Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang memiliki fanatisme kuat
terhadap kiai, bahkan cukup mencengangkan. Contoh, terkadang masyarakat membeli
sebuah kendaraan bukan karena atas dasar entitas, melainkan juga karena alasan
identitas. Sebut saja mereka membeli mobil yang pernah digunakan oleh kiai fulan
sebagai prioritas, walaupun sejatinya mereka mampu untuk membeli yang baru.
Konon, sejak wafat salah seorang kiai kharismatik, sebut saja Kiai
Muhammad, ahli warisnya hendak melepas kendaraan kesehariannya, yaitu sebuah
mobil lawas Colt T-120. Lalu, beberapa
orang berebut untuk mendapatkannya. Di antara mereka adalah bahkan seseorang yang
sudah mempunyai kendaraan sendiri dan lebih bagus. Ke-justru-an yang lain
adalah, para calon pembeli sudi membelinya dengan harga yang lebih tinggi
justru dari harga yang dibanderolkan oleh ahli waris. Keunikan yang lain adalah
bahwa mobil tetap dijual dengan harga normal. Padahal, transaksi ini bukan
menggunakan sistem lelang (yaitu dijual kepada penawar tertinggi). Mobil
dilepas dengan jual-beli biasa.
Bukankah ada unsur yang aneh dari model transaksi di atas ini? Identitas
lebih penting daripada entitas. Apa yang penting dari kisah di atas adalah
bahwa 'sanad' atau silsilah kendaraan pun, jika itu berhubungan dengan kiai, akan
menjadi bagian dari diskusi di wilayah keagamaan masyarakat (Madura). Mereka
bangga menggantikan kendaraan atau barang bekas dari kiai. Alasannya, bagi
mereka, barang itu diyakini pasti dugunakan hanya untuk yang baik-baik. Jika
berupa mobil, tentu mobil tidak akan pernah dipakai untuk acara dugem; jika itu
sarung, maka sarung bekas kiai itu dibuat shalat; bukan sekadar dipakai untuk kemul,
selimut buat tidur dan ronda.
Tak heran, mobil pun ada riwayat dan silsilahnya. Seseorang bergairah
untuk mendapatkan sebuah colt bulukan yang setelah diusut ternyata
pernah dimiliki oleh (almarhum) Kiai Fawaid Asad, pengasuh Pondok Pesantren
Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo. Dengan kata lain, kendaraan itu juga
menjadi kendaraan Kiai Asad Syamsul Arifin, salah satu tokoh penting terbentuknya
Nahdlatul Ulama (NU). Kiai As’ad merupakan kurir Kiai Kholil Bangkalan kepada Kiai
Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng, Jombang. Jelaslah, colt tersebut digunakan untuk
tujuan-tujuan dakwah dan kebaikan semata.
Saya temukan silsilah ini setelah colt berada di tangan Kiai Muzakki, yang
ia beli dari Kiai Munif. Berdasarkan sanad kepemilikannya, “nasab” colt terus
bersambung hingga Kiai Fawaid. BPKB model lama menjadi buku periwayatan paling
sahih akan hal ini.