Pembaca

13 Mei 2016

Perjalanan Colt: dari Kematian ke Kelahiran

.
Colt saya ini hanya dibawa pergi ke kondangan, takziyah, silaturrahmi. Ya, hanya itu saja kayaknya pergerakan roda-rodanya. Pernah, sih, beberapa kali dipinjam famili lain, tapi saya yakin Colt tidak dibawa ke tempat wisata atau berbelanja ke mal. Pernah juga menyiksa paman karena membran yang tidak bekerja dengan baik padahal dalam suasana liburan panjang, dan dalam perjalanan sangat jauh. Kasihan saya kalau ingat kisah itu, saih itu.

Saat pertama beli dari paman (yang satunya lagi), nenek bilang agar pergerakan roda pertama mobil harus ke tempat yang senang-menyenangkan, sebut misal pergi silaturrahmi atau ke mantenan. Saya pun menurutinya. Mobil ini diakad pada malam 16 dzulhijjah 1429 dengan harga 17,5 juta, tapi dibawa pindah garasi pada tanggal 18-nya, bertepatan dengan Rabu, 17 Desember 2008. Perintah pindah garasi ini ditunjuk langsung oleh si paman. Kata beliau, tanggal 18 merupakan hari keren. Sebagaimana seorang cowok nembak cewek pada momen tertentu, pindah mobil pun pilih-pilih waktu.

Cerita hari ini begitu juga

Hari ini saya pergi takziyah ke rumah seseorang di Poreh, Lenteng. Ya, takziyah atau pergi melayat adalah bagian dari aktivitas saya, begitu juga tilik bayi. Pagi ini, apa daya, jalan ke lokasi ternyata tidak bisa dijangkau dengan mobil, padahal saya sedang mengantar ibu saya yang sudah mulai sulit untuk berjalan kaki agak jauh. Tidak apa-apa, lalui saja. 

Perjalanan kami melewati barisan rumpun bambu, asri sekali. Kami hendak menyeberang jembatan bambu tapi ibu tidak berani, gamang. Akhirnya, kami terus maju, mencari jembatan beton. Kami harus lewat di sana karena alasan itu meskipun rute jadi memutar, lebih jauh sedikit.

Tuan rumah menyuguhi teh dan campor, sebuah kuliner khas Lenteng-Poreh yang berupa soto daging dengan campuran kacang goreng yang dilarutkan bersama kuah. Isi utamanya adalah ketupat. Jadi, jelaslah kalau campor ini mengenyangkan.

Setelah takziyah ke mendiang Rumma, kami pulang dan menuju Lenteng. Di sana, kami takziyah lagi ke rumah Jufri. Kakeknya, Enik, sudah wafat 3 jumat yang lalu. Saya baru berkesempatan di hari ini. Kalau ditanya, pastilah kami akan berbasa-basi, sibuk dan entah alasan lain. Sebelum disuguhi kopi, kami sudah berpesan dulu agar tidak disuguhi makanan berat lagi, sejenis campor atau lainnya. “Kami baru saja makan di Poreh,” begitu kata saya. Begitulah, ada satu kebiasaan di masyarakat Madura tertentu: kalau tamu tidak segera ngomong, tuan rumah akan menyuguhkan makanan lagi.

Hari itu kami agak terburu-buru. Pukul 10.30 kami sudah meninggalkan rumah Jufri, melewati jalan yang sungguh sangat sempit dan saya tidak bisa membayangkan kalau saja terjadi papasan dengan mobil lain. Jika itu terjadi, pastilah salah satu mobil harus mundur sejauh-jauhnya untuk mencari tempat memutar atau menyisi. Jalan berbatasan langsung dengan tegalan.

Pukul 11.10, saya tiba di rumah dan bersiap pergi ke Jumatan. Sorenya, saya kembali pergi, tilik bayi ke rumah Muallifah yang entah sudah berapa waktu melahirkan. Sehari ini, Colt saya sudah menyambangi orang mati dan orang yang baru lahir ke muka bumi.


Begitulah adat kami, sibuk ke sana ke mari untuk kematian dan kelahiran atau sesuatu yang berada di antaranya: pernikahan. Ya, Allah. Engkau adalah Mahapengampun. Maka, ampuni hamba bila lalai sebab kami, hamba-Mu, adalah makhluk Mahasibuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...