Pergi ke Surabaya menjelang subuh itu dengan cara naik mobil
plus menyetir sendiri di kala itu, Kamis (9/11), sama sekali tidak saya
rencanakan. Alasannya, saya tidak perlu membawa banyak orang untuk kepentingan
ini, cukup sendirian. Alasan lainnya adalah karena fisik saya yang sangat capek
sebab hari Rabu (8/11) paginya, saya baru saja datang dari Malang, pergi-pulang
secara tektok. Akan tetapi, pada akhirnya, saya bawa Colt dan mengemudikannya
sendiri, didampingi dua orang manusia sebagai penggembira.
Saya bangun pukul 02.20 dan langsung menjerang air untuk
membuat kopi serta memasukkannya ke termos nirkarat. Kopi ini dipersiapkan
untuk saya minum sambil mengemudi, semacam pertalitenya sopir. Dua penumpang
saya tersebut hanya bertugas menuangkannya. Mereka bukan kernet atau lainnya.
Ya, itu saja salah satu tugas penting mereka. Tugas lainnya tidak tercapai
karena mereka saya persiapkan untuk mendorong andai saja mobil mendadak mogok
dan seterusnya, sebab mobil berjalan normal saja.
Rencana dadakan ini (terpaksa bawa Colt) muncul karena adanya
informasi penutupan total Jembatan Sempar di Blega (Bangkalan) karena adanya pendatangan
wheel crane, dan dilanjutkan pengangkatan balok girder
bentang 40,6 meter sebanyak 4 unit. Durasi total ekskusi ini diperkirakan memakan
waktu 6 jam dan sebab itulah jembatan Blega ditutup total. Rute saya alihkan ke
pantai utara Madura yang jalannya mulus dan sepi di malam hari.
Saya meninggalkan halaman rumah dengan odomoter 626/0. Lanjut ke barat, ke Pakong, lalu ambil kanan ke Waru, ambil kiri ke arah Sotabar. Nah, dari Sotabar ini tak ada menggokan lagi. Jalanan lurus-rus-rus ke arah barat, datar, tanpa tanjakan. Tidak selebar di jalur selatan, sih, tapi mulus dan sepinya jalan dari keriuhan kendaraan dapat juga dicatat sebagai poinnya. Meskipun ketika berangkat TOA di masjid sudah mengumandangkan qiraah jelang azan, tapi saya shalat subuhnya di area Banyusokah, Ketapang. Betapa mulus dan lancarnya perjalanan saya kali ini, padahal saya memacu Colt hanya di kisaran 70 km/jam rata-rata.
Hanya ada 3 lampu lalu lintas yang saya lewati hingga
mencapai Tangkel, pintu akses tol Suramadu sisi Bangkalan: pertama,
lampu lalin Arosbaya. Lalu lintas sangat jarang sehingga saya heran mengapa ada
lampu lalu lintas di tempat yang sepi ini; kedua, lampu lalin di sebelah
barat RSUD Bangkalan, tapi saya tidak tertahan di sini karena ada aturan “belok
kiri, langsung”, dan; ketiga, lampu lalin di pertigaan Junok. Ya, hanya
ada 3 lalu lintas sepanjang perjalanan 134 kilometer dari halaman rumah sampai
Tangkel jika kita lewat pantai utara, itupun hanya satu lampu lintas di
Junoklah yang benar-benar seperti lalu lintas sungguhan. Dan ketiga lampu lalu
lintas tersebut berada di (sekitar) kota Bangkalan.
Dengan rute ini, kelebihan jarak berkisar 15 kilomter. Sebab, jarak tempuh (berdasarkan odometer) dari rumah lewat Waru, Sotabar, Bangkalan, Junok dan terus ke Tangkel, itu 134 kilometer. Sementara lewat jalur selatan hanya berkisar 119 kilometer sampai Tangkel. Tapi, kalau macet di Blega sampai 3 jam, kan tidak menarik, tho?
***
“Sudah di mana?” tanya Baha’.
“Jatim Expo.”
“Anda masuk ke jalan arteri, ambil kiri...”
“Wah, kebablasan.”
Tenang, saudara-saudara. Polisi tidak akan menilang saya hanya karena saya menerima panggilan telepon di saat mobil berjalan. Sudah biasa, sebelum mobil bergerak, ponsel saya hubunggkan ke input amplifier. Profil saya atur ke auto-answer mana kala ada input headset. Jadinya, kalau ada panggilan masuk, dengan sendirinya suara penelepon akan langsung diterima dan suaranya terdengar ke seluruh penjuru kabin, sangat nyaring. Hati-hati kalau menelepon saya saat sedang mengemudi. Jangan ngomong utang dan rahasia yang lain. Semua penumpang akan mendengarnya. Pastikan dulu, rahasia atau tidak pembicaraan itu kepada saya sebelum ada pembicaraan tingkat lanjut.
Oh, ya, saya kebablasan karena saya tidak memperhatikan jalan. Dulu, kalau mau ke UINSA itu tinggal belok kiri saja, tapi kini sudah beda lagi ternyata. Jadinya, saya harus muter lagi, agak ke seletan, dan sungguh macet. Hal ini mengulur waktu jadi sangat lama, juga bikin dehidrasi karena keringat memercik meskipun kejadian ini di pagi hari. Nasib mobil tak ber AC memang kayak ini.
Tujuan saya hari itu adalah UINSA, terletak di Jalan A.
Yani. Saya berdiskusi dengan teman-teman KOBAR (Komunitas Baca Rakyat). Tema diskusi adalah buku Hadrah Kiai karya
Raedu Basha. Pak rektor yang rencana hadir menjadi pembanding akhirnya gagal
karena mendapatkan tugas mendadak dari Kementrian Agama untuk pergi ke India.
Betapa susahnya jadi orang penting dan sibuk macam Pak Rektor itu sebab ke
Indianya, kata Gus Rijal Mumazziq yang menjadi moderator dalam acara itu, beliau
jelas bukan untuk syuting Bollywood.
bersama Nuril (foto milik dia) |
Saya pulang setelah azan ashar meskipun acara selesai tak
lama setelah masuk waktu Duhur. Tujuan berikutnya adalah Kedungdoro. Tapi,
rencana itu lantas gagal, tepatnya saya gagalkan. Kemacetan menggila sejak baru
keluar dari areal parkir UINSA. Jalan arteri depan Royal Plaza lumayan lancar,
tapi macet lagi bahkan di atas jembatan layang depan RSI. Macet kian gila lagi
saat kami melintasi Tunjungan Plaza hingga Jalan Praban. Arus tersendat saat Colt sudah
masuk Jalan Stasiun Kota dan terus ke Jalan Dukuh, tembus Nyamplungan.
Sore itu, tujuan saya mampir ke Jalan Sasak, beli kitab
Risalatul Muawanah. Astaga, harganya murah banget, Rp 3250 (Pertama kali saya
beli kitab itu di Cukir, Jombang, dengan harga Rp500 pada tanggal 17 Maret
1991. Selama 16 tahun, harga kitab ini naik hanya 2750 rupiah). Ini adalah
acara ambil bonus agar bawa mobil itu dapat dianggap lebih menguntungkan
daripada naik bis. Kalau naik mobil tapi jalur dan tugasnya sama dengan naik
angkutan umum, rasanya kok rugi dan kurang baik karena buang-buang energi fosil
yang banyak ke udara.
Menjelang Maghrib. Kami meninggalkan kawaan Maqbarah Sunan Ampel
itu, putar balik di jalan Pegirian, tempus Kapasan, lanjut Kenjeran. Semua lalu
lintas di ruas jalan itu sangat rapat, jalan tersendat. Keringat terus mengucur
dari dahi, tapi jelas lebih kejam saat terjebak macet di depan RSI dan di jalan
Tunjungan tadi. Sungguh, itulah momen di mana Colt ini berasa oven yang pakai
roda. Namun, sebetulnya, penyebab panas ini salah satunya adalah akibat Colt saya
ini sudah tidak ada cat dan tidak berdempul lagi. Semua sudah dikelupas untuk
dicat ulang, tapi apa daya dana tak samapai. Ibarat kata, andai saya ini telur
ayam kampung saat di UINSA, sampe di Ampel sudah ‘madun’ (setengah matang). Itu
baru bicara soal panas dan keringat yang mengucur, belum lagi bicara soal betis
yang sakit karena terlalu sering memainkan kopling. Berjayalah mobil-mobil
matic ber-AC di situasi seperti ini.
Seperti biasa, saya selalu ambil kiri dari jauh kalau mau
belok kiri ke Kedung Cowek. Soalnya, kadang ada operasi lalu lintas persis
setelah perempatan itu, seperti sore ini. Sebuah mobil Innova kena jebakan,
atau menjebakkan diri dengan melanggar marka. Sudah tahu kalau marka dekat
dengan lampu merah itu pasti marka nyambung, ya, kok dilawan juga. Makanya,
jangan asal nyebret pindah jalur. Dulu, saya pernah hampir kena tilang di situ,
hampir saja, tidak jadi ditilang.
Saya naik putar balik lewat jembatan layang, persis setelah melewati
pintu keluar Suramadu. Jalan di gudang senjata (arsenal) Batuporron sudah sepi
saat kami melintas. Azan maghrib sudah berkumandang. Kami bertiga sudah sepakat
untuk jamak ta’khir di Masjid Cendana, Kwanyar. Tapi, saat melintasi jembatan di
Sukolilo, sebelum Kwanyar, mobil mendadak mati. Saya tidak kaget karena matinya
tidak bretbet. Kesimpulan awal dapat langsung diambil: pasti ada arus
kelistrikan yang putus.
Waduh. Hari sudah mulai gelap, keringat sudah mulai kering.
Tapi, mogok ini jadi pertanda keringat bakal memercik lagi, pikir saya,
harap-harap cemas kalau-kalau perkiraan saya salah. Untung, kesempatan itu
membuat saya rehat sejenak dengan melaksanakan shalat di maghrib masjid yang
tak jauh dari TKP sementara kedua anggota saya perintahkan untuk membuka jok
depan (Ternyata, mereka banyak menolong energi saya agar tidak kerkuras semua).
Setelah shalat, suasana jadi tenang. Barulah saya periksa
satu per satu. Lampu CHG mati, klakson mati, lampu depan mati. Kesimpulannya
satu: strum dari aki terputus. Pengecekan pertama adalah sekring. Saya cek, tak
ada yang putus. Pengecekan kedua langsung ke aki. Benul, eh, betul, kabel aki
yang datang dari penyuplai dinamo ampere terlepas.
“Kok lepas ini?” tanya saja kepada Jamil, satu dari dua
orang anggota
“Kurang tahu,” jawabnya polos, tanpa micin dan tanpa sambal.
“Kamu kemarin yang membersihkan aki, kan?”
“Kurang tahu juga,” makin polos jawabannya, tanpa kecap dan
saos tomat.
Oh, jadi, pantesan, selama beberapa hari ini, nyala lampu
depan itu sedikit buram, ini tho penyebabnya. Begitu saya menduga. Kabel cuma
nempel sedikit dan dipasang tidak dengan ketat, itulah cikal-bakal mogoknya,
dan copotlah. Kami pasang lagi, start dan jalan lagi.
Kaget saya. Lampu depan jadi sangat terang. Klakson jadi
nyaring mendadak. Sungguh saya gagal memercikkan keringat dingin setelah tadi
sudah mengucurkan keringat panas saat muterin Surabaya. Menyenangkan sekali
kalau masalah dapat diselesaikan dengan cepat, kayak Perum Pegadaian.
Setiba di Kwanyar, saya langsung sowan makan Sunana Cendana.
Sesudahnya, seperti biasa, saya lantas menemui keturunan juru kunci makam, Haji
Syaiful, untuk ngopi-ngopi di rumahnya. Sementara kedua orang anggota saya
dibiarkan shalat di masjid. Mereka menunggu saya di luar karena janji saya
tidaklah lama.
Setelah berangkat, seperti janji, tidak lama setelah saya
bertamu, pukul 22.00, kami tiba di depot Arwana, Branta, Larangan Tokol. Ya,
kami isi BBM untuk perut karena bensin sudah diisi banyak, 170.000, di SPBU di
Kedung Cowek, tadi pagi. Lalu, kami pun lanjut lagi menuju ke rumah dan tiba
dalam keadaan selamat.
Capek? Iya, tapi saya hanya tidur sebentar, hanya 1 jam
karena setiba di rumah, saya masih mengetik dan menyelesaikan beberapa tugas
ketikan yang belum kelar. Apa yang membuat capek perjalanan? Jarak dan suasana
batin. Mengapa saya tidak capek? Karena perjalanan ini menyenangkan. Pokoknya,
pekerjaan apa pun kalau kita enjoy dan senang dalam menjalaninya, sulit sekali ia
akan membuat Anda capek. Jadi, pastikan untuk mencintai dulu pekerjaan Anda
agar anda tidak mudah capek dibuatnya.