Perjalanan ke Jogja kali ini terbilang buru-buru. pasalnya, meskipun perjalanan telah lama dirancang, tapi digagalkan dua hari menjelang hari H. Yang menjadi sebabnya adalah; anak saya mendadak demam dan ibunya keberatan kalau ikutan berangkat. Maka, saya putuskan untuk ngebis saja. Akan tetapi, menjelang malam keberangkatan, si ibu mengambil keputusan untuk ikut karena suhu tubuh putranya mendingan.
“Besok pagi tidak apa-apa kalau mau berangkat,” katanya.
Terburu-buru membuat saya lupa ngecek merata (pengecekan inti sudah), dan ternyata knalpotnya agaknya sedikit bocor sehingga kalau lepas gas, terdengar letupan. Begitu juga, Cak Badi—yang akan menyetir, menggantikan Cak Anam yang biasa bareng saya dan sekarang uzur karena persiapan menikah—harus dihubungi mendadak. Untung saja bisa. Selamatlah rencana perjalanan ini dari kegagalan.
Pagi itu, Kamis, pukul 09.30, kami bertolak dari rumah, jos langsung menuju masjid Baiturrohman di Dumajah, pukul 12.40 Pada beberapa kali trip, titik ini memang sengaja dibuat persinggahan saya, persinggahan pertama ketika berangkat. Pasalnya, letaknya yang dekat dengan akses Suramadu dan secara waktu telah mencapai perjalanan 2,5 atau 3 jam dari rumah dalam kecepatan 70-80 km jam. Jadi, secara teori mengemudi, posisi ini memang tepat untuk dibuat tempat rehat.
Sedianya, sesuai rencana awal, andaikan kami bisa berangkat bakda subuh persis, maka rencananya adalah mampir ke Masjid Raya Syeikh Zayed di Surakarta alias Solo dengan perkiraan shalat jamak duhur-ashar di sana. Akan tetapi, berangkat bakda subuh persis memang cenderung tidak persis, bahkan cenderung sampai matahari terbit (sebab itu, banyak dari keluarga besar saya yang suka menjadwalkan keberangkatan beberapa menit sebelum azan subuh dalam keadaan sudah punya wudu). Penjadwalan seperti ini ternyata lebih efektif untuk menghindari molor. Dan kali ini, berangkat bakda subuh tidak mungkin karena persiapan kami belum selesai. Perjalanan dimulai pukul 10.00.
Perjalanan di terik siang membuat hati kacau di Surabaya. Macet jalanan minta ampun, entah kenapa sebabnya. Pendingin kabin hasil rangkaian sendiri tidak mampu menenteramkan tubuh, hanya sekadar mampu membuat tidak keringatan. Ya, maklum, banyak kebocoran di sela-sela pintu dan membuat suhu udara luar (yang mungkin bisa mencapai 35-376 derajat celcius masuk ke dalam) dan juga faktor evaporator AC yang tunggal, hanya di depan, sementara untuk sampai ke kursi belakang saya menggunakan kipas angin yang dipasang di plafon tengah.
Sebelum masuk tol Dupak, saya melipir di masjid Nurul Yaqien (pukul 14.10) yang jaraknya hanya berapa puluh meter ke akses pintu masuk. Si bontot mau pipis. Harus diakui, bahwa keberadaan masjid-masjid di tepi jalan itu, salah satunya, adalah untuk orang singgah buat air kecil karena kalau menunggu SPBU belum tentu rimbanya, apalagi di jalan tol. Yang juga harus diakui juga adalah; ada pula yang benar-benar hanya singgah untuk pipis, jangankan sampai shalat tahiyatal masjid, ngasih uang ke kotaknya saja tidak.
Karena keberangkatan berubah, maka jadwal lain-lain juga berubah. Perjalanan sepenuhnya lewat tol sampai Colomadu (Kartasura), padahal sebelumnya dirancang keluar-masuk: masuk Warugungun, keluar Bandar; masuk Caruban, keluar Sragen, lalu lewat arteri, lewat kota Solo, ke Masjid Zayed). Di tol, kami hanya singgah satu kali di tempat istirahat di Saradan, Madiun (jika tidak salah 627). Sebagai hiburannya, saya bawa rombongan yang untuk pertama kalinya ke Jogja itu—kecuali dua anak saya yang lain—ke masjid Al-Aqsha, Klaten. Pukul 19.50, kami bertolak menuju Jogja, ke Kafe Main-Main untuk makan malam dan tiba pukul 20.45.
Dipandu oleh GPS oleh Mas Mukhlas, kakak sepupu Zulfa (istri saya), Colt ini kembali menapaki jalan
Lingkar selatan (ringroad) setelah terakhir Agustus tahun lalu, 2022, saat menghadiri kopdar ICJ di Pantai Cemara. Sepertinya, Colt ini sudah akrab dengan aspal Jogja sehingga tidak perlu ragu-ragu, bahkan andai tanpa GPS, seakan ia sudah dapat mengendus jejak dan tapaknya di jalan-jalan kota Jogja.
Setelah masuk lewat Jalan Imogiri Timur, belok kanan di Perempatan Jejeran, kami pun tiba di rumah Kak Mukhlas yang beruntung bisa menempati kediaman Mbah Juned (karena istri beliau merupakan cucunya) yang letaknya berada di belakang masjid At-Taawun, Kanggotan, Plered, Bantul.
Pagi Jumat, acara kami adalah silaturahmi, tidak lebih. Istri maunya istri adalah diantar ke Malioboro, tapi ternyata gagal karena si kecil rewel. Maka, setelah jumatan di Masjid At Ta’awun yang terletak persis di timur rumah Mas Mukhlas ini, saya pun berangkat ke lokasi acara tanpa rombongan karena kerewelan tersebut masih berlanjut. Tak apalah, ia harus diterima sebagai takdir karena kita sudah ikhtiar.
Dalam perjalanan ke desa Pulesari di Sleman, kami menyusuri jalan terdekat menurut GPS. Saya tidak tahu menahu jalan itu karena ia adalah pertama kalinya. Akan tetapi, sebelum mencapai lokasi yang ditargetkan pukul 16.00, saya manfaatkan waktu untuk singgah-singgah lebih dulu, antara lain ke Pak Benta di Gamping yang baru buka kedai angkringan SGS dan lapangan futsal, di belakang rumahnya. Habis itu, persinggahan kedua adalah pool PO Putra Remaja, menjumpai Mas Hanif yang janji ngasih suvenir (kami terhubungan kembali dengannya saat saya dalam perjalanan naik bis ini dari Jambi tujuan Solo, awal bulan Mei lalu).
Saya menghadiri undangan anak-akan IAA (Ikatan Alumni Annuqayah) yang mengadakan Kemah Literasi Nasional. acaranya ditempatkan di balai desa Pulesari, Sleman. Sesi sore itu, saya datang bersama Puthut E.A. Kami ngobrol bergantian: saya dulu, baru dia. Tapi, saya tidak langsung pulang sehabis acara, malainkan menunggu Mas Puthut sampai rampung bicara. Eh, gak tahunya, tiba-tiba ada Gus Syukron Maksum datang. Maka, pulang pun gagal, jadilah kami ngobrol sampai menjelang isya.
“Ayo mampir ke rumah saya dulu,” kata Gus Syukron menawarkan kami mampir ke rumah mertuanya, mengingat dia dari Jambi—yang tempo hari pondok pesantrennya (PP Jari Nabi) itu—baru saya kunjungi.
“Makasih, tidak mungkin rasanya, Gus, karena saya harus pulang malam ini.”
Turun dari Pulesari, saya mencari jalan akses ke Jalan Magelang yang paling dekat. Meskipun dengan begitu jaraknya sedikit memutar, tapi jalannya lebih terang dan lebih bagus. Maka, saya tidur di jok tengah, sementara Anta—yang ikut kami sejak dari Plered—duduk di depan bersama Cak Badi sang pengemudi. Tertidur lelap karena kelelahan, saya terbangun setelah mobil sudah parkir di halaman rumah Mas Mukhlas. Saya pulas sepanjang 40 km. Jarak segitu adalah jarak total ring-road Jogja yang pernah saya hitung melalui odometer Honda Aastrea Prima di tahun—jika tidak salah—2002 yang silam.
“Loh, kok sudah mau pulang?” tanya Mas Mukhlas.
“Serius mau pulang?” Mbak Aini menambahkan.
“Iya, kami ini masih mau lanjut ke Karangharjo untuk acara besok malam. Besok siangnya masih rencana mampir di Ajung, di Paman Baidawi.”
Diiringi suasana hari, kami meninggalkan Kanggotan malam itu, menuju Jember. Masih ada 530 kilometer di depan yang harus kami tuntaskan untuk titik persinggahan berikutnya. Tapi, kami singgah sebentar di Kafe Main-Main sekadar untuk ngisi termos dengan kopi, baru lanjut lagi pada pukul 10.00. Kami bertemu dengan Pak Edi dan Imam Rofiie, tapi tidak ada Kang Din yang sedianya mau jumpa saya pula di sana.
Sementara itu, si kecil nangis terus. Suasana menjadi kacau balau saat istri saya berkata.
“Sepertinya saya tidak sanggup kalau harus ke Jember.”
“Ya, tidak apa-apa, kita putar haluan.”
“Terus, bagaimana dengan janjian orang Jember?”
“Pikir saja nanti di perjalanan, toh kita masih punya kesempatan waktu. Siapa tahu Aqil—anak kami yang bontot—jadi mendingan dan kita lanjut.”
“Iya, amin, semoga saja.”
Mobil bergerak dan Cak Badi tetap mengemudi hingga SPBU Kertonatan, Kartasura. Kini, giliran saya yang mengemudi. Masuk GT Colomadu pukul 23.44 dan sengaja saya bawa berlari konstan antara 85-90 km / jam hingga masuk GT Warugunung pada pukul 03.13. Dengan kecepatan rata-rata begitu, yang tentu saja terbilang lambat untuk mobil MPV yang berjalan di jalan tol, jarak 253 kilometer ternyata bisa ditempuh dalam waktu 3 jam 29 menit tanpa rehat sama sekali.
Mobil terus bergerak tanpa henti hingga akhirnya saya ngisi BBM lagi di SPBU Tangkel bukan karena habis, melainkan sekadar untuk kalibrasi konsumsi BBM. Hasilnya adalah 1 liter untuk 12,7 km. Data ini masih saya ragukan (karena terlalu irit) mengingat mobil terbilang bermuatan berat karena membawa 6 orang dan barang berjibun serta RPM selalu tinggi. Entah tadi ngisinya kurang penuh atau bagaimana, saya tidak mencermatinya lagi. Yang pasti, jarak dari Kertonatan ke Tangkel itu 294 kilometer, sedangkan pertalite yang dihabiskan adalah 232.000. Suatu saat, kalibrasi harus dilakukan berkali-kali untuk mendpatkan angka yang lebih pasti.
Kami tiba di Masjid Baiturrohman, Dumajah, masjid yang kami singgahi pertama saat berangkat, untuk shalat subuh. Mobil dan anggota rombongan terus pulang ke timur, sedangkan saya kembali ke barat, naik bis untuk melanjutkan perjalanan ke Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar