Pembaca

04 November 2020

Bred...Dreb...Breb...Breb...Bet...

KAMIS, 29 OKTOBER 2020

Naik Colt itu memang enaknya malam hari, tidak terlalu panas. Tapi, hukum ini tentu tidak berlaku bagi Colt yang sudah dipasangi AC. Bagi saya, perjalanan di malam hari untuk jarak jauh memang lebih diutamakan. Di samping karena memang suhu udara tidak begitu panas, jalanan juga tidak begitu padat.

Akan tetapi, persoalan akan berlipat jika mobilnya bermasalah: bengkel tidak ada, toko suku cadang jelas tutup. Dan itulah yang sedang saya alami dalam perjalanan kali ini, perjalanan ke Situbondo. Masalah pertama yang muncul adalah bret-bet, yaitu masalah pada sistem karburasi yang menyebabkan putaran mesin tersendat-sendat.

Ini sesungguhnya merupakan kelanjutan dari cerita perjalanan sebelumnya, yakni perjalanan pulang dari Jember, seminggu yang lalu. Waktu itu, gejala bret-bet sudah tampak sejak lewat Surabaya, setelah isi pertalite di sekitar Sedarum, Pasuruan.

Karena sebelum berangkat sudah saya kop (menutup-melepas karburator—sambil ngegas tinggi—dengan tangan untuk menyedot kotoran di dalamnya) dan mesin berasa normal, berani saja saya melakukan perjalanan malam itu. Akan tetapi, ia menjadi masalah serius karena perjalanan kali ini lebih jauh dari perjalanan sebelumnya, sekitar 400 kilometer sekali jalan.

Bret-bet mulai berasa sejak di Ambat, kira-kira 45 kilometer dari rumah, masih wilayah kabupaten tetangga, Pamekasan. Awalnya. saya curiga hal itu disebabkan oleh bahan bakar yang tercampur air; lalu mencurigai filter udara; lalu mencurigai koil. Dugaan-dugaan ini keluar begitu saja sembari saya mengendalikan stir.

Pukul 01.30, saya berspekulasi untuk melepas filter udara di Gunung Gigir, jarak 110-an km dari rumah. Saat itu, kami sedang kena macet karena ada kecelakaan lalu lintas di Rompeng, Paterongan, Galis, Kabupaten Bangkalan.

Sebuah mobil masuk ke ekor tronton yang sedang parkir di tengah jalan, yang mungkin mogok atau entah apa, tapi saya lihat rambu-rambunya sudah lengkap. Bisa jadi truk baru mogok atau sopir mobil yang mengantuk dan tidak sigap. Sehabis melepas filter, rasanya saja lumayan, tapi ternyata tidak begitu ngefek saat mobil kembali harus menghadapi tarikan gas panjang.

Kami berhenti lagi di masjid Al Ibrohimy, Galis. Waktu itu pukul 1 lewat seperempat. Kami parkir di halaman masjid bukan untuk tahajud, tapi untuk membuang sisa BBM di karburator; berharap akan bebas bret-bret; ternyata tetap saja. Hati mulai galau, tapi mobil tetap harus berjalan.

Sampai Suramadu pukul 02.00; terdengar letupan di bawah jok saat digas panjang dan RPM tinggi. Saat itu, saya mulai  menaruh curiga pada adanya ketidakberesan pada sistem pengapian, bukan pada sistem karburasi sebagaimana tadi. Sebab itulah, di samping memang karena cari top-up kartu tol gak dapat, akhirnya kami putuskan untuk menghindari jalan tol sama sekali. Saya pikir, jika kami nanti benar-benar macet di jalan tol, tak tahulah hendak berbuat apa, apalagi malam-malam. Andai di siang hari pun, mau cegat siapa? Masa harus panggil derek? Alangkah ribetnya untuk urusan ‘sesepele’ ini. Kami lewat jalan arteri atau Jalan Nasional saja, sehingga andaipun benar-benar mogok dan harus diperbaiki, saya pikir akan lebih mudah diatasi.

Hampir masuk kota Pasuruan, kami menepi, mencoba ngompres koil, menggunakan kain yang dibasahi. Saya berspekulasi, jangan-jangan koil lemah atau mau mati, lemah saat kepanasan, jadi harus didinginkan. Tapi, ternyata, dugaan salah lagi: bretbet tak hilang juga. Hingga pada akhirnya, kami menunaikan shalat subuh dan istirahat di masjid Raudlatul Muttaqin,Banjarsari, masjid yang minggu lalu juga saya singgahi, tiga kilometer sebelum kota Probolinggo dari arah Surabaya. Di situ, kami istriahat dan shalat sekitar 30 menit.

Sambil lalu menunggu penumpang lainnya beres, iseng-iseng saya bukan jok, cek tutup delco. Dan alamaaak! Tak sengaja, ketemulah masalahnya. Ternyata, pentilnya (yang bisa naik turun karena ada per berpilinnya [spiral], yang berfungsi menyalurkan api dari koil dan mendistribusikannya ke untuk empat) sudah aus, bahkan nyaris habis sama sekali. 

“Ini masalahnya, ketemu!” Saya bilang sama Anam, saudara saya yang ikut bantu mengemudi dalam perjalanan kali ini. “Tapi ini masih setengah lima. Toko baru buka pukul 8 atau 9.” 

Apa yang bisa dilakukan? Hanya mengamplas sisi-sisinya sehingga ia lebih muncul ke permukaan. Saya juga mengamplas ke empat sumbu penyalur distributor. Pasang, start, dan jreng. Gas panjang, normal. Wah, betapa bahagia pagi itu. 

Dari situ, lewat kota Probolinggo, lanjut ke Gending sampai Kraksaanm perjalanan normal. Saya tarik gas sampai kecepatan 80 km/jam pun tetap normal. Sesekali tersendat masih ada, tapi tidak seperti tadi. Perjalanan lancar jaya hingga kami istirahat sejenak untuk menurunkan penumpang di Klatakan, lalu lanjut lagi sampai ke Asembagus untuk menurunkan istri di rumah bibinya. Sementara itu, saya lanjut ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo (P2S3) (), untuk sowan ke Kiai Afiduddin Muhajir, salah seorang ahli usul fikih di Jawa Timur. 

“Masih ada waktu untuk cuci muka,” kata saya dalam hati karena khadam kasih waktu pukul 9 untuk pertemuan kami. 

Dari pukul 9 pagi hingga pukul 4 sore, saya habiskan waktu di Sukorejo, berjumpa dengan Ustad Mukhlis, main ke Ustad Suwandi dan Erfah, bertandang ke Ustad Shanhaji dan Aisiyah, main ke Maulidi dan Nyai Muyassirah, bahkan setempat pula bertemu secara tak sengaja dengan Widodo (kawan saya yang berasal dari Kebumen tapi saat ini jadi panwas kecamatan) saat shalat Jumat di Masjid Sabilul Muhtadin, yang terletak di pinggir Jalan Nasional. Saya juga sempat mengunjungi rumah Pak Zainul Walid, tapi beliaunya sedang ke kota. 

Sepulang dari Sukorejo, saya membeli tutup delco di Asembagus, tapi sialnya, stok kosong. Yang ada cuman milik L300.

“Pak, sepertinya bukan kayak ini!”

“Ndak, Mas. Memang ini punya Colt.”

“Beda, kok.”

“Wis biasa kayak ini kok.” 

Saya agak heran dengan penjaga toko itu, meyakinkan saya akan suatu barang yang memang sedang saya perbaiki. Masa saya yang salah? Karena dia ngotot, saya pun memabawanya dan setelah dipasangkan, benar-benar ndak bisa masuk, kegedean, juga posisi kabel yang berbeda. Akhirnya, tutup delco saya kembalikan, tapi si penjual ngasih saran. 

 “Copot saja pentilnya, pasangkan ke tutup yang ada.”

Akhirnya, ide si penjual saya terima karena saya tidak mau berlama-lama lagi mencari sesuatu yang belum pasti ketersediannya, khawatir malah besok tidak bisa pulang ke Madura gara-gara cari suku cadang dan ternyata tidak ada (belakangan saya tahu kalau ternyata pentil tutup delco itu bisa diganti dengna arang baterai).

Setelah mobil saya ujicoba dan benar-benar kembali normal seperti sedia kala, muncul rencana bertandang ke Man Ali di Ramban juga ke rekan Colt, saudara Yudik a.k.a Ghazie Putra di Bondowoso, malam itu juga. Tapi, rupanya, tubuh tidak bisa kompromi. Saya tepar hanya setelah shalat isya.

>> cerita perjalanan pulangnya klik di sini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...