Perjalanan hari Rabu, 12 Juli 2015
“Pergi ke Omben melewati rute tidak biasa akan sangat menyenangkan,” kata saya dalam hati. Maka, diputuskanlah saya untuk memilih rute lewat Bandungan Pakong, Pegantenan, Palesanggar dan tembus di depan Polsek Pelengaan yang jaraknya terbukukan 55 kilometer saja. Namun, saya berubah pikiran saat sampai di Palesanggar, memilih rute lewat Kacok, yang dengan begitu jaraknya bertambah 2 kilometer, dari 55 kilometer di rute awal menjadi 57 kilometer di rute yang dilewati. Jika kita lewat jalan populer maka jaraknya menjadi 57 kilometer, yaitu dengan lewat Prenduan via Proppo. Rute memutar bisa lewat Sampang kota, namun jaraknya malah menjadi 75 kilometer ke tempat tujuan saja, Masjid Nurul Mustaqim, Napo, Omben, Sampang.
Menempuh rute tidak populer bukan semata-mata untuk melayani hasrat ingin cepat sampai karena alasan jarak terpendek. Jika itu adalah bagian dari target, maka rute populer biasanya malah lebih cepat ditempuh karena jalannya lebih mulus, lebih lebar. Jika kita minta petunjuk rute kepada GoogleMaps, maka yang disarankan adalah yang terpendek, bukan yang terbaik atau ternyaman. Sampai hari ini yang saya tahu, GoogleMaps masih belum bisa mendeskripsikan Kelas Jalan khusus, seperti residental dan kolektor, apalagi yang lebih spesifik, seperti mana yang kelas IIIc dan mana yang kelas IIIa, misalnya.
Bagi saya, menempuh rute tidak populer (seperti yang kemarin saya lakukan untuk menghadiri undangan haul Kiai Syaifiuddin di Napo) salah satunya adalah agar tidak sering bertemu dengan kendaraan. Dengan tidak sering bertemu atau berpapasan dengan kendaraan, maka tidak sering pula saya melihat penyerobotan. Makanya, kadang saya memilih rute yang jalannya lebih banyak rusak asalkan tidak terlalu sering berpapasan dengan para pembangkang jalanan itu yang ulahnya bikin mual itu.
Walhasil, dalam perjalanan ke Napo, dari rumah sampai di perempatan Panaguan, saya nyaris tidak berpapasan atau melihat orang-orang yang melanggar rambu serta menyerobot jalur. Namun, begitu saya lewat jalan Proppo-Omben, maka yang nyalip di tikungan, yang parkir sembarangan, yang menyerobot antrian, langsung tinggal sendok di hadapan, macam hidangan prasmanan saja, banyak sekali. Begitu pula saat saya pulang lewat selatan, lewat Kota Sampang dan via Camplong, sajian pelanggarannya lebih berupa-rupa.
Saya kasih contoh misalnya saat masuk kota Pamekasan. Mulai dari depan UIN Madura sampai makam Panglegur, yang jaraknya pendek saja saya bertemu dengan tiga gangguan pada saat hendak menyalip dari sisi kiri (karena ruas jalannya memang lebar sehingga ia terdiri dari dua lajur: 1) ada orang beli (mungkin pentol) di kios tenda. Dipikirnya dia hanya sebentar saja maka boleh saja ia parkir sepeda motornya di badan jalan, akibatnya saat saya ambil kiri untuk menyalip, diurungkanlah rencana itu karena mendadak tampak ada sepeda motor di depan.


Itulah beberapa keunggulan menempuh rute tidak populer, tapi tentu ini tidak akan menarik bagi yang suka kecepatan dan tidak suka tantangan.