Pembaca

27 Juni 2025

Korsleting Kabel Koil, Tikus, dan Fungsi Cut-Off

Ketika jarak ke rumah sudah tersisa 700-an meter lagi, tiba-tiba arus kelistrikan hilang. Mesin menggelinding, menghabiskan sisa-sisa tenaganya. Digas, tidak ada respon. Lampu kontak juga mati. Adegan berikutnya adalah bau hangus yang menyeruak dari bawah jok. Berikutnya, ada asap.

Ya Tuhan, ini hari memang mau malam Satu Suro, tapi hamba ini bukanlah keris atau golok, tak perlu dijamas dan tak perlu dilurup asap dupa! Siang itu, ruang kabin Colt saya bahkan mirip dapur, seolah ada orang masak sayuran di dalam mesin, menggunakan tungku kayu yang bahan bakarnya bercampur ban dalam atau karet yang telah meleleh.

Panik, sih, iya, tapi tidak seberapa karena saya sudah tahu langkah pertama yang akan saya lakukan, yaitu memuntir cut-off. Knop mirip kran air ini memang saya pasang di bawah jok. Fungsinya adalah memutus arus grounding (-) utama dari aki. Dengan begitu, jika ada korsleting, maka spontan akan aman, tinggal menunggu sisa bau angus dan asapnya hilang.

Mobil pun saya tepikan. Apakah setelah itu saya membuka jok? Tidak! Saya langsung pulang, minta jemput dengan sepeda motor untuk shalat duhur. Sembari saya shalat, seseorang saya utus ke lokasi dengan promt sebagai berikut ini:
1)Buka jok, masukkan ke dalam mobil, ke ruang tengah, jangan letakkan di samping atau depan mobil supaya tidak mengganggu lalu lintas
2)Periksa ruang aki
3)Lihat kabel yang gosong, kemungkinan dari koil karena arus kunci kontak tidak ada
4)Ganti kabel yang gosong dengan kabel yang lain (bawa dari rumah)

Cukup begitu saja pesan saya dan ternyata benar. Baru saja menguluk salam tanda shalat selesai, ternyata saya dapat laporan: kunci kontak sudah menyala. Saya kembali ke lokasi dan mobil bisa dibawa pulang. Sehabis shalat, saya langsung mencelat.

Cerita di atas terjadi kemarin, Kamis siang, 26 Juni 2025, hari terakhir di bulan Zulhijjah 1446. Sore tadi, 1 Muharram 1447, bertepatan dengan Jumat, 27 Juni 2025, kejadian terulang di Bakeyong. Saat saya mau pulang dari acara haul di Masjid Somber Manis, pengalaman seperti kemarin terjadi lagi, mirip sekali. Karena ciri-cirinya sama, yaitu kontrol CHG menyala, berkedip, lalu mati, disusul bau angus, maka tidak perlu inspeksi lagi kecuali segera saya buka kursi dan meyakinkan bahwa kabel plus (+) dari koil kontak bermasalah, kemungkinan gosong.

Benar, kabel itu, kabel yang kemarin diganti, ternyata sudah gosong.

Nah, baru tadi itulah saya bisa melihat ternyata ada beberapa luka kecil, mirip sayatan pisau, pada beberapa kabel. Maka, ingatan saya kembali pada beberapa waktu yang lalu, kurang lebih sebulan yang lalu.

Kejadiannya adalah; beberapa waktu lalu, ketika saya membuka kotak aki, tampak ada sisa gigitan tikus pada spon yang saya gunakan buat ganjal kutub aki. Ganjal ini saya maksudkan untuk menghindari kontak langsung dengan bodi kalau saja terjadi guncangan hebat. Saya menemukan bekas gigitan tikus yang banyak di sana. Remah-remah sponnya berceceran. ‘Untung tidak sampai memutus kabel,’ kata saya dalam hati, ketika itu. Eh, ternyata, kabel memang tidak putus, tapi adanya luka-luka kecil pada kabel itulah yang sepertinya tidak saya lihat ketika pertama kali melihat. Ia baru tampak saat saya raba-raba satu per satu sambil memperhatikannya lebih cermat lagi.

Oalaaah!

Ya, itu perkiraan saja. Akan tetapi, jika misalkan kabel luka itu bukan karena gigitan tikus, maka dalam kesempatan kali ini, sebelum artikel ini rampung, saya harus minta maaf kepada tikus karena telah menuduhnya. Maaf, ya, Kus!





25 Januari 2025

Takziyah ke Batuputih, Bedah Buku di Gapura


Hari ini, saya melakukan perjalanan ke Gapura. Tujuannya adalah menghadiri acara bedah buku yang diselenggarakan oleh TKSCI dan Kedai ZWZ. Kegiatan ini menarik karena bedah buku yang biasanya diselenggarakan oleh pondok pesantran atau kampus atau komunitas literasi, namun yang ini adalah komunitas Toyota Kijang Super Community Indonesia, chapter Sumenep.

Perjalanan dari Guluk-Guluk (rumah saya) ke Gapura nyatanya bisa ditempuh langsung lewat jalur utama. Tapi, kali ini, rute saya memutar, lewat Manding, Batuputih, Tengedan, dan baru ke Gapura. Saya pergi takziyah ke rumah Ustad Rusdi yang istrinya (Fitri Amalia) wafat dua bulan yang lalu dan saya belum sempat menyambang ke sana. Kami melakukan tahlil bersama usai shalat duhur di mushallanya. Selepas itu, saya juga pergi takziyah ke PP Al-Iftitahiyah untuk kewafatan Fairuzah el Faradis, putri Kiai Baqir yang tinggal di Somber Tombet, Batu Putih.

Selesai dua kali takziyah itu, saya melanjutkan perjalanan ke timur hingga tiba di Balai Desa Tengedan, lalu ikut jalan ke selatan. Jalannya kecil tapi bagus dan mulus, juga sepi. Nyaris tak ada bagian jalan yang rusak ditemui. Pemandangan alamnya juga bagus. Aspalnya seperti masih baru. Perjalanan lancar sampai ke lokasi saat azan asar belum berkumandang.

Komunitas TKSCI ini, dalam pada itu, bekerja sama dengan Mas Faisal, si pemilik kedai, yang kebetulan juga anggota komunitas. Mereka tidak sedang kopi darat, melainkan memang sengaja menyelenggarakan kegiatan bedah buku yang kebetulan buku itu adalah karya saya (Tirakat Jalanan). Mereka juga mengundang banyak komunitas yang kebetulan berterabaran di sekitar Gapura. Antara lain yang hadir adalah perwakilan Isuzu Panther Community Indonesia (IPCI) Madura Raya, DSTD (Driver Sumenep Timur Daja), HCS (Honda Civic Sumenep). Selain komunitas kendaraan, yang unik, mereka juga mengundang unsur yang lain, seperti GP Ansor, Komunitas Pejinak Unggas, dan entah komunitas apa lagi.

Yang tak kalah menariknya, acara yang dimulai setelah azan ashar itu dihadiri juga oleh tokoh-tokoh agama setempat, seperti Kiai Hafidi, Kiai Muhaimin, dan juga Kiai Dardiri Zubairi. Hadirin putra ditempatkan secara terpisah dengan hadirin putri meskipun rata-rata mereka adalah anggota keluarganya. Ada juga satu dua orang yang merupakan peserta umum, seperti ibu bidan Rini. Acara tadi sore itu 'rancak bana', gado-gado sekali.

Dalam acara tersebut, saya menyampaikan pokok-pokok penting pemikiran saya tentang ketertiban di jalan raya yang sejatinya memang ada landasannya di dalam Islam. Bagaimana kita dapat dengan mudah menemukan hadis pendukungnya jika memang mau. Akan tetapi, untuk bisa menjelaskan secara detil, dalam buku itu, saya harus menawarkan tata tertib berlaku lintas dari sudut pandang akhlak dan juga berlandaskan pijakan hukum yang diadopsi dari qawaidul fiqhiyah.

 

Acara selesai sekitar pukul 16.45 dan hadirin bubar setelah shalat di tempat dan/atau sebagian lainnya segera pulang karena hendak shalat di rumah. Saya pulang setelah lewat pukul 17.00 dan mampir di rumah mertua di Giring, Manding. Setelah maghrib, barulah saya melanjutkan perjalanan pulang ke Guluk-Guluk bersama adek bayi dan istri.




28 Desember 2024

Bepergian Sambil Jualan

Senin Malam Selasa, 23 Desember 2024

Rute perjalanan malam hari berhasil ditempuh hingga Sukorejo, Situbondo, sejauh 385 kilometer sekali jalan (masuk tol Waru, keluar Gending, Rp 121.000). Tidak ada kendala berarti di jalan. Kami tiba di Asembagus menjelang zuhur meskipun berangkat dari rumah jam 21.30 kemarin harinya karena kami masih mampir di beberapa titik.


Perjalanan kali ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya karena kali ini saya sambil lalu jualan buku. Sebelum berangkat, saya memposting beberapa buku karya saya di Facebook. Ternyata, umpan termakan, gayung bersambut. Puluhan buku laku dalam perjalanan pergi dan pulang. Yang paling banyak dibeli adalah buku Tirakat Jalanan, sebuah buku yang mengupas tata cara dan aturan tertib di jalan raya berdasarkan analogi hukum qawaidul fiqhiyyah. Kebetulan pula, di sampul buku terbitan Diva Press tersebut ada ilustrasi Colt milik saya.

Dalam perjalanan pergi, saya memilih lewat tengah kota Surabaya karena beberapa alasan. Satu alasan terpentingnya adalah karena sudah tengah malam, yang artinya kota Surabaya sudah tidak begitu ramai sehingga jelas tidak akan ada ketersendatan dalam arus lalu lintas. Dan ini ternyata benar. Saya masuk tol dari Bundaran Waru dan turun di Gerbang Tol Gending. Gerbang Tol Kraksaan hampir jadi, tapi belum bisa digunakan, padahal targetnya adalah segera dipakai untuk mengurai tambahan arus lalu lintas menjelang Tahun Baru).

Sementara dalam perjalanan pulang, saya tidak lewat tol sama sekali, melainkan lewat arteri. Saya menyusuri jalan lama, jalan yang biasa kami lewati sebelum ada tol. Sebetulnya, lewat arteri tidak secara signifikan memperlama durasi perjalanan mengingat laju kendaraan saya baik di tol maupun di jalan nasional sama saja, sama-sama 70-an atau 80 km/jam. Yang membedakan hanyalah karena di Pasuruan yang banyak sekali lampu merahnya itulah yang kadang bikin hati kurang legowo kalau sedang tidak sabar. 


Saat perjalanan berangkat, saya berhenti di Kraksaan dan Tanjung, Paiton, untuk melayani pembeli. Keduanya adalah famili saudara saya sendiri. Di Kraksaan, buku-buku saya diborong pengasuh PP Badridduja, masih dapat bonus nasi pecel juga. Pembeli lainnya adalah Nurkhaliq Barir. Adapun perjalanan pulangnya, saya sempat mampir di pertigaan Gudang Garam Paiton dan RM Tongas Asri. Pembelinya adalah Nur Hasyim dan Hamada. Keduanya tidak saya kenal sebelumnya melainkan hanya berinteraksi di Facebook karena postingan saya bersifat publik sehingga bisa diakses oleh orang yang berada di luar jaringan pertemanan saya.

Meskipun agenda acara saya di PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo bukanlah acara bedah buku (karena sudah diseleggarakan sebelum sebelumnya, yakni 25 November 2024), namun buku-buku saya dibeli oleh banyak santri dan mahasiswa Ma’had Aly atas bantuan Lora Akhul Adib dan Ustad Mukhlis. Terima kasih saya ucapkan kepadanya.

Saat perjalanan pulang, mobil saya diserempat mobil lain di area sekitar Probolinggo. Karet spionnya tersangkut di cat pintu depan kiri mobil saya, bahkan menggores hingga sebagian pintu tengah. Kejadiannya begitu singkat, yakni saat sebuah sedan nyelonong, menerobos, mengejar sisa waktu lampu hijau sehingga spion kanannya mengenai bodi Colt saya. Sedan tersebut bahkan sempat pula nyenggol pijakan kaki sepeda motor yang membuat pengendaranya oleng, nyaris terjatuh. Si sedan kemudian lari dari tanggung jawab, sementara kami bertahan karena lampu lalu lintas sudah menyala merah. Dalam hati saya membatin, “Sudah benar kejadian hari ini. Kiranya, ini contoh terlampir bagaimana pelajaran bersabar di jalan raya itu harus dijalankan di tengah situasi banal dan kejam jalanan, di antara orang-orang yang cenderung semau-maunya dan arogan.”

Seperti biasa, jika siang lewat Sidoarjo, saya hampir pasti singgah di Bakso Cak To yang lokasinya persis di sebelah barat GOR Delta, pojok selatan, pojokan bundaran. Jika malam, maka biasanya cukup ngopi di tempat yang sama, yaitu Jungkir Balik yang secara tempat adalah satu atap yang sama. Siang itu pun, dalam perjalanan pulang, saya melakukan dua-duanya: beli bakso dan membawa pulang segelas kopinya.

Setibanya di Madura, saya mampir dulu di rumah saudara, di Bangkalan. Dia dan anaknya ikut serta pulang ke Sumenep. Dalam perjalanan ke timur inilah kondisi jalan yang nyaris semuanya diguyur hujan serta gerimis. Nyaris sepanjang 125 kilometer saya menyalakan kipas kaca. 


Sebetulnya, ada pembeli lainnya yang janjian dengan saya di Talang Siring, kira-kira 20 kilometer lagi sebelum tiba di rumah. Dia adalah dua bersaudara, Azizi dan Taufiqi, yang ternyata juga masih ada ikatan famili dengan saya. Sayangnya, kala itu, gerimis sejak dari Bangkalan bahkan sampai saya tiba di halaman rumah. Janjian kemudian diperbarui besok malamnya di Masjid Baitun Najah, Duko Temor, Larangan.

Sungguh, ini perjalanan sangat berkesan bagi saya.

 




Korsleting Kabel Koil, Tikus, dan Fungsi Cut-Off

Ketika jarak ke rumah sudah tersisa 700-an meter lagi, tiba-tiba arus kelistrikan hilang. Mesin menggelinding, menghabiskan sisa-sisa tenaga...