Pembaca

20 Agustus 2010

Etape III: Jember – Banyuwangi – Situbondo via Alas Gumitir dan Alas Baluran (Senin, 12 April 2010)


Kantuk yang berat tidak bisa dilawan dengan segelas kopi. Jejak begadang semalam tetap menguasai seluruh sudut mataku. Kehidupan seolah baru bermula ketika ada panggilan makan menjelang pukul 9. Di luar dugaan, jadwal kunjungan silaturrahmi harus ditulis ulang; ke rumah Nyai Muflihah (seberang rumah Alwalid); ke dalem Nyai Rahema di Pecoro (Bangsalsari) juga ke Kiai Najmuddin (Rambipuji). Rencana ke Banyuwangi berngkat pagi pun berpindah jam ke habis Duhur. Tak apa-apa. Silaturrahmi harus tetap dijaga. “Jika bukan sekarang, tampaknya, sulit lagi berkunjung ke sanak saudara dalam waktu yang dekat ini,: batinku. Hampir 30-an kilometer jarak yang kami tempuh di sekitar Jember untuk silaturrahmi ini. Kami berangkat menuju Krikilan (Banyuwangi) pada odo di angka 5447.

Seusai mengisi bensin 100.000 di Sempolan (mungkin inilah SPBU terakhir di ujung timur Kabupeten Jember), colt pun kembali menerima tugas berat; melahap tanjakan-tanjakan seperti ular dengan lebih seratus kelokan; kelok kiri, kelok kanan. Menembus hutan Mrawan, siang itu, terasa indah. Ya, hampir 10 tahun aku tak lewat di jalan ini. Pohon-pohon besar, barangkali berusia puluhan atau ratusan tahun, tumbuh terawat di sini. Suasana dalam hutan selalu basah. Di setiap kelokan, anak-anak kecil dan ibu-ibu membantu kami para pelalu lintas memberikan aba-aba. Kami melemparkan koin 500 perak hingga lembar seribuan rupiah sebagai sedekah atas jerih payah mereka.

Keindahan pemandangan di hutan Gumitir-Mrawan ini telah membuatku lupa semua kenangan pahit di Pasar Porong. Kami menikmati pemandangan dengan hati lapang. Sensasi bertambah saat kami mencapai kelokan Wato Gudang; di mana tanjakan dan jalan menurun bertemu di sebuah puncak dengan tebing yang curam, mungkin ratusan meter kedalamannya. Di sekitar situ, kini banyak warung dan kedai kopi. Kuperhatikan ada beberapa kafe.

“Berhenti, ya?” ajakku sambil menoleh ke belakang.
“Jangan, nanti kemaleman. Katanya kamu keburu,” kata ibuku.

Ya, itu ajakan iseng saja. Tentu kami tidak bisa menyempatkan diri untuk singgah. Hitungannya, waktu terbatas karena target hari ini adalah takziyah ke Krikilan, mampir sejenak di Bajul Mati, kemudian melanjutkan perjalanan ke Situbondo untuk mengikuti pengajian Lailiyah.

Setelah turun di Kalibaru, jam menunjukkan pukul 15.30. Tak jauh dari sana, colt-ku sampai juga di Krikilan. Angka menunjukkan 5519; sejauh 72 kilometer kami telah meninggalkan Jember. Di sana, kami takziyah ta’khir untuk Ning Eny Halimiyyah, putri dari guru kami Kiai Abdul Wahid Zaini yang wafat beberapa waktu yang telah lewat.

Sungguh, Krikilan sangat menakjubkan. Panorama sore yang tak pernah berubah, selalu basah. Berkali-kalai aku datang ke daerah ini, selalu saja kabut dan udara dingin menjadi bagian dari suasananya. Secangkir kopi yang khas, kental dan panas, membuatku tak akan pernah melupakan sensasinya. Maka, setelah membacakan tahlil di maqbarah, kami menyudahi acara takziyah di sore itu, melanjutkan perjalanan ke arah Banyuwangi, menuju Galean di Bajul Mati. Malam mulai turun perlahan-lahan. Tak terasa, angka 5604 akhirnya tercapai pada pukul 18:32. Kami telah melahap 85 kilometer untuk tiba di tujuan.

Bertemu kembali dengan Kholis, bertemu kembali dengan seluruh keluarga di sana, merupakan keakraban lama tidak kami dapati. Ibuku, yang sejak sepeninggal ayahku belum pernah tiba lagi di sana, malam itu menemukannya kembali. Tapi, istirahat hanya sejenak karena perjalanan harus dilanjutkan. Kami tidak bisa bermalam karena rencana semula adalah mengikuti pengajian bersama Kiai Sufyan di Panji Kidul, Situbondo. Acara ini biasanya dimulai sekitar pukul 9 malam. Daripada terlambat, kami harus berangkat secepatnya.

Namun, saat hendak berangkat, kulihat handrem mengalami masalah. Saat kupaksakan berjalan, laju mobil terasa berat. Wah, masalah baru!

“Kita tidak bisa memaksakannya. Ada masalah dengan kampas rem,” kataku pada Lutfi.
“Bagaimana kalau kita paksa, jalankan saja, dicoba,” usulnya.
“Kita akan melewati Alas Baluran. Di sana, sepanjang 23 kilometer kita tidak akan bertemu dengan tempat pemberhentian. Apa berani?”
Tantangnku tidak diladeni
“Baiklah. Ngireng diperbaiki,” kata Lutfi menyetujui.

Di antara rasa kantuk dan capek, dibantu Moefti Nadhier (keponakan Kholis) dan seorang rekannya, kami bekerja sama memperbaiki roda kanan belakang. Beberapa saat lamanya ditemukanlah kesimpulan: karet master rem pecah dan harus ganti. Di mana ada toko onderdil buka malam-malam? Tapi, alhamdulillah, dalam kotak ajaibku, suku cadang itu ada, walaupun juga sudah nyaris tidak layak pakai. Sementara itu, ibu, istri serta anakku diistirahatkan di rumah saudara Kholis sambil menunggu perbaikan.

Selesai!

Kulihat mata Lutfi sangat merah. Ia pasti capek. Maka, tanpa menawarkan diri lebih dulu, langsung kuambli alih kemudi, membawanya melintasi Alas Baluran dengan pasti. Sedikit diburu waktu membuatku harus menambah kecepatan. Malam yang hitam, colt T 120 menderu di tengah hutan yang gelap. Keinginan untuk bisa mengikuti pengajian memberiku semangat lain agar terus bertahan dan membuang jauh-jauh bayangan kampas rem macet di tengah hutan.

Tanpa terasa, kami tiba di Panji Kidul pada angka 5669 ketika jam mendekati 11 malam. Acara Lailiyah baru saja selesai. “Badan datang terlambat tetapi niat sampai duluan.” Tak apalah. Akhirnya, kuhabiskan malam itu dengan berbincang-bincang bersama beberapa sanak famili yang juga mengikuti pengajian hingga menjelang pagi. Kantuk membuatku terlelap, tak lama, karena aku terbangun oleh azan subuh. Beruntung, aku bangun dan bisa shalat berjamaah bersama kiai.

8 komentar:

  1. Saya turun ke Mrawan/ Pada pagi yang sehangat kopi/ Mobil-mobil membuat kabut/kabut-kabut membungkus mobil/ hati saya lembab seperti hutan/

    Wahai angin dan gemitir/ bolehkah kamu tersesat di kamera saya?/ Saya kok cinta sama Mrawan, Kak? "Mra wan." Reny-nyah ya namanya....

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. “Berhenti, ya?” ajakku sambil menoleh ke belakang.
    “Jangna, nanti kemaleman. Katanya kamu keburu,” kata ibuku.

    TRANSLATE.GUGEL.KOM

    "Ambu ghi, Mi?" sengko' matabar, sambi atole ka budih.
    "Ella, deghi' malem dhalluh. KATANYA KAMU KEBURU, Ca'n be'n kabhuruh, Zi," oca'na Ebhuh.

    Hihihi... Katanya kamu keburu, Kak??? Eaaa???

    BalasHapus
  4. Iya, menarik ini komentar terjemah dengan Bahasa Madura: menarik lagi andai semua posting ada versi Bahasa Maduranya. Mari diusulkan ke Gugel

    BalasHapus
  5. senang halaman ini didatangi oleh pakar dan penjaga alas Baluran :-)

    BalasHapus
  6. Baru Coba mencoba!!
    hehehee

    marik coba Baluran bersama TiTos...
    Sekali Coba, dua - tiga wisata baluran terlewati...

    BalasHapus
  7. saya menunggu kesempatan kedua untuk tiba kembali di Baluran

    BalasHapus

Kopdar Triwulan di Blitar

Jarak dari rumah saya ke Blitar itu jauh. Kesannya begitu, bahkan lebih jauh daripada perjalanan saya sebelumnya, ke Banyuwangi. Tapi, ini h...