Pembaca

29 April 2024

Kopdar Triwulan di Blitar


Jarak dari rumah saya ke Blitar itu jauh. Kesannya begitu, bahkan lebih jauh daripada perjalanan saya sebelumnya, ke Banyuwangi. Tapi, ini hanya ‘rasanya’ saja, bukan nyatanya karena ternyata ‘hanya’ 683 kilometer lengkap dengan bonus-bonusnya. Mengapa jarak kepala enam (ke Blitar) terasa lebih jauh dari jarak kepala 8 (seperti ke Situbondo atau Banyuwangi)? Saya duga itu disebabkan oleh karena saya lebih sering ke Situbondo dan Banyuwangi ketimbang ke arah Blitar.

Perjalanan kali ini terasa ngawur karena membawa Colt yang ngendap selama 5 bulan. Pantas saja, baru saja berangkat, di SPBU Pakamban, jarak 9 kilometer dari rumah, masalah langsung menghadang. Kampas rem copot. Saya menyadarinya setelah isi BBM, meraba velg depan yang panas.  Saya membatin, ‘Coba andai saja masalahnya muncul tadi di pertigaan Prenduan, kan tinggal masukkan ke Pegadaiaan yang notabene lokasinya ada tepat di sana!’.

Setelah dibuka oleh pak bengkel yang rumahnya dekat TKP melalui bantuan Anam, ketahuanlah kalau kampas rem depan lepas. “Ini cuma butuh 9000,” kata dia. “Eman-eman kalau harus diganti karena kampasnya masih tebal.”. Saya ngotot untuk membeli di toko, tapi pak bengkel nakut-nakuti saya dengan harga selangit dan lagi pula hari sudah sore, bisa saja saya tiba di toko dalam keadaan sudah tutup. Bismillah nekat!

“Aman, kok!” kata Khatir menguatkan. “Saya pernah mengalaminya juga, dibawa ke Jember tidak apa-apa!” imbuhnya. Maka, nekat pun berubah pada tekad. Ayo, berangkat!

Setelah digosok permukaan besinya  hingga terbebas karat dan minyak rem, lalu diolesi Lem G (atau disebut lem China), maka dipasanglah itu kampas. Joslah, saya gas ke barat, berangkat pukul 16.00. Tentu saja, karena ini pengalaman pertama melakukan cara seperti itu, masih tersisa rasa was-was, menggantung di antara gas dan rem. Hamdalah, sampai di Pakisaji, Malang, jam menunjukkan pukul 22.10. hamdalah, tidak ada masalah apa-apa.

Perjalanan dari Pakamban hanya 4 jam 20 menit berdasarkan taksiran Google Maps. Nyatanya, perjalanan saya adalah 6 jam dengan ketersendatan arus lalu lintas hampir di semua ruas jalan, termasuk di Tanah Merah – Tangkel dan Jalan Soekarno – Hatta, yang saya istilahkan sebagai jalan terpanjang di Indonesia (tapi ternyata masih banyak yang lebih panjang dari itu) karena membentang sejauh 11 kilometer dengan 11 lampu lalu lintas.

Dengan memanfaatkan jalan tol Surabaya – Malang (masuk dari GT Tambak Sumur dengan harapan dapat menghindari kemacetan di area Gerbang Tol Dupak dan sesudahnya, tapi ternyata kemacetan justru ada di Rungkut), saya tiba di rumah Ririd pukul 22.10. Yang terbayang setelah itu hanyalah telentang dan makan. Eh, ternyata, bekal yang saya bawa dari Madura tidak termakan karena mereka telah menyiapkan makanan untuk kami: saya dan Khatir (sebab Anta yang tadi ikut juga malah turun di ujung jalan akses Gerbang Tol Pakis).

Besok paginya, setelah sarapan, saya berangkat pukul 07.40, atau bahkan lebih. Saya menelepon Mas Wida.

‘Mas, Sampeyan ada di mana?’ sembari merencanakan untuk berencana berangkat bersama dari Kepanjen, tapi ternyata…
‘Saya sudah di lokasi.’
‘Waduh’
‘Gimana? Jenengan di mana?’
‘Saya baru berangkat dari Pakisaji. Kalau dari Kepanjen ke Karangsono (Blitar), berapa lama?’
‘Dua jam-an lah’

Kaget lagi, sebab saya lupa kalau “persandingan batas” antara kabupaten Malang-Blitar itu hanya kamuflase saja. Aslinya, ya, jauh sekali meskipun kabupatennya berdempetan, mirip-mirip Sampang dan Bangkalan yang ternyata sangat jauh (sekitar berjarak 62 km; sedangkan jarak dari alun-alun Malang dan alun-alun Blitar itu ada 73 km) padahal keduanya tetanggaan.

Singkat cerita, kami harus menikmati perjalanan yang memang indah supaya dapat melupakan keterlambatan. Betul, ruas jalan Malang-Blitar masih rimbun dan tidak sepadat arus lalu lintas Malang-Pandaan-Surabaya. Jalannya berkelak-kelok selepas Sumber Pucung, setelah area Bendungan Sutami, Karangkates.  Saya tiba di lokasi pada pukul 10.30.

ACARA DI LOKASI

Acara Kopdar Triwulan adalah kegiatan komunitas Colt yang biasa diselenggarakan setiap 3 bulan. Saya sendiri tidak aktif bergabung dengan komunitas karena di Sumenep tidak ada komunitasnya. Tapi, dalam kesempatanya, saya selalu dapat rezeki untuk bisa hadir, terutama rezeki waktu dan kesiapan meskipun lebih sering tidak berbarengan dengan rezeki pertalite. Maka, rezeki bahan bakar harus mengalah karena waktu dan kesempatan itu jauh lebih mahal daripada uang.

Di lokasi, saya bertemu dengan banyak kawan yang sebelumnya sudah sering berjumpa, seperti..., wah, enggak perlu saya disebutkah, ah, sudah sering saya sebut di postingan-positngan lama di blog ini. Yang istimewa, hari ini saya bertemu dengan Mas Teguh (yang sebelumnya bertemu di tempat istirahat, di Tol Trans-Jawa). Pasalnya, dia mengaku seorang pembaca blog ini dan sudah mengkuti postingan saya sejak 2010 yang lalu. Cerita punya cerita, beliau ini pernah punya Colt dan sekarang dialihtangankan ke Mas Nari, salah seorang anggota klub Colt Blitar “Seneng Nedho”.

Acara yang berlokasi di Bumdes Karangsono Blitar itu dihadiri oleh si maskot, yaitu Colt Double Cabin milik Pak Broto yang dikemudikan oleh Pak Marhan dan tanpa kahadiran si empunya: tak hadir orangnya, hadirlah Colt-nya. Pak Bambang Fidelis juga hadir sebagai Colt Mania terjauh, dari Cikupa, Tangerang (Banten). Mereka berkumpul bersama rekan-rekan dari area Jember, Ngapak, Kediri, Malang, dan tentu saja Madura paling timur, yaitu Colt Pariwisata, milik saya (sayangnya, saya tidak melihat penampakan Colt Kwanyar dan Bangkalan yang 3 bulan lalu baru saja menyelenggarakan kegiatan serupa, atau saya yang silap? Entahlah!).

Dalam perjalanan pulang, saya numpang shalat di rumah Mas Teguh yang letak rumahnya cuman sepelempanran batu ketapel dari lokasi, lalu singgah ke Lodaya—tempat Mas Malkan Junaidi—yang jaraknya juga tidak jauh-jauh amat, Sutojayan, persis di selatannya



Masjid Baitul Mubarok. Dan di Kepanjen, saya dicegat lagi oleh Mas Yoyok, singgah sepeminuman kopi di emperan rumahnya yang berhadap-hadapan langsung dengan jalan raya.

Singgah di Mas Teguh hingga perjalanan ke rumah Mas Yoyok memakan waktu pukul 13.30 hingga 18.30. Dalam waktu 5 jam tersebut saya bisa menyambangi 3 orang. Maka, pantas sajalah kalau surga jadi iming-iming bagi orang yang rajin silaturahmi karena pergi ke rumah seseorang dengan niat silaturahmi an sich itu sangat berat di antara himpitan tugas yang semakin sarat. Yang sedikit ringan itu adalah silaturahmi yang didorong oleh semangat sembari mau pinjam uang atau kependingan basic human needs yang lain.

Dari Kepanjen, saya menyusul Pak Bambang di Pakisaji, di bengkel Abah Sis. Tujuannya adalah mengantarkan titipan velg yang lupa saya turunkan dari mobil ketika tadi bertemu di Blitar. Beliau ada di Pakis untuk servis karburatornya yang banjir ketika idle dan menyebabkan mesin tidak stasioner. Saya pesan kepada beliau.

“Kalau cuman pincang ketika idle, kan itu itu hanya akan terjadi beberapa kalii, Pak, paling di Gerbang Tol Pakis, di Gerbang Tol Kejapanan, di Gerbang Tol Krapyak, dan di Gerbang Tol Cikupa. Selebihnya, Jenengan pasti membalapnya, tho?”

Pak Bambang cuman ketawa, karena fokusnya bukan ke omongan saya meskipun beliau menatap, tapi tetap ke karburatornya. Yakin, deh, begitu, ha-ha-ha.

Dari situ, saya lanjut ke Rumah Legenda di Lowokwaru, sebuah kedai milik Pak Fatar. Mas Pras yang menyampaikan pesan Pak Fatar ke saya melalui WhatsApp-nya. Saya pun terima undangan ke situ  setelah menawarkan Khatir, teman perjalanan saya kali ini, apakah iya atau tidak, sebab saya khawatir dia kepayahan dan siapa tahu pula besok (hari ini) punya janjian. Karena dia oke, maka kita gas: oke gas! Colt saya ini pun dipancal oleh Mas Pras.

Pukul 22.00 kurang 15 menit, kami pulang. Saya yang bawa Colt sampai ke Gerbang Tol Lawang (karena di Karanglo saya salah masuk terowongan sehingga kebablasan untuk masuk dari pintu tol di situ). Di Gerbang Tol Lawang, mata saya sudah terasa sagat sepet dan pahit, saya serahkan pemindahan kekoeasaan dalam hal mengemoedi d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja kepada Khatir lalu saya pindah ke belakang.

Mungkin saking capeknya, saya tidak tahu apa saja yang terjadi. Saya baru tahu dari Khatir setelah saya buka mata di Galis, Bangkalan. Dia bilang kalau tadi mampir di Tempat Istirahat Sidoarjo untuk beli minuman, juga isi pertalite tambahan di SPBU Suramadu, juga bertemu dengan salah satu anggota Colt Bangkalan.

“Khatir, ayo saya ganti!”
“Biar nanti saja kalau sudah mau shalat.”

Akhirnya, kami shalat di Panyiburan, di masjid perbatasan Bangkalan-Sampang, Masjid Al-Ihsan  yang dikenal dengan Ama Jeriye karena ada tulisan seperti itu di kotak amalnya yang bukan lagi segede gaban, tapi segera peti mayat, masjid yang menjadi kenangan bagi saya dengan Colt, karena di masjid itulah saya pertama kali bawa Colt jarak jauh dengan Paman Farhan di tahun 2005 lalu singgah dan rehat di sana.

Dari masjid situ, kami tukar posisi: saya di belakang kemudi, Khatir di belakang saya, rehat. Karena jalan yang lengang, hanya dengan kecepatan rata-rata 60-70 km jam, jarak 81 km, jarak yang sama dari Graha Permata di Pakisjajar ke Karangsono Blitar, dapat ditempuh hanya dalam 1 jam 30 menit saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kopdar Triwulan di Blitar

Jarak dari rumah saya ke Blitar itu jauh. Kesannya begitu, bahkan lebih jauh daripada perjalanan saya sebelumnya, ke Banyuwangi. Tapi, ini h...