Pembaca

17 Juli 2025

Menempuh Rute Tidak Populer

Perjalanan hari Rabu, 12 Juli 2015

 

“Pergi ke Omben melewati rute tidak biasa akan sangat menyenangkan,” kata saya dalam hati. Maka, diputuskanlah saya untuk memilih rute lewat Bandungan Pakong, Pegantenan, Palesanggar dan tembus di depan Polsek Pelengaan yang jaraknya terbukukan 55 kilometer saja. Namun, saya berubah pikiran saat sampai di Palesanggar, memilih rute lewat Kacok, yang dengan begitu jaraknya bertambah 2 kilometer, dari 55 kilometer di rute awal menjadi 57 kilometer di rute yang dilewati. Jika kita lewat jalan populer maka jaraknya menjadi 57 kilometer, yaitu dengan lewat Prenduan via Proppo. Rute memutar bisa lewat Sampang kota, namun jaraknya malah menjadi 75 kilometer ke tempat tujuan saja, Masjid Nurul Mustaqim, Napo, Omben, Sampang.

Menempuh rute tidak populer bukan semata-mata untuk melayani hasrat ingin cepat sampai karena alasan jarak terpendek. Jika itu adalah bagian dari target, maka rute populer biasanya malah lebih cepat ditempuh karena jalannya lebih mulus, lebih lebar. Jika kita minta petunjuk rute kepada GoogleMaps, maka yang disarankan adalah yang terpendek, bukan yang terbaik atau ternyaman. Sampai hari ini yang saya tahu, GoogleMaps masih belum bisa mendeskripsikan Kelas Jalan khusus, seperti  residental dan kolektor, apalagi yang lebih spesifik, seperti mana yang kelas IIIc dan mana yang kelas IIIa, misalnya.

Bagi saya, menempuh rute tidak populer (seperti yang kemarin saya lakukan untuk menghadiri undangan haul Kiai Syaifiuddin di Napo) salah satunya adalah agar tidak sering bertemu dengan kendaraan. Dengan tidak sering bertemu atau berpapasan dengan kendaraan, maka tidak sering pula saya melihat penyerobotan. Makanya, kadang saya memilih rute yang jalannya lebih banyak rusak asalkan tidak terlalu sering berpapasan dengan para pembangkang jalanan itu yang ulahnya bikin mual itu.

Walhasil, dalam perjalanan ke Napo, dari rumah sampai di perempatan Panaguan, saya nyaris tidak berpapasan atau melihat orang-orang yang melanggar rambu serta menyerobot jalur. Namun, begitu saya lewat jalan Proppo-Omben, maka yang nyalip di tikungan, yang parkir sembarangan, yang menyerobot antrian, langsung tinggal sendok di hadapan, macam hidangan prasmanan saja, banyak sekali. Begitu pula saat saya pulang lewat selatan, lewat Kota Sampang dan via Camplong, sajian pelanggarannya lebih berupa-rupa.


Saya kasih contoh misalnya saat masuk kota Pamekasan. Mulai dari depan UIN Madura sampai makam Panglegur, yang jaraknya pendek saja saya bertemu dengan tiga gangguan pada saat hendak menyalip dari sisi kiri (karena ruas jalannya memang lebar sehingga ia terdiri dari dua lajur: 1) ada orang beli (mungkin pentol) di kios tenda. Dipikirnya dia hanya sebentar saja maka boleh saja ia parkir sepeda motornya di badan jalan, akibatnya saat saya ambil kiri untuk menyalip, diurungkanlah rencana itu karena mendadak tampak ada sepeda motor di depan. Rintangan model seperti ini terjadi sampai tiga kali di tiga tempat yang kurang dari 1,5 km; 2) di dekat kantor imigrasi, ada kios yang pasang iklan tripleksnya dan posisinya makan jalan. Ya, tentu saja benda itu tidak perlu ditabrak meskipun hanya tripleks, dan karena makan jalan maka pastilah mengganggu arus lalu lintas, dan 3) ada orang memasang cone (kerucut yang terlalu dekat dengan badan jalan, yang artinya meskipun itu terbuat dari plastik, tetap saja akan menghalangi orang yang melintas, membuat saya yang hendak menyalip kendaraan yang klunak-klunuk dan berjalan di lajur dalam harus kecewa.

Itulah beberapa keunggulan menempuh rute tidak populer, tapi tentu ini tidak akan menarik bagi yang suka kecepatan dan tidak suka tantangan.  

27 Juni 2025

Korsleting Kabel Koil, Tikus, dan Fungsi Cut-Off

Ketika jarak ke rumah sudah tersisa 700-an meter lagi, tiba-tiba arus kelistrikan hilang. Mesin menggelinding, menghabiskan sisa-sisa tenaganya. Digas, tidak ada respon. Lampu kontak juga mati. Adegan berikutnya adalah bau hangus yang menyeruak dari bawah jok. Berikutnya, ada asap.

Ya Tuhan, ini hari memang mau malam Satu Suro, tapi hamba ini bukanlah keris atau golok, tak perlu dijamas dan tak perlu dilurup asap dupa! Siang itu, ruang kabin Colt saya bahkan mirip dapur, seolah ada orang masak sayuran di dalam mesin, menggunakan tungku kayu yang bahan bakarnya bercampur ban dalam atau karet yang telah meleleh.

Panik, sih, iya, tapi tidak seberapa karena saya sudah tahu langkah pertama yang akan saya lakukan, yaitu memuntir cut-off. Knop mirip kran air ini memang saya pasang di bawah jok. Fungsinya adalah memutus arus grounding (-) utama dari aki. Dengan begitu, jika ada korsleting, maka spontan akan aman, tinggal menunggu sisa bau angus dan asapnya hilang.

Mobil pun saya tepikan. Apakah setelah itu saya membuka jok? Tidak! Saya langsung pulang, minta jemput dengan sepeda motor untuk shalat duhur. Sembari saya shalat, seseorang saya utus ke lokasi dengan promt sebagai berikut ini:
1)Buka jok, masukkan ke dalam mobil, ke ruang tengah, jangan letakkan di samping atau depan mobil supaya tidak mengganggu lalu lintas
2)Periksa ruang aki
3)Lihat kabel yang gosong, kemungkinan dari koil karena arus kunci kontak tidak ada
4)Ganti kabel yang gosong dengan kabel yang lain (bawa dari rumah)

Cukup begitu saja pesan saya dan ternyata benar. Baru saja menguluk salam tanda shalat selesai, ternyata saya dapat laporan: kunci kontak sudah menyala. Saya kembali ke lokasi dan mobil bisa dibawa pulang. Sehabis shalat, saya langsung mencelat.

Cerita di atas terjadi kemarin, Kamis siang, 26 Juni 2025, hari terakhir di bulan Zulhijjah 1446. Sore tadi, 1 Muharram 1447, bertepatan dengan Jumat, 27 Juni 2025, kejadian terulang di Bakeyong. Saat saya mau pulang dari acara haul di Masjid Somber Manis, pengalaman seperti kemarin terjadi lagi, mirip sekali. Karena ciri-cirinya sama, yaitu kontrol CHG menyala, berkedip, lalu mati, disusul bau angus, maka tidak perlu inspeksi lagi kecuali segera saya buka kursi dan meyakinkan bahwa kabel plus (+) dari koil kontak bermasalah, kemungkinan gosong.

Benar, kabel itu, kabel yang kemarin diganti, ternyata sudah gosong.

Nah, baru tadi itulah saya bisa melihat ternyata ada beberapa luka kecil, mirip sayatan pisau, pada beberapa kabel. Maka, ingatan saya kembali pada beberapa waktu yang lalu, kurang lebih sebulan yang lalu.

Kejadiannya adalah; beberapa waktu lalu, ketika saya membuka kotak aki, tampak ada sisa gigitan tikus pada spon yang saya gunakan buat ganjal kutub aki. Ganjal ini saya maksudkan untuk menghindari kontak langsung dengan bodi kalau saja terjadi guncangan hebat. Saya menemukan bekas gigitan tikus yang banyak di sana. Remah-remah sponnya berceceran. ‘Untung tidak sampai memutus kabel,’ kata saya dalam hati, ketika itu. Eh, ternyata, kabel memang tidak putus, tapi adanya luka-luka kecil pada kabel itulah yang sepertinya tidak saya lihat ketika pertama kali melihat. Ia baru tampak saat saya raba-raba satu per satu sambil memperhatikannya lebih cermat lagi.

Oalaaah!

Ya, itu perkiraan saja. Akan tetapi, jika misalkan kabel luka itu bukan karena gigitan tikus, maka dalam kesempatan kali ini, sebelum artikel ini rampung, saya harus minta maaf kepada tikus karena telah menuduhnya. Maaf, ya, Kus!





25 Januari 2025

Takziyah ke Batuputih, Bedah Buku di Gapura


Hari ini, saya melakukan perjalanan ke Gapura. Tujuannya adalah menghadiri acara bedah buku yang diselenggarakan oleh TKSCI dan Kedai ZWZ. Kegiatan ini menarik karena bedah buku yang biasanya diselenggarakan oleh pondok pesantran atau kampus atau komunitas literasi, namun yang ini adalah komunitas Toyota Kijang Super Community Indonesia, chapter Sumenep.

Perjalanan dari Guluk-Guluk (rumah saya) ke Gapura nyatanya bisa ditempuh langsung lewat jalur utama. Tapi, kali ini, rute saya memutar, lewat Manding, Batuputih, Tengedan, dan baru ke Gapura. Saya pergi takziyah ke rumah Ustad Rusdi yang istrinya (Fitri Amalia) wafat dua bulan yang lalu dan saya belum sempat menyambang ke sana. Kami melakukan tahlil bersama usai shalat duhur di mushallanya. Selepas itu, saya juga pergi takziyah ke PP Al-Iftitahiyah untuk kewafatan Fairuzah el Faradis, putri Kiai Baqir yang tinggal di Somber Tombet, Batu Putih.

Selesai dua kali takziyah itu, saya melanjutkan perjalanan ke timur hingga tiba di Balai Desa Tengedan, lalu ikut jalan ke selatan. Jalannya kecil tapi bagus dan mulus, juga sepi. Nyaris tak ada bagian jalan yang rusak ditemui. Pemandangan alamnya juga bagus. Aspalnya seperti masih baru. Perjalanan lancar sampai ke lokasi saat azan asar belum berkumandang.

Komunitas TKSCI ini, dalam pada itu, bekerja sama dengan Mas Faisal, si pemilik kedai, yang kebetulan juga anggota komunitas. Mereka tidak sedang kopi darat, melainkan memang sengaja menyelenggarakan kegiatan bedah buku yang kebetulan buku itu adalah karya saya (Tirakat Jalanan). Mereka juga mengundang banyak komunitas yang kebetulan berterabaran di sekitar Gapura. Antara lain yang hadir adalah perwakilan Isuzu Panther Community Indonesia (IPCI) Madura Raya, DSTD (Driver Sumenep Timur Daja), HCS (Honda Civic Sumenep). Selain komunitas kendaraan, yang unik, mereka juga mengundang unsur yang lain, seperti GP Ansor, Komunitas Pejinak Unggas, dan entah komunitas apa lagi.

Yang tak kalah menariknya, acara yang dimulai setelah azan ashar itu dihadiri juga oleh tokoh-tokoh agama setempat, seperti Kiai Hafidi, Kiai Muhaimin, dan juga Kiai Dardiri Zubairi. Hadirin putra ditempatkan secara terpisah dengan hadirin putri meskipun rata-rata mereka adalah anggota keluarganya. Ada juga satu dua orang yang merupakan peserta umum, seperti ibu bidan Rini. Acara tadi sore itu 'rancak bana', gado-gado sekali.

Dalam acara tersebut, saya menyampaikan pokok-pokok penting pemikiran saya tentang ketertiban di jalan raya yang sejatinya memang ada landasannya di dalam Islam. Bagaimana kita dapat dengan mudah menemukan hadis pendukungnya jika memang mau. Akan tetapi, untuk bisa menjelaskan secara detil, dalam buku itu, saya harus menawarkan tata tertib berlaku lintas dari sudut pandang akhlak dan juga berlandaskan pijakan hukum yang diadopsi dari qawaidul fiqhiyah.

 

Acara selesai sekitar pukul 16.45 dan hadirin bubar setelah shalat di tempat dan/atau sebagian lainnya segera pulang karena hendak shalat di rumah. Saya pulang setelah lewat pukul 17.00 dan mampir di rumah mertua di Giring, Manding. Setelah maghrib, barulah saya melanjutkan perjalanan pulang ke Guluk-Guluk bersama adek bayi dan istri.




Menempuh Rute Tidak Populer

Perjalanan hari Rabu, 12 Juli 2015   “Pergi ke Omben melewati rute tidak biasa akan sangat menyenangkan,” kata saya dalam hati. Maka, diputu...