Pembaca

27 Oktober 2016

Barang Lawas dan Sampah Anorganik Mobil




Ini adalah foto karpet karet lantai depan Colt T120 milik saya. Tampak ada jahitan di situ. Sedih, ya, seperti ia sedang menampakkan kemiskinan. Ada satu hal yang perlu saya ceritakan hingga ia tetap seperti itu meskipun karpet seperti itu masih ada di toko, dan harganya pun sangat terjangkau

Begini...

Saya sering mendengar cerita tenaga kerja kita yang ada di Saudi menyatakan hal-hal yang tampak menakjubkan. Contohnya seperti ini: “di sana itu air masih lebih berharga daripada bensin”, atau; “kalau sudah rusak, ya, buang saja, beli yang baru meskipun yang lama masih bisa diperbaiki”, dan juga yang lebih dramatis; “kalau ban mobil juragan saya kempes namun sudah dekat dengan toko ban, maka saya diminta tetap menjalankan mobil sampai ke toko ban tersebut lalu membeli ban yang baru, padahal ban serep juga ada!”

Dulu, saya sangat takjub dan terkesima pada pernyataan semacam itu. Pernyatan semacam itu menunjukkan beberapa hal, salah satunya adalah bahwa nilai tukar rupiah akan mencret di hadapan riyal. Bisa jadi, ungkapan tersebut juga menyampaikan pesan kaya orang Saudi itu dan mereka sangat tak suka berpikir panjang untuk membeli barang baru. Saya yakin, masih ada anggapan lain yang akan muncul manakala ungkapan-ungkapan di atas disampaikan kepada orang lain.

Sekarang, pikiran saya tidak lugu lagi. Saya punya prinsip bahwa barang yang rusak itu tidak harus segera dibuang selagi ia masih bisa dipakai. Tujuannya apa? Menunda barang menjadi sampah. Ya, sampah, itu dia masalah kita, masalah umat manusia. Sampah makanan (atau remah-remah sisa makanan yang tidak dihabiskan di meja makan) apabila dikumpulkan dari semua negara yang ada di dunia ini, konon, akan menjadi limbah terbesar di dunia, berada di nomor urut ketiga setelah Tiongkok dan Amerika. Catatan ini berdasar pada data statistik Elizabeth Royte yang menulis sebuah esai tentang makanan dalam National Geographic (Maret, 2016). Bayangkan, itu baru soal remah makanan, bagaimana pula dengan sampah yang lebih besar lagi? Seperti sampah-sampah anorganik yang rua dan pejal, semacam komputer, layar tabung, bumper, ban bekas, dlsb?

Apabila kita menyadari dan punya kesadaran yang baik akan betapa besar peran manusia dalam merusak bumi dalam waktu yang sangat singkat, saatnya kita mulai dapat “menyumbang” amal kebajikan. Apabila dulu kita mengenal pesan “buanglah sampah pada tempatnya!”, derajat di atas itu adalah “tundalah barangmu agar tidak segera menjadi sampah!”. Hanya dengan mengubah paradigma berpikir, kita telah berbuat sesuatu kepada alam, kepada lingkungan.

Jadi, pesan saya, sayangi barang-barangmu. Bukan alasan engkau kaya lantas engkau bebas membeli barang baru untuk menggantikan barang lawasmu yang sebetulnya masih bisa dipakai. Bukan, bukan begitu caranya. Engkau punya duit, baiklah; engkau punya kuasa, syukurlah, tapi kepada Bumi engkau tak boleh semena-mena sebab Bumi dan seisinya ini bukan milikmu. Ia hanyalah titipan yang mesti kaurawat dan kepada anak cuculah ia akan kita wariskan.


06 Oktober 2016

Dipinjam Paman Pergi ke Malang


Saya tidak pernah pergi ke Malang dengan membawa Colt, tapi Colt saya sudah 2 atau 3 kali ke sana. Yang saya catat adalah tahun 2012 dan berikutnya pertengahan September lalu. Satu lagi saya lupa atau memang tidak ada.

Karena saya tidak ikut dalam perjalanan ini, maka data perjalanan saya dapat hanya dari Affan, putra dari paman saya, Man Farhan, yang kebetulan mengemudi pergi dan pulangnya. Menurutnya, perjalanan dilakukan di malam hari. Berangkat hari Selasa malam, 13 September 2016, dan pulang esok sorenya dari Malang. Salah satu alasan pergi di malam hari adalah agar suhu kabin yang tidak berpendingin ini tidak terlalu panas, juga tidak begitu macet di perjalanan. Maklum, ketika itu masih suasana Lebaran Haji.

Colt berangkat kira-kira pukul 22.30, ngejos terus. Mereka  baru istirahat sebelum masuk Kota Malang, sekitar pukul 03.00.  Sambil menunggu shalat Subuh, mereka istirahat. Perjalanan dilanjutkan pukul 05.00 dan baru sampai tujuan menjelang 08.00 wib. Heran juga, sesama Malang tapi ternyata memakan waktu yang lama).  Rupanya, lokasi masih jauh dari kota. Karena tempatnya pelosok, rombongan dari Madura ini dijemput pemandu di pasar Wonokerto. Adapun tujuan mereka adalah menjenguk putra pamanda Farhan, Fawwaz, yang ditugaskan PP Sidogiri untuk mengabdi di Madrasah Diniyah Salafiyah “Miftahul Jannah”, yang berlokasi di Gumukmas, Karangsari, Bantur, sebuah kecamatan di selatan kota Malang.

Menurut Affan, ketika berangkat, bensin diisi penuh (Rp. 230.000; sebab di tangki masih ada sisa). Saya terlambat memberi tahu bahwa Colt saya ini tidak dapat diisi penuh sebab tutup bensinnya kurang rapat. Tidak tumpah, sih, tapi kadang merembes kalau berbelok cepat di tikungan tajam. Mereka baru isi lagi Rp.100.000 (bensin Rp 6550 per liter) di Malang dan terus dibawa pulang tanpa isi lagi.

Data tambahan:
Kecepatan rata-rata adalah 70 km / jam
Jarak sekali pergi 267 kilometer (data pulang tidak terlacak)

Meskipun saya tidak ikut dalam rombongan ini, yang paling menyenangkan saya bukannya karena Colt tidak mogok selama perjalanan kali ini (beda dengan perjalanan sebelumnya sewaktu perjalanan ke Sidogiri), bukan pula karena saya mengagumi ketangguhan Colt yang sudah 36 tahun menapak jalan dan hampir setengah juta kilometer dilalui, melainkan karena masih ada orang yang mau meminjamnya (Paman Farhan sudah beberapa kali menggunakan Colt saya ini untuk perjalaan 500—1000 kilometer PP, seperti ke Jember, Pasuruan, Malang, dll.). Tentu, hal ini menjadi istimewa bagi saya karena di zaman sekarang, di saat mobil-mobil baru begitu banyak, yang dengan mudah disewa atau dipinjam, masih ada orang yang tertarik untuk menggunakan Colt T120 ini dalam perjalanan.










24 September 2016

Colt T120: Bukan Mobil Antik


 
Kalau mau diakui, Colt itu belumlah cukup disebut antik hingga tahun 2016 ini. Alasannya banyak. Antara lain adalah karena Colt rata-rata masih berusia 35-45 tahun. Kedua, spesies Colt masih banyak di jalanan dan bekerja laiknya mobil pekerja. Colt juga mobil yang diproduksi dan laku secara massal, massif, ya, semacam Avanza-Xenia lah untuk zaman kini (saya bahkan tidak dapat membayangkan masa keantikan Avanza-Xenia itu di masa yang akan datang).

Kita baru rela menyebutnya antik apabila melihat Colt dalam keadaan yang sangat mulus, misalnya karena ia baru berjalan 100-150 kilometer. Angka ini tentu saja terlampau besar jika dibandingkan dengan mobil antik lain yang angka odometernya masih puluhan ribu. Akan tetapi, kita harus mengingat bahwa Colt itu mobil pekerja, mobil umat, rata-rata bukan sebagai kendaraan pribadi di zamannya. Makanya, kita bolehlah menyebut antik apabila mempertimbangkan alasan ini. Ada pula yang disebut antik karena ia tangan pertama, cat masih asli dari diler, dan alasan yang lain.

Akan tetapi, definisi seperti ini tentulah lentur dan dapat dipatahkan begitu saja apabila ada alasan lain yang dapat menggugurkannya. Pada kenyataannya, saat ini, meskipun Colt itu banyak di jalan, tidak semua Colt yang sehat dan normal, apalagi masih mulus. Tidak banyak yang demikian itu kecuali ia memang milik seseorang yang disayang dan hanya digunakan secara berkala. Taruhlah orang yang punya Colt namun juga menyimpan Mercy atau Inova di garasinya.

Hari ini, saya bahagia karena baru mendapatkan buku manual, buku panduan Colt. Kondisinya masih sangat bagus, bersih. Saya mendapatkannya dari seorang teman di Jogjakarta. Namanya Ucuk (dikenal juga dengan nama Haryo, seorang fotografer profesional). Nah, terkait buku ini, maka saya rela menyebutnya sebagai “barang antik” karena ia merupakan buku yang notabene sudah tidak dimiliki lagi bahkan oleh pemilik Colt yang beli dari baru, juga karena kondisi buku yang masih sangat mulus. Sebab itu, maka saya foto buku tersebut bersama Colt saya yang dempulnya sudah bertatalan. Keantikan saya sandingkan dengan pohon pepaya yang ditumbuh di depan rumah muncul dari balik cor semen, bukan di atas tanah. Maka, sempurnalah sudah kebahagiaan ini.


04 Agustus 2016

Ketika Mesin Panas Mendadak


Saat asyik-asyiknya menikung di ruas jalan menuju Prenduan, saya dikejutkan oleh penampakan jarum termometer yang berada hampir garis atas. Untung saya perhatikan secara tak sengaja. Segera saya berhenti. Seorang lelaki langsung menghampiri, “Bhada napa?” tanyanya dalam Bahasa Madura yang artinya ‘ada apa’. Dalam urusan grapyak, saya kira orang Madura sangat grapyak, terutama mereka ysng tinggal di desa. Lelaki itu tampaknya menyiapkan diri untuk memberikan pertolongan.
“O, ndak, cuma kurang air radiator saja.”
“ooo…”
Dia pun berlalu.

Maka, saya segera isi tabung infus air radiator karena terakhir yang saya cek memang tinggal sedikit.
"Wah, kok beruap dan panas begini?" kata saya dalam hati. Maka, saya pun mengisinya dengan air minum yang saya bawa dari rumah, yang peruntukannya adalah untuk kerongkongan, bukan untuk radiator. Ya, apa boleh buat.

Beruntung, daerah berikut yang akan saya hadapi adalah Bangkoare, sebuah ziz-zag model "SS" dengan kontur jalan menurun. Sekali saya jalankan mesin, oper dua, langsung saya netralkan. Tentu, saya harus pelan-pelan karena saya membawa penumpang 5 orang. Mesin dalam kondisi idle dan mobil meluncur begitu saja, tapi temperatur tetap tidak bergerak, bahkan lama-lama sedikit meninggi.

"Sudah dikasih air tetap saja panas, pasti masalahnya ada pada radiator," kata saya pada istri memberikan jaminam bahwa mobil tidak akan mogok dan perjalanan harus digagalkan. Soalnya, pengalaman ini sama persis dengan yang saya alami tempo hari. Tidak mungkin temperatur mesin itu panas mendadak kecuali jika; kekurangan air atau ada gangguan pada sirkulasi kipas.

Di halaman sebuah rumah, saya parkirkan mobil. Minta izin, lalu berjongkok dan melihat: ada sebuah plastik kresek nempel di depan sarang tawon radiator. Oh, ini rupanya penyakitnya. Pantesan angin dari arah depan jadi tersendat sehingga pendidingan air radiator hanya mengandalkan putaran kipas. Setelah membuang plastik kresek itu, mobil pun saya jalankan kembali dan tidak ada masalah apa-apa lagi. 

29 Juli 2016

Undangan ke Bangkalan


Andai saya Huibert—yang dulu terkenal di media sosial gara-gara mobil Ichiro-nya dilengkapi bumper gede untuk menabrak pelanggar aturan di jalan dan kamera depan belakang untuk merekam aktivitasnya selama ia pergi dari rumah ke kantor—akan saya lengkapi Colt saya ini dengan perlengkapan kamera yang memadai. Memang, Colt saya sudah dilengkapi dengan TOA sejak lama yang berguna sebagai klakson yang menurut saya lebih manusiawi daripada klakson elektrik bawaan pabrik. Lalu, kamera, untuk apa? Baik, ikuti saja…

Ahad lalu, 24 Juli 2016, berkisar pukul 08.40, saat saya berangkat ke Bangkalan naik Colt. Ketika sampai di daerah Pakamban, saya mengekor patas tua AKAS yang baru saja berjalan lagi setelah entah menaikkan atau menurunkan penumpang di kantor MWC NU Pragaan. Menghadapi jalan menanjak, asapnya bergulung dan sebagiannya masuk ke dalam kabin Colt yang saya kemudikan. Pasalnya adalah kaca depan-samping, kanan dan kiri, pada mobil kami terbuka semua. Yeah, serasa kami mandi sauna, berlumur oksidan dan emisi gas buang.

Dari arah depan, tampak truk Hino bermuatan berat. Itu ketahuan dari cara jalannya yang ngesot sangat. Truk ini bermuka hijau seperti HULK, buto ijo-nya wong Londo.
Meskipun begitu, saya merasa tampang si Hino ini tidaklah seram, tidaklah seperti tampang Volvo atau M.A.N.

Sebentar lagi, kami akan berpapasan. Dan pada saat iulah terjadi aksi dramatis…

Sebuah motor matic menyalip kami secara rentengan: bis dan Colt. Ketika mungkin tinggal sepelompatan saja untuk terjadi adu kambing, pengendara motor mendadak serong kiri, menggunting jalan. Saya taksir, jarak sepeda motor dengan moncong bis cuma semeter, kalaupun lebih pastilah hanya ukuran senti. Terdengar bunyi klakson panjang: morse jalanan simbol amarah atau memaki-maki.

Sekarang, ketika tiba di trek datar, bis dan Colt mendahuluinya kembali karena si pemotor memang masih seperti tadi, berjalan pelan dan santai sekali. Ya, ia memang berjalan pelan sejak tadi dan menyalip kami hanya karena ia melaju sedikit lebih cepat daripada kami yang melaju lebih pelan karena adanya tanjakan. Rasanya saya tidak percaya pada mata sendiri begitu menyaksikan pengendara sepeda motor itu ternyata masih bergaya macam tadi: tangan kanan pegang kemudi, tangan kiri nempel di telinga kiri, telepon-teleponan.

Dia, lelaki yang membonceng seorang ibu-ibu yang juga menggendong adik bayi itu, memiliki air muka yang luar biasa datar, tampak tak ada urusan dengan apa yang baru saja dilakukannya. Bagaimana mungkin ada orang berani menyalip mobil dan bis sekali tarikan padahal dalam keadaan berhadapan satu lawan satu dengan truk dan itupun sambil telepon-teleponan? Sebuah aksi yang bahkan Jorian Ponomareff pun tidak akan berani melakukannya di jalan raya.

Saya menyesal tidak sempat mengabadikan momen ini. Saya menyesal karena tidak punya kamera tempel yang siap menjepret. Kalaupun saya ambil kamera, pemandangan drama jalan raya ini pastilah sudah terlewat karena ia hanya terjadi beberapa detik saja. Mungkin, situasi seperti inilah yang dimaksudkan oleh George Steinmetz, bahwa tugas jurufoto itu adalah menjalankan tugas memotret objek/perisitwa yang dapat membuka mata orang-orang agar melihat hal-hal menakjubkan yang tidak mereka ketahui pernah ada di dunia.

Hingga mencapai Sentol, saya bertanya-tanya, mengapa orang semacam itu eksis di muka bumi. Sungguh, saya hanya mereka-reka: barangkali, nyawa yang dibawa oleh si pengendara motor tadi itu hanyalah ‘nyawa KW’ sedangkan yang ditinggal di rumahnya adalah ‘nyawa yang ORI’.

Satu adegan maut nyaris terjadi.

Saya mencapai kota Pamekasan pada pukul 9 pagi lewat entah berapa menit. Setelah parkir, istri membeli kebutuhan keluarga, kebutuhan dapur. Mumpung lewat kota, sekalian belanja, begitulah rumusnya. Kami berangkat lagi menuju Bangkalan tak lama setelah itu. Jalanan tidak terlalu ramai, tidak seperti yang dialami keluarga kami yang lain yang berangkat sesudahnya, yang berangkat setelah Duhur, sebagaimana mereka ceritakan, sehingga sebagian mereka pada akhirnya datang terlambat ke acara.

Untuk tujuan Bangkalan, biasanya kami memang berangkat 3 atau 4 jam sebelum acara karena begitulah taksiran jarak tempuhnya. Jika ada sisa waktu, biasanya digunakan untuk mampir di famili (seperti di Burneh, Ketengan, dan sekitarnya) atau mampir shalat dan istirahat. Saya pun begitu, berangkat kurang beberapa menit dari pukul 9 pagi dari rumah karena punya rencana sowan dulu ke Sunan Cendana di Kwanyar.

Setiap kali melakukan perjalanan, dapat dipastikan saya selalu stres memikirkan dan melihat aksi-aksi nekat di jalan raya. Mengapa orang begitu tenang dan tak merasa bersalah dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran, ya? Di Blega, saya kembali melihat objek foto yang sangat menarik: sebuah mobil parkir serong dan memakan seperempat jalan. Sepintas, ia tampak seperti mobil yang sedang mogok, padahal tidak. Ia parkir biasa. Lagi-lagi saya menyesal karena saya kehilangan momen menakjubkan untuk yang kedua kalinya.

Tadi, kami juga sempat papasan dengan rombongan motor Ninja. Saya selalu takut kalau bertemu arak-arakan, konvoi, baik rombongan motor kecil atau motor gede, jamaah haji, rombongan menteri, apalagi ada voorijder alias patwal yang biasanya suka makan jalan. Menghadapi mereka ini, sudah pasti saya bersiah, mengalah. Tadi malah ada salah satu anggotanya yang mengangkat kaki kanan, seperti sedang menendang. Saya ngerti, itu artinya meminta kendaraan dari arah yang berlawanan supaya menepi.

Pukul 11.45, saya mencapai SPBU 54691.01 Blega. Ini termasuk SPBU lama. Setelah isi 100 ribu, kami berangkat lagi ke arah barat. Sempat terjadi ketersendatan arus lalu lintas, tapi tidak macet, sehingga kami baru mencapai Tanah Merah pada pukul 12.23. Saya sein kiri, ke selatan, menuju Kwanyar.

Setelah izin parkir sama kawan saya yang penduduk Kwanyar, H. Syaiful Bahri, saya mengajak seluruh anggota penumpang ke makam, mengaji di sana. Singkat saja, bertemu dan berbasa-basi dengan jurukuncinya, H. Abdul Hadi, kami keluar, menjumpai Haji Syaiful dan merasakan betapa servis ziarah makam Sunan Cendana ini benar-benar layanan kelas “bintang lima”.

Bagaimana tidak? Habis dari makam, H. Syaiful menjamu saya makan, tapi tumben kali ini di warung, biasanya di rumah sendiri.
“Kok saya diajak ke warung?”
“Lah, tadi Sampeyan bilang jangan repot-repot. Makanya saya ajak ke warung, kalau di warung itu tidak repot, tinggal makan.”

Kami ketawa bersama.

Terus terang, saya ewuh-pekewuh kalau berziarah ke Sunan Cendana sebab pasti ketemu H. Syaiful dan pasti pula disuguhi makan besar. Setelah makan sate, kami pun mampir ke rumahnya untuk numpang mandi dan shalat. Masih pula disuguhi camilan dan kopi di sana, akhirnya kami meninggalkan Kwanyar pada pukul 14.30. seperti biasa, H. Syaiful ngasih kami oleh-oleh khas Kwanyar: krupuk yang digoreng pakai pasir, tanpa minyak.

Dalam perjalanan menuju kota Bangkalan, tepatnya ke area perumahan Nilam yang terletak persis di depan Bangkalan Plaza, untuk menghadiri undangan adik saya yang pindah rumah dari Sebaneh ke Mlajah, saya mengarahkan Colt lewat Tambin dan Tragah. Ujung jalan ini adalah Nyiorondung, jalan pertama (ke arah tenggara) dari arah Suramadu kalau Anda datang dari barat. Adapun tadi, saya masuk Kwanyar lewat Tanah Merah, ngiri sebelum pasar, lewat Somor Koneng.

Jalanan di wilayah Tragah ini sangat sepi. Saya tidak menyarakankan Anda melintasinya di kala petang apalagi malam. Jarang sekali ada rumah penduduk di sejauh 12 kilometer tersebut. Di lintasan ini, jalan yang sangat sepi, justru saya bertemu macet karena iring-iringan temanten. Jadinya, perjalanan molor lumayan lama karena percepatan mobil hanya bergerak antara 2 dan 3, berjalan seperti siput.

Sebetulnya, saya sudah matur kepada ibu, mengapa acara pindah rumah ini mengundang orang terlalu jauh, hingga Guluk-Guluk.
“Apa tidak terlalu jauh, Bu?” tanya saya. “Saya pikir, undangan ke Bangkalan yang harus ditempuh 3 jam dan melakoni jarak 250-an pergi-pulang itu terlalu jauh untuk keluarga jauh, beda dengan keluarga sendiri.”
“Itu sebenarnya tergantung adikmu, tapi yang membuatku tetap membiarkan adikmu bikin undangan begitu karena memang ada beberapa saudara yang pesan jauh hari supaya diundang kalau bikin acara selamatan pindah rumah,” balas Ibu. “kata mereka supaya sekalian tahu tempat, sekalian silaturrahmi, sekalian pula datang sebagai udangan,” imbuhnya.
“Oh, entahlah jika begitu.”

Tidak disangka, sepupu, sepupu dua kali, paman, sepupu Ibu, dan banyak saudara lain dari Sumenep yang berdatangan, entah berapa rombongan mobil. Wah, mereka heroik sekali, ya. Kata saya dalam hati. Memang, kami terbiasa pergi jauh untuk menghadiri undangan temanten, tapi untuk undangan pindah rumah, entahlah, mungkin baru kali ini.

Kami tiba di lokasi ketika undangan baru 2-3 orang saja yang datang. Benar, acara molor dan baru dimulai hingga lewat pukul 16.00. Acara dimulai tidak lama setelah tuan rumah, Humron Maula sekeluarga, datang, diiringi kerabat-kerabatnya. Rupanya, sesuai tradisi setempat, ia berangkat dari rumah asal menuju rumah barunya.

Sekitar pukul 17.00, acara selesai dan orang-orang pulang, termasuk keluarga dari Sumenep. Sebetulnya, saya masih hendak bertahan sampai malam, tapi karena ada tuntutan pulang mendadak, saya pun ikutan pulang bersama yang lain. Hanya ibu dan saudara saya yang lain yang masih tetap bertahan di sana. Namun begitu, sebetulnya, kami tidak benar-benar pulang, melainkan hanya meninggalkan tempat undangan dan hampir semuanya ‘ngetem’ dulu di Bangkalan Plaza. Ada yang pergi belanja sementara anak-anak pergi bermain di tempat mainannya.

Saya baru pulang menjelang Isya. Jalan ke arah timur ternyata padat merayap. Apakah ini efek malam Senin? Boleh jadi. Yang pasti, saya baru bisa memacu kendaraan hingga berjalan normal di kisaran kecepatan 70-80 km/jam itu setelah melewati kota kecamatan Galis. Tak terasa, tiba-tiba kami sudah mencapai Sampang. Suasana yang tidak panas barangkali juga membantu perjalanan lebih tenang dan tidak gelisah seperti ketika berangkat.

Melewati Kota Sampang, kami berjumpa dengan Dafir yang bawa Kijang, sedang parkir shalat di Masjid Du’lanteng, Tanglok. Lanjut, kami baru berhenti di sebuah toko di Camplong untuk membeli kebutuhan rumah tangga yang tadi tidak sempat terbeli. Di Tanjung, saya kembali bertemu dengan ‘mobil timur’. Kali ini dengan Orlando yang dikemudikan Saung. Meskipun larinya ngibrit, saya berusaha mengejar semampunya hingga buzzer di balik spidometer menjerit-jerit tak keruan. Jelaslah saya jauh tertinggal. Jarak bisa dekat jika Saung terhalang oleh kendaran lain di depannya. Dan kami baru berpisah di SBPU Ambat: saya sein kiri, dia lanjut saja. Di SPBU itu, saya nambah premium lagi hingga jarum bensin kembali ke posisi setengah tangki.

Dari sana, perhentian berikutnya adalah Masjid Tentenan. Kami shalat Maghrib-Isya di sana. Ketemu lagi dengan Om Zamiel namun ia berangkat duluan ketika saya masih hendak menunaikan shalat. Eh, setelah selesai, baru saja keluar dari parkiran masjid, ketemu lagi saya dengan Carry-nya Lek Khalid. Maka, barenglah kami di jalan hingga sampai di Guluk-Guluk 22.40. Sungguh, perjalanan pergi dan terlebih pulang kali ini sangat amat menyenangkan.



22 Juli 2016

Undangan ke Poreh


“Pukul berapa?” tanya saya kepada Pak Syafi' yang datang ke rumah untuk mengundang kami menghadiri acaranya, selamatan untuk putrinya yang telah diakad nikah 3 bulan lalu.
“Pukul 8.”
“Baik, insya Allah saya berangkat pukul 7. Hari Selasa kebetulan saya memang tidak punya jadwal mengajar. Syukurlah.”

Pada datum yang ditentukan, 19 juli 2016, saya mancal Colt pukul 7:05 dari halaman rumah. Sayangnya, perjalanan harus mundur lagi ke angka 7:20 karena bibi saya malah menambah kemoloran. Saya cemas karena saya tahu, meskipun jarak rumah saya ke lokasi itu relatif dekat, masyarakat Poreh, tempat Pak Syafi’ tinggal, dikenal sangat disiplin dalam menghargai waktu. Biasanya, mereka tepat waktu, terutama untuk acara pernikahan.

Supaya tuan rumah tidak kecewa dan malu andaikan acara harus molor karena hanya menunggu satu-dua orang undangan, ya, kami ini, dengan terpaksa, saya melajukan Colt yang biasanya cuma berjalan di kisaran kecepatan 50-60 menjadi 60-70 km/jam. Jarak tempuh, sih, 25-an km, tapi karena situasi pagi biasanya lalu lintas hiruk-pikuk, saya ambil rentang waktu aman.

Dimaklumi, warga desa Poreh, sebuah desa di Kec. Lenteng, terkenal sangat disiplin. Memang, sih, saya mengenal orang atau keluarga tertentu yang sangat disiplin dan tepat waktu, seperti “kiai-kiai pondok Karay” dan sosok Kiai Zubaidi Banasare. Kiai Zubaidi bahkan sampai terkenal sebagai acuan waktu tertentu, semacam istilah “undangan pukul 8-nya K. Zubaidi” yang artinya beliau itu biasanya datang 30 menit sebelum acara. Akan tetapi, di Poreh atau Cangkreng dan yang selokasi dengannya, disiplin waktu bukan milik orang per orang atau kelompok per kelompok, melainkan sudah menjadi watak bersama masyarakat desa. Saya yakin, kedisiplinan ini jelas dibangun dalam waktu yang sangat lama dan manfaatnya terasa sekarang, sama seperti kita lihat kedisiplinan orang-orang di negara maju.

Disambut oleh gelegar tata suara yang membuat tak mungkin adanya pembicaraan meskipun hanya berjarak 2 meter dengan lawan bicara, saya tiba di lokasi pada pukul 7:50. Berjabat tangan dengan para penerima tahu dan tuan rumah butuh waktu 5 menitan. Tak lama setelah itu, datang seseorang yang mengantarkan pelantang dan kitab barzanji ke hadapan Kiai Bushiri Alimufi. Dua menit kemudian, tata suara dimatikan. Dahsyat, ternyata jam menunjukkan pukul 8 lewat 2 menit (mungkin di jam tangan yang lain memang tertera pukul 08.00 persis). Pemandangan menandakan; acara siap dimulai karena hadirin sudah “rampong”, istilah kami untuk situasi hadirin yang sudah datang nyaris semuanya.

Pagi itu, acara dimulai oleh Kiai Bushiri tanpa perlu lagi ada penata acara. Rangkaiannya adalah pembacaan Surah Al-Fatihah lalu dilanjutkan dengan shalawat Ad-Dayba'i secara duduk. Bagian ini dilaksanakan oleh Kiai Bushiri sendiri. Berikutnya, shalawat qiyam (shalawat sambil berdiri dan menabuh rebana) dibawakan oleh penabuh hardrah setempat. Sementara itu, mempelai pria menyalami hadirin lalu masuk ke dalam, mengunjungi mempelai putri. Setelah shalawat selesai, acara ditutup dengan doa oleh Kiai Zaini.
Acara berikutnya adalah makan-makan lalu bubar. Acara dimulai tepat waktu dan rangkaiannya sangat singkat. Itulah acara paling simpel dan paling tidak molor yang saya tahu. Keren atau bagaimanakah model acara seperti ini menurut Anda?





06 Juni 2016

Dikawal Rocky


Menjelang Ramadan dan menjelang Lebaran adalah dua momen penting bagi orang Madura. Puncaknya terutama terjadi pada H-1. Masyarakat Madura umumnya sangat sibuk pada kedua saat itu. Menjelang puasa, masyarakat menyiapkan beberapa hal untuk persiapan berbuka dan sahur. Karena buka dan sahur merupakan bentuk perubahan jadwal makan, yakni perubahan waktu makan pada bukan pada waktu yang biasanya, orang-orang cenderung memilih makanan dan menu yang baru dan cenderung enak. Mereka berbelanja macam-macam.

Dapat diduga, perputaran uang pasti akan tinggi pada dua momen ini, baik bagi komunitas muslim secara umum dan juga orang Madura secara khusus. Orang bermodal bisa sangat baik memanfaatkan dua situasi ini untuk meraup keuntungan.

Menjelang puasa, apalagi bertepatan dengan hari pasaran, akan pula mengubah situasi jalan raya. Orang-orang pada keluar dan berbelanja. Sungguh kebetulan sekali karena saya juga termasuk  di antara mereka. Kebetulan, saya dan ibu sedang pergi takziyah ke Lenteng, pas di senja hari terakhir sebelum puasa, 1437 (5 Juni 2016). Kebetulannya lagi, kami melintasi pasar Lenteng menjelang Maghrib.

Saya tidak cemas karena saya pikir pasar sudah bubar seperti biasanya. Eh, malah macet panjang terjadi di sana. Biasanya, di hari-hari biasa, pasar Lenteng memang macet di hari pasarannya, yaitu hari Minggu. Nah, kali ini dobel; sudah hari Minggu, pas nyambut puasa lagi. Macetnya pun dua kali lipat.

Mobil berjalan secara beringsut. Bosan rasanya, apalagi hari baru saja gelap, baru Maghrib. Mana lagi masih berpikir sebentar lagi mau tarawih. Lengkap sudah kegalauan kami. Iseng-iseng saya telepon Rocky, seorang kawan penggemar Colt yang meskipun rumah kami tak begitu jauh, hanya diperantarai jarak 15-an kilometer, namun tak saling mengenal kecuali lewat grup penggemar Colt yang ada di Facebook.  Tujuan saya adalah curhat, melaporkan kemacetan pasar yang secara kebetulan berada di depan rumahnya.

Tanpa dinyana, Rocky datang dan menemani saya, mengawal saya. Ia bahkan juga membantu mengurai kemacetan, seperti menyetop sepeda motor yang ngeblong buka jalur saat ada kendaraan masuk dari lawan arah, dari arah depan. Dasar orang Madura (dan mungkin juga dasar  manusia-tak-tertib pada umumnya), mereka main terabas saja. Apalagi hanya anak remaja seperti Rocky ini yang mangatur, bahkan petugas pun kadang tak digubris. Nekat saja pengendara-pengendara itu melawan arus. Masih untung cuma sepeda motor, tidak terbayangkan jika mobil yang melakukannya sebagaimana saya pernah lihat secara langsung selama beberapa jam di Bawen, Jawa Tengah.

Hingga akhirnya, saya dan Colt pun terbebas dari kemacetan di pertigaan selatan pasar, depan polsek Lenteng. Saya pamit kepada Rocky dengan bertabik dan membunyikan klakson tipis saja sebagai tanda terima kasih. Rocky pun kembali, entah ke mana, barang kali pulang ke rumahmnya. Ah, betapa senangnya punya kenalan yang kesan pertamanuya begitu mempesona.

Terima kasih, Rocky. Keep on rockin’

16 Mei 2016

Mengukur Konsumsi BBM dengan Penyetelan Spuyer Colt dari Luar


Tadi sore, saya berkesempatan lagi mengukur konsumsi BBM Colt dengan sepresisi mungkin. Operjalanan dilakukan pergi-pulang hingga akhirnya saya temukan hasil jarak tempuh 11,3 kilometer (versi wikimapia beda sedikit dengan versi odometer). Sebelum berangkat, selang bensin dari filter saya copot dan digantikan selang besin yang langsung saya cocorkan langsung ke galon bekas kemasan oli literan.

Untuk memastikan kapasitas satu liter persis, saya beli 2 botol bensin eceran, lalu saya tuangkan ke dalam galon bekas wadah oli literan itu hingga batas garis paling atas (1 liter). Saya nyalakan mesin dan dibiarkan dalam keadaan idle sehingga bensin tersedot beberapa mililiter. Setelah itu, saya tambahkan lagi bensin agar kembali berada pada batas garis atas, yakni 1 liter persis. Setelah siap, mulailah saya berangkat.

Sebelumnya, lama sekali saya melalukan “penyetelan spuyer dari luar”. Ini inti dari posting ini. Anda dapat membaca dan melihat foto-foto di blog saya. Silakan cari dengan kata kunci "mengatur spuyer dari luar"). Saya ulir baut jarum yang menyumbat spuyer jalan hingga nyaris mentok (karena saya menggunakan spuyer besar: ukuran 162). Ketika mesin dinyalakan, normal saja kedengarannya. Namun, saat persenleling masuk dan kopling dilepas, mesin mati. Saya yakin, ini pertanda kekurangan bensin. Saya buka sedikit, dicoba lagi, mati lagi. Uji coba ini berlangsung hingga beberapa kali hingga akhirnya saya menemukan komposisi yang pas. Memang, ada sedikit brebet kalau diinjak spontan, namun karena saya bisa mengatur pedal gas dengan alus, semua itu bisa diatasi dan mobil berjalan normal. Setelah dirasa siap, barulah ujicoba siap dilaksanakan.

Sebelum kali ini, saya sudah pernah mencoba hal serupa pada tanggal 08 Desember 2014 silam dan hasilnya 1 liter cukup 12 kilometer. Kali ini, dengan kondisi jalan normal dan datar, beban 1 sopir dua penumpang, kecepatan 50-60 km / jam, konsumsi bensin untuk jarak 11,3 kilometer itu tak sampai menghabiskan 1 liter (masih tersisa beberapa mili liter seperti dalam gambar). Kalau dibawa ngebut, sepengalaman saya, dengan konsumsi seperti itu, kecepatan mentok 80 km/jam, tidak bisa lebih dari itu.

Silakan kalau mau mencoba.

13 Mei 2016

Perjalanan Colt: dari Kematian ke Kelahiran

.
Colt saya ini hanya dibawa pergi ke kondangan, takziyah, silaturrahmi. Ya, hanya itu saja kayaknya pergerakan roda-rodanya. Pernah, sih, beberapa kali dipinjam famili lain, tapi saya yakin Colt tidak dibawa ke tempat wisata atau berbelanja ke mal. Pernah juga menyiksa paman karena membran yang tidak bekerja dengan baik padahal dalam suasana liburan panjang, dan dalam perjalanan sangat jauh. Kasihan saya kalau ingat kisah itu, saih itu.

Saat pertama beli dari paman (yang satunya lagi), nenek bilang agar pergerakan roda pertama mobil harus ke tempat yang senang-menyenangkan, sebut misal pergi silaturrahmi atau ke mantenan. Saya pun menurutinya. Mobil ini diakad pada malam 16 dzulhijjah 1429 dengan harga 17,5 juta, tapi dibawa pindah garasi pada tanggal 18-nya, bertepatan dengan Rabu, 17 Desember 2008. Perintah pindah garasi ini ditunjuk langsung oleh si paman. Kata beliau, tanggal 18 merupakan hari keren. Sebagaimana seorang cowok nembak cewek pada momen tertentu, pindah mobil pun pilih-pilih waktu.

Cerita hari ini begitu juga

Hari ini saya pergi takziyah ke rumah seseorang di Poreh, Lenteng. Ya, takziyah atau pergi melayat adalah bagian dari aktivitas saya, begitu juga tilik bayi. Pagi ini, apa daya, jalan ke lokasi ternyata tidak bisa dijangkau dengan mobil, padahal saya sedang mengantar ibu saya yang sudah mulai sulit untuk berjalan kaki agak jauh. Tidak apa-apa, lalui saja. 

Perjalanan kami melewati barisan rumpun bambu, asri sekali. Kami hendak menyeberang jembatan bambu tapi ibu tidak berani, gamang. Akhirnya, kami terus maju, mencari jembatan beton. Kami harus lewat di sana karena alasan itu meskipun rute jadi memutar, lebih jauh sedikit.

Tuan rumah menyuguhi teh dan campor, sebuah kuliner khas Lenteng-Poreh yang berupa soto daging dengan campuran kacang goreng yang dilarutkan bersama kuah. Isi utamanya adalah ketupat. Jadi, jelaslah kalau campor ini mengenyangkan.

Setelah takziyah ke mendiang Rumma, kami pulang dan menuju Lenteng. Di sana, kami takziyah lagi ke rumah Jufri. Kakeknya, Enik, sudah wafat 3 jumat yang lalu. Saya baru berkesempatan di hari ini. Kalau ditanya, pastilah kami akan berbasa-basi, sibuk dan entah alasan lain. Sebelum disuguhi kopi, kami sudah berpesan dulu agar tidak disuguhi makanan berat lagi, sejenis campor atau lainnya. “Kami baru saja makan di Poreh,” begitu kata saya. Begitulah, ada satu kebiasaan di masyarakat Madura tertentu: kalau tamu tidak segera ngomong, tuan rumah akan menyuguhkan makanan lagi.

Hari itu kami agak terburu-buru. Pukul 10.30 kami sudah meninggalkan rumah Jufri, melewati jalan yang sungguh sangat sempit dan saya tidak bisa membayangkan kalau saja terjadi papasan dengan mobil lain. Jika itu terjadi, pastilah salah satu mobil harus mundur sejauh-jauhnya untuk mencari tempat memutar atau menyisi. Jalan berbatasan langsung dengan tegalan.

Pukul 11.10, saya tiba di rumah dan bersiap pergi ke Jumatan. Sorenya, saya kembali pergi, tilik bayi ke rumah Muallifah yang entah sudah berapa waktu melahirkan. Sehari ini, Colt saya sudah menyambangi orang mati dan orang yang baru lahir ke muka bumi.


Begitulah adat kami, sibuk ke sana ke mari untuk kematian dan kelahiran atau sesuatu yang berada di antaranya: pernikahan. Ya, Allah. Engkau adalah Mahapengampun. Maka, ampuni hamba bila lalai sebab kami, hamba-Mu, adalah makhluk Mahasibuk.

12 Mei 2016

Curhat Seorang Sopir Colt


Diperkirakan, terhitung sejak akhir 2008 hingga sekarang (Mei 2016), saya telah menempuh sekitar 80.000 kilometer sebagai sopir Colt T120 atau hampir seratus ribuan sebagai sopir secara umum. Angka tersebut tentu akan lebih tinggi jika dihitung mulai saya legal legal sebagai sopir, yakni pada tahun 1997, sejak mula-mula mengantongi SIM-A. Bagi seorang sopir bis malam trayek Pulo Gadung-Sumenep, angka seratus ribu hanya butuh sekitar 4 bulan untuk dicapai.

Selama mengemudi, saya tidak pernah melakukan pelanggaran lalu lintas yang menyebabkan keluar duit untuk tilang. Kalaupun pernah terjadi pelanggaran, maka itu terjadi pada saat saya menjadi penumpang atau ketika saya mengemudi namun kesalahan berasal dari penumpang (seperti tidak pakai sabuk keselamatan, dll). Dalam hal mengemudi, saya kira saya sudah sangat berhati-hati. Saya kira, lho.

Belakangan ini, saya mulai bosan mengemudi. Terkadang, saya ingin bepergian dan ada sopir yang mengemudikan kendaraan sedangkan saya duduk di tengah atau di sisi kiri. Sayangnya, saya merasa belum mencapai level untuk menjadi seperti itu. salah satu alasannya adalah karena mobilnya adalah Colt T120 yang tidak sembarang orang mau atau mampu dan atau mau-dan-mampu mengemudikannya. Mobil lawas itu perlu perlakuan khusus dan pemahaman mendalam: rem tidak boleh diinjak mendadak, nariknya harus pelan-relan, dan banyak aturan ini-itu lainnya. Akan tetapi, saya masih ragu, apakah rasa bosan itu muncul karena yang saya kemudikan hanyalah Colt T120 atau karena semakin banyaknya lalu lintas di jalan raya yang kian serampangan dalam berkendara? Rasanya, setiap kali pergi, saya selalu sumpek melihat fenomena masyarakat dalam berlalu lintas di jalan raya.

Jika harus bepergian, biasanya saya akan memilih angkutan umum selama itu memungkinkan. Seperti diajukan di atas, semakain tua, saya ini bukannya semakin bijak, tetapi semakin tidak sabaran kalau harus menonton kesemrawutan pikiran orang-orang yang diejawantahkan dalam kesemrawutan mereka dalam membawa dan menjalankan tubuh dan mesin di jalan raya: orang-orang yang menyerobot tanpa rasa bersalah, orang-orang yang tidak bisa menahan diri di lampu merah; orang-orang yang terburu-buru hingga tak bisa sabar meskipun sebentar saat ada orang menyebarang atau memotong jalur, orang-orang yang dalam mengalah pun ia harus dalam keadaan terpaksa. Sesungguhnya, kecelakaan lalu lintas itu tidak semata-mata karena adanya pelanggaran, melainkan juga karena faktor-faktor seperti ini pula.

Potret tradisi, kebudayaan, bahkan mentalitas sebuah bangsa itu dapat dilihat dari bagaimana mereka berinteraksi dan berkomunikasi di jalan raya. Potret jalan raya adalah representasi watak masyarakat. Saya, kok, berkeyakinan kalau orang-orang yang bisa berlaku beres di jalan akan juga beres dalam dalam sisi kehidupan lainnya. Mengapa? Sebab, jika di tempat tempat lain orang bisa bermuka dua, di jalanan tidak. Orang-orang pasti “jujur” di jalananan, menampilkan tampang dan watak aslinya. Jika di jalan mereka berperilaku baik, maka dengan demikian, di tempat lain, bahkan di tempat-tempat yang tersembunyi sekali pun, besar kemungkinan mereka juga akan berlaku baik dan lebih berhati-hati.


Maka dari itu, jika saya menjadi presiden di sebuah negara yang elemen sosial, politik, bahkan spiritualnya sudah nggak karu-karuan, yang pertama kali akan saya bereskan adalah perilaku tertib dan penghargaan kepada orang lain di jalan raya. Setelah itu, barulah saya akan membenahi persoalan bahasa.

04 April 2016

Ganti Ring dan Piston


Awal Maret 2016, saya membawa Colt ke bengkel. Tujuannya adalah untuk skur pompa oli karena kerjanya tampak lemah. Diduga begitu karena ia sudah menampakkan ciri-cirinya: ketika mesin dinyalakan di pagi hari, perlu beberapa detik untuk menaikkan oli.

Begitu calter (wadah oli di bawah mesin dibuka), bengkel lalu membongkar isi mesin dengan penuh “rasa penasaran”. Maklum, bengkel ini sebetulnya “semi bengkel”. Ia bekerja juga karena kesenangan, terutama memecahkan masalah-masalah rumit yang tidak bisa diselesaikan dan jika harus ganti dengan suku cadang baru. Ia lantas menyarankan saya untuk sekalian ganti ring dan piston.

Hah? Dari pompa oli kok sekarang pindah ke ring dan piston?

Kata dia, “Diperbarui saja, jangan nunggu rusak, kalau memang ada duitnya.” Ring ada yang patah, piston ada yang sumbing. Ternyata begitulah ceritanya setelah mesin dibongkar. Silakan, kata saya, pasrah. Saya berani berkata begitu karena kebetulan saya sedang pegang duit sejuta. Cukupkah? Kita lihat saja nanti.

Saya tanya sama pak bengkel, mau yang mana; biasa atau yang asli? Pilih yang biasa saja, jawabnya. Cara membuatnya awet itu gampang, yaitu dengan memperlakukan mesin secara wajar dalam bekerja. Itu saja kuncinya.

Ketika saya berangkat ke toko onderdil, dipesanlah item-item di bawah ini. Berikut daftar belanjaan saya sekaligus harganya:

• Piston (1 set isi 4) merek ART, “0,25: Rp 282.400
• Ring Piston (1 set isi 4) Rp. 314.800
• Laher 600 2RSC Koy JB: Rp.17.200
• Rantai Kamrat: Rp.104.300
• Filter Oli: Rp.33.500
• Packing fullset merek Cery: Rp.267.900

Total belanja= Rp1.020.100. Habis sudah uangnya. Sembari iseng, saya tanya kepada penjaga toko, “Adakah suku cadang asli di sini? Setidaknya untuk ring dan piston…”

"Ada," katanya. Akan tetapi, ring saja seharga 910.000 (1 set isi 4). Kalau yang asli, keunggulannya adalah piston bisa beli satuan, tapi ya itu; harganya 375.000 per biji (bandingkan dengan harga di atas).


"Ya, saya cuma mau nanya, Pak, ndak mau beli yang itu. Belinya tetap yang ini," kata saya sambil tersenyum bahagia menahan ingin menunjuk barang-barang yang sudah saya pesan barusan. Dan seperti halnya saat beli nasi pecel di warung, barang-barang itu dibungkus, dibayar, dan dibawa pulang.

21 Januari 2016

Wisata Kuburan ke Kwanyar dan Mertajasa



Hingga menjelang pukul 6 pagi, bismini (sebutan kami untuk microbus seperti Isuzu Elf NHR/NKR) yang rencananya kami sewa belum datang juga. Ada penumpang yang mengaku sudah menunggu sejak 90 menit yang lalu. Rencana ‘wisata kuburan’ ke Sunan Cendana (cucu Sunan Drajat; di Kwanyar) dan Syaikhona Cholil bin Abdul Lathif (Mertajasa, Bangkalan) Jumat pagi 15 Januari 2016 itupun terancam gagal.

“Gimana ini kok nggak datang-datang?”
“Waduh, bisa malem nanti pulangnya.”

Berbagai keluhan berseliwer. Saya mendengarnya, juga merasa terpojok karena di samping perencana perjalanan, saya jugalah yang bertanggung mengordinasi armada, termasuk armada sewaan itu. Satu armada, sebuah Colt T120 milik salah seorang guru, sudah siap, sedangkan Elf tak kunjung datang. Daripada semakin gencar cecaran pertanyaan untuk saya, maka dengan berat hati, saya gagalkan saja. Saya hubungi Qudsi dan mengajukan alasannya. Qudsi yang kebetulan bertindak sebagai sopir kala itu meminta maaf karena kendala teknis ini. Kunci kontak yang ketelisut di tangan penanggung jawabnya adalah kambing hitam keterlambatan ini.

“Sudah, bawa Colt-mu saja!” kata bibi yang kebetulan mau turut, ikut bersama.
“Cukup kiranya?”
“Cukup, tapi agak berhimpitan, nggak apa-apa, ya?”
“Ya, nggak apa-apa, sih, asal sanggup berdesak-desakan sepanjang 250 kilometer pergi pulang!”

 Akhirnya, saya mengeluarkan Colt dari garasi, dipanaskan mesinnya, langsung dibawa ke halaman madrasah dan tanpa babibu, 8 orang menyelusup masuk ke kabin. Kursi kayu imut sebagai bangku siluman pun digunakan untuk menampung pantat yang tidak kebagian duduk di ‘sofa’.

Pukul  6 lewat 5 menit, kami berangkat. Agak ketar-ketir juga bawa Colt “Titosdupolo” ini karena tadi harus didorong dulu sebelum dihidupkan. Saya duga, aki mulai lemah. Maklum, akinya memang bukan beli baru, tapi hasil tukar tambah. Yang ini sesungguhnya lebih mengkhawatirkan saya daripada karena pada saat itu saya juga sama sekali tidak pegang uang, sepeser pun.

Setelah isi bensin 100.000 di SPBU Talang hasil pinjam sama salah seorang penumpang, saya ngejos dengan prakiraan perhentian berikutnya adalah Kwanyar. Dengan kecepatan konstan 70-80 km/jam insya Allah kurang dari 3 jam kami akan tiba di tempat tujuan. Kami berjalan beriringan, dua colt, dua mobil tua, dengan penumpang-penumpang usia ‘anggur’ yang telah beranak-pinak dan sebagiannya malah sudah berucucu. Klop dah!

Membawa beban 9 orang, terasa benar akselerasi Colt ini agak terganggu, mungkin karena saya tidak terbiasa bawa penumpang sebanyak itu. Rasa khawatir akan dicegat polantas karena Colt dianggap bermasalah karena dituduh angkutan umum plat hitam juga muncul. Tidak apa-apa kalau cuma ini masalahnya. Hanya ada seorang laki-laki di sini, Hassan, sepupu saya, yang duduk di depan. Sisanya adalah ibu-ibu guru dan dua orang bibi saya. Masalah yang serius nyatanya adalah jika nanti mobil harus didorong lagi sedangkan bobot mobil buatan Mitsubishi tahun 1980 ini sudah penuh dempul sehingga membutuhkan ayunan sekitar 6 TMLD (tenaga manusia lelaki dewasa) untuk menghidupkannya. Biasanya, sih, begitu.

Jalan raya di hari Jumat itu lumayan sepi kecuali di daerah Blega yang memang selalu ada pasar tumpah setiap hari Jumat. Bikin pasar di pinggir jalan raya di mana-mana selalu begitu kejadiannya, atau memang begitu perencanaannya? Kemacetan adalah bagian dari tradisi pembangunan kita, saya kira.

“Mobil satunya mau masuk pom dulu katanya,” suara salah salah seorang penumpang dari bekalang.
“Iya, tapi kenapa? Bukannya tadi sudah isi bensin di Talang?” balas saya tanpa melirik kaca spion tengah.
“Asrof, anakanya Bu Sit, muntah terus katanya.”
“Berhentilah di mushalla sebelum pom Blega atau di Pom Blega itu sendiri, itu saran saya, sampaikan kepada Pak Saiful!”

Benar, mendekati pom Blega, Colt ijo bodi Adi Putro yang dikemudikan Pak Saiful itu sein kiri, masuk ke SPBU. Saya terus, lanjut, hanya membunyikan klakson sebagai “bye-bye” atau isyarat “kami monitor, kami lanjut saja”.

Pukul 08.52, di sekitar 100 meter menjelang pasar Tanah Merah, saya memarkir kendaraan, turun dari aspal, menunggu mobil satunya yang tertinggal. Lumayan, pori-pori tubuh kami pun bisa menyadap angin semilir setelah berasa dioven dalam kabin tak berpendingin. Sebagian penumpang kami langsung menjalin kontak dengan penumpang Colt Ijo, memberi tahu posisi kami dan menanyakan posisi mereka. Diketahui: Colt ijo masih terjebak macet di Pasar Blega, namun karena dipersilakan berangkat duluan sebab rombongan belakang juga tahu jalan, kami berangkat lagi.

Pasar Kwanyar ramai sekali. Ini hari pasarannya, sementara besok, Sabtu, adalah pasar besar Tanah Merah yang jaminan macet pada seluruh ruas jalannya. Di makam Sunan Cendana, kami mengaji sambil lalu menunggu rombongan. Lantas diadakanlah tahlil bersama setelah semua anggota datang.

Usai dari makam Sunan Cendana Zainal Abidin, kami rencana langsung bertolak ke Mertajasa, namun Haji Saiful, kawan saya yang penduduk setempat dan pemilik toko Prima Vista, mencegat. Kami diberi oleh-oleh: krupuk khas Kwanyar, krupuk yang disangrai langsung ke pasir dan tanpa minyak goreng.

Setelah berangkat lagi, kami ambil jalur kiri, tembus Nyiorondung, bukan jalan yang tadi karena kami mengarah ke barat, ke kota. Hingga akhirnya kami tiba di Mertajasa, suhu udara lebih kejam lagi, panas luar biasa. Ini bikin saya merasa capek, ditambah karena kemarinnya, Kamis tanggal 14 Januari, sejujurnya saya juga baru saja datang dari Bangkalan, pergi ke saudara sepupu yang baru pulang dari tanah suci Makkah setelah tinggal di sana beberapa tahun lamanya.

Sebab masih dalam keadaan punya wudu, saya langsung masuk masjid, shalat sunnah, juga mengaji dan berdoa berbarengan saat dikumandangkannya qiraah mujawwad yang insya Allah dari lantunan suara al-ustad Muammar ZA, menandakan bahwa waktu shalat Jumat sudah hampir tiba.
Usai shalat, anggota rombongan ada yang mengaji lagi, ada yang menyantap bekal. Bawa bekal dari rumah adalah tradisi kami, di samping hemat, kesucian dan kehalalannya lebih terjamin. Prinsipnya, mereka tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk biaya makan yang biasanya lebih maal jika membeli di kedai atau warung tempat ziarah daripada bawa sendiri. Itulah salah satu perbedaan ‘wisata kuburan’ dan ‘wisata hiburan’ seperti ke pantai atau tempat lain. Konon, begitu alasan yang sering saya dengar. Sayangnya, karena kali ini saya tidak bersama istri, terlupakanlah bekal itu. Akhirnya, saya beli soto yang rasanya tidak terjelaskan begitu anehnya.

Ada kejadian aneh di Mertajasa. Kami bertemu dengan Bi Sabahah dan Bi Mal serta beberapa orang lain dari Poreh, Lenteng. Rencananya, mereka hendak melanjutkan perjalanan menuju Sunan Ampel. Namun, rencana itu gagal karena ada salah seorang penumpang mereka yang meninggal dunia secara tiba-tiba.

“Meninggalnya mendadak,” kata salah seorang yang saya tanya. “Dia wafat persis setelah bilang, ‘saya sudah 'tekka hajat' (terkabul) sampai di sini. Saya sudah ambil wudu dan rela untuk mati’. Benar, tak lama setelah itu, ia langsung meninggal’.

Beberapa menit lalu, jenzahnya dibawa pulang dengan ambulans. Dan rombongan sepakat hanya menyelesaikan shalat Jumat di Bangkalan, setelah itu, putar haluan, kembali ke rumah, pulang.

Begitu pula dengan kami, masa aktif di Mertajasa hanya sampai pukul 13.00. Rencana ke makam Rato Ibu pun ditunda karena berbagai pertimbangan. Kami berkemas. Kami bertolak.

Hassan masuk ke mobil begitu saya duduk di belakang kemudi sambil menunggu penumpang yang lain. Ia nyeletuk, “Mungkin kondisi ini cocok sebagai contoh pepatah ‘jauh panggang dari api,” selorohnya sambil mengipas-ngipas muka dan dadanya yang mulai menampakkan bulir-bulir keringat.

Lepas pukul satu siang, kami pulang. Alhamdulillah, perjalanan pulang kami lancar saja. Namun, kami tidak berjalan seiring lagi karena Colt satunya masih mampir di Patemon, mengantarkan salah satu penumpangnya menjumpai salah seorang sahabatnya yang tinggal di sana.



Sebetulnya, berjalan dengan kecepatan 70 km/jam itu adalah perjalanan yang paling standar dan aman, setidak-tidaknya untuk Colt. Mengingat begitu melubernya pengguna sepeda motor di jalanan, lari dalam kecepatan di atas 80 km/jam cukup punya resiko, terutama jika penumpang penuh. Pengereman mendadak tidak dianjurkan karena kerja rem tromol jelas beda dengan kerja rem ABS. Lagi pula, bunyi buzzer yang menandai kecepatan di atas 80 itu bakal sangat mengganggu jika terus-menerus dan cerewet. Makanya, biasanya saya bertahan di kecepatan mendekati 80: antara 70-75. Dengan begitu, tidak ada bunyi buzzer yang bagi penumpang tertentu akan mengesankan ketegangan, seperti yang dialami bibi saya ini.
Beliau, bibi saya itu, punya trauma pada bunyi buzzer. Jika terdengar bunyi "niiit... niiit... niiit..." (pertanda kecepatan sudah mencapai 80 km/jam), beliau gelisah.

Ceritanya begini:

Dulu, salah seorang putra beliau yang nonor 4, demam berat setelah beli es joli botol di Pelabuhan Kamal, Bangkalan, dalam suatu perjalanan pulang dari Jawa. Diduga, es itu basi atau kedaluarsa karena memang tidak jelas merek dan namanya. Kala itu, rombongan naik Colt. Mereka ingin segera tiba di rumah untuk mengobati si kecil. Maka, sepanjang jalan, mobil dibawa lari di atas kecepatan 80 km/jam. Akan tetapi, malang tak dapat ditolak, adik kecil tidak tertolong. Adik kecil meninggal tak lama setelah itu. demikianlah cerita hingga bibi saya itu trauma mendengar bunyi buzzer pada Colt T120.

Dalam perjalanan pulang itu, rencana untuk ngaso dan shalat di Masjid Al-Hidayah (Tentenan, Pamekasan) karena ada salah satu penumpang yang tidak sempat shalat jamak-qashar di Bangkalan pun digagalkan. Pasalnya, kami masuk kota Pamekasan ketika baru saja masuk waktu ashar. Dengan demikian, shalat ashar di rumah masih sangat leluasa dan memungkinkan. Akhirnya, pilihannya adalah: lanjut saja! Kami pun tiba di halaman rumah pada sekitar pukul 16.00.

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...