Pergi ke Jogja untuk menghadiri acara 1 Dekade CJI bukan masalah mudah bagi saya, terutama karena persiapan karburator Colt yang baru dirakit. Saya (melalui bantuan bengkel) baru saja selesai ngoprek tiga karburator menjadi satu: ruang bawahnya kijang, tutup atasnya L300 bensin, daleman Colt T120). Mengujicoba karburator rakitan untuk rute hampir 500 km sekali jalan adalah sejenis kengawuran juga, sih, kalau dipikir-pikir. Persiapan lain yang tak kalah tak siapnya adalah persiapan pendanaan. Walhasil, karbu bisa bekerja, tapi kurang baik pada konsumsinya (diperkirakan kurang dari 1:10, harus diperbaiki lagi).
Kami berangkat dari rumah pukul pada pukul 21.37. Meskipun bersama tiga pemuda jomblo, tapi saya hanya yang menyetir sendirian. Maka, saya tidak mampu lagi mengemudi secara solo dan tepar di masjid Baiturrahman, Dumajah, setelah menempuh perjalanan hampir 3 jam. Satu jam lebih saya tidur di sana dan baru berangkat lagi pukul 01.44.
Mobil saya arahkan mobil lewat Tugu Pahlawan. Jejak kerusuhan masih tampak secara kasat mata. Hamburan sampah tempak di jalanan. Ada sebuah tenda Polisi yang rubuh.
Kami masuk tol Warugunung lalu rehat di tempat istirahat Km 626. Dari situ, setelah subuhan, kami bergerak lagi ke Ngawi, mampir di rumah Sidqi terletak dekat sekali dengan jalan akses Ngawi – Caruban via Karangjati. Eh, habis makan suguhan pecel pincuk berbungkus daun jati, saya tidur lagi dan baru kami baru bisa berangkat pukul 9.37 (sempat ganti filter udara di sana karena tarikan terasa sangat mampet).
“Kalian sudah tahu Solo?”
“Belum,” jawab dua orang. Jay diam saja karena dia sudah pernah ke sana.
“Baik, saya akan ajak kamu masuk lewat kota Solo.” kata saya pada mereka dengan maksud supaya mereka tahu Masjid Syekh Zayed juga Museum Lokananta meskipun hanya melintas mengingat kedua tempat tersebut berada di lintasan yang akan kami lewati. Akan tetapi, atas pertimbangan ini dan itu, saya berubah pikir. Setelah menempuh rute perjalanan arteri dari Ngawi – Mantingan – Sragen, saya pun masuk tol lagi dari Palur dan keluar di Delanggu.
Dari Delangu, kami menyusuri jalan arteri dan berkali-kali emosi oleh saking banyaknya lampu merah. Konon, kata Mas Rahmat, ada 33 lampu bangjo dari Kartasura ke Janti (dia sempat menghitungnya, dulu). Benar atau salah, saya kira jumlahnya tidak seberapa meleset. Dari angka itu dapat dibayangkan betapa ruwetnya lalu lintas dan pemodelan jalan di jalur ini mengingat jaraknya hanya ada 50 kilometeran saja. Setelah ambil buku di Kafe Mainmain, kami langsung ke rumah inap Ndalem Hartono di Cabeyan, Panggungharjo, sesuai arahan Pak Bambang Legowo. Lokasi ini tak jauh dari Pasar Seni Gabusan yang menjadi tempat acara CJI yang ke-10 ini.
Malam hari Minggu, 30 Agustus 2025, menjadi sangat spesial bagi saya karena bisa hadir dalam acara diskusi buku yang diselenggarakan oleh panitia CJI, yaitu Tirakat Jalanan. Ini adalah momentum pertama karena tidak pernah ada sesi semacam ini sebelumnya. Para anggota komunitas yang sudah datang lebih dulu di malam itu ikut hadir dan nimbrung. Sebagian lagi tampak menyiapkan persiapan kontes dan pernak-pernik acara lainnya. Sisanya ada yang tiduran saja.
AHAD, 31 AGUSTUS 2025
Seperti sebelum-sebelumnya, acara CJI Jogjakarta selalu meriah. Tanpa membandingkan dengan kegiatan korwil yang lain, acara CJI sangat ramai karena banyak sekali sub-acaranya, seperti permaianan BMX, nyanyi Koes Ploes-an. Selain itu, door prize-nya juga setumpuk, banyak sekali. Yang terbesar adalah mobil Colt T120 wagon.
Dalam pada itu, saya bertemu dengan banyak sekali teman lama. Dalam urusan Colt, yang paling lama saya tahu mungkin adalah Arkadius Anggalih (Angga) karena dialah yang buat mailing list coltmania di YahooGroups, cikal-bakal tempat diskusi para penggemar Colt. Tentu saja, saya juga bertemu dengan Pak Bambang Fidelis dan Pak Broto yang sering berinteraksi di blog ini sejak dulu (terutama Pak Bambang), namun saya baru jumpa pertama di tahun 2019, di Jakarta. Teman-teman lama ini mengingatkan saya pada masa awal punya Colt yang masih sering bertemu masalah dan kami saling berdiskusi, berbagi ilmu dan pengalaman. Dalam momentum acara seperti ini, pertemuan seperti ini tak kalah pentingnya karena sejatinya Colt itu hanya wahana, sedangkan tujuan utamanya adalah persahabatan.
Saya pulang, meninggalkan lokasi pukul 14.00. Rencana pulang lewat Wonosari – Pacitan – Madiun pun digagalkan, begitu juga saran dari Pak Doel Mulyadi agar menempuh rute Wonogiri – Ponorogo – Trenggalek – Tulunggagung pun tidak jadi, padahal baru saja kami obrolkan. Pasalnya adalah karena ada saudara mindoan, Mas Aak, yang bilang mau nunut ke Madura. Rencana berubah total. Kedua rencana perjalanan di atas pun dihapus.
“Tapi mobil saya tidak ada AC.”
“Tidak masalah.”
“Saya mau masuk tol dan turun di Sragen Timur, lewat arteri sampai Nganjuk, terus masuk lagi dari Tol Bandar, Kertosono.”
“Kok begitu?”
“Soalnya saya masih mau mampir di Nganjuk, masih nunggu kabar dari Nganjuk.”
“Kenapa tidak tol langsung Nganjuk?”
“Saldo tidak cukup.”
“Pake etoll saya!”
Demikianlah percakapan saya dengan Aak selalu tawar-menawar rute. Ah, rute berubah lagi dan ini adalah rute terakhir yang kami pilih. Kami pun berangkat menjelang azan Ashar, menuju Novi di Boyolali. Aak ada perlu dengannya. Dia adalah teman kami, teman bersama. Kami pun disuguhi gorengan dan kopi di situ. Saya mandi dan shalat di rumahnya, di rumah yang dulu berjaya sebagai tempat produksi keju premium Indrakila sebelum adanya pandemi.
Dari rumah Novi, kami langsung pulang, namun singgah dulu di Soto Mbok Giyem. Selesai makan berbarengan dengan azan Maghrib dan barulah kami berangkat, pulang.
Perjalanan tanpa henti membutuhkan waktu 4 jam, dari Boyolali ke Warugunung. Waktu terpotong rehat di Rest Area 626 untuk merokok dan pipis. Kami berjalan lagi dengan kecepatan rata-rata 85 km /jam, lebih dari 80 tapi kurang dari 90. Rehat dilakukan lagi di Masjid Dumajah, pukul 23.15, masjid tempat kami rehat pertama dalam perjalanan berangkat. Kami menunaikan shalat Maghrib dan Isya di sana, makan bakso dan santai pula, hingga akhirnya melangsungkan perjalanan kembali ke timur dan tiba pada menjelang pukul 02.00.
Dalam perjalanan kali ini, ada dua kejadian nyaris yang saya alami: pertama, ban tiba-tiba kempes persis setelah mobil parkir di penginapan. Ketika dibawa ke tukang ban, tidak ada bocor apa pun (dan terbukti aman digunakan pulang ke Madura), kedua; mobil mati mendadak saat keluar dari rumah Novi, baru samapi di tepi jalan, belum juga naik ke aspal. Masalah ada pada kabel kondensor terlepas. Perbaikan dilakukan kurang dari 2 menit. Yang terakhir, selang bensin patah (mungkin karena sudah sangat tua sehingga kaku, persis setelah mobil diparkir di saat baru tiba di Karduluk, di rumah tujuaan Aak.
Semua kejutan di atas ini membuat sensasi kecil yang justru mewarnai perjalanan kami dengan mobil tua, mobil yang sudah luntang-luntung di muka bumi ini kurang lebih 45 tahun lamanya.
Alhamdulillah... saya dulu waktu madrasah Aliyah pertama kali belajar mobil jenis ini...kenangan seumur hidup... hehe 😀🤝🇮🇩
BalasHapusterima sudah berbagi cerita. Saya belajar menyalakan mesin dengan Hiace, tapi belajar menyetir dengan Colt
Hapusdarah dagingku colt..
BalasHapusheroik sekali, Mas... Haha, darah daging
HapusSelalu suka membaca tulisan mengenai titos satu persatu bait demi bait, susah senang semua diceritakan 😀 sangat transparan 🙏
BalasHapusAlhamdulillah jika demikian. Memang begitu yang saya lakukan, tidak perlu disanjung terlalu melambung jika kepunyaan kita ini memang sering bikin repot, ha ha
HapusAssalamualaikum pa kyai,Alhamdulillah selamat sampai kemadura
BalasHapusWa alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuhu. Hamdalah
Hapus