Pembaca

29 Juli 2016

Undangan ke Bangkalan


Andai saya Huibert—yang dulu terkenal di media sosial gara-gara mobil Ichiro-nya dilengkapi bumper gede untuk menabrak pelanggar aturan di jalan dan kamera depan belakang untuk merekam aktivitasnya selama ia pergi dari rumah ke kantor—akan saya lengkapi Colt saya ini dengan perlengkapan kamera yang memadai. Memang, Colt saya sudah dilengkapi dengan TOA sejak lama yang berguna sebagai klakson yang menurut saya lebih manusiawi daripada klakson elektrik bawaan pabrik. Lalu, kamera, untuk apa? Baik, ikuti saja…

Ahad lalu, 24 Juli 2016, berkisar pukul 08.40, saat saya berangkat ke Bangkalan naik Colt. Ketika sampai di daerah Pakamban, saya mengekor patas tua AKAS yang baru saja berjalan lagi setelah entah menaikkan atau menurunkan penumpang di kantor MWC NU Pragaan. Menghadapi jalan menanjak, asapnya bergulung dan sebagiannya masuk ke dalam kabin Colt yang saya kemudikan. Pasalnya adalah kaca depan-samping, kanan dan kiri, pada mobil kami terbuka semua. Yeah, serasa kami mandi sauna, berlumur oksidan dan emisi gas buang.

Dari arah depan, tampak truk Hino bermuatan berat. Itu ketahuan dari cara jalannya yang ngesot sangat. Truk ini bermuka hijau seperti HULK, buto ijo-nya wong Londo.
Meskipun begitu, saya merasa tampang si Hino ini tidaklah seram, tidaklah seperti tampang Volvo atau M.A.N.

Sebentar lagi, kami akan berpapasan. Dan pada saat iulah terjadi aksi dramatis…

Sebuah motor matic menyalip kami secara rentengan: bis dan Colt. Ketika mungkin tinggal sepelompatan saja untuk terjadi adu kambing, pengendara motor mendadak serong kiri, menggunting jalan. Saya taksir, jarak sepeda motor dengan moncong bis cuma semeter, kalaupun lebih pastilah hanya ukuran senti. Terdengar bunyi klakson panjang: morse jalanan simbol amarah atau memaki-maki.

Sekarang, ketika tiba di trek datar, bis dan Colt mendahuluinya kembali karena si pemotor memang masih seperti tadi, berjalan pelan dan santai sekali. Ya, ia memang berjalan pelan sejak tadi dan menyalip kami hanya karena ia melaju sedikit lebih cepat daripada kami yang melaju lebih pelan karena adanya tanjakan. Rasanya saya tidak percaya pada mata sendiri begitu menyaksikan pengendara sepeda motor itu ternyata masih bergaya macam tadi: tangan kanan pegang kemudi, tangan kiri nempel di telinga kiri, telepon-teleponan.

Dia, lelaki yang membonceng seorang ibu-ibu yang juga menggendong adik bayi itu, memiliki air muka yang luar biasa datar, tampak tak ada urusan dengan apa yang baru saja dilakukannya. Bagaimana mungkin ada orang berani menyalip mobil dan bis sekali tarikan padahal dalam keadaan berhadapan satu lawan satu dengan truk dan itupun sambil telepon-teleponan? Sebuah aksi yang bahkan Jorian Ponomareff pun tidak akan berani melakukannya di jalan raya.

Saya menyesal tidak sempat mengabadikan momen ini. Saya menyesal karena tidak punya kamera tempel yang siap menjepret. Kalaupun saya ambil kamera, pemandangan drama jalan raya ini pastilah sudah terlewat karena ia hanya terjadi beberapa detik saja. Mungkin, situasi seperti inilah yang dimaksudkan oleh George Steinmetz, bahwa tugas jurufoto itu adalah menjalankan tugas memotret objek/perisitwa yang dapat membuka mata orang-orang agar melihat hal-hal menakjubkan yang tidak mereka ketahui pernah ada di dunia.

Hingga mencapai Sentol, saya bertanya-tanya, mengapa orang semacam itu eksis di muka bumi. Sungguh, saya hanya mereka-reka: barangkali, nyawa yang dibawa oleh si pengendara motor tadi itu hanyalah ‘nyawa KW’ sedangkan yang ditinggal di rumahnya adalah ‘nyawa yang ORI’.

Satu adegan maut nyaris terjadi.

Saya mencapai kota Pamekasan pada pukul 9 pagi lewat entah berapa menit. Setelah parkir, istri membeli kebutuhan keluarga, kebutuhan dapur. Mumpung lewat kota, sekalian belanja, begitulah rumusnya. Kami berangkat lagi menuju Bangkalan tak lama setelah itu. Jalanan tidak terlalu ramai, tidak seperti yang dialami keluarga kami yang lain yang berangkat sesudahnya, yang berangkat setelah Duhur, sebagaimana mereka ceritakan, sehingga sebagian mereka pada akhirnya datang terlambat ke acara.

Untuk tujuan Bangkalan, biasanya kami memang berangkat 3 atau 4 jam sebelum acara karena begitulah taksiran jarak tempuhnya. Jika ada sisa waktu, biasanya digunakan untuk mampir di famili (seperti di Burneh, Ketengan, dan sekitarnya) atau mampir shalat dan istirahat. Saya pun begitu, berangkat kurang beberapa menit dari pukul 9 pagi dari rumah karena punya rencana sowan dulu ke Sunan Cendana di Kwanyar.

Setiap kali melakukan perjalanan, dapat dipastikan saya selalu stres memikirkan dan melihat aksi-aksi nekat di jalan raya. Mengapa orang begitu tenang dan tak merasa bersalah dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran, ya? Di Blega, saya kembali melihat objek foto yang sangat menarik: sebuah mobil parkir serong dan memakan seperempat jalan. Sepintas, ia tampak seperti mobil yang sedang mogok, padahal tidak. Ia parkir biasa. Lagi-lagi saya menyesal karena saya kehilangan momen menakjubkan untuk yang kedua kalinya.

Tadi, kami juga sempat papasan dengan rombongan motor Ninja. Saya selalu takut kalau bertemu arak-arakan, konvoi, baik rombongan motor kecil atau motor gede, jamaah haji, rombongan menteri, apalagi ada voorijder alias patwal yang biasanya suka makan jalan. Menghadapi mereka ini, sudah pasti saya bersiah, mengalah. Tadi malah ada salah satu anggotanya yang mengangkat kaki kanan, seperti sedang menendang. Saya ngerti, itu artinya meminta kendaraan dari arah yang berlawanan supaya menepi.

Pukul 11.45, saya mencapai SPBU 54691.01 Blega. Ini termasuk SPBU lama. Setelah isi 100 ribu, kami berangkat lagi ke arah barat. Sempat terjadi ketersendatan arus lalu lintas, tapi tidak macet, sehingga kami baru mencapai Tanah Merah pada pukul 12.23. Saya sein kiri, ke selatan, menuju Kwanyar.

Setelah izin parkir sama kawan saya yang penduduk Kwanyar, H. Syaiful Bahri, saya mengajak seluruh anggota penumpang ke makam, mengaji di sana. Singkat saja, bertemu dan berbasa-basi dengan jurukuncinya, H. Abdul Hadi, kami keluar, menjumpai Haji Syaiful dan merasakan betapa servis ziarah makam Sunan Cendana ini benar-benar layanan kelas “bintang lima”.

Bagaimana tidak? Habis dari makam, H. Syaiful menjamu saya makan, tapi tumben kali ini di warung, biasanya di rumah sendiri.
“Kok saya diajak ke warung?”
“Lah, tadi Sampeyan bilang jangan repot-repot. Makanya saya ajak ke warung, kalau di warung itu tidak repot, tinggal makan.”

Kami ketawa bersama.

Terus terang, saya ewuh-pekewuh kalau berziarah ke Sunan Cendana sebab pasti ketemu H. Syaiful dan pasti pula disuguhi makan besar. Setelah makan sate, kami pun mampir ke rumahnya untuk numpang mandi dan shalat. Masih pula disuguhi camilan dan kopi di sana, akhirnya kami meninggalkan Kwanyar pada pukul 14.30. seperti biasa, H. Syaiful ngasih kami oleh-oleh khas Kwanyar: krupuk yang digoreng pakai pasir, tanpa minyak.

Dalam perjalanan menuju kota Bangkalan, tepatnya ke area perumahan Nilam yang terletak persis di depan Bangkalan Plaza, untuk menghadiri undangan adik saya yang pindah rumah dari Sebaneh ke Mlajah, saya mengarahkan Colt lewat Tambin dan Tragah. Ujung jalan ini adalah Nyiorondung, jalan pertama (ke arah tenggara) dari arah Suramadu kalau Anda datang dari barat. Adapun tadi, saya masuk Kwanyar lewat Tanah Merah, ngiri sebelum pasar, lewat Somor Koneng.

Jalanan di wilayah Tragah ini sangat sepi. Saya tidak menyarakankan Anda melintasinya di kala petang apalagi malam. Jarang sekali ada rumah penduduk di sejauh 12 kilometer tersebut. Di lintasan ini, jalan yang sangat sepi, justru saya bertemu macet karena iring-iringan temanten. Jadinya, perjalanan molor lumayan lama karena percepatan mobil hanya bergerak antara 2 dan 3, berjalan seperti siput.

Sebetulnya, saya sudah matur kepada ibu, mengapa acara pindah rumah ini mengundang orang terlalu jauh, hingga Guluk-Guluk.
“Apa tidak terlalu jauh, Bu?” tanya saya. “Saya pikir, undangan ke Bangkalan yang harus ditempuh 3 jam dan melakoni jarak 250-an pergi-pulang itu terlalu jauh untuk keluarga jauh, beda dengan keluarga sendiri.”
“Itu sebenarnya tergantung adikmu, tapi yang membuatku tetap membiarkan adikmu bikin undangan begitu karena memang ada beberapa saudara yang pesan jauh hari supaya diundang kalau bikin acara selamatan pindah rumah,” balas Ibu. “kata mereka supaya sekalian tahu tempat, sekalian silaturrahmi, sekalian pula datang sebagai udangan,” imbuhnya.
“Oh, entahlah jika begitu.”

Tidak disangka, sepupu, sepupu dua kali, paman, sepupu Ibu, dan banyak saudara lain dari Sumenep yang berdatangan, entah berapa rombongan mobil. Wah, mereka heroik sekali, ya. Kata saya dalam hati. Memang, kami terbiasa pergi jauh untuk menghadiri undangan temanten, tapi untuk undangan pindah rumah, entahlah, mungkin baru kali ini.

Kami tiba di lokasi ketika undangan baru 2-3 orang saja yang datang. Benar, acara molor dan baru dimulai hingga lewat pukul 16.00. Acara dimulai tidak lama setelah tuan rumah, Humron Maula sekeluarga, datang, diiringi kerabat-kerabatnya. Rupanya, sesuai tradisi setempat, ia berangkat dari rumah asal menuju rumah barunya.

Sekitar pukul 17.00, acara selesai dan orang-orang pulang, termasuk keluarga dari Sumenep. Sebetulnya, saya masih hendak bertahan sampai malam, tapi karena ada tuntutan pulang mendadak, saya pun ikutan pulang bersama yang lain. Hanya ibu dan saudara saya yang lain yang masih tetap bertahan di sana. Namun begitu, sebetulnya, kami tidak benar-benar pulang, melainkan hanya meninggalkan tempat undangan dan hampir semuanya ‘ngetem’ dulu di Bangkalan Plaza. Ada yang pergi belanja sementara anak-anak pergi bermain di tempat mainannya.

Saya baru pulang menjelang Isya. Jalan ke arah timur ternyata padat merayap. Apakah ini efek malam Senin? Boleh jadi. Yang pasti, saya baru bisa memacu kendaraan hingga berjalan normal di kisaran kecepatan 70-80 km/jam itu setelah melewati kota kecamatan Galis. Tak terasa, tiba-tiba kami sudah mencapai Sampang. Suasana yang tidak panas barangkali juga membantu perjalanan lebih tenang dan tidak gelisah seperti ketika berangkat.

Melewati Kota Sampang, kami berjumpa dengan Dafir yang bawa Kijang, sedang parkir shalat di Masjid Du’lanteng, Tanglok. Lanjut, kami baru berhenti di sebuah toko di Camplong untuk membeli kebutuhan rumah tangga yang tadi tidak sempat terbeli. Di Tanjung, saya kembali bertemu dengan ‘mobil timur’. Kali ini dengan Orlando yang dikemudikan Saung. Meskipun larinya ngibrit, saya berusaha mengejar semampunya hingga buzzer di balik spidometer menjerit-jerit tak keruan. Jelaslah saya jauh tertinggal. Jarak bisa dekat jika Saung terhalang oleh kendaran lain di depannya. Dan kami baru berpisah di SBPU Ambat: saya sein kiri, dia lanjut saja. Di SPBU itu, saya nambah premium lagi hingga jarum bensin kembali ke posisi setengah tangki.

Dari sana, perhentian berikutnya adalah Masjid Tentenan. Kami shalat Maghrib-Isya di sana. Ketemu lagi dengan Om Zamiel namun ia berangkat duluan ketika saya masih hendak menunaikan shalat. Eh, setelah selesai, baru saja keluar dari parkiran masjid, ketemu lagi saya dengan Carry-nya Lek Khalid. Maka, barenglah kami di jalan hingga sampai di Guluk-Guluk 22.40. Sungguh, perjalanan pergi dan terlebih pulang kali ini sangat amat menyenangkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...