Pembaca

12 Mei 2016

Curhat Seorang Sopir Colt


Diperkirakan, terhitung sejak akhir 2008 hingga sekarang (Mei 2016), saya telah menempuh sekitar 80.000 kilometer sebagai sopir Colt T120 atau hampir seratus ribuan sebagai sopir secara umum. Angka tersebut tentu akan lebih tinggi jika dihitung mulai saya legal legal sebagai sopir, yakni pada tahun 1997, sejak mula-mula mengantongi SIM-A. Bagi seorang sopir bis malam trayek Pulo Gadung-Sumenep, angka seratus ribu hanya butuh sekitar 4 bulan untuk dicapai.

Selama mengemudi, saya tidak pernah melakukan pelanggaran lalu lintas yang menyebabkan keluar duit untuk tilang. Kalaupun pernah terjadi pelanggaran, maka itu terjadi pada saat saya menjadi penumpang atau ketika saya mengemudi namun kesalahan berasal dari penumpang (seperti tidak pakai sabuk keselamatan, dll). Dalam hal mengemudi, saya kira saya sudah sangat berhati-hati. Saya kira, lho.

Belakangan ini, saya mulai bosan mengemudi. Terkadang, saya ingin bepergian dan ada sopir yang mengemudikan kendaraan sedangkan saya duduk di tengah atau di sisi kiri. Sayangnya, saya merasa belum mencapai level untuk menjadi seperti itu. salah satu alasannya adalah karena mobilnya adalah Colt T120 yang tidak sembarang orang mau atau mampu dan atau mau-dan-mampu mengemudikannya. Mobil lawas itu perlu perlakuan khusus dan pemahaman mendalam: rem tidak boleh diinjak mendadak, nariknya harus pelan-relan, dan banyak aturan ini-itu lainnya. Akan tetapi, saya masih ragu, apakah rasa bosan itu muncul karena yang saya kemudikan hanyalah Colt T120 atau karena semakin banyaknya lalu lintas di jalan raya yang kian serampangan dalam berkendara? Rasanya, setiap kali pergi, saya selalu sumpek melihat fenomena masyarakat dalam berlalu lintas di jalan raya.

Jika harus bepergian, biasanya saya akan memilih angkutan umum selama itu memungkinkan. Seperti diajukan di atas, semakain tua, saya ini bukannya semakin bijak, tetapi semakin tidak sabaran kalau harus menonton kesemrawutan pikiran orang-orang yang diejawantahkan dalam kesemrawutan mereka dalam membawa dan menjalankan tubuh dan mesin di jalan raya: orang-orang yang menyerobot tanpa rasa bersalah, orang-orang yang tidak bisa menahan diri di lampu merah; orang-orang yang terburu-buru hingga tak bisa sabar meskipun sebentar saat ada orang menyebarang atau memotong jalur, orang-orang yang dalam mengalah pun ia harus dalam keadaan terpaksa. Sesungguhnya, kecelakaan lalu lintas itu tidak semata-mata karena adanya pelanggaran, melainkan juga karena faktor-faktor seperti ini pula.

Potret tradisi, kebudayaan, bahkan mentalitas sebuah bangsa itu dapat dilihat dari bagaimana mereka berinteraksi dan berkomunikasi di jalan raya. Potret jalan raya adalah representasi watak masyarakat. Saya, kok, berkeyakinan kalau orang-orang yang bisa berlaku beres di jalan akan juga beres dalam dalam sisi kehidupan lainnya. Mengapa? Sebab, jika di tempat tempat lain orang bisa bermuka dua, di jalanan tidak. Orang-orang pasti “jujur” di jalananan, menampilkan tampang dan watak aslinya. Jika di jalan mereka berperilaku baik, maka dengan demikian, di tempat lain, bahkan di tempat-tempat yang tersembunyi sekali pun, besar kemungkinan mereka juga akan berlaku baik dan lebih berhati-hati.


Maka dari itu, jika saya menjadi presiden di sebuah negara yang elemen sosial, politik, bahkan spiritualnya sudah nggak karu-karuan, yang pertama kali akan saya bereskan adalah perilaku tertib dan penghargaan kepada orang lain di jalan raya. Setelah itu, barulah saya akan membenahi persoalan bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...