SABTU, 5 FEBRUARI
“Ra Nuriz ada, ya?”
“Insya Allah ada.”
“Ndalemnya yang sebelah mana?”
“Yang paling timur.”
“Terus, saya mau parkir di mana?”
“Di situ!”
Santri petugas parkir menunjukkan arah yang saya perkirakan 100 atau 150 meter di depan. Tapi, sebelum mesin mobil saya matikan, saya bilang pada mereka, “Sebentar, saya mau menghadap dulu...”
Pintu utama PP Walisongo di Panji memang tutup, tapi saya tahu, saya bisa masuk lewat pintu samping. Begitu kata orang yang saya tanya lebih dulu. Saya mau ketemu Pamanda Nuriz, menantu Kiai Cholil As’ad. Pagi itu, saya mau bersilaturahmi sekaligus belajar ilmu arudl kepada beliau, tak apa-apa meskipun sebentar. Dan benar, Man Nuriz muncul lalu bertanya.
“Bawa Pariwisata?” tanyanya seraya tersenyum. Beliau paham, maksudnya adalah Colt T120 milik saya yang di kaca depannya tertempel stiker “Pariwisata” dan sudah terpasang kurang lebih 12 tahun yang lalu.
“Iya, parkir di luar.”
“Wah, jaaaangan, masuk saja, dibawa masuk ke sini.”
Astaga, terpaksa, mobil saya dimasukkan. Wah, mobil kurang ajar ini, he, he, he. Mobil tamu mestinya parkir di tempat yang disediakan, tapi karena mendaapat perintah tuan rumah, jadilah mobil dibawa masuk oleh Kak Fadlillah dan diparkir persis di depan pintunya tuan rumah, gaya sekali!
Itulah kegiatan pertama saya di Sabtu pagi. Setelah makan dan pamit kepada bibinda di Arjasa, saya minta izin bawa anak saya jalan-jalan ke Jember. Beliau membolehkan. Hitung-hitung, supaya dia belajar kenal dan tahu famili serta teman-teman ayahnya.
Di rumah Man Nuriz, terjadilah percakapan asyik, makin asyik setelah secara tiba-tiba datanglah Zainal Asyikin, makin asyik sajalah. Kami dijamu makan enak dan dibawakan buah tangan kopi ketika pamit pulang. Pagi itu, kami dapat ganjaran silaturahmi, dapat ilmu, dapat buku, dapat ini dan itu.
Di luar, kami berpencar. Zainal pulang ke Corasale, saya belok kanan, menuju Bondowoso. Di tengah perjalanan, area sekitar Wonosari, saya sempat tidur sekejap di tepi jalan karena tak tahan kantuk. Tidur semalam rasanya belum tuntas. Kucek mata, kami lanjutkan perjalanan ke Jelbuk, ke dusun Palalangan, Sukowiryo. Saya mengantarkan Kak Fadlillah untuk menjumpai tetangga rumahnya yang kini mukim di sana.
***
“Sepertinya Colt Pariwisata beredar di area Jelbuk, Keh?”
“Iya Benar. Dari siapa, ya?”
“Saya Sabil.”
“Ooo... kok Anda tahu?”
“Tadi saya sempat nguntit di belakang mobil Sampeyan.”
Di atas ini adalah sebagian percakapan saya dengan Sabil melalui telepon, sesaat sebelum mencapai lokasi rumah Pak Abdul Hayyi, tempat tujuan kami. Lokasi rumah beliau rada terpencil, masuk ke jalan kecil yang rimbun. Situasi jalannya malah seperti dalam dongeng. Suasana rumahnya membawa saya pada nostalgia suasana kampung di awal tahun 90-an: sepi.
Habis asar, kami pulang. Arahnya beda dengan jalan ketika kami datang yang mulutnya berada di selatan Puskesmas Jelbuk. Tuan rumah mengarahkan kami supaya belok kiri, nanti, setibanya di jalan masuk ke dusun Pelalangan. Saya mengarahkan mobil sein kiri, ke arah timur, menuju pertigaan Sumber Kalong untuk selanjutnya belok kanan, menuju Kalisat. Inilah rute paling singkat menurut Pak Hayyi, bukan menurut Google Maps (karena kami berdua memang tidak pakai peta digital).
Tujuan kami ke Kalisat ada dua: Kak Fadlillah demi mengunjungi cucunya (putranya diambil menantu K. Muzammil), sementara saya mau jumpa sama Isom, putra Kiai Rasyidi. Ternyata, saya gagal bertemu karena si calon tuan rumah tidak dapat dihubungi. Akhirnya, saya lanjutkan perjalanan ke Kancakona Kopi Jember (lokasinya berdampingan dengan BLK Jember di Tegal Besar), untuk mengikuti diskusi yang diselenggarakan oleh Lesbumi NU Jember, bincang-bincang dengan cerpenis Muna Masyari. Saya pergi berdua dengan Salim, anak saya. Sementara Kak Fadlillah nginap di Kalisat. Kami janji ketemuan lagi esok paginya.
Malam Ahad itu, saya menutup rangkaian silaturahmi hari kedua di Karangharjo, di rumah Nur Hariri. Senang tak terkira saya rasakan karena hal ini ibarat pengabulan atas keinginan yang saya sampaikan pada tuan rumah, kira-kira sebulan yang lalu (semoga kedatangan saya tidak mengganggu mereka dan andai saja mereka direpotkan, semoga mendapatkan ganti kebahagiaan dari Allah swt). Di sana, kami ngobrol sampai larut dengan Mamat, Oling, Manamo, dll. Saya juga diajak melihat unit usaha pondok Al-Falah yang baru, yaitu mesin sangrai (roasting) kopi produk lokal Jember. Dan saya disuguhi kopi dari hasil kerja mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar