Pembaca

09 Desember 2024

Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024

 

Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM hingga kondisi minimal (jarum menunjuk garis terbawah) yang berakibat naiknya kotoran saat tangki BBM mengalami guncangan. Begitu kata analisa teman-teman.  



Dalam perjalanan dari Bangkalan ke Sidoarjo, beberapa kali mesin mati, termasuk di Tangkel. Saat di Suramadu sempat mati satu kali. Lalu di ujung Selatan Jalan A. Yani juga mati (beberapa kali momen yang lain juga mati, tapi saya tidak ingat di mana saya kordinatnya). Untunglah saya segera bisa mengarahkan mobil ke jalan tol dari pintu masuk Gerbang Tol Waru 3 sehingga mobil bisa melaju aman. Mesin mobil mati lagi hanya sekali, di pintu keluar GT Sidoarjo karena tujuan saya memang ke sana, ke kafe Jungkir Balik yang letaknya di sisi barat GOR DELTA. Tujuannya adalah memenuhi undangan si pemilik, Cak To dan Lia Zen.

Sebelum pulang, ketika mesin sudah tidak begitu panas, saya putar lebih dulu gasnya, dinaikkan. Dalam keadaan stasioner, mobil seperti lamsam, ‘Lumayan,’ begitu batin saya, namun perasaan berubah begitu saya jalankan. Saat gas dibejek dan saya mulai masuk ke jalan Pahlawan, spontan bretbet mulai lagi. Akhirnya, saya putuskan untuk cari “jalan aman” saja, yaitu jalan yang tidak banyak bertemu lampu merah.

Meskipun pulang jam 23.15 (atau mungkin 23.30, lupa tidak melihat jam), saya harus memilih rute yang aman untuk mesin bretbet, yaitu ruas jalan yang sedikit lampu APILL atau lampu merah. Makanya, saya lewat Jalan Perak saja, ujung jalan tol: KM 0. Dari Perak Barat ke Perak Timur ada putar balik, begitu juga ketika masuk Jalan Jakarta.

Dengan cara seperti itu, saya hanya akan bertemu lampu merah di Nyamplungan (utara Makam Sunan Ampel) dan Sukolilo (orang Bangkalan menyebutnya Klelah) di utara Suramadu. Sisanya adalah bundaran dan belok kiri langsung. Hamdalah, cara ini efektif. Saat melintas di lampu merah Nyamplunan, lampu kebetulan berwarna hijau dan begitu pula di lampu merah Sukolilo (Bangkalan; lampu merah pertama kalau dari arah Suramadu) sudah berkedip kuning. Sementara di Tangkel dan Junok, saya hanya butuh belok kiri. Semua aman. Tiba di rumah saudara saya di Nilam, Bangkalan, perjalanan terbilang lancar dan tidak pakai acara mati mendadak di tengah jalan.

Besoknya, saya kop karburator dan semua urusan selesai, semudah itu. Besoknya saya pulang ke Sumenep. Total perjalanan kali ini kurang lebih 390 km (Nilam ke rumah = 132 km; Nilam ke Sidoarjo 60 km; muter di Bangkalan sekitar 5 km).


29 November 2024

Colt di Sampul Buku

Buku saya kali ini, Tirakat Jalanan, adalah buku tentang bagaimana kita semestinya mendukung ketertiban berlalu lintas berdasarkan kaidah-kaidah fikih. Yang saya lakukan sepintas tampak cocokologi saja dengan cara menggunakan sebagian kaidah usul fikih yang dipas-paskan supaya dapat diterpakan pada peraturan dan ketertiban berlalu lintas. Nyatanya, ia bukanlah semata cocokologi, tapi memang benar demikian adanya.  Jika kita berkomitmen untuk patuh dan taat kepada aturan ulil amri (pemerintah, dalam hal ini Kepoliosian dan Dishub) selagi mereka memang benar dan proyeknya untuk kemaslahantan umum, maka itu juga tanda ketakwaan kita sebagai hamba.


Awalnya, buku ini merupakan kumpulan esai. Dalam beberapa waktu terakhir, kita kira 2-3 tahun lamanya, saya menulis beberapa esai tentang jalan raya dan pernak-pernik hukum yang melingkupinya berdasarkan tinjauan fikih. Ada juga beberapa butir yang lebih dekat dengan masalah tasawuf, misalnya saat membahas etika dan ketaktawaan pribadi di jalan raya. Lalu, esai-esai dilebur kembali dan dijadikan ‘adonan’ baru untuk dicetak ulang, maka jadilah buku utuh. Artinya, buku ini bukanlah buku kumpulan esai, tapi satu rangkaian pemikiran yang dimulai oleh pendahuluan, ulasan, dan diakhiri penutup alias kesimpulan.

Saya tidak menargetkan buku ini terbit segera, namun karena ada momentarum di PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo (yaitu seminar tentang penggunaan jalan desa sebagai lahan parkir), saya meminta penerbit Diva Press untuk menggarapkanya segera karena buku tersebut akan dibawa dan didiskusikan di sana. Penerbit gerak cepat setelah saya pastikan kepada mereka bahwa editing sudah saya lakukan sebanyak 3 kali. Artinya, rintangan penerbit yang biasanya di kendala penyuntingan sudah teratasi. Begitulah saya memberikan jaminan. Toh, andaipun ditemukan kesalahan ketikan pada akhirnya, itu tidak seberapa. Memang, dalam buku yang lain, saya sangat teliti dalam menyunting, sangat sayang kalau sampai ada kesalahan, tapi kali ini ada bolongnya juga.

Uniknya, Alfin Rizal, sang desainer sampul, mengerjakan kover sangat cepat. Dan yang lebih unik lagi ia memasukkan Colt di sampul tersebut. Entah dia dapat dari mana gambar ini, kok bisa? Begitu saya bertanya. Saya kagum karena idenya bisa klop, bisa nyambung dengan Colt saya sehingga makin mantaplah keyakinan untuk segera menerbitkannya.

Selain buku non-bonafid yang terbit sebelumnya “Colt Pariwisata” (berisi cerita perjalanan saya naik Colt), buku ini adalah buku saya yang memasukkan Colt ke dalam sampulnya.

26 Oktober 2024

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih. Penganan ini dikenal punya cita rasa khas dan keunikan dalam penyajian. Bubur dimasukkan ke dalam gentong, diolah di dalam gentong, dan ia pun dijual bersama gentongnya. Biasanya, pembeli menyajikannya untuk jamuan makan besar,  semacam gala-dinner, atau prasmanan di acara-acara pernikahan yang relatif besar, di Bangkalan.


Akan tetapi, dalam pengalaman saya, Sobih sangatlah berbeda. Sobih adalah kampung Colt. Dalam lawatan saya ke sana, ke rumah Pak Mu’din, di setiap halaman dan/atau garasi orang yang saya lewati jalan di depannya, selalu tampak ada Colt-nya. Lebih-lebih ketika saya sudah tiba di rumah Pak Din. Di halamannya yang luas, banyak sekali Colt ‘berserakan’, mulai dari yang bagus, yang siap diperbaiki, yang rusak dan tinggal kabinnya saja. Colt di sana rata-rata pikap.

Kunjungan saya ke Sobih bermula dari acara Taneyan Perna yang digagas oleh Masyarakat Lumpur, Bangkalan. Saya dapat jatah memberikan materi di sesi kedua, 6 Oktober 2024 lalu. Saya membawa Colt dari rumah, ke Bangkalan. Lalu, Erwien menawarkan saya untuk berkenalan dengan salah satu montir Colt senior yang kini sudah gantung kunci, yaitu Pak Din. Rasa penasaran itulah yang mengantarkan saya ke rumah beliau, di Sobih,

Sayangnya, 7 Oktober malam, saat saya pergi ke sana untuk pertama kali, Erwien tidak ikut karena anaknya sedang sakit. Saya dijemput Mirza di Basel, keponakan Pak Din.

“Pak Din, saya mohon mobil saya disentuh,” begitulah kira-kira percakapan pembuka saya.
“Rusak apanya?”
“Tidak ada yang rusak. Mobil ini saya bawa dari rumah dalam keadaan normal, kecuali bensin yang sering banjir.”
“Oh, iya. Terus mau dibagaimanakan?”
“Pokoknya, mobil saya ini ingin disentuh oleh tangan senior, tangan yang sudah puluhan tahun memperbaiki Colt. Putar saja baut-baut klep-nya, atau delconya, terus kencangkan lagi, kenderokan dan kencangkan sesuai pengetahuan Bapak. Itu saja sudah cukup.”


Pak Din ketawa, misem-misem. Nafasnya sudah mulai memberat. Usianya yang sepuhlah penyebabnya. Ia bercerita, bahwa ia sudah ngoprek Colt sejak tahun 1974. “Sekarang anak saya yang kerja,” kata dia bermaksud putranya yang bernama Ros (Kak Ros kata Erwien, mungkin mau menirukan Upin-Ipin).

Kepada beliau saya juga bercerita bahwa cara yang saya lukan kali ini bukan yang pertama, tapi yang kesekian kali. Jika saya kenal dengan bengkel senior, seperti Pak Mawi atau Haji Fathor, saya selalu begitu. Saya bawa Colt ke dia dalam keadaan normal dan minta sentuhan tangannya, kendorkan, kencangkan, atau kendorkan lagi, diukur dan dikalibrasi berdasarkan pengetahuan dia. Begitulah cara saya mendapatkan sensasi dengan mobil tua.

Setelah dua minggu lebih ngekos di sana, mobil akhirnya saya ajak pulang, Jumat pagi, 25 Oktober 2024. saya naik bis dari rumah dan dijemput Erwien di SPBU Tangkel, lalu pergi ke Sobih bersama si Brownies-nya. Kami ngobrol lama dengan Ros dan Pak Din sampai selesai shalat jumat. Setelah itulah baru saya berpamitan.

Kami shalat jumat di Masjid Baiturrohman, Karengan, Sobih. Perjalanan ke masjid sangat berkesan. Saya dibonceng Pak Din. Alam Sobih ternyata sangat asri. Banyak pohon durian di sana. Pohon pulai yang besar dan tinggi menjulang juga banyak. Suasana desanya menenteramkan, sangat berbeda dengan kesan Bangkalan yang selama ini kering kerontang di pikiran saya.

Dari Sobih, saya mampir dulu di Kwanyar, menyambangi Haji Syaiful, bos Primavista. Dia menyuguhi saya sate Sekar Timbul, tetap disuguhi meskipun saya bilang baru saja selesai makan. Apa boleh buat, saya embat. Ke Kwanyar rasanya tak lengkap kalau tidak ziarah ke Sunan Cendana Ali Zainal Abidin—cucu Sunan Drajat.

Pukul 14.06, saya pulang sendirian. Jalanan amat sesak. Hampir maghrib saya baru tiba di rumah karena berhenti dulu untuk menunaikan shalat asar di Tentenan. Perjalanan sendirian dari dari Sobih ke Kwanyar hingga ke rumah itu relatih jauh. Jarak tempuh sekali jalan sekitar 145 km. Untungnya, membawa Colt ada sensasi sendiri, jadi relatif menyenangkan, tidak terlalu membosankan.









Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...