Jarak di atas peta, dari rumah saya ke Ponjanan Timur, Batumarmar (Pamekasan), tak seberapa jauh, hanya seterlelapan tanpa mimpi jika kita naik MPV sekelas Innova, itupun dengan syarat pakai sopir pribadi. Namun, jika jarak itu ditempuh dengan Colt dan Anda mengemudikan sendiri, maka jarak 31 kilometer itu akan berasa sedikit melelahkan. Faktornya ada dua, yaitu:
1 rute jalannya berkelak-kelok, dan
2 kabin agak suam-suam kuku
Masih ada faktor
lain dan sekaligus perkecualiannya, tak perlulah disebut semua, tidak penting.
Faktor lain yang membuat perjalanan pendek berasa sedikit jauh itu juga
disebabkan oleh rute yang kurang akrab karena jarang dilalui.
Adapun faktor
yang memupus kelelahan dan mengubahnya menjadi mengenyangkan, eh,
menyenangkan, adalah karena visi dan misi perjalanan. Sementara soal
disuguhi prasmanan besar—yang biasanya cukup pada level nasi kotak—nah, itulah unsur yang
mengenyangkan. Jika keduanya
dipadukan, maka sempurnalah perjalanan.
Tujuan saya kali
ini adalah untuk memberikan semangat belajar kepada siswa-siswi SMPI Mambaul
Ulum dan MA Mambaul Ulum 2 selepas mereka ditahbiskan sebagai purnasiswa (nama Mambaul Ulum biasanya selalu identik dengan alumni PP Mambaul Ulum Bata-Bata, saya kira yang ini juga begitu). Tentu
saja, saya tidak berposisi sebagai layaknya Mario Teguh atau Oppo, eh, (maaf,
tipo melulu) Ippho Santosa, juga tidak berperan bagaikan Kiai Musleh Adnan,
melainkan sebagai “tukang kompor” untuk memberikan semangat meneladan semangat
belajar dan keilmuan dan kaitannya dengan literasi, tentang khazanah
kecemerlangan ulama-ulama zaman dulu, dan sejenis-sejenis itu.
Saya berangkat
dari rumah pada pukul 07.25 dan tiba di sana satu jam kemudian, bahkan lebih
sedikit. Saya melaju pelan, menikmati perjalanan, menikmati pemandangan alam.
Di daerah Kecamatan Waru
secara umum, konon, merupakan
zona Colt. Dari dulu, saya mendengar kesan itu, bahwa di situ banyak sekali pemiliki Colt. Tapi, yang
saya saksikan barusan tidak terbukti. Alasannya, mungkin; pertama, semua Colt sedang diparkir di garasi masing-masing,
hanya satu-dua yang ada di jalan; kedua, para pemilik Colt pikap sudah
ganti ke Granmax atau L300; ketiga, saat saya melintas berketepatan
dengan waktu bukan beredarnya Colt di jalanan alias tidak jodoh.
Dalam perjalanan ke Waru, terdapat rute yang menarik, yaitu
di daerah Sana Laok. Terutama di Cok Gunung, ruas jalan berkelok-kelok dan naik
turun, dan sangat mulus. Pemandangannya merupakan paduan tebing karst dan ngarai yang dalam, mirip Ngarai
Sianok jika dilihat dari Goa Jepang.
Cok Gunung bermakna “ujung gunung”. Ia
merupakan ujung barat pegunungan karst yang membujur dari timur, dari Nangger, Payudan, di tengahpulau Madura. Pegunungan
ini—yang sebetulnya lebih
tepat disebut “perbukitan”—merupakan onggokan harta karun
alam. Mungkin, tapi saya yakin, ada
simpanan mineral, fosfat, dan boleh jadi emas, serta harta terpendam lain di kegelapan tanahnya.
Saya tidak bisa membayangkan jika tandon air raksasa itu harus hancur
(maksudnya dihancurkan) hanya demi stok
APBD yang mungkin bisa
bertahan dalam 10-30 tahun ke depan, tapi pasti (bukan sekadar mungkin lagi) bakal menyisakan kerusakan
permanen sampai hari entah kapan, sampai Hari Kiamat.
Sebelum pulang,
setelah menutup orasi dengan pembacaan dua puisi, saya sempat duduk di bawah
terop, turut menyaksikan penganugerahan siswa terbaik dan juara. Namun,
kemudian saya diajak oleh Kiai Shodiq, ayahanda daripada Amin (orang yang
meminta saya menjalankan tugas ‘literer’ ini) ke rumah utara, ndalem kesepuhan
pengasuh. Di sana, sebelum pamit, saya masih sempat sowan kembali dengan Kiai Mughni
dan putranya, Lora Mahfudh, di mana merekalah yang menyambut saat saya baru
datang, tadi.
Setelah berbasa-basi
sebentar, kami pulang. Rencana ke Ambunten untuk ikut rapat, gagal, ingat anak
dan istri yang sakit di rumah. Tubuh saya rasanya juga sedang tidak fit untuk
dipaksa kerja keras. Dalam perjalanan pulang, saya mengemudi sedikit cepat
daripada tadi saat berangkat, sehingga waktu tempuh menjadi sedikit lebih
singkat. Ciaaat.
Alhamdulillah, tapi sayang belum bisa sowan kepada kiyai
BalasHapusenggi, ngireng.
Hapus