di dekatnya.

“Pak Mawi enggi?”
“Enggi. Panjenengan?”
“Saya dari Luk-Guluk. Dulu saya beberapa kali datang ke sini, ikut ayah saya, Abdul Adhim namanya. Beliau dulu punya Colt pikap.”
“O, iya. Ada keperluan apa?”
“Mau nyetel mobil.”
“Kenapa mobil Anda?”
“Endak apa-apa.”

Pak Mawi tersenyum karena saya tersenyum.

“Lah, kenapa mau disetel kalau tidak apa-apa?”
“Saya cuman pengen agar mesin Colt saya merasakan disentuh oleh Panjenengan, sebagaimana dulu Panjenengan pernah nyetel mobil ayah saya.”

Pak Mawi tersenyum, sedikit tertawa. Beliau mungkin merasa aneh dengan perkataan saya. Akan tetapi, sungguh, saya sama sekali tak merasa ada yang janggal, apalagi aneh, dengan pernyataan tadi. Setidaknya, kedatangan saya ke bengkel ini tetap punya nilai tulus seperti yang saya pelajari, yaitu menjalin hubungan baik dengan orang yang pernah menjalin hubungan dengan orangtua kita.

Dan pekerjaan pun dimulai….

Satu jam kemudian, pekerjaan selesai.
“Berapa, Pak?”
Dia menyebut harga. Saya bayar dua kali lipatnya.
“Loh?”
“Anggap saja kelebihan ini dari ayah saya!”

Terima kasih, katanya.

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...