JUMAT, 21 JUNI 2024
Perjalanan selalu dihitung dari alasan roda bergerak. Jika niatnya adalah untuk maksiat, jangankan pahala, bahkan rukhsah safar pun tak boleh. Begitu juga sebaliknya, kita akan dapat pahala dan manfaat jika dari awal sudah dibetulkan niat.
Berangkat pukul 15.34 di hari Jumat, perjalanan kami benar-benar terasa melambat karena butuh waktu 30 menit hanya untuk sampe ke Batujaran, rute yang biasanya 15 menit saja dari rumah. Tapi, hal itu saya maklumi mengingat sopir yang saya ajak kali ini adalah baru pertama kali membawa Colt ini. Jadi, kata saya, wajarlah dia berlaku begitu, mungkin sedang ‘berkenalan’ dengan mobil tua.
Akan tetapi, perjalanan ternyata tetap begitu-begitu saja hingga Tanah Merah. Jalan benar-benar sangat ramai. Entah karena masih tersisa aroma lebaran atau entah karena mau libur Sabtu-Ahad. Maklum, hari itu adalah tanggal 14 Dzulhijjah yang artinya baru empat hari lebaran Iduladha berlalu. Pukul 19.15 kami masih di Tanah Merah, padahal hitungan normalnya, hanya butuh 3 jam dari rumah ke akses Suramadu dengan kecepatan kisaran 70 km/jam.
Supaya tidak perlu memandu arah jalan bagi sopir yang baru atau sangat jarang melintasi kota Surabaya, biasanya, jika datang dari arah Madura, saya mengarahkannya lewat MERR, lewat Jalan Soekarno-Hatta. Meskipun jarak melewati rute ini lebih jauh sekitar 4 kilometer ketimbang lewat Tugu Pahlawan, saya tetap memilihnya karena pertimbangan mudah: belok kiri di perempatan Jalan Kenjeran; belok kanan di lampu merah pertama, sudah deh, sudah sampe pintu tol Tambak Sumur.
Dengan rute seperti itu dan kecepatan seperti itu, kami mencapai desa Sembon Lor, Jatiroto, Lumajang, sekitar pukul 23.00. Kusnan menyambut kami dengan bakso, padahal saya bilang sebelumnya agar tidak perlu disiapkan apa pun kecuali bantal karena saya sangat capek dan memang sudah makan bekal yang dibawa.
SABTU, 22 JUNI 2024
“Aduh, Nan. Kok sebanyak ini?” kata saya padanya melihat ikan dan makanan yang tersaji, besok paginya.
“Ini hasil tangkapan saya tadi malam.”
“Masa iya?”
“Iya, saya tiap hari nangkap ikan di sungai.”
Kusnan dan keluarganya beruntung tinggal di situ, dekat sungai besar yang ikannya masih banyak. Airnya muncrat sendiri dari perut bumi, tanpa perlu menggunakan mesin untuk mengeluarkannya. Tanah di sekeliling subur sekali. Inilah keindahan surgawi itu.
Pagi itu di Jatiroto, saya sudah menyelesaikan empat rumah tangga untuk disambangi. Ada yang didasari takziyah, ada yang sekadar silaturahmi. Pukul 9, saya pamit, bergerak ke selatan, menuju ke Krai. Saya takziyah ke pamanda Kiai Sambah Baqis Muhtadi di PP Bustanul Ulum. Di sana, saya disambut putranya, Ubet dan Faruk, dan juga Paman Naufal dan Paman Abdul Adhim.
Sempat tidur karena mengantuk, tiga jam lamanya di sana, kami pun bergerak ke timur, menuju Rambipuji. Jalanan di sisi selatan (tapi bukan Jalur Lintas Selatan, ya), yaitu ruas Lumajang-Jember via Yosowilangun memang relatif lebih kecil daripada jalan Nasional di Lumajang – Tanggul – Jember. Pantas saja kalau jalannya berasa lebih ramai meskipun volume kendaraannya tidak sebanyak di jalan nasional.
Tiba-tiba, di Rawatamtu, terdengar bunyi ledakan: Dhuwaaas! (sengaja memang ditulis begitu, bukan ‘dhar’ atau ‘dhuwar’ karena yang terdengar di telinga saya memang begitu). Dikira ban, ternyata selang bawah radiator—yang masuk ke waterpump—yang lepas. Ditunggulah beberapa jenak supaya suhu radiator tidak terlalu panas ketika saya tuangi air. Caranya, saya tuang sedikit demi sedikit agar mesin/radiator tidak rusak diakibatkan oleh perubahan suhu permukaan yang sontak berubah, dari panas ke dingin. Dengan cara bertahap, radiator dan mesin aman.
Meskipun hanya 40 menitan, tapi gangguan seperti ini jelas memangkas waktu tempuh. Makanya, rencana saya yang semula mampir dulu ke bibinda di Dukuhmencek, harus ditunda ke besok. Sore itu, kami lanjut ke Karangharjo agar acara malam harinya saya sudah siap, tidak terlalu capek. Kami tiba di sana pukul 17.00 kurang sedikit. Itupun terbilang singkat karena kami dipandu lewat Seputih, lewat perkebunan, bukan lewat Sempolan.
Bebeda dengan dua titik persinggahan sebelumnya, acara saya ke Karangharjo berbeda. Malam hari, saya bermalam di PP Al Falah, Karangharjo, Silo, Jember. Bersama kiai-kiai setempat, saya menghadiri acara malam tutup tahun pelajaran alias Imtihan Al Falah. Panitia mendapuk saya berbicara tentang posisi anak muda dalam fase perubahan mentalitasnya, serta acaman trans-nasional yang akhirakhir ini begitu getol masuk ke Nusantara. Saya hanya mengantarkan ke permasalahan saja, karena Kiai Hodri Ariev-lah yang pakar di bidang ini. Makanya, beliualah yang saya persilakan berbicara panjang lebar.
AHAD, 23 JUNI 2024
Setelah terlanjur pamit pulang kira-kira pukul 9 pagi, sementara oleh-oleh sekarung sudah masuk ke bagasi, termasuk pisang dan kopi, eh, gak jadi. Gangguan datang tiba-tiba. Kunci kontak bermasalah. Awalnya, terputusnya arus diperkirakan berhulu di soket ke relay, ternyata memang soket relaynya yang bermasalah dan juga kunci kontaknya.
Gara-gara ini, ada tambahan waktu sayajam hingga azan duhur berkumandang hingga akhirnya kami bisa pulang. Semua itu tak luput bantuan Pak Fauzi, seorang montir yang rumahnya dekat pondok, yang mengaku pernah melihat Colt Pariwisata milik saya ini di YouTube. Wah, tidak disangka! Kata saya. Saat dia bekerja, saya bisa meneruskan leyeh-leyeh dengan tuan rumah, enak sekali.
Dari Karangharjo, mobil bergerak kembali ke kota Jember, ke Dukuhmencek, nyambangi bibi kami di sana, bertemu sepupu (putranya), dan juga shalat duhur-asar di masjidnya, Masjid Hasanul Islam. Meskipun sebentar, tapi semua tugas terlaksana. Tepat pukul 13.30, kami pamit pulang, lanjutkan perjalanan ke Besuki via Arak-Arak Bondowoso. Hamdalah, perjalanan pulang lancar jaya.
Tujaun kami adalah Pondok Pesantren Al Ishlah. Lokasinya ke utara alun-alun Besuki, tidak begitu jauh. Ke situ, kami takziyah ke Fahrurrozy. Dia adalah saudara sepupu tiga kali saya yang jarang sekali bertemu setelah kami sama-sama lepas dari pondok.
Mampir di PP Nurul Jadid untuk nyambangi anak wedok yang ditagetkan sebentar, dari maghrib ternyata saya baru bisa pulang pukul 21.00 Akhirnya, kami pulang lewat Gerbang Tol Gending, padahal semula direncanakan lewat arteri saja. Pertimbangannya adalah kejar waktu tayang karena Senin pagi kami sudah harus sampai di rumah, istrihat sebentar sebelum kembali mengajar.
Dalam perjalanan pulang, kami masih singgah di Bakso Cak To, yang lokasinya kumpul dengan kafe Jungkir Balik, tepat perisi di sebelah barat Gelora Delta Sidoarjo. Benar-benar sebatas makan bakso, kami lanjutkan perjalanan pulang ke Madura lewat Pasar Turi, Kapasan, Kenjeran, Suramadu.
Hamdalah, kami tiba di rumah menjelang subuh. Perjalanan melelahkan ini tercatat menempuh 875 kilometer. Jika bensin 1:10, berarti tinggal hitung kasar saja angkanya, pasti mirip-mirip dengan itu. Jika lebih irit lagi, dan iritnya pasti tak seberapa, berarti sekitar 800 ribuan.
Momen mengesankan bawa Colt itu adalah adanya sapaan orang-orang yang masih mengenali mobil saya, antara lain Faruk yang melaporkan papasan di Jember dan Puger yang menyatakan melihat Colt saya melintas di depan Utama Raya, Banyuglugur. Nah, jika saja saya naik Avanza putih, mana mungkin mereka tahu kalau saya ada di dalamnya? Itulah salah satu keunggulan naik Colt yang warna dan stikernya tidak pernah berubah selama 16 tahun lamanya.