Pembaca

28 Desember 2019

Perjalanan ke Bali (Etape IV: Seririt - Sumenep)


Setelah sepagian saya mengecek roda, oli, dan air radiator dan semua dipastikan semua beres, pukul 09.30 kami bertolak di Sririt. Pada roda depan tampak ada lelehan gemuk (stemplet). Mungkin karena stempletnya pakai yang murahan dan gampang meleleh kalau panas. Maklum, berjalan turun sejauh 40-an kilometer dari Bedugul itu jelas bikin roda panas sekali.
Setelah isi premium 150.000 di SPBU setempat, kami langsung jos ke barat. Muatan bertambah berat karena bawa oleh-oleh. Duren dari tuan rumah, anggur dari Om Faqih, dan juga ada beberapa makanan. Jalan yang panjang dan lurus, tidak ada gelombang, diselingi pemandangan yang menarik, satu jam perjalanan tak terasa. Tiba-tiba kami sudah sampai di SPBU 54.811.12, stasiun pengisian bahan bakar yang dekat ke rumah Man Faqih di Pemuteran.

Dari SPBU itu, Gilimanuk tinggal 29 km lagi. Dan kira-kira ¾ dari jarak itu adalah Taman Nasional Bali Barat. Kalau lewat di sana, pastikan ban tidak kurang angin, tidak kekurangan bensin, karena setelah SPBU itu, setahu saya, tak ada SPBU lagi dan tukang tambal ban. Jarak segitu bisa ditempuh dalam waktu 30 menitan lebih sedikit, karena jalan sangat bagus dan tak ada perkampungan penduduk.

Meskipun hari ini adalah Natal, 25 Desember 2019, penyeberangan dari arah Bali maupun Ketapang normal saja. Sayangnya, saya kebagian naik feri Dharma Kencana III. Feri ini besar. Jalannya lemot, beda dengan yang kemarin malam kami ikuti (lupa namanya). Akan tetapi, meskipun menyeberangnya satu jam lebih, tapi kami dapat bonus selisih waktu satu jam, antara WITA ke WIB, berkebalikan dengan saat nyeberang ke Bali yang 'tercuri' waktu satu jam. Namun, ternyata, meskipun kami dapat untung satu jam, waktu kapal kapal mau sandar, eh, jembatannya macet, tidak bisa dibuka. Mobil-mobil sudah menyalakan mesin. Ada sebuah truk FUSO Fighter yang asapnya bergulung. Lantai kapal pun bau solar.

Dicoba-coba tetap tak bisa, akhirnya kapal mundur, putar haluan, dan masuk ke dermaga 3 (tadinya mau sandar di dermaga 2) dengan cara mundur. Jadinya. semua kendaraan akhirnya putar balik di dalam kapal untuk bisa keluar dari geladak belakang. Adapun truk tidak bisa, ia harus jalan mundur.

Dari Ketapang, kami sein kanan, ke arah utara. Loka pertama yang kita bakal jumpa adalah Bangsring, Bengkak, terus Alasbuluh. Nah, tepat di balai desa nama terakhir ini kami belok kanan, masuk ke jalan kelas III c, menuju PP Nurul Abror Al-Robbaniyyin. Kami sowan ke KH Fadlurrahman Zaini (biasa disebut Kiai Fadol). Saya merasa berasalah karena sowan tidak tepat waktu, yaitu lepas shalat duhur. Kiai sedang istiharat, tapi dibangunkan oleh nyai karena dengar kabar ada tamu dari Madura, padahal saya hanya singgah dan mampir saja. Astaga.

Kiai Fadol adalah putra daripada Kiai Zaini Mun’im, pendiri PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Beliau pindah ke Alasbuluh dan mendirikan pondok pesantren di sana. Istri beliau adalah Nyai Hasbiyah, sesaudara dengan Kiai Abdul Hamid bin Mahfud, pengasuh PP Bata-Bata (Miftahul Ulum) saat ini. Anda kalau sowan kepada beliau akan auto-tenteram, melihat betapa tawaduknya beliau itu.

Dari Alasbuluh, ganti saya yang bawa. Ada kejadian menarik saat saya masuk Galekan. Habis jembatan, agak menikung, ada Panther warna emas membunyikan klakson di seberang jalan. Posisinya sedang parkir. Saya melambatkan laju mobil lalu menepi di depan sebuah toko. Saya menoleh ke belakang: Panther putar balik, kembali, menuju ke arah kami. Eladalah, ternyata Moefti Nadzir. Ya Allah, ayahnya wafat tempo hari dan saya belum takziyah. Ketemunya malah di pinggir jalan.
“Dari mana?” tanyanya.
“Barusan dari Kiai Fadol.”
“Mari mampir,” ajaknya.
Terima kasih, saya memang ingin, tapi kali ini sangat mendesak. Mohon maaf. Semoga masih ada waktu, lain kali,” Saya berkelit. Lalu, saya tanya, mengapa dia bisa melihat saya dan mobil saya, padahal jarak dari rumah saya ke tempat kami bertemu ini jauh sekali, 420-an kilometer.

"Tidak pangling, ada Colt pakai stiker PARIWISATA, ha, ha, ha," katanya. Ternyata, pasang stiker itu ada manfaat yang lain, meskipun tujuan saya yang pertama malah tidak tercapai, yaitu agar mobil saya tidak dicegat orang karena dianggap angkutan pedesaan, dan ternyata masih sering dicegat juga di jalan.

Kami tiba menjelang asar di Sukorejo. Kami takziyah ke kediaman Nyai Isya'iyah binti As’ad bin Syamsul Arifin (biasa dipanggil Nyai Isya’ atau Nyai Sa’. Suami beliau, Kiai Muzakki Ridwan, wafat beberapa waktu yang lalu. Sebetulnya, masih ada beberapa orang yang harus ditakziyahi, di antaranya adalah Pamanda Abdul Karim di Panarukan, dll. Namun, apa daya, waktu tak cukup adalah alasan. Saya hanya berdoa di dalam hati, semoga doa yang saya panjatkan dapat cukup mewakili meskipun suatu saat saya bisa datang ke sana, entah kapan, di suatu hari nanti.

Di Sukorejo, tanpa sengaja, kami bertemu dengan banyak orang. Di antaranya dengan Junaedi Salat, Ali Romzi, dan bu dosen Nurainiyah. Karena saya duduk di tepi jalan, banyak juga santri yang rupanya kenal dengan saya, ada yang malah tahu kalau ada saya karena ada mobil Colt T Pariwisata parkir di dekat komplek Nurul Qoni’. Saya melihat mereka dari jauh, ngobrol dengan Warid yang ada di mobil, dan saya melihat mereka dari kejauhan.

Kami pulang dari Sukorejo pukul 17.05. Mampir dulu di SPBU, mimik premium lagi, 100 ribu saja. Di tangki masih ada banyak, cuma untuk jaga-jaga saja. Habis itu, kami lanjut ke kediaman Pamanda Syibawaih untuk shalat maghrib dan ambil bantal dan tertinggal. Selepas itu, kami lanjut ke rumah Pamanda Zaini, di PP Is’aful Mubtadiin, desa Lamongan, Kec. Arjasa, Kab. Situbondo. Sempat istrihat sebentar di sana, ngecas ponsel, ngecas kamera, dan ngecas perut, dan ngecas tulang belakang sebab dari tadi pagi duduk terus dan tidak telentang sama sekali.

Pukul 21.00, kami bertolak. Warid kembali mengemudi. Dia memang insomnia di jalan, jadi saya sama sekali tidak khawatir akan ngantuk. Belum sekali pun saya lihat dia menguap ketika menyetir mobil, beda dengan saya. Jalanan tidak begitu ramai, tapi tidak sepi pula. Makanya, pukul 21.15, kami sudah masuk Besuki meskipun laju kendaraan wajar-wajar saja, 60-70 km/jam.

Namun, lancarnya perjalanan dari timur ternyata dibayar lunas dua kali: menjelang kota dan sesudah kota Probolinggo, dengan durasi antrian yang relatif sama lamanya, yakni 30 menitan. Antri pertama adalah di lampu merah Randu Pangger, lampu merah ujung timur kota. Antrian terjadi karena ada perbaikan yang berdampak pada arus lalu lintas dan jalan, dari dua jalur ke satu jalur, menggunakan sistem buka-tutup. Antrian yang kedua adalah antri kopi saat kami rehat di Warung Kencur, dekat Bayeman, kira-kira 2 kilometer dari Ketapang, lampu merah paling barat kota Probolinggo. Walhasil, kami sampai Randu Pangger pukul 23.25, masuk kota, ngopi—dan hanya ngopi saja—dan baru keluar dari pelataran parkir warung itu pukul 01.00: satu jam setengah untuk lewat kota dan ngopi. Lama benar, kan?

Untunglah, kekalutan karena lamanya menunggu pesanan yang menyebabkan selera ngopi menjadi hilang dapat bandingan permenungan: seorang bapak tua dengan beberapa anak (mungkin cucu) yang habis kena tabrak di Gratis. Belakangnya ringsek, kaca pecah. Kata dia, mobilnya habis kena seruduk truk di Grati. Di samping mengenainya, truk juga nabrak empat sepeda motor. Bapaknya tampak mencari orang untuk curhat, maka saya mendengarkan curhatnya. Supaya juga bisa menghiburnya, saya juga berbagi cerita, bahwa belum lama ini, mobil saya juga kena seruduk truk. Bedanya, truk yang nabrak mobil si bapak itu kosongan, sedangkan yang nabrak mobil saya bermuatan melebihi kapasitas. Tapi, kecurigaan penyebabnya sama: hilangnya konsentrasi di saat mengemudi yang salah satunya disebabkan adalah menelpon. 

Pukul 02.10, kami mencapai Bangil dan sepuluh menit berikutnya sudah masuk Bundaran Gempol. Kalau dari arah timur (Probolinggo; Bangil), anggaplah kita masuk dari angka “6”, maka untuk langsung naik ke tol tujuan Sidoarjo atau Surabaya, kita harus mengitari ¾ bundaran lebih dulu karena pintu aksesnya ada di angka “3”, sedangkan untuk ke Gempol cukup setengah lingkaran saja, yaitu di angka “12”. Bagi pelalu lintas yang baru pertama kali lewat di situ, papan petunjuk tersebut—menurut saya—agaknya kurang lengkap karena papan petunjuk di akses angka “12” hanya terpampang tulisan “Gempol” (dengan penunjuk kiri) “Porong” (dengan penunjuk jalur kanan), padahal papan penunjuk yang bertuliskan “Surabaya” ada di akses masuk angka “3”. Semoga enggak bingung. He, he, he.
Kami lanjut menuju Suramadu lewat jalan yang biasa, yang terdekat, yakni Pasar Turi, Tugu Pahlawan, Jalan Kenjeran. Kami masuk Suramadu dan terdengar shalawat mualik ketika isi premium 100.000 di SPBU Suramadu. 53.691.10. saya hitung, waktu shalat subuh masih sangat leluasa andai kami shalat di Blega. Maka, mobil pun dipacu ke arah timur, berkejaran dengan matahari terbit. Hingga akhirnya, 50 menit kemudian, 04.40, kami sudah parkir di halaman masjid Al Falah, sebelah barat lapangan Blega.

Tiba-tiba, mobil tidak bisa distarter. Waduh, kumat lagi ini. Saya tidak mau ambil pusing ngolong di bawah mesin karena saya sudah tinggal satu kalai trip lagi sudah sampai di rumah dan tidak perlu berhenti lagi di tengah jalan. Saya pikir, nanti saya dicek kalau sampai di rumah kemungkinan-kemungkinan penyebabnya: ban kipas dinamo amper yang kendor, soket dinamonya yang longgar; atau kul-nya yang aus. Adapun kemungkinan paling kecil lainnya adalah; kabel plus (+) ke dinamo starter yang kurang kenceng. Hanya ada empat kemungkinan itu dalam taksiran saya, tapi tak satu pun masalah yang saya periksa di lokasi mengingat hanya tinggal satu kali perjalanan: dari Blega mesin tidak perlu dimatikan lagi.

Memang, kami sempat berhenti di Camplong untuk beli nasi kobal (nasi bungkus yang terdiri dari nasi, srundeng kelapa, tahu, sekerat cakalan goreng, dan sambal cabai). Nasi kobal memang banyak ditemukan di area Sampang. Harganya ada di kisaran Rp 5000 – 10.000, bergantung banyaknya nasi. Langsung saya makan nasi itu saat itu pula karena perut agak lapar sementara Warid yang menjalankan mobil. Hamdalah, tidak kurang suatu apa, kami tiba dengan selamat di rumah pada saat anak-anak baru saja berangkat ke madrasah.
___________________________
Guluk-Guluk - Ketapang: 460 km
Gilimanuk - Seririt - Bedugul: 106 km
data ini berdasarkan Googlemaps karena odometer Colt sedang bermasalah
Biaya premium kira-kira: 700.000
Penyeberangan: 159.000 x 2 (300.000)

Perjalanan ke Bali (Etape III: Gerokgak - Bedugul)



Esoknya, kami keluar tidak jadi pagi-pagi, melainkan pukul 09.00. Rencana awalnya, tujuan saya hanya sampai di sini, lalu kembali, tapi istri ngajak main ke rumah temannya yang mengaku tinggal di Singaraja. Saya nanya, lokasi tepatnya ada di mana dan seberapa jauh ke tempat dia. Setelah terhubung sambungan telepon, diputuskan untuk main ke sana. Menurut si tuan rumah, perjalanan akan kami tempuh satu jam kurang-lebih menuju Seririt, tempat tinggal dia. Satu jam itu setara jarak 40 km di jalan padat atau 55 km di jalan lurus dan sepi. Pengalaman saya begitu.

Karena ke Seririt ini adalah agenda istri saya, maka saya pasrahkan maunya dia apa saja, mau ke mana saja silakan, asal jangan minta duit karena sangu saya sudah habis, sudah tinggal 300.000 (saya tenang saja karena nanti setelah pulang, saya akan ambil uang pembelian buku di Asembagus, Situbondo). Tapi untuk di Bali, mohon ampun, jangan cam-macam dulu. Tugas saya "mengantar" saja, beda dengan tujuan-tujuan yang sebelumnya yang memang inisiatif dan merupakan ajakan saja.

Kami tiba di Seririt menjelang duhur karena dari kediaman Om Faqih, kami masih singgah di rumah Rofiqi dan Kafi, kira-kira 2 km setelah SPBU Pemuteran. Mereka berdua adalah alumni PP Nurul Jadid, juga mengelola lembaga pendidikan bernama Nurul Jadid. Konon, lembaga itu didirikan oleh Kiai Mahfudz Amiruddin atas dukungan dari Kiai Zaini Mun’iem, pendiri PP Nurul Jadid Paiton. Rencananya, kami hanya mau salaman, tapi ternyata malah ngopi dan ngobrol panjang karena kebetulan ada Gus Endy, sepupu Om Faqih, dari Genteng, Banyuwangi.

Tuan rumah kami bernama Zaini dan Mawaddah. Pasangan suami istri ini sudah menikah 17 tahun tapi belum dikaruniai putra. Rupanya, di kawasan itu, banyak sekali warga Madura yang jualan ayam potong. Saya kira, warga Madura cuma numpuk di Denpasar dan Jembrana atau Bali selatan dan barat, ternyata di daerah Buleleng (Bali bagian utara) juga ada, tapi tak sebanyak di selatan.

Sehabis shalat duhur dan makan, Zaini lalu mengajak kami ke Bedugul.
“Aslinya, saya lebih suka duduk-duduk di sini sambil bercakap-cakap,” kata saya kepada mereka, “tapi karena ini adalah waktunya istri saya, maka saya manut saja.”
mereka tertawa lalu menjelaskan eksotika danau Bedugul. Tapi saya tetap tidak tertarik. Saya baru tertarik ketika mereka katakan bahwa rute ke sana sepenuhnya menanjak dan berliku-liku, melewati perkebunan cengkeh, kopi, dan durian. Wow, fantastis agaknya, pikir saya. Maka, tak ada alasan lagi untuk tidak setuju.

"Bawa mobil saya saja, Ra!" kata Zaini begitu saya masuk ke kabin Colt.
"Wah, saya kadung niat bawa Colt ke Bali, jadi biarlah."
"Wah, jangan, tidak perlu. Ini kita sudah bawa dua mobil," katanya. Saya lihat, memang ada dua mobil yang parkir: dua Innova beda generasi. Tapi, saya terlanjur masuk dan memundurkan Colt, jadi tidak ada yang dapat menghentikan saya, baik itu Pak Jokowi ataupun Pak Prabowo.
“Hanya kematian yang dapat menghentikan niat saya,” kata saya kepada mereka, “baik itu kematian orangnya ataupun kematian dinamo starter.”
Mereka tertawa lagi, meskipun ada rasa sedikit kecewa. Dan supaya mereka tidak terlalu kecewa dan saya juga tidak kecewa, saya ambil jangan tengah saja. “Sudah, biar Sampeyan bawa mobil Innova-nya bersama istri Sampeyan dan istri saya, saya naik Colt saja bersama Warid dan Muafi.” "Jalannya menanjak, lho, dan panjang."
"Sampeyan kayak ndak tahu Colt saja,” kata saya agak menantang. “Tanjakan itu bukan masalah bagi Colt sejauh cuma naik jalan beraspal, bukan naik tangga. Mobil saya sudah teruji melewati berbagai medan. Yang jadi masalah bagi Colt saya ini adalah kalau mau beli bensin tapi ternyata enggak ada duit-nya.”
Lagi-lagi mereka tertawa, terbahak bersama-sama.

Rute Seririt-Bedugul memang terjal, setidaknya di luar bayangan saya karena menurut Om Faqih hanyalah mirip dengan tanjakan dari Prenduan ke Guluk-Guluk. Jalan ke sana bisa ditempuh dari tiga pintu: dari Seririt, dari Singaraja, dari Denpasa. Betul ternyata, jalan menanjak langsung menghadang dari bawah, nyaris hanya ada beberapa ratus meter saja jalan datar, lainnya tanjakan dan tikungan. Saya mulai keder. Betul jalannya banyak mirip rute Prenduan ke utara, tapi masalahnya ini sangat panjang, lebih dari 30 kilometer agaknya.
Kira-kira 3/4 perjalanan, hati saya mulai cemas mengingat Colt saya ini tidak sedang sempurna tenaganya karena ada satu klep yang bocor sehingga busi tidak berfungsi pada posisi mesin lamsam/idle. Entah kalau pada putaran tinggi, anggaplah di status RPM 3000-3500. Yang pasti, tenaganya tidak seperti biasanya, sementara tanjakan tidak berhenti juga sejauh 30-an km yang lalu. Masih ada sepuluhan km lagi di depan. Ada 2 spot di mana gigi harus nanjak masuk 1, dan ada banyak sekali ruas jalan yang harus dilalui dengan persneling tertahan di posisi 2. Meskipun jarum suhu mesin sudah naik di posisi tengah bahkan terkadang naik ke atasnya lagi jika tanjakan terjalnya sangat panjang, saya tetap berani karena medan seperti ini sudah pernah saya lewati di rute menuju Taman Safari Prigen. Bedanya, kali ini treknya sangat panjang.


Namun, begitu tiba di puncak, seluruh ketegangan dan rasa khawatir terobati. Panorama surgawi terhampar di depan mata: danau, hutan, kabut, gerimis. Saya menikmati puncak kenikmatan secara sekaligus: kenikmatan sempat, sehat, serta kenikmatan lain yang tak terhitung oleh jari-jemari, semua ada di sini. Saya manut saja, mengekor dua Innova yang ada di depan saya.

Rupanya mereka membawa saya ke Taman Bunga, semacam Bukit Cinta kalau di Pamekasan, Madura. Ngapain di sini? Tidak makan, tidak ngopi, melainkan melakukan kegiatan paling tidak esensial, alih-alih eksistensial, bagi umat manusia, tapi dianggap paling tepat untuk menjalani "hidup eksis". Orang-orang pada selfie: sebuah tindakan 'egosentris' yang oleh Søren Kierkegaard, dulu, pernah dicaci-maki. Sayang beliaunya sudah tiada, tidak sempat tahu ada kamera nirlensa dan tidak tahu juga ada Bedugul. Sekarang, kenyataannya memang begini. Mau apa lagi? Saya pupuskan imajinasi ini dengan dua rumus melakoni hidup sosial: jalani dan nikmati.

Kami terus ke Kebun Raya, gelar tikar dan bersantai. Pulang dari sana, kami nyambangi Masrur yang rumahnya tepat berada di 15 meter sebelum pintu masuk/keluar. Dia lagi sakit asam lambung akut. Kasihan sekali. Ada Faridah, ibunya, yang mendampingi.
“Kapan tiba di sini?” kata saya
“Kemarin, soalnya anak saya sakit,” jawabnya lirih.

Masih begitu, dia sempat menyuguhi kami makan. Meskipun merantau ke Bali, gayanya dalam menyambut tamu masih tetap ala Madura. Sebetulnya, saya tidak tahu kalau Masrur ada di Bedugul. Yang saya tahu, dia kerja di Bali, begitu juga dengan Pak Ali, ayah Budiawan yang tinggal di Seririt. Saya kira, yang tinggal di sana hanya Pak Khotib karena dulu kakek saya pernah beli sedan miliknya dan ternyata, secara kebetulan juga, yang ngurus perpanjangan pajaknya dulu itu Pak Muafi, yang saat ini menemani saya di mobil ini.

"Habis ini kita langsung pulang?" tanya saya.
"Ke danau dulu," sela Pak Khotib.
"Tapi ini sudah pukul 6 lewat, sudah mau maghrib, apa tidak terlalu gelap?"
"Oh, tidak, masih bisa."

Tampaknya, kami adalah rombongan terakhir yang naik perahu cepat mengitari danau ini. Alam mulai gelap. Kabut menyelimuti gunung. Dingin udara bagai jarum-jarum akupunktur menusuk kulit. Pengemudi perahu cepat ini agaknya rada 'teler'. Gas ditarik dan tahu-tahu, di ujung timur danau, pak nakoda bermanuver, kemudi dibanting mendadak, untung kamera tidak terlepas. Manuver seperti ini ia lakukan beberapa kali. Yang terakhir, saat perahu sudah dekat dermaga, lajunya dihentikan mendadak dengan cara menurunkan gas secara serta-merta dan membanting kemudi sehingga bodi perahu melintang, terjadilah pengereman secara alami.

Kami turun dari perahu pas ikamah sedang dikumandangkan dari masjid Al-Hidayah, masjid yang berada di ketinggian, di seberang jalan, di selatan Danau Beratan. Bergegas saya ke sana untuk nunut jamaah maghrib. Rombongan Pak Zaini bersama istrinya dan istri saya pulang duluan.


Dari informasi Om Mamak, salah satu pengurus masjid ini bernama H. Sujono, alumni PP Annuqayah. Sayang saya tidak bertemu dengannya, lagi pula saya tidak kenal karena belum pernah bertatap muka. Sebagai kata pengantar, saya kira kunjungan kali ini sudah cukup. Kami pun pulang dan saya duduk di kursi belakang, Pak Khotib di tengah, sementara Pak Muafi menemani Warid di depan yang bertugas mengemudi dan dia sebagai penunjuk jalan.

Setiba di Seririt, saya rehat, duduk-duduk saja sambil ngetik cerita perjalanan ini di ponsel BlackBerry 9700. Sementara istri saya (bersama istrinya Pak Zaini) pergi ke suatu tempat yang entah apa namanya, saya tidak tahu. Tapi, dugaan saya, pastilah tempat itu tempat wisata atau tempat belanja, tak bakal salah lagi.

Perjalanan ke Bali (Etape II: Asembagus - Gerokgak)


Kami meninggalkan rumah paman pada pukul 14.00 lewat beberapa menit. Saya si bensin di SPBU 54.683.11. SPBU ini mungkin milik pondok (atau setidaknya milik keluarga pengasuh pondok pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo) jika ditilik dari 'aura'-nya. Menarik, ada ‘hiburan’ di siang hari: dua orang bertengkar dalam antrian, mereka rebutan. Untungnya, yang bertengkar hanyalah sopir CRV vs Granmax, bukan sopir Alphard yang tadi ikut antri mau isi premium tapi tak jadi (mungkin sopirnya keburu tersadar kalau mesin 2500cc [apalagi kalau versi 3500 cc] berbahan bakar bensin itu agak anomali kalau mimik premium. Enggak di SPBU, enggak di pertigaan jalan, orang bertengkar bisa saja selalu terjadi.

Tiba di Gelakan, kami takziyah ke paman Muhammad Naji, sepupu ayah saya. Terakhir saya mengunjungi tempat ini pada 8 syawal tahun ini, 12 Juni 2019. Waktu itu beliau memang sudah sakit. Tidak disangka, hari ini saya mengunjungi beliau dalam wujud yang lain, hanya bertemu arwah dan kuburnya.

Perjalanan berlanjut ke arah selatan, menuju Wongsorejo. Ini adalah trip pertama saya naik Colt ke Bali. Kami masuk area Pelabuhan Ketapang pada pukul 18.00, maghrib, sudah gelap, tapi cahaya lampu yang begitu banyak sangat gemerlap. Untungnya, ketika saya telepon, Kak Taqwim tidak sedang dinas di KMP Pratitha IV, dan ada di rumah. Rencana awal, saya memang tidak mau mampir, hanya kebetulan keinginan itu muncul sekonyong-konyong.

Alhamdulillah, akhirnya kami bisa mampir ke rumah beliau dengan latar belakang masalah-nya adalah kesenjangan pemahaman dan silaturahmi yang menjadi salah satu pemicu kesenjangan dan kerenggangan sosial. Adapun rumusan masalahnya adalah silaturahmi dan problematikanya. Sedangkan tujuan penelitian adalah; seberapa besar tantangan makan gulai kepala kambing bagi penaikan trigeselda dan lemak jenuh di dalam tubuh. Kak Taqwim memaksa kami bermalam. Saya minta maaf karena sudah terlanjur janjian dengan Man Faqih untuk nginap di Pemuteran.
Akhirnya, kami nyeberang selat bali dan kaget alang kepalang karena ternyata tiketnya harus pakai emoney alias uang-tak-kasat-mata, harus diisi pula di depan pintu masuk karena saldo saya tinggal 155.000 sementara tarip penyeberangan adalah 159.000 (kurang 4400 rupiah). Sungguh, ini termasuk di luar persiapan mental saya karena setahu saya di penyeberangan Ujung – Kamal hanya sekitar 35.000-an saja, padahal lebar selatnya relatif sama. Meskipun penyeberangan Ketapang-Gilimanuk tidak menghitung jumlah penumpang, tapi selisih harganya berasa sekali menggetarkan dompet.

Rencananya, saya mau nanya begini sama petugas: 'Apa tidak ada potongan harga bagi pengguna mobil tua?', tapi pertanyaan tersebut gagal saya lontarkan setelah membayangkan si petugas akan menjawab; 'justru mestinya Anda harus bayar lebih untuk jaminan beli jamu bagi ABK, manatahu mobil Anda tidak bisa distarter di atas kapal dan kami harus mendorongnya!'. 

Kami tiba di kediaman Ahmadul Faqih, di dusun Sumberwangi, desa Pemuteran, kecamatan Gerokgak (baca: gero’ga’) sekitar pukul 22.00 WITA. Awalnya, kami merencanakan tiba isya, tapi begini kenyataannya. Tertahan di rumah Kak Taqwim di Ketapang dan tertahan saat hendak sandar di Gilimanuk adalah penyebabnya. Kami ngobrol dulu, masih disuguhi makan juga padahal saya sampaikan bahwa kami masih kenyang namun tuan rumah tak mau tahu. Hidangan makan keluar juga.

Nyaris tak percaya, tapi ternyata Colt T 120 ini sampai juga di tempat ini.

Perjalanan ke Bali (Etape I: Guluk-Guluk - Asembagus)


Saya akhirnya berangkat pukul 22.00 kurang sedikit. Banyak perubahan rencana mendadak di perjalanan kali ini. Di antaranya adalah penumpang dan ‘pe
ngikut’. Takdir menentukan kami berangkat bertiga saja. Yang positif ikut malah menggagalkan, yang mau diajak mendadak tidak bisa. Yang ingin ikut malah terlupa.


"Tangki bensin masih di bawah strip tengah, masih aman bahkan hingga Bangkalan," tebak saya kepada Warid yang menemani saya malam itu, Ahad, 22 Desember 2019. Namun, karena demi jaga aman, kami ada rencana isi BBM di Blega. Belum sampai kami ke lokasi, malah disuguhi pemandangan mengerikan, pemandangan yang sejatinya disebut-sebut di dalam doa perjalanan agar kita semua terhindar: Ada tabrakan berantai rupanya. Satu pikap Grandmax sudah ada di atas truk derek; sebuah mikrobus ELF tampak posisi serong kiri, menghadap sawah. Yang lain saya tidak lihat secara pasti, tapi korban agaknya masih ada lagi.

Jadi, begini: Dari tadi, tepatnya dari Pamekasan, seusai menaikkan dua kardus titipan ke Situbondo di Larangan Tokol, saya tidur, tak tahan melawan kantuk karena sorenya saya mencuci pakaian banyak sekali. Saya terbangun di sebuah jalan lurus, lepas Lomaer, oleh bunyi klakson panjang dari mobil sendiri. "Ada apa?" tanya saya pada si pengemudi yang saya tahu sangat hemat dalam membunyikan tuter.
"Barusan ada Avanza parkir, lalu naik ke aspal dan putar balik seenaknya. Jarak kami sangat dekat."
"Oh, saya kira apa." "Yang bikin saya mangkel karena saya langsung ingat kejadian yang menimpa (Warid menyebut nama seseorang, tetangganya). Dia menabrak sepeda motor yang mecungul mendadak dari tepi, langsung motong jalan. Si tertabrak malah tidak apa-apa, hanya sepeda motornya yang rusak."
"Tetangga kamu yang nabrak itu, bagaimana?"
"Dia wafat, pendarahan dari hidung, luka dalam. Malam ini adalah hari tahlilan yang keempat."

Sedih setiap kali kita mendengar berita seperti ini, tapi kenapa ia selalu terjadi. Ada kebiasaan orang berdalih: “sudah takdirnya begitu”. Saya kira, masih banyak orang yang tidak tahu bedanya “takdir sesudah berusaha atau ikhtiar” dan “apa pun yang terjadi tanpa berusaha”. Jadi, orang semacam ini Sunni tapi cara pandangnya ‘jabari’: pasrah pada suratan tapi tanpa usaha apa pun, seperti tanpa usaha menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain di jalan. Tanpa usaha, maka takdir itu adalah takdir KW.

Nah, baru saja kami mengalami kejutan barusan, tak jauh dari situ, kecelakaan beruntun terjadi. Makanya, kita mesti memahami psikologi sopir. Betapa mahalnya konsentrsi dan daya tahan tubuh. Mengemudi bukanlah urusan kaleng-kaleng, bukan pekerjaan main-main. Sekali bikin kesalahan, taruhannya nyawa: jika bukan nyawaaanyaa sendiri, ya, nyawa orang lain; kalau tidak bikin celaka, ya, sekurang-kurangnnya ujicoba kecelakaan.

Di SPBU Penyepen, selepas Gunung Gigir, kami ngisi bensin, 190.000, nyaris meluap. Begitu mau distarter, eh, malah mogok.
"Ayo dorong," kata saya yang langsung ambil inisiatif pegang kemudi. Sekali ayun, karena jalan keluar SPBU memang agak menurun, mobil langsung nyala. Alhamdulilah, mobil Colt ini tak jadi bikin malu di tempat umum.

Sambil jalan, saya bercerita kepada si Warid (yang kini duduk di sisi kiri) bahwa pada hari Kamis yang lalu, Colt ini mengalami kasus pada dinamo starter. Makanya, sepagi tadi, sebelum berangkat, saya minta bantuan orang untuk ngantar mobil ke bengkel. Salah satunya agar ban kipas dinamo ampere dikencangkan dan kabel dinamo starter dikontrol. Laporan yang saya terima; semunya baik-baik saja. Kok bisa starter tidak kuat? Saya menduga, montir tidak memeriksa ujung kabel plus (+), tidak benar-benar dikontrol, mungkin hanya dilihat sekilas. Saya yakin, masalah ada di situ.

Saya terus nyetir Colt, masuk Surabaya, lewat tol dan turun di Gempol. Situasi jalan yang sepi bikin kami pilih jalan arteri. Dengan kecepatan 70-80, ternyata cukup satu jam saja dari Gempol ke Probolinggo. Maklum, jalan sepi dan kecepatan stabil. Biasanya, di siang hari, jarak 90-an km itu harus ditempuh 2 jam. Pernah saya naik Patas dari Probolinggo. Jarak tempuh dari Terminal Bayuangga ke Terminal Purabaya di Surabaya persis satu jam jika semuanya ditempuh lewat jalan tol.

Pukul 03.30, saya pindah posisi ke tengah, beberapa puluh meter menjelang tikungan Pantai Bentar, di Dringu, timurnya kota Probolinggo. Saya tidur-tidur ayam dan bangun saat kami masuk Jabung. Subuh kami pilih Masjid Raudatut Tohirin (koreksi jika salah), di Sukodadi, Paiton, persis ketika jamaah masjid baru turun shalat. Rencana semula, subuhannya di masjid Tanjung, timur jalan akses ke PP Nurul Jadid. Namun, karena ia sedang dikerubungi banyak penggemar (ada sekitar 4 bis yang parkir), maka kami lanjut saja.

Setelah menikmati ketan urap di warung dekat masjid (ketan urap berbumbu kedelai ini penganan kesukaan saya yang wajib dibeli ketika saya pergi ke Asembagus, Paiton, atau Cukir dan yang sedaerah dengan Jombang), semua naik ke mobil dan alamaaak! Dinamo starter kumat lagi. Saya makin curiga ke dinamo starter yang bermasalah karena nyala lampu tetap terang, artinya tak ada masalah pada sistem kinerja suplai dinamo ampere ke aki. ‘Pasti hanya masalah sepele,’ kata saya dalam hati, ‘entah kabel tidak kencang atau lainnya’.

Alhamdulillah, pagi kami diawali dengan olah jasmani: Warid yang mendorong, saya di belakang kemudi. Belum nyala, tidak mengapa, coba lagi. Ujian Nasional memang dihapus oleh pak menteri, tapi ujian di perjalanan tetap ada sebab ia merupakan dari perjalanan itu sendiri. Tapi, ujian sejati di pagi itu bukanlah karena kami mogok, bukan pula ketika saya menyadari bahwa salah satu klep tidak berfungsi di putaran rendah dan itu saya temukan hanya beberapa jam sebelum berangkat. Ujian perjalanan itu adalah ketika kami tak mampu mendorong mobil dan ada seseorang yang hanya diam saja, hanya menyaksikan kejadian ini seperti orang yang sedang nonton televisi, bukan di dunia nyata, berlangsung di hadapannya. Itulah ujian kemanusiaan yang sebenar-benarnya.

Saya pikir, kok bisa ada orang begitu cuek seperti ini? Semoga saya tak salah menilai, dia adalah orang yang ditugaskan untuk menguji mental dan rasa curiga. Sebaiknya saya berbaik sangka saja. Untunglah, datang seorang lelaki lelaki tegap yang bantu mendorong dan hiduplah Colt kami untuk Indonesia Raya!

Saat asyik-asyiknya menikmati pemandangan pagi hari mendekati PLTU Paiton, tiba-tiba ada sedan berwarna kuning dodol jagung menyalip. Kaca kiri dibuka dan dia dada-dada. Oh, ternyata Sabiq. Hampir 300-an km meninggalkan rumah, ternyata masih ada orang yang mengenali mobil ini: mengesankan!

Pukul 07.10, kami tiba di kota Asembagus. Di hadapan ada mobil pikap yang lajunya kayak orang menari poco-poco. Sepertinya, sopir ini sedang mabuk darat atau mabuk kantuk. Begitu ia kami salip karena menyalakan sein kiri, waduh, tampak sekilas, kelopak mata si sopir nyaris tak kuat menyangga, ngantuk sekali rupanya. Pesan saya: Lawanlah kezaliman dengan cara apa pun yang kamu bisa, tapi kalau mengantuk, janganlah, menyerahlah sajalah, istirahat dan tidurlah.

Kami bertemu paman dan saudara-saudara di Widuri, utara PG Asembagoes, akses jalan ke Banongan, lokasi tempat latihan tempur TNI. Di sana kami istirahat dan menunaikan tujuan yang utama: silaturahmi.


20 Desember 2019

Mogok di Tempat yang Tepat

Yang menyenangkan pergi di pagi hari itu karena badan masih segar, mata sangat awas, jalan lumayan lengang. Pergi pukul 06.30 dari rumah termasuk situasi dalam kategori seperti ini. Namun, yang tidak mengenakkan juga ada, yaitu belum sarapan.

Saya pernah beberapa kali mengalami kejadian seperti yang ini, termasuk kemarin, 19 Desember 2019. Dua tahun yang lalu juga begitu, rasanya deja vu. Jika dulu sarapannya beli nasi kobal di Bandaran, kemarin beli nasi rames di sisi timur Arek Lancor, Pamekasan. Karena tujuan kami di Bangkalan, tepatnya Kwanyar, maka sedianya kami akan makan nasi bungkus ini di tengah perjalanan.

Hari masih relatif pagi, masih pukul 08.15 ketika saya masuk Galis. Saya bilang ke Fatih, “Tih, saya mampir di rumah Subki dulu, ya! Soalnya, acara di Kwanyar masih nanti pukul 10.00. Lah, ini masih pukul 8. Kita istirahat dulu barang sejenak. Kita makan di rumah Subki saja.”

Tentu saja, Fatih dan dua penumpang lain di mobil saya setuju karena mereka sekadar ikut saja: Fatih sekadar ikut saya, Fazir dan Jai punya keinginan hadir di acara bedah buku saya, “Jalan Keempat”, yang bakal diselenggarakan oleh SMK Al Asyari, Kwanyar, dan Komunitas Masyarakat Lumpur, Bangkalan.

Sampai di Gunung Sereng, dusun Morgunong, tibalah kami di rumah Subki. Sempat saya salah jalur mengingat jalannya seperti teka-teki silang, banyak jalan mendatar dan menurun. Percabangannya juga lumayan banyak. Saya baru ingat setelah mobil melewati lembaga pendidikan Ad-Tadwin. Soalnya, dua tahun yang silam, saya pernah berkunjung ke tempat ini, di suatu malam, pukul 2 dinihari. Jadi, masih ingat dikit meskipun lupanya banyak.

Dari tempat, Subki, kami bergerak pada pukul 09.30. Ternyata, jalan kolektor ke Pasar Somor Koneng sangat sempit, mungkin jalan kelas III C, yaitu jalan yang lebarnya hanya 2 meter lebih sedikit, jalan beraspal yang kalau kita berpapasan dengan kendaran lain maka salah satunya harus mundur dan mencari badan jalan yang agak lebar, yang bisa buat papasan. Sempat tiga kali saya berpapasan dengan mobil dan truk, dan untungnya, ketiga-tiganya dapat tempat yang lumayan lapang.

Kami tiba di SMK Al-Asy’ari, Jalan Pesanggrahan, Kwanyar, pada pukul 10.10, telat 10 menit dari yang dijadwalkan. Dan setelah cuap-cuap dengan panitia dan beberapa orang guru, acara langsung dimulai. Hebat, ini acara diskusi buku “serba-pertama” bagi saya: untuk pertama kalinya diselenggarakan sejak terbit; untuk pertama kalinya yang diselenggarakan oleh SMK; juga yang pertama kalinya diselenggarakan di Kwanyar; yang untuk pertama kalinya pula menghadirkan 3 pembanding sekaligus (2 dari STKIP PGRI Bangkalan [Helmy Prasetya dan Rozekki], dan satu dari STKW Surabaya [Ahmad Faishal]). Acaranya dipandu oleh Muhlis Bajra, pembina Tenter Paddang Bulan. Yang dahsyat, acara ini bisa bertahan nyaris tiga jam setengah, berlangsung hingga hampir pukul 14.00. Inilah acara bedah buku paling lama yang pernah saya laksanakan.

Karena tadi ada masalah kabel dinamo starter yang copot di Gunung Sereng, maka Muhlis langsung kasih komando kepada siswanya. Seakan-akan, dia sedang mengajukan soal ujian, ‘Jika dinamo starter mobil tiba-tiba tidak berfungsi, apakah masalah pertama yang harus Anda atas?’. Seolah seperti itu pertanyaannya.
“Nak, cek kabel dinamonya! Kerjakan yang terbaik!”


Dua siswa langsung menggelar kardus bekas dan masuk ke kolong mobil, ngecek kabel. Hamdalah, mobil gak jadi mogok, tidak perlu didorong, starter berfungsi lagi.
“Alhamdulillah,” kata saya, “Para dosen ini tidak jadi malu, tidak perlu mendorong mobil.” Tawa mereka meledak di halaman.

Perjalanan selanjutnya adalah menuju Bangkalan. Tapi, sebelumnya, kami masih ambil bonus, nyalase alias ziarah ke Makam Sunan Cendana, cucu Sunan Drajat, penghulu para kiai di Madura, yang ada di depan pasar Kwanyar. Tahlil pendek saja di situ, shalat jamak di masjidnya, dan kami pergi ke Bangkalan saat azan asar baru berkumandang.

Tepat pukl 15.40, kami sudah tiba di lokasi, komunitas Masyarakat Lumpur, yang berlokasi di seberang jalan SDN 1 Kemayoran, Bangkalan.  Mata yang sudah ngantuk jadi kembali bergairah karena diskusi buku saya direspon dengan baik oleh para peserta. Mungkin para hadirin yang bergairah dan juga moderator, Mas Joko, yang bisa menghidupkan suasana, asyik dalam memandu acara. Pertanyaan demi pertanyaan meluncur. Semunya berjalan dengan asyik. Hingga tak terasa, hari semakin sore, matahari kian surub, maghrib pun datang.



Saat pulang, ada bunyi gludak-gluduk di kaki-kaki sebelah kiri. Saya menduga itu kancing kampas rem, soalnya ia bunyi hanya kalau ngerem. Tapi, saya kecurigaan berubah manakala saya sadari, bunyi-bunyi gemelodak juga terdengar kalau  ketika roda menghajar jalan berlubang. Demi menutup keraguan, akhirnya kami cari bengkel untuk memastikan kondisi kaki-kaki kendaraan. Walhasil, kami mampir di rumah bengkel Cat Mat, persis sebelah timur jembatan Tanahmerah, selatan jalan.

“Sebetulnya, kami enggak kerja kalau jumat,” kata mas montir yang sedang membuka ban depan dan memastikan kalau ternyata bukan kancking kampas rem yang bermasalah, melainkan baut atas lengan ayun yang kurang kencang.
“Ya, kami juga maaf, merepotkan.”
“Iya, Cak Mat tadi bilang, tolong dilayani, kasihan, orang Sumenep, mau pulang.”

Sembari diperbaiki, kami shalat. Acara selesai dalam waktu 30 menit. Mengencangkan baut itu sebetulnya pekerjaan mudah dan cepat, sih, tapi karena posisi bautnya ada di dalam, di balik lengan ayun atas (swing arm) maka semua ‘rintangan untuk menuju ke sana’, termasuk balljoin dan tierod, harus dilepas dulu. Inilah yang bikin lama, padahal mengencangkan bautnya paling-paling butuh waktu cuma 2 menit saja.

Akhirnya, kami pulang sekitar pukul 20.00. Dan saya tidak mampu lagi mengemudi seusai isi premium di SPBU Jrengik. Fatih pun dengan terpaksa yang ambil kendali.
“Bisa nyetir mobil ini, kan, Tih?” tanya saya.
“Saya takut, takut nyenggol.”
Ah, jalan saja, pelan-pelan.”


Namun, saat Fatih masuk ke kokpit dan siap menjalankan mobil, ia bertanya, “Waduh, ini gimana cara menyalakan lampunya?”

“Ha, ha, ha.”
Saya tertawa. Pemula memang harus banyak tanya.











10 Desember 2019

Maulidan ke Jogja

Kami berangkat pukul 9.30 dari rumah, Kamis, 21 November 2019. Tujuan kami adalah Jogjakarta. Perjalanan ini dibaluti niat yang apik, yaitu untuk menghadiri undangna shalawatan di Kafe Basabasi Sorowajan dan Kafe Basabasi Condongcatur. Saya diundang si pemilik, Edi Mulyono.

Rencana semula, kami akan berangkat bersama dengan rombongan satunya, yaitu rombongan grup gambus yang juga akan ke Jogja dan untuk acara yang sama. Pak Edi meminta saya mencarikan grup gambus untuk mengisi acara dua malam itu, di kafenya. Tapi, karena di antara mereka masih ada kegiatan lain, maka mereka akan berangkat sehabis maghrib, malam Jumbat, sementara saya harus berangkat duluan karena di malam jumabtnya saya dijadwalkan mengisi diskusi di warungnya Mas Andhi Kepik, Boenga Ketjil, di Jombang.

Saya lewat Patapan, untuk menjemput Lutfi, sopir kami kali ini. Ternyata, Lutfi tidak siap karena secara mendadak dipanggil Mbah Kiai Fathol, memperbaiki Hijet-nya yang mendadak mogok di pagi itu. Agak galau hati ini mengingat waktu berangkat sudah molor. Tapi, untungnya, tidak lama urusannya. Hijet nyala dan kami pun berangkat.

Transit pertama adalah Sumber Anyar, Larangan Tokol, Pamekasan. Tiba di PP Al-Mawardi, Soklancar, kami tidak langsung berangkat karena jam sudah nanggung, mepet duhur. 

“Kita shalat di sini saja,” kata saya kepada anggota rombongan yang terdiri dari istri dan ipar perempuan. Kak Faruq adalah penumpang dari Sumber Anyar yang tak lain adalah ipar laki-laki. Jadi, perjalanan saya kali ini didampingi ipar-ipar.

Bensin masih ada dan saya baru ngisi lagi di SPBU54.692.09 yang berlokasi di ujung paling barat kecamatan Jrengik, zona Sampang paling barat, berbatasan dengan Lomaer yang secara administratif masuk wilayah Bangkalan.

Sebelum berangkat, saya sudah isi kartu tol sejumlah 400.000. Namun, saya tidak pernah membayangkan kartu tersebut akan digunakan untuk masuk tol. Sebatas persiapan, kata saya kepada Kak Faruq, siapa tahu dibutuhkan dalam keadaan darurat.

Dua perjalanan saya sebelumnya, dan dua-duanya dengan Colt, ke Kutoarjo (Juli 2019) dan ke Jogja (Pebruari 2018), melewati tolnya hanya sampai Kertosono dan Mojokerto. Saya selalu sayang mengeluarkan duit untuk perjalanan di atas tol karena kami selalu tidak terburu-buru. Lebih dari itu, meskipun banyak orang merasa asyik lewat tol, bagi saya justru tidak. Perjalanan lewat tol mengurangi rasa perjalanan. Lagi pula saya tidak terburu-buru. Apalagi saya ngajak orang yang baru pertama di rute itu, maka jika benar ke Jogja lewat tol, dia sama sekali tidak akan pernah tahu ada Bagor, ada Caruban, ada Ngawi, ada Sragen, ada Masaran, ada Palur, ada Solo. Yang dia tahu paling-paling cuman Delanggu, Klaten, Prambanan, karena kota-kota itu ada di jalur arteri menuju Jogjakarta.

Tapi, sore itu, dengan berat hati, saya harus rela masuk tol dengan target masuk Jombang sebelum maghrib. Maklum, berangkat sudah telat, maka lewat tol adalah siasat. Kami masuk Tol Sumo dan turun di Mojokerto Barat. Tapi, saya benar-benar kecewa karena akses tol ke jalan arteri cukup, ah, bukan cukup lagi, tapi terlalu jauh. Butuh nyaris 30 menit hanya untuk tiba di  by pass Jampirogo: pertigaan yang mempertemukan jalur tol lewat kota ke jalan arteri menuju Trowulan.

Kami melaju pelan hingga tiba di Corogo, rumah Haris, sekitar pukul 16.40.

Leyeh-leyeh sampai maghrib, kami pun pergi makan malam selepas shalat. Sopir Lutfi dan penumpang perempaun tidak ikutan, mereka pilih istirahat di sana. Saya dan kak Faruq saja yang pergi, plus tuan rumahnya, Haris. 

Saya diajak haris ke warung kikil di Jatirogo. Sebetulnya saya bukan penggemar kuliner. Tapi untuk memberikan penghormatan kepadanya, saya manut saja meskipun dikasih yang enak-enak. Para penumpang perempuan pilih makan di rumah saja.

Jombang banyak banget koleksi warung kikilnya. Yang saya tahu justru bukan di warung yang kami singgahi itu. Entah apa namanya, yang jelas ada slogannya yang berbunyi; “Nasi Kikil Kesukaan Gus Dur”. Dalam hati, saya membatin. Orang besar itu, meskipun sudah tiada, masih bisa kasih endorsemen, bahkan kalau kita lihat di pekuburannya, di Tebuireng sana, masih bisa memberikan penghidupan kepada para tetangga untuk berjualan. Kita yang hidup malah kadang bikin susah orang.

Saat kami baru saja makan, tiba-tiba ada seseorang mendatangi.
“Siapa yang punya Colt ini?”
“Dia,” kata Kak Faruq seraya menunjuk saya. “Kenapa?”
“Oh, ndak. Tadi saya lewat di sini. Ketemu sama Colt parkir, langsung saya melipir. Saya penasaran saja.”

Orang itu bernama Pujo Sukamto. Dia bilang, Ahad besok bakal ada kopdar penggemar Colt di Jombang. Saya diminta mampir sepulang dari Jogja.

“Saya tidak janji karena saya juga tidak tahu persis rangkaian acara di Jogja, tapi saya akan berusaha datang,” jawab saya kepadanya.

Malam itu, saya menghadiri undangan Selasastra di warung kopi Boenga Ketjil yang diasuh oleh Mas Andhi (atau dikenal dengan panggilan Kepik). Lokasi warung berada di belakang SPBU Parimono. Kami diskusi sampai malam, sampai pukul 22.30. Adapun yang saya bicarakan adalah kenangan-kenangan awal bagaimana saya sering berkunjung ke Terminal Jombang (Lama; yang lokasinya masih di depan UNDAR). Bagaiamana kenangan itu ternyata mendorong saya untuk bepergian naik bis antarakota jika pergi sendirian. Maka, dari situ kemudian saya simpulkan, banyak kegiatan sastra yang saya hadiri dengan naik bis. Peran bis antarakota tidak boleh dinafikan dalam kehidupan saya, bahkan sangat penting dalam membantu kehidupan bersastra banyak orang.  Inung Ardiansyah, moderatpr diskusi kala itu, menutup diskusi pada pukul 22.30.

Dari sana, sebelum balik ke Corogo, kami masih mampir makan ketan dulu di pojokan Ringin Conthong.  Nama Ringin Conthong ini adalah bundaran yang mejadi semacan tengara kota Jombang. Ketan bubuk memang sangat khas Jombang. Banyak warung ketan seperti ini di kota Ijo-Abang tersebut.


***

Setelah cuap-cuap sebentar, maka pada pukul 00.20, kami pamitan, berangkat ke Jogja.

“Lut, nanti sampeyan jalan saja, lurus, jangan belak-belok kalau ada perempatan. Saya mau tidur, capek.”
Demikian kata saya kepada Lutfi yang kali ini bertugas mengemudi, bersama Kak Faruq di depan. Saya duduk di kursi tengah sendirian, tidur. Sementara istri dan ipar perempuan saya duduk di belakang. Saya memandu Lutfi hingga lepas stasiun Jombang dan tiba di ujung jalan Ngrandu .


Selepas itu, barulah saya tidur.

Lutfi melajukan mobil pelan saja, sekitar 60-70 km/jam. Kecepatan itu memang kecepatan yang saya harapkan. Tidak perlu terlalu ngebut agar tidak capek kalau sudah sampai di tempat tujuan. Namun, saya tiba-tiba dibangunkan oleh Kak Faruk. Saya pun langsung melihat tanda-tanda alam sekitar. Saya membaca: Polsek Semampir, Kediri

“Loh, kok Kediri? Waduh.”
“Salah, ya?”
“Lah, iyalah. Saya memang ingin pergi ke Kediri, tapi bukan sekarang,” kata saya sambil tertawa. “Ayo putar balik.”

Rupanya, saat di Braan tadi, kedua orang yang duduk di bangku terdepan itu sama-sama hilang arah. Mereka pilih serong kiri dan bukannya lurus ke arah Kertosono. Jadilah kami tersesat sampai di depan Gudang Garam, Kediri. Lumayan lama dan jauh, tapi untungnya nambah pengalaman. Saya cek, saat itu pukul 01.40.

Perjalanan berlanjut dan akhirnya kami subuhan di masjid Al-Hidayah, Ngale, kira-kira 2 kilometer sebelah barat rumah makan DUTA, warung servis makannya PO EKA. 

“Sebentar dulu, takut itu masjid LDII. Oh, tidak ternyata...”
“Kok bisa?”
“Itu ada jidurnya.”

Dari sana, kami lanjut lagi. Jalan sudah mulai ramai. Orang-orang sudah keluar rumah. Yang mau bertani berangkat ke sawah, yang PNS ke kantor, yang kecil-kecil dan berseragam pergi ke sekolah.

Sebelum tiba di Jogja, kami sempat mampir di tiga tempat: pagi sekali, pukul 7.30-an, kami mampir di rumah Marzuki. Dia ini santrinya Kak Faruq. Dia adalah seorang penjual sate sekaligus pembikin tusuk sate. Di sini kami sempat istirahat hingga menjelang pukul 11.00. Kami terpaksa pergi dan tidak menunggu jumatan di situ karena memang kami sudah niat mau shalat jamak duhur-asar di tempat lain saja. 

Di kota Solo, saya mampir ke kawan lama yang saya dengar sakit serius: Fajar Setiawan namanya. Kini dia tinggal di sebuah rumah, pasar Ngemplak ke selatan, dekat jembatan, samping rel kereta api. Dia senang sekali karena saya berkunjung ke tempatnya, “Kunjungan yang tidak diduga,” kata dia. Saya lebih senang lagi karena meskipun dia sangat kurus, namun ternyata sehat.

Sekitar satu jam di sana, kami lanjut lagi ke Sanggir, Paulan, Colomadu. Posisi kawan saya yang ini, Darmawan Budi Soseno, berada di PG Jolomadoe. Baik di rumah kawan Fajar mau di Dharmo, kami tidak mau disuguhi makanan berat karena sisa sate di rumah Muzakki tadi masih cukup mengganjal perut kami. Sementara sisa gorengan di rumah Fajar dan ditambah sop buah. Maklum, kawan saya yang Colomadu ini punya kios makanan di rumahnya. Tapi dia ngotot agar kami mencicipi jualan andalannya: steak ayam.
Dalam perjalanan ke Jogja, sore itu, kami masih mampir di Masjid Al Aqsa. Masjid yang sangat megah ini menjadi tengara kota Klaten. Posisinya menggantikan posisi terminal lama Klaten, sementara terminal Klaten sendiri dipindah ke jalan luar kota, dekat stasiun.

“Kok cuma begini masjidnya? Katanya besar,” celetuk istri saya dari kursi belakang ketika saya katakan bahwa kita akan masuk ke pelataran parkir sebauh masjid yang sangat megah.
“Loh, itu bukan masjidnya, itu hanya bangunan menaranya.”
“Wah, ternyata...”

Maklum, keseluruhan masjid tidak kelihatan karena kami melihat terlalu dekat, dari dalam mobil pula. Setelah masuk dan parkir, barulah mereka terheran-heran dan takjub melihat masjid yang megah dan sangat besar ini.

Duapuluh Empat Jam di Jogja

Malam itu, kami merayakan peringatan maulid Nabi di Kafe Basabasi. Saya kebagian membaca shalaawat. Ini adalah pengalaman pertama dalam hidup saya: diundang hadir ke acara maulid nabi dan mendapatkan tugas membaca shalawat, di kafe pula (diundang khusus untuk baca shalawat, bukan seperti di Madura yang biasanya asal tunjuk siapa yang bakal baca shalawat pas menjelang acara dimulai). Tentu saja, bagi saya ini ajaib dan berkesan karena di samping penyelenggaraan acaranya sangat jauh, di Jogja, dan saya bukanlah orang yang pintar berlanggam-langgam dalam membawakannya. Justru dengan modal suara yang pas-pasan saya bisa diundang ke sini. Menyenangkan sekali.

Malam maulid Nabi di Kafe Basabasi Sorowajan itu sangat istimewa karena juga ada penampilan musik gambus jalsah dari Madura. Yang bermain di sana adalah Rafiq BJ bersama kawan-kawannya: Haris pada keyboard, Lutfi pada biola, dan Hasin pada dumbuk (darbuka). Tak juga disangka, ternytata banyak hadirin yang suka dan bahkan bisa berzafin, mengiringi hentak irama lagu. Tentu saja, karena ini momen maulid, maka tema nyanyian juga kebanyakan bernafas sama, pujian-pujian, madah.

Esok paginya, Sabtu, saya kedatangan Mas Moko dan Adi dari Jakarta. Mereka menyambangi kami di penginapan yang disediakan oleh Pak Edi untuk rombongan dari Madura. Entah kepentingan apa mereka ke Jogja selain menjumpai saya. Pasalnya, dari pagi, sampai sore, bahkan hingga acara bubar di Kafe Basabasi Condongcatur, mereka hadir bersama saya. Lalu, mereka pamit pulang begitu acara kelar dan kami juga siap  ke Madura.

Seharian saya tidak ke mana-mana. Paginya nemenin Mas Moko, sementara ibu-ibu PKK pergi ke Studio Alam Gamplong, diantar Fatih. Sorenya kami keluar rumah dan terus ke Warung Mojok. Sementara saya menikmati kopi di bawah hujan, anggota perempuan minta ke Filosofi Kopi. Lutfi yang antar mereka sementara saya cuman ngobrol sama Puthut EA, sampai maghrib. 
Adapun acara di Kafe Basabasi Condongcatur, saya juga dapat tugas yang sama, yakni baca shalawat Simtud Duror. Urusan ceramah agama diselesaikan oleh dai muda milenial, Habib Husein Ja’far al-Hadar. Penceramah ini keren sekali. Wawasannya luas dan paham wawasan anak muda. Sungguh, malam itu, kami pulang dengan bahagia karena acara ternyata lancar berjalan dan tiada kendala.

Tengah malam itu, sudah masuk hari Ahad, 24 November 2019, saya dan romobngan mobil satunya, rombongan gambus yang bawa Mitsubishi KUDA, keluar dari halaman parkir kafe nyaris bersamaan, pukul 01.00, kurang lebih. Kami masih sempat mampir di sebuah kios oleh-oleh di sekitar Janti, lalu lanjut pulang ke arah Solo. Kami terpisah akhirnya karena rombongan mereka berangkat duluan dan kami menyusul di belakang. Jam sudah menunjukkan pukul 01.30-an.

Mengingat esoknya ada acara di Jombang, sebagaimana Pak Pujo berpesan kemarin lalu saat bertemu dengan saya di sebuah warung kikil di Jatirogo, saya ada niat ikut kopdar Indonesian Colt Lovers yang diletakkan di rumah Pak Sularso, beralamat di desa Tunggorono, barat kota Jombang, saya ‘terpaksa’ masuk tol. Kami masuk PT  (Pintu tol) Karanganyar karena waktu mau masuk tol Kartosuro saya ketiduran sementara sopir tidak tahu. Saya bangun saat mobil sudah nyampe di depan Universitas Muhammadiyah Solo.

Dalam perjalanan lewat tol, tengah malam itu, saya ikut peran pegang kemudia agar tenaga Lutfi tidak terkuras. Sempat pula dag-dig-dug saat membayangkan kalau saja ada masalah mesin di tengah malam, jauh dari rumah dan bengkel. Tapi, bismillah sajalah. Dengan kecepatan rata-rata hampir 80 km/jam, saya melajukan mobil secara konstan.

Kami subuhan di Km 597, lepas Ngawi, sebelum Madiun. Yang lain subuhan di tempat istirahat berikutnya. Kata Fatih yang kebetulan nyopir si Kuda, di tempat istirahat Km 626. Jadi selisih jarak kami ada 30 km.

Sementara mereka lanjut ke Madura, saya keluar kota Nganjuk karena di samping ruas jalan dari Nganjuk ke Kertosono itu relatif lurus, mulus, dan insya Allah sepi di pagi hari, juga karena alasan tujuan melipir ke Purwoasri, ke kediaman Gus Furqon di PP Al Hikmah. Semua berlangsung benar dan lancar. Pagi hari Minggu itu asyik sekali.

“Gus, kami ndak usah dilayani sebagai tamu,” pesan saya kepada si Gus, khawatir beliau nyiapkan makan pagi. “Kami masih bawa nasi dari Jogja.”
“Iya,” begitu saja jawabnya.
“Kami cuman numpang istirahat sebentar karena pukul 9 nanti, kami mau bertolak lagi.”

Gus Furqon hanya tersenyum. Tapi, ternyata, si Gus ini tidak menggubris. Kami tetap diservis ala raja, dikasih tempat istirahat, dikasih sarapan pecel, dikasih pentol, dan sekian ragam makanan lengkap dengan minumannya.

Kopdar Colt ICL di Jombang

Pukul 9.50 (molor juga akhirnya), kami bertolak dari Purwoasri, lanjut ke Jombang. Tujuan berikutnya adalah kediaman Pak Sularso yang beralamat di dekat balai desa Tunggorono, sebelah barat kota.  Tidak lama untuk mencapai tempat ini, mungkin hanya setengah jam saja dari Purwoasri.

Di Jombang, saya bertemu dengan kawan-kawan penggemar Colt. Ada Pak Benta dari Jogja, Mas Alwi dari Ngawi, Pak Tito dan Mas Wida dari Malang, eh, ketemu Mas Alamsyah juga dari Kediri. Mas Appy dari Jember bersama kawan-kawannya juga ada di lokasi. Sayang, Mas Yudi dari Bondowoso dan Mas Juki dari Jember berhalangan hadir.

Acara kopdar yang sedianya akan ditutup dengan ziarah ke Makam Tebuireng terpaksa tidak saya ikuti mengingat perjalanan pulang masih jauh, kebetulannya juga istri sakit perut mendadak. Alasan tambahannya adalah; udara sangat panas, gerah bikin gelisah. Setelah diminta memberi sambutan oleh Pak Wahib di acara itu, saya pun duduk kembali, cuap-cuap beberapa saat dengana beberapa peserta, makan, ngobrol seperlunya, lalu pamit pulang.

Jalan pulang kami pilih lewat tol lagi, masuk di Tambak Beras dan langsung cus menuju km Nol di Tanjung Perak. Dengan kondisi bahan bakar yang makin menipis, akhirnya saya ngisi bahan bakar di SPBU Kenjeran, 54.601.120 pada pukul 14.00 lewat sekian. Dari corongan TOA Masjid Sabilul Muttaqin ada berada tepat di sebelah timurnya, terlantun kiraah menjelang asar. Suaranya kencang sekali. Kami antri lama di jalur premium tapi ternyata kebagiannya pertalite juga.

Dari sana, perjalanan diteruskan ke Larangan Tokol, menurunkan Kak Faruq, dan kami shalat jamak maghrib di Tentenan, terus lanjut pulang dan tiba di pelataran rumah setelah isya, sekitar pukul 20.30. Alhamdulillah, perjalanan lancar jaya.

Foto-Foto Lainnya: 



















Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...