Pembaca

31 Maret 2021

Ke Ponjanan Timur, ke LPDS Mambaul Ulum

 

Jarak di atas peta, dari rumah saya ke Ponjanan Timur, Batumarmar (Pamekasan), tak seberapa jauh, hanya seterlelapan tanpa mimpi jika kita naik MPV sekelas Innova, itupun dengan syarat pakai sopir pribadi. Namun, jika jarak itu ditempuh dengan Colt dan Anda mengemudikan sendiri, maka jarak 31 kilometer itu akan berasa sedikit melelahkan. Faktornya ada dua, yaitu:

1 rute jalannya berkelak-kelok, dan

2 kabin agak suam-suam kuku

Masih ada faktor lain dan sekaligus perkecualiannya, tak perlulah disebut semua, tidak penting. Faktor lain yang membuat perjalanan pendek berasa sedikit jauh itu juga disebabkan oleh rute yang kurang akrab karena jarang dilalui.

Adapun faktor yang memupus kelelahan dan mengubahnya menjadi mengenyangkan, eh, menyenangkan, adalah karena visi dan misi perjalanan. Sementara soal disuguhi prasmanan besar—yang biasanya cukup pada level nasi kotak—nah, itulah unsur yang mengenyangkan. Jika keduanya dipadukan, maka sempurnalah perjalanan.


Tujuan saya kali ini adalah untuk memberikan semangat belajar kepada siswa-siswi SMPI Mambaul Ulum dan MA Mambaul Ulum 2 selepas mereka ditahbiskan sebagai purnasiswa (nama Mambaul Ulum biasanya selalu identik dengan alumni PP Mambaul Ulum Bata-Bata, saya kira yang ini juga begitu). Tentu saja, saya tidak berposisi sebagai layaknya Mario Teguh atau Oppo, eh, (maaf, tipo melulu) Ippho Santosa, juga tidak berperan bagaikan Kiai Musleh Adnan, melainkan sebagai “tukang kompor” untuk memberikan semangat meneladan semangat belajar dan keilmuan dan kaitannya dengan literasi, tentang khazanah kecemerlangan ulama-ulama zaman dulu, dan sejenis-sejenis itu.

 

Saya berangkat dari rumah pada pukul 07.25 dan tiba di sana satu jam kemudian, bahkan lebih sedikit. Saya melaju pelan, menikmati perjalanan, menikmati pemandangan alam. Di daerah Kecamatan Waru secara umum, konon, merupakan zona Colt. Dari dulu, saya mendengar kesan itu, bahwa di situ banyak sekali pemiliki Colt. Tapi, yang saya saksikan barusan tidak terbukti. Alasannya, mungkin; pertama, semua Colt sedang diparkir di garasi masing-masing, hanya satu-dua yang ada di jalan; kedua, para pemilik Colt pikap sudah ganti ke Granmax atau L300; ketiga, saat saya melintas berketepatan dengan waktu bukan beredarnya Colt di jalanan alias tidak jodoh.

 

Dalam perjalanan ke Waru, terdapat rute yang menarik, yaitu di daerah Sana Laok. Terutama di Cok Gunung, ruas jalan berkelok-kelok dan naik turun, dan sangat mulus. Pemandangannya merupakan paduan tebing karst dan ngarai yang dalam, mirip Ngarai Sianok jika dilihat dari Goa Jepang.

Cok Gunung bermakna ujung gunung. Ia merupakan ujung barat pegunungan karst yang membujur dari timur, dari Nangger, Payudan, di tengahpulau Madura. Pegunungan iniyang sebetulnya lebih tepat disebut perbukitan”—merupakan onggokan harta karun alam. Mungkin, tapi saya yakin, ada simpanan mineral, fosfat, dan boleh jadi emas, serta harta terpendam lain di kegelapan tanahnya. Saya tidak bisa membayangkan jika tandon air raksasa itu harus hancur (maksudnya dihancurkan) hanya demi stok APBD yang mungkin bisa bertahan dalam 10-30 tahun ke depan, tapi pasti (bukan sekadar mungkin lagi) bakal menyisakan kerusakan permanen sampai hari entah kapan, sampai Hari Kiamat.

 

Kepada siswa-siswa SMPI dan MA Mambaul Ulum, saya diminta berpesan untuk melatih keterampilan menulis. Tapi, yang lebih dari itu, kata saya, adalah aktivitas dan ketahanan membaca. Untuk apa? "Sebab membaca itu sesuai perintah. Kita harus menerima pesan membaca sebagai perintah, beda dengan orang lain yang membaca karena ingin tahu, karena ingin pintar, karena ingin menulis, karena ingin ini dan itu. Kita membaca karena memang begitulah perintah yang pertama kali diturunkan. Soal kemudian kita menjadi tahu, kita tambah berwawasan, itu soal lain, akibat saja. Hal itu sama persis dengan belajar, ya, hal itu dilakukan karena menjalankan perintah belajar, sebagai bukti mencari ilmu yang dituntut oleh Nabi, sejak lahir hingga mati. Adapun naik kelas, jadi juara, atau malah tinggal kelas, itu hanya efek, bukan tujuan. Kita belajar, sekali lagi, karena ingin mendapatkan hidayah, karena menjalankan amar atau perintah."

 

Sebelum pulang, setelah menutup orasi dengan pembacaan dua puisi, saya sempat duduk di bawah terop, turut menyaksikan penganugerahan siswa terbaik dan juara. Namun, kemudian saya diajak oleh Kiai Shodiq, ayahanda daripada Amin (orang yang meminta saya menjalankan tugas ‘literer’ ini) ke rumah utara, ndalem kesepuhan pengasuh. Di sana, sebelum pamit, saya masih sempat sowan kembali dengan Kiai Mughni dan putranya, Lora Mahfudh, di mana merekalah yang menyambut saat saya baru datang, tadi.

 

Setelah berbasa-basi sebentar, kami pulang. Rencana ke Ambunten untuk ikut rapat, gagal, ingat anak dan istri yang sakit di rumah. Tubuh saya rasanya juga sedang tidak fit untuk dipaksa kerja keras. Dalam perjalanan pulang, saya mengemudi sedikit cepat daripada tadi saat berangkat, sehingga waktu tempuh menjadi sedikit lebih singkat. Ciaaat.


2 komentar:

Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...