Pembaca

20 Agustus 2010

Etape I: Guluk-Guluk-Probolinggo (Sabtu, 10 April 2010)


Ini adalah catatan perjalanan kami ke Paiton, Kraksaan (Probolinggo), Besuki (St.Bondo), Kaliasat, Mangli, Rambipuji, Bangsalsari (Jember), Krikilan, Galean, Bajul Mati (Banyuwangi), Panji Kidul, Panarukan (Situbondo) pada tanggal 10 - 13 April 2010 yang lalu. Adapun tujuan perjalanannya adalah walimah, takziah, dan silaturrhmi. Kendaran yang digunakan adalah Mitsubishi Colt T-120, kendaraan sepanjang zaman yang memang sangat cocok untuk acara walimah, takziah, dan silaturrhmi dan terkenal “sedjak dahoele” kala.


Kisah ini penuh suka duka dan suka cita. Beberapa kali kami mengalami mogok, namun juga mendapat kehangatan dan kejutan yang diberikan tuan rumah, serta pengalaman perjalanan yang tidak dijual di tempat mana pun. Agar tidak terlalu panjang, kisah perjalanan ini dibagi ke dalam empat etape perjalanan: berikut yang pertama:


Etape I: Guluk-Guluk-Probolinggo (Sabtu, 10 April 2010)

“Alhamdulillah, selamat!” batinku begitu hujan mengguyur deras ketika aku telah tiba di rumah. Ya, pagi itu, dengan mengendarai sepeda motor, aku pergi ke pantai Bato Kerbuy di Pasean, pantai utara di Kabupaten Pamekasan. Jaraknya kira-kira 40 kilometer dari rumahku. Hujan masih turun saat jam sudah menunjuk angka 1 siang. Karena khawatir bakal terlalu malam tiba di Paiton, Probolinggo (tujuan utama etape pertama), maka pada pukul 13:30 menit, kami putuskan untuk berangkat.

Bersama di dalam kabin colt T-120 ini adalah, depan; Lutfi si pengemudi dan Kholis; sepupu dua kali; Tengah, ibuku dan tanteku (duakali sepupu ibuku); belakang, aku sendirian bersama tumbukan barang bawaan, oleh-oleh yang hendak kami bawa; bantal, petis, kelapa, dan sebagainya. Sepintas, station wagon ini lebih mirip angkutan barang yang beratap. Sementara istri dan anakku tidaklah bersama kami. Mereka berangkat lebih awal bersama saudaranya dari Pamekasan, dua hari yang lalu. Namun, kami telah mengatur jadwal pertemuan di walimah, esoknya.

Sebelum berangkat, odometer kucatat: 4969. Dan bersama bacaan basmalah, mobil bergerak. Acara “mampir sana” dan “mampir sini” untuk membeli oleh-oleh dan bekal di perjalanan ternyata menyita banyak waktu. Tak terasa, matahari telah condong ke ufuk barat saat mobil masuk SPBU Tlanakan, Pamekasan. Setelah 37,5 liter masuk ke tangki bensin, uang 169.000 ribu dari dompet berpindah tangan ke kasir.

Titos du Polo membawa kami ke arah barat, mengejar matahari, memburu cahaya siang sebelum gelap dengan kecepatan rata-rata 70 KM/jam. Hujan telah reda. Kuperhatikan, jalan masih basah. Berarti, hujan tidak saja turun di desaku, melainkan nyaris di sepanjang jalan di patai selatan Madura. Lutfi, si pengemudi, selalu menurunkan pedal gas ketika buzzer di balik speedometer berbunyi: pertanda kendaraan telah melaju dalam kecepatan di atas 80km/jam, entah karena terganggu oleh bunyi alarm atau karena khawatir kondisi jalan yang licin. Menjelang maghrib, kami baru turun dari Jembatan Suramadu. Seratus empatpuluh enam kilometer telah berlalu.

Begitu memasuki jalan Kedung Cowek, persis setelah lampu merah menuju Jalan Kenjeran, gerimis kembali menebal: hujan. Lampu sore dinyalakan. Colt pun berseliwer dengan kendaran-kendaraan berbagai jenis, memasuki kota Surabaya yang ramai; Kapasan, Gembong Bungukan, Stasiun Kota, dan kami dihentikan oleh lampu lalin di Jalan Pahlawan. Di sinilah kesalahan terjadi. Sopirku melanggar marka jalan (sebagaimana dituduhkan).

Sebetulnya, sebelum memasuki Jembatan Suramadu, ibuku berpesan agar aku mengambil kemudi, menggantikannya hingga lepas Porong, mengingat si Lutfi ini tidak terbiasa masuk kota Surabaya. Aku mengajukan alasan, “Biarlah, Bu. Biar dia belajar mengemudi di dalam kota. Kalau saya yang mengemudi, maka mungkin dia tidak akan pernah berani menyetir di dalam Kota Surabaya!”. Dan tiupan peluit pak polisi membuatku langsung menyesal tidak menuruti anjurannya.

Beberapa menit habis untuk negoisasi “pelanggaran” atas kesalahan “ambil jalan terlalu ke kanan ketika hendak belok menuju jalan Tembaan”. Ya, selian di tempat ini, perempatan Siola juga menjadi tempat yang, konon, rawan bunyi peluit sejenis ini terdengar. Jika tadi uang di dompet berpindah tangan ke kasir SPBU, kini jatah camilan selama perjalanan untuk pengemudi kembali berpindah tempat ke tangan ke pak polisi. Aduh!

Mobil kembali bergerak, menyusuri Jalan Dupak. Gairah telah turun begitu banyaknya. Bagaimana pun, uang 30-50 ribu tetaplah angka yang besar bagi kami. Rasa-rasanya, soal pelanggaran lalu lintas itu, sekarang bukan zamannya “gaya teguran pertama.” Karena teguran pertama adalah pelanggaran. Kami telah berhati-hati dalam berkendara, tetapi salah mematuhi rambu lalu litans, tidak fatal sekali pun, tilang adalah akibatnya.

Saat masuk tol, gerimis tinggal sedikit. Hanya sisa-sisanya yang jatuh di kaca. Namun, suasana Maghrib yang turun bersamaan membuat warna aspal hot mix semakin hitam memekat.
“Nyalakan lampu, Lut,” perintahku.
“Ini sudah pakai lampu jauh ini.” Lutfi tersenyum.
Jalan yang terlampau gelap atau lampu utama yang terlalu suram?

Seperti malam gelap dan baru bermula, rupanya kesedihan itu belum berakhir. Masih terbayang-bayang dalam ingatan uang yang tadi melayang entah ke mana rimbanya, kini, saat menyusuri jalan buruk di tepian semburan lumpur Lapindo, tiba-tiba nyala mesin tersendat-sendat, pincang, lalu… Astaga! Di saat bersamaan, klakson-klakson mobil, bis, dan truk yang nyaring dari arah belakang memberondong tanpa ampun, menciptakan kakofoni. Makin teganglah seluruh penduduk colt T 120 ini. Kini, mesin benar-benar mati dan starter tidak berfungsi. Apa boleh buat, mobil pun didorong menepi.

* * *

Entah berapa lama kami terdiam di situ, tak tahu harus berbuat apa. Kami mengutak-atik kunci kontak, karena di situlah pusat kecurigaanku, tetap saja tidak bisa. Tiba-tiba, seperti novel Wiro Sableng, setelah sekira 30 menit kemudian, seorang lelaki bersepeda motor dan membawa tas besar menghampiri kami. Tanpa ba-bi-bu, dia menyapa, “Mogok, ya?
“Tadi pincang, lalu mati. Terus, kalau distarter, mesin menyala sebentar, dan langsung mati lagi, tidak bisa stationer..” Aku memberikan penjelasan.
“Hemm…,” ia bergumam.

Dengan cekatan, sang penolong yang belakangan diketahui bernama Pak Budi, membuka jok depan (Ini Colt T-120, bukan Fortuner. Jadi, letak mesin ada di bawah jok depan). Dengan gerakan cepat seolah-olah tidak butuh bantuan kami, kecuali memohan untuk pegang lampu senternnya, Pak Budi mengecek pengapian; karburator, dan tabung filter bensin. Beberapa saat lamanya, mesin menyala, dan tentu saja memutar kipas radiator dan menggerakkan dinamo ampere yang seolah-olah menyalakan lampu pijar di wajah kami. Ya, wajah kami mendadak binar: sebuah pertanada baik kalau kami tidak perlu bermalam di jalan. “Terima kasih, Pak Penolong.” Kekhawatiranku akan ditarip berlipat-lipat harga tidak terjadi. Tarip tetap bersahabat, yakni 50.000 untuk reparasi darurat.

Namun, suka cita itu tidak berumur lama. Baru saja berjalan beberapa puluh meter, mesin mobil kembali tersendat. Masih untung, saat tadi memperbaiki mesin, aku sempat mengantongi nomor ponselnya untuk jaga-jaga mana tahu, di lain waktu, aku membutuhkan bantuannya. Segera kupencet sederet angka pada keypad HP Nokia lawas 6310i-ku, memanggil kembali Pak Budi. Di seberang, dia berjanji akan segera datang ke TKP. Sambil menunggu, semua penumpang mencari mushalla untuk jama’ ta’khir Maghrib-Isya. Aku istirahat saja di mobil karena capek tak tanggung-tanggung. “Biarlah nanti shalat di Probolinggo saja,” pikirku.

Semangkuk bakso rasanya tak cukup mengganjal perut dan telah dilapar-sangat-kan oleh mogok. Pak Budi datang,.dalam hitungan menit, mobil beres. Ternyata, penyebab semua ini bukanlah karburator yang tersumbat, bukan platina yang aus, bukan tabung filter bensin yang kotor, bukan pula semua yang telah dicek oleh Pak Budi itu, melainkan kunci kontak yang rusak! Astaghfirullah. Kebetulan sekali, aku membawa kunci kontak serep. Namun, karena kekhawatiran yang berlebihan, akhirnya kubeli kontak milik Pak Budi yang ternyata ia bawa di dalam tas ajaibnya, Rp40.000.

Sejak kunci kontak itu diganti, mobil berjalan normal tanpa masalah lagi. Bangil-Pasuruan dilewati. Karena capek yang sangat, akhirnya kami istirahat sejenak di Tongas. Tak kulihat jam, barangkali saat itu jam 11 malam. Setelah isi bensin 100.000, kami melanjutkan perjalanan menyelesaikan etape pertama; Paiton Probolinggo.

Lewat jam 12 malam, kami tiba di pertigaan Tanjung, sekitar 1 kilometer sebelum tempat tujuan akhir. Kholis turun untuk berpindah angkutan. Ia naik bis menuju rumahnya di Bajul Mati, Banyuwangi. Sementara itu, rombongan langsung menuju PP Nurul Jadid.

Semua tahu, tidak lumrah bertamu tengah malam. Namun, jika kami tidak memanggil salam, entah apa yang akan terjadi. Ya, akhirnya, tuan rumah membukakan pintu untuk kami. Setelah shalat, aku menjatuhkan tubuh yang penat di atas kasur dan selimut yang tebal; nikmat.

7 komentar:

  1. Itu Pak Budi. Pak Budi suka menolong. Itu temmannya Qudsi WH. Mungkin....

    BalasHapus
  2. Muhammad Qudsi WH temman Pak Budi. Iya??? http://www.blogger.com/profile/04931043947956114077

    BalasHapus
  3. Pak Budi anaknya Pak Madi. Ia saudaranya wati. Pak Madi menjual semua kerbaunya dan membelikan budi kecil perlengkapan montir secara lengkap. Kini, Pak Budi sudah besar.

    BalasHapus
  4. Pak Budi tarifnya memang ramah. Coba kalau Pak Platina yang di Jalan A. Yani itu, "... Tambah lagi, dong, Abah. Buat teman yang ngasih tau".

    BalasHapus
  5. @MyQuds2u: Kok kayak gitu, ya, Pak Platina-mu... Semoga saja dia menaripmu berlipat selangit-langit bukan karena dendam menahun, misalnya mungkin pernah pengalaman makan kaldu di dekat rumahmu dan kena tarip 50.000 seporsi, tetapi karean melihat kamu bawa sedan dan bukan Colt T-120, he..he..he

    BalasHapus
  6. Selamat Hari Raya Idhul Fitri 1 Syawal 1431 H.
    Mohon maaf lahir dan bathin

    BalasHapus

Kopdar Triwulan di Blitar

Jarak dari rumah saya ke Blitar itu jauh. Kesannya begitu, bahkan lebih jauh daripada perjalanan saya sebelumnya, ke Banyuwangi. Tapi, ini h...