Saat mematikan mesin untuk mengisi
premium, saya cek spion. Ada Carry di belakang, lalu Mobilio di belakangnya.
Begitu saya turun, menyebut angkat, dan cocor nosel dicokokkan ke lubang
tangki, saya melihat: dari sisi kanan, sebuah Gran Max menyerobot. Sopirnya
sangat muda, tepatnya anak-anak. Dia menyorongkan congor bumpernya, masuk di sela-sela
Carry dan Mobilio. Sopir Mobilio yang bapak-bapak 50-an memilih mundur.
“Sampeyan mau isi yang mana lebih
dulu, Gran Max yang lebih dulu tapi nyerobot atau Mobilio yang ada di
belakangnya tapi sesuai urutan?”
Petugas SPBU ngomong hal lain: “Orang
sekarang memang begitu kelakuannya. Kadang mobilnya juga bukan miliknya, tapi
kelakuannya sembarangan. Begitu rusak atau nabrak, baru dia menyesal, kadang
sampe menangis.”
Setelah selesai, saya pergi dan
melupakan peristiwa barusan. Di pintu keluar SPBU (sebelah utara), saya
menunggu jalan sepi dulu untuk masuk ke jalan raya. Saya lihat, masih banyak
seliweran mobil dari arah kanan dan kiri. Begitu sudah kosong, saya masukkan
persneling dan mobil menapak aspal. Namun, di depan saya mendadak ada
rintangan: seorang pengendara sepeda motor matic parkir di atas aspal sembari menunggu
istrinya yang antri membeli gorengan.
Dua peristiwa yang barusan saya
ceritakan di atas itu hanya berlangsung kurang dari 5 menit. Coba bayangkan,
bagaimana jika waktu memperhatikan perilaku masyarakat di sana sampai setengah jam, apa enggak bakal stres? Bagaimana
catatan ini bakal penuh oleh cerita keruwetan dan kesemrawutan?
Saya menahan diri untuk
memaki-maki, saya pun mengajukan pertanyaan pesimis. Apa benar-benar akan bisa,
ya, masyarakat yang sudah sakit mentalnya ini disembuhkan? Saya kira kok enggak.
Sepertinya, kita harus menunggu 1 atau 2 generasi lagi, itu pun jika tidak
makin parah.
***
Cerita di atas adalah curhat saat
pergi. Adapun perjalanan pulangnya tak kalah menyebalkan. Tapi, yang paling keren di antara
yang terkeren adalah ketika ada L300 yang tarik-ulur kecepatan di depan saya,
di jalan yang mengular, arah jalan pulang. Entah apa maunya, mungkin si sopir memang
punya hobi mengepul-ngepulkan knalpot mobilnya karena kebetulan yang dia
kemudikan adalah cyclone, L300 diesel tahun tua. Kadang dia ngebut, kadang
pelan, dan saya hanya mengikutnya.
Sedang asyik-asyiknya, tiba-tiba
ada lampu blitz menghajar spion: sebuah Scoopy yang hanya berlampu sore
berwarna pink yang menyentrongkan lampu tembaknya. Saya kesilauan. Maki-maki
lagi.
Hanya sebentar di belakang saya,
dia menyalip lalu mempertantarai kami dan pikat tadi. Saya perhatikan, dia melakukan
hal yang sama untuk sopir di depan: menyentrongkan lampu sorotnya ke arah spionnya.
Saya tidak dapat membayangkan, betapa silau mata sopir di depan saya itu. Rasa mangkel
saya ke sopir pikap kini sudah pindah haluan ke pengendara Scoopy.
Diperlakukan begitu, tampaknya sopir
pikap merasa, ada orang usil di belakangnya. Dan saat Scoopy mau menyalip,
tampak sopir pikat berusaha ngebut kembali, berusaha mempertahankan posisi
depan. Saya tahu karena ada gumpalan asap yang menyembur mendadak dari lubang
pembuangannya, mirip asap hitam kereta api India, ALCO. Akan tetapi, Scoopy tetap berhasil menyalip karena pikap
dihadang tanjakan dan tikungan. Begitulah, akhirnya, saya kembali membuntuti.
***
Pergi dan pulang malam ini sangat
menyebalkan, dan perisitwa seperti itu terjadi berkali-kali. Hal yang juga tak
kalah menyebalkan adalah soal lampu utama, terutama sepeda motor. Tak terhiutng
kali, bahkan bisa dibilang ada 7 dari 10 kasus sepeda motor yang tetap menggunakan
lampu jauh (lampu atas) meskipun kita sudah kasih kode dengan dim dan mematikan
lampu. Sentrong lampu ke mata kita akan makin ruwet kalau jenisnya LED yang
putih kebiruan itu, belum lagi yang HID (yang telah dilarang di beberapa
negara), belum lagi yang warnahya macam-macam, seperti merah dan kuning.
Saking sebelnya, akhirnya, saya
tundukkan lampu mobil saya sangat ke bawah. Saya pasrah, menyerah. Orang-orang yang tak tahu diri itu
sudah dilawan. Mending kita saja yang mengalah. Kalau berpapasan dengan sepeda motor yang
lampunya lurus ke arah muka dan tetap tidak diredupkan andai saya kasih kode
dim dan sebagianya, saya menyingkir, pokoknya mengalah saja. Akan tetapi,
karena saya juga manusia yang berperasaan dan bukan robot, terkadang saya
membawa senter dalam perjalanan malam hari. Senter ini adalah UltraFire 80.000W.
Ya, itu semacam senjata saja, buat jaga-jaga. Cuman, sejauh ini, saya masih
belum pernah menyorotkannya ke mata pengendara motor atau sopir mobil yang
lampunya terlampau terang dan ngotot menyerang mata saya dengan lampunya itu. Ya,
saya belum tega.
Malam Sabtu, 8 September 2017
ALCO itu nama pabrik lokomotip Pak, singkatan American Locomotive COmpany. Kebetulan India banyak pake lokomotip bikinan ALCO. PT KAI jg punya kok, cuma udh tua, pensiun, lalu masuk museum Ambarawa https://id.m.wikipedia.org/wiki/Lokomotif_CC200
BalasHapusPaulus, terima kasih atas informasi
BalasHapusmemang benar adanya pa cerita diatas.
BalasHapusapalagi diakhir pekan, dikota saya bandung. tiap akhir pekan dijejali para pendatang. dan setiap malam senin saya amati banyak sekali prilaku supir-supir ugal-ugalan yg seenaknya gas rem gas rem, tempel bokong jarak beberapa cm bagai pembalap F1 serta ngocok lampu padahal jalan lancar merayap, mungkin supir rental yg sedang kejar waktu.
sering kali mengalah lebih baik memang daripada ikut terbawa. perlu banyak berdoa serta istigfar dijalan memang.