Pembaca

22 Juli 2016

Undangan ke Poreh


“Pukul berapa?” tanya saya kepada Pak Syafi' yang datang ke rumah untuk mengundang kami menghadiri acaranya, selamatan untuk putrinya yang telah diakad nikah 3 bulan lalu.
“Pukul 8.”
“Baik, insya Allah saya berangkat pukul 7. Hari Selasa kebetulan saya memang tidak punya jadwal mengajar. Syukurlah.”

Pada datum yang ditentukan, 19 juli 2016, saya mancal Colt pukul 7:05 dari halaman rumah. Sayangnya, perjalanan harus mundur lagi ke angka 7:20 karena bibi saya malah menambah kemoloran. Saya cemas karena saya tahu, meskipun jarak rumah saya ke lokasi itu relatif dekat, masyarakat Poreh, tempat Pak Syafi’ tinggal, dikenal sangat disiplin dalam menghargai waktu. Biasanya, mereka tepat waktu, terutama untuk acara pernikahan.

Supaya tuan rumah tidak kecewa dan malu andaikan acara harus molor karena hanya menunggu satu-dua orang undangan, ya, kami ini, dengan terpaksa, saya melajukan Colt yang biasanya cuma berjalan di kisaran kecepatan 50-60 menjadi 60-70 km/jam. Jarak tempuh, sih, 25-an km, tapi karena situasi pagi biasanya lalu lintas hiruk-pikuk, saya ambil rentang waktu aman.

Dimaklumi, warga desa Poreh, sebuah desa di Kec. Lenteng, terkenal sangat disiplin. Memang, sih, saya mengenal orang atau keluarga tertentu yang sangat disiplin dan tepat waktu, seperti “kiai-kiai pondok Karay” dan sosok Kiai Zubaidi Banasare. Kiai Zubaidi bahkan sampai terkenal sebagai acuan waktu tertentu, semacam istilah “undangan pukul 8-nya K. Zubaidi” yang artinya beliau itu biasanya datang 30 menit sebelum acara. Akan tetapi, di Poreh atau Cangkreng dan yang selokasi dengannya, disiplin waktu bukan milik orang per orang atau kelompok per kelompok, melainkan sudah menjadi watak bersama masyarakat desa. Saya yakin, kedisiplinan ini jelas dibangun dalam waktu yang sangat lama dan manfaatnya terasa sekarang, sama seperti kita lihat kedisiplinan orang-orang di negara maju.

Disambut oleh gelegar tata suara yang membuat tak mungkin adanya pembicaraan meskipun hanya berjarak 2 meter dengan lawan bicara, saya tiba di lokasi pada pukul 7:50. Berjabat tangan dengan para penerima tahu dan tuan rumah butuh waktu 5 menitan. Tak lama setelah itu, datang seseorang yang mengantarkan pelantang dan kitab barzanji ke hadapan Kiai Bushiri Alimufi. Dua menit kemudian, tata suara dimatikan. Dahsyat, ternyata jam menunjukkan pukul 8 lewat 2 menit (mungkin di jam tangan yang lain memang tertera pukul 08.00 persis). Pemandangan menandakan; acara siap dimulai karena hadirin sudah “rampong”, istilah kami untuk situasi hadirin yang sudah datang nyaris semuanya.

Pagi itu, acara dimulai oleh Kiai Bushiri tanpa perlu lagi ada penata acara. Rangkaiannya adalah pembacaan Surah Al-Fatihah lalu dilanjutkan dengan shalawat Ad-Dayba'i secara duduk. Bagian ini dilaksanakan oleh Kiai Bushiri sendiri. Berikutnya, shalawat qiyam (shalawat sambil berdiri dan menabuh rebana) dibawakan oleh penabuh hardrah setempat. Sementara itu, mempelai pria menyalami hadirin lalu masuk ke dalam, mengunjungi mempelai putri. Setelah shalawat selesai, acara ditutup dengan doa oleh Kiai Zaini.
Acara berikutnya adalah makan-makan lalu bubar. Acara dimulai tepat waktu dan rangkaiannya sangat singkat. Itulah acara paling simpel dan paling tidak molor yang saya tahu. Keren atau bagaimanakah model acara seperti ini menurut Anda?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...