“Apa jadi yang ke Rubaru?”
“Tidak sekarang, colt masih didempul.”
“O, mogok, ya?”
“Bukan, cuma didempul bagian-bagian yang keropos.”
“Jadi tidak mogok, ya?”
“Ya, tidaklah. Dempul itu sama dengan facial kalau buat manusia”
Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...
UNTUK bidang dempul-mendempul ini saya punya pengalaman pertama tak terlupakan. Suatu hari sekitar lebih duapuluh tahun yang lalu,bersama seorang teman saya diminta untuk memperbaiki pagar besi yang tampak tepos. Tidak main-main, yang meminta itu seorang Danramil. Untuk bidang plamir-memlamir tembok saya tahu, tetapi mendempul memakai San Polac, saat itu pengalaman saya masih nul-putul.
BalasHapusSetelah dinding dan plafon sudah kami cat, si tuan rumah menginginkan kami untuk memperbaiki pagarnya pula. Tentu lebih dulu mendempul beberapa bagian yang tepos atau karatan.
Entah bagaimana ceritanya, karena dempul itu terdiri dari dua bagian, dengan 'cerdas' teman saya mencampurkannya semua. Sekaleng penuh. Dan, setelah beberapa usapan dengan kapi, begitu balik ke kaleng untuk mengambil dempul lagi, wuih, dempul sekaleng sudah mengeras!
Sorenya, ketika pak Danramil pulang kerumah, beliau hanya tersenyum secara militer melihat 'kecerdasan' kami.
Yang sulit dilupakan itu ternyata buka saja yang romantis-romantis, ya, Kang Edi, tetapi juga yang "telat diselamatkan", hahaha...
BalasHapusPengelaman buruk yang melekat, sekerat dempul. haha