Setelah
sepagian saya mengecek roda, oli, dan air radiator dan semua
dipastikan semua beres, pukul 09.30 kami bertolak di Sririt. Pada
roda depan tampak ada lelehan gemuk (stemplet). Mungkin karena
stempletnya pakai yang murahan dan gampang meleleh kalau panas.
Maklum, berjalan turun sejauh 40-an kilometer dari Bedugul itu jelas
bikin roda panas sekali.
Setelah
isi premium 150.000 di SPBU setempat, kami langsung jos ke barat.
Muatan bertambah berat karena bawa oleh-oleh. Duren dari tuan rumah,
anggur dari Om Faqih, dan juga ada beberapa makanan. Jalan yang
panjang dan lurus, tidak ada gelombang, diselingi pemandangan yang
menarik, satu jam perjalanan tak terasa. Tiba-tiba kami sudah sampai
di SPBU 54.811.12, stasiun pengisian bahan bakar yang dekat ke rumah
Man Faqih di Pemuteran.
Dari
SPBU itu, Gilimanuk tinggal 29 km lagi. Dan kira-kira ¾ dari jarak
itu adalah Taman Nasional Bali Barat. Kalau lewat di sana, pastikan
ban tidak kurang angin, tidak kekurangan bensin, karena setelah SPBU
itu, setahu saya, tak ada SPBU lagi dan tukang tambal ban. Jarak
segitu bisa ditempuh dalam waktu 30 menitan lebih sedikit, karena
jalan sangat bagus dan tak ada perkampungan penduduk.
Meskipun
hari ini adalah Natal, 25 Desember 2019, penyeberangan dari arah Bali
maupun Ketapang normal saja. Sayangnya, saya kebagian naik feri
Dharma Kencana III. Feri ini besar. Jalannya lemot, beda dengan yang
kemarin malam kami ikuti (lupa namanya). Akan tetapi, meskipun
menyeberangnya satu jam lebih, tapi kami dapat bonus selisih waktu
satu jam, antara WITA ke WIB, berkebalikan dengan saat nyeberang ke
Bali yang 'tercuri' waktu satu jam. Namun, ternyata, meskipun kami
dapat untung satu jam, waktu kapal kapal mau sandar, eh, jembatannya
macet, tidak bisa dibuka. Mobil-mobil sudah menyalakan mesin. Ada
sebuah truk FUSO Fighter yang asapnya bergulung. Lantai kapal pun bau
solar.
Dicoba-coba
tetap tak bisa, akhirnya kapal mundur, putar haluan, dan masuk ke
dermaga 3 (tadinya mau sandar di dermaga 2) dengan cara mundur.
Jadinya. semua kendaraan akhirnya putar balik di dalam kapal untuk
bisa keluar dari geladak belakang. Adapun truk tidak bisa, ia harus
jalan mundur.
Dari
Ketapang, kami sein kanan, ke arah utara. Loka pertama yang kita
bakal jumpa adalah Bangsring, Bengkak, terus Alasbuluh. Nah, tepat di
balai desa nama terakhir ini kami belok kanan, masuk ke jalan kelas
III c, menuju PP Nurul Abror Al-Robbaniyyin. Kami sowan ke KH
Fadlurrahman Zaini (biasa disebut Kiai Fadol). Saya merasa berasalah
karena sowan tidak tepat waktu, yaitu lepas shalat duhur. Kiai sedang
istiharat, tapi dibangunkan oleh nyai karena dengar kabar ada tamu
dari Madura, padahal saya hanya singgah dan mampir saja. Astaga.
Kiai
Fadol adalah putra daripada Kiai Zaini Mun’im, pendiri PP Nurul
Jadid, Paiton, Probolinggo. Beliau pindah ke Alasbuluh dan mendirikan
pondok pesantren di sana. Istri beliau adalah Nyai Hasbiyah,
sesaudara dengan Kiai Abdul Hamid bin Mahfud, pengasuh PP Bata-Bata
(Miftahul Ulum) saat ini. Anda kalau sowan kepada beliau akan
auto-tenteram, melihat betapa tawaduknya beliau itu.
Dari
Alasbuluh, ganti saya yang bawa. Ada kejadian menarik saat saya masuk
Galekan. Habis jembatan, agak menikung, ada Panther warna emas
membunyikan klakson di seberang jalan. Posisinya sedang parkir. Saya
melambatkan laju mobil lalu menepi di depan sebuah toko. Saya menoleh
ke belakang: Panther putar balik, kembali, menuju ke arah kami.
Eladalah, ternyata Moefti Nadzir. Ya Allah, ayahnya wafat tempo hari
dan saya belum takziyah. Ketemunya malah di pinggir jalan.
“Dari
mana?” tanyanya.
“Barusan
dari Kiai Fadol.”
“Mari
mampir,” ajaknya.
Terima
kasih, saya memang ingin, tapi kali ini sangat mendesak. Mohon maaf.
Semoga masih ada waktu, lain kali,” Saya berkelit. Lalu, saya
tanya, mengapa dia bisa melihat saya dan mobil saya, padahal jarak
dari rumah saya ke tempat kami bertemu ini jauh sekali, 420-an
kilometer.
"Tidak
pangling, ada Colt pakai stiker PARIWISATA, ha, ha, ha,"
katanya. Ternyata, pasang stiker itu ada manfaat yang lain, meskipun
tujuan saya yang pertama malah tidak tercapai, yaitu agar mobil saya
tidak dicegat orang karena dianggap angkutan pedesaan, dan ternyata
masih sering dicegat juga di jalan.
Kami
tiba menjelang asar di Sukorejo. Kami takziyah ke kediaman Nyai
Isya'iyah binti As’ad bin Syamsul Arifin (biasa dipanggil Nyai
Isya’ atau Nyai Sa’. Suami beliau, Kiai Muzakki Ridwan, wafat
beberapa waktu yang lalu. Sebetulnya, masih ada beberapa orang yang
harus ditakziyahi, di antaranya adalah Pamanda Abdul Karim di
Panarukan, dll. Namun, apa daya, waktu tak cukup adalah alasan. Saya
hanya berdoa di dalam hati, semoga doa yang saya panjatkan dapat
cukup mewakili meskipun suatu saat saya bisa datang ke sana, entah
kapan, di suatu hari nanti.
Di
Sukorejo, tanpa sengaja, kami bertemu dengan banyak orang. Di
antaranya dengan Junaedi Salat, Ali Romzi, dan bu dosen Nurainiyah.
Karena saya duduk di tepi jalan, banyak juga santri yang rupanya
kenal dengan saya, ada yang malah tahu kalau ada saya karena ada
mobil Colt T Pariwisata parkir di dekat komplek Nurul Qoni’. Saya
melihat mereka dari jauh, ngobrol dengan Warid yang ada di mobil, dan
saya melihat mereka dari kejauhan.
Kami
pulang dari Sukorejo pukul 17.05. Mampir dulu di SPBU, mimik premium
lagi, 100 ribu saja. Di tangki masih ada banyak, cuma untuk
jaga-jaga saja. Habis itu, kami lanjut ke kediaman Pamanda Syibawaih
untuk shalat maghrib dan ambil bantal dan tertinggal. Selepas itu,
kami lanjut ke rumah Pamanda Zaini, di PP Is’aful Mubtadiin, desa
Lamongan, Kec. Arjasa, Kab. Situbondo. Sempat istrihat sebentar di
sana, ngecas ponsel, ngecas kamera, dan ngecas perut, dan ngecas
tulang belakang sebab dari tadi pagi duduk terus dan tidak telentang
sama sekali.
Pukul
21.00, kami bertolak. Warid kembali mengemudi. Dia memang insomnia di
jalan, jadi saya sama sekali tidak khawatir akan ngantuk. Belum
sekali pun saya lihat dia menguap ketika menyetir mobil, beda dengan
saya. Jalanan tidak begitu ramai, tapi tidak sepi pula. Makanya,
pukul 21.15, kami sudah masuk Besuki meskipun laju kendaraan
wajar-wajar saja, 60-70 km/jam.
Namun,
lancarnya perjalanan dari timur ternyata dibayar lunas dua kali:
menjelang kota dan sesudah kota Probolinggo, dengan durasi antrian
yang relatif sama lamanya, yakni 30 menitan. Antri pertama adalah di
lampu merah Randu Pangger, lampu merah ujung timur kota. Antrian
terjadi karena ada perbaikan yang berdampak pada arus lalu lintas dan
jalan, dari dua jalur ke satu jalur, menggunakan sistem buka-tutup.
Antrian yang kedua adalah antri kopi saat kami rehat di Warung
Kencur, dekat Bayeman, kira-kira 2 kilometer dari Ketapang, lampu
merah paling barat kota Probolinggo. Walhasil, kami sampai Randu
Pangger pukul 23.25, masuk kota, ngopi—dan hanya ngopi saja—dan
baru keluar dari pelataran parkir warung itu pukul 01.00: satu jam
setengah untuk lewat kota dan ngopi. Lama benar, kan?
Untunglah,
kekalutan karena lamanya menunggu pesanan yang menyebabkan selera
ngopi menjadi hilang dapat bandingan permenungan: seorang bapak tua
dengan beberapa anak (mungkin cucu) yang habis kena tabrak di Gratis.
Belakangnya ringsek, kaca pecah. Kata dia, mobilnya habis kena
seruduk truk di Grati. Di samping mengenainya, truk juga nabrak empat
sepeda motor. Bapaknya tampak mencari orang untuk curhat, maka saya
mendengarkan curhatnya. Supaya juga bisa menghiburnya, saya juga
berbagi cerita, bahwa belum lama ini, mobil saya juga kena seruduk
truk. Bedanya, truk yang nabrak mobil si bapak itu kosongan,
sedangkan yang nabrak mobil saya bermuatan melebihi kapasitas. Tapi,
kecurigaan penyebabnya sama: hilangnya konsentrasi di saat mengemudi
yang salah satunya disebabkan adalah menelpon.
Pukul
02.10, kami mencapai Bangil dan sepuluh menit berikutnya sudah masuk
Bundaran Gempol. Kalau dari arah timur (Probolinggo; Bangil),
anggaplah kita masuk dari angka “6”, maka untuk langsung naik ke
tol tujuan Sidoarjo atau Surabaya, kita harus mengitari ¾ bundaran
lebih dulu karena pintu aksesnya ada di angka “3”, sedangkan
untuk ke Gempol cukup setengah lingkaran saja, yaitu di angka “12”.
Bagi pelalu lintas yang baru pertama kali lewat di situ, papan
petunjuk tersebut—menurut saya—agaknya kurang lengkap karena
papan petunjuk di akses angka “12” hanya terpampang tulisan
“Gempol” (dengan penunjuk kiri) “Porong” (dengan penunjuk
jalur kanan), padahal papan penunjuk yang bertuliskan “Surabaya”
ada di akses masuk angka “3”. Semoga enggak bingung. He, he, he.
Kami
lanjut menuju Suramadu lewat jalan yang biasa, yang terdekat, yakni
Pasar Turi, Tugu Pahlawan, Jalan Kenjeran. Kami masuk Suramadu dan
terdengar shalawat mualik ketika isi premium 100.000 di SPBU
Suramadu. 53.691.10. saya hitung, waktu shalat subuh masih sangat
leluasa andai kami shalat di Blega. Maka, mobil pun dipacu ke arah
timur, berkejaran dengan matahari terbit. Hingga akhirnya, 50 menit
kemudian, 04.40, kami sudah parkir di halaman masjid Al Falah,
sebelah barat lapangan Blega.
Tiba-tiba, mobil tidak bisa distarter. Waduh, kumat lagi ini. Saya tidak mau ambil pusing ngolong di bawah mesin karena saya sudah tinggal satu kalai trip lagi sudah sampai di rumah dan tidak perlu berhenti lagi di tengah jalan. Saya pikir, nanti saya dicek kalau sampai di rumah kemungkinan-kemungkinan penyebabnya: ban kipas dinamo amper yang kendor, soket dinamonya yang longgar; atau kul-nya yang aus. Adapun kemungkinan paling kecil lainnya adalah; kabel plus (+) ke dinamo starter yang kurang kenceng. Hanya ada empat kemungkinan itu dalam taksiran saya, tapi tak satu pun masalah yang saya periksa di lokasi mengingat hanya tinggal satu kali perjalanan: dari Blega mesin tidak perlu dimatikan lagi.
Tiba-tiba, mobil tidak bisa distarter. Waduh, kumat lagi ini. Saya tidak mau ambil pusing ngolong di bawah mesin karena saya sudah tinggal satu kalai trip lagi sudah sampai di rumah dan tidak perlu berhenti lagi di tengah jalan. Saya pikir, nanti saya dicek kalau sampai di rumah kemungkinan-kemungkinan penyebabnya: ban kipas dinamo amper yang kendor, soket dinamonya yang longgar; atau kul-nya yang aus. Adapun kemungkinan paling kecil lainnya adalah; kabel plus (+) ke dinamo starter yang kurang kenceng. Hanya ada empat kemungkinan itu dalam taksiran saya, tapi tak satu pun masalah yang saya periksa di lokasi mengingat hanya tinggal satu kali perjalanan: dari Blega mesin tidak perlu dimatikan lagi.
Memang,
kami sempat berhenti di Camplong untuk beli nasi kobal (nasi bungkus
yang terdiri dari nasi, srundeng kelapa, tahu, sekerat cakalan
goreng, dan sambal cabai). Nasi kobal memang banyak ditemukan di area
Sampang. Harganya ada di kisaran Rp 5000 – 10.000, bergantung
banyaknya nasi. Langsung saya makan nasi itu saat itu pula karena
perut agak lapar sementara Warid yang menjalankan mobil. Hamdalah,
tidak kurang suatu apa, kami tiba dengan selamat di rumah pada saat
anak-anak baru saja berangkat ke madrasah.
___________________________
Guluk-Guluk - Ketapang: 460 km
Gilimanuk - Seririt - Bedugul: 106 km
data ini berdasarkan Googlemaps karena odometer Colt sedang bermasalah
Biaya premium kira-kira: 700.000
Penyeberangan: 159.000 x 2 (300.000)