Selepas
tahlilian, malam Selasa 19 Peb 2018, roda-roda Colt T120 ini menggelinding dari
halaman rumah, tepatnya di angka 21.10 WIB. Saya mampir ke SPBU Talang dan
langsung ngisi pertamax hingga nyaris penuh (sesekalilah). Uang terbayar
270.000.
Tiga jam
persis, kami melintasi Suramadu. Kecepatan mobil saya atur sedemikian rupa,
antara 60-75 km/jam (soalnya kalau lari 80 jadi berisik oleh buzzer-nya). Ketiga
saya ragu membawa colt ini ke Jogja tempo hari, melalui SMS, Mas Alwi berpesan,
bahwa Colt yang biasa dipakai tiap hari lebih meyakinkan daripada Colt yang
sehat tetapi jarang dipakai. Maksud dia, kalau jarang dipakai, kita tidak dapat
mengira-ngira, komponen atau onderdil yang mana yang akan bermasalah, beda
dengan jika menggunakannya secara harian. Untuk itulah, saya berusaha agar
tidak ngoyo bawa mobil ini tapi tetap stabil.
Ketika sudah
melewati pintu tol Dupak dan berjalan jauh mendekati keluar-Medaeng, saya
tawarkan.
“Mau lewat
Krian atau tol?”
“Coba tol baru,
Sumo (Surabaya-Mojokerto) saja,” kata suara dari belakang. Maka, kami pun melintasi tol yang masih baru tersebut.
Sebetulnya,
saya sudah mulai mengantuk, tapi melek mendadak gara-gara harus membayar tol
Rp82.000 yang semula saya taksir cuman 30 ribuan saja atau lebih sedikit. Enggak
menyangka, sisa e-Toll tidak cukup sehingga kami harus bayar pakai uang ‘beneran’,
uang kertas, bukan uang digital.
Setelah ngopi
sekitar 40 menitan, kami lanjut lagi, melaju sampai Ngawi. Masjid Baitul Islam,
sebuah masjid di tepi jalan, di Padas, dipilih untuk subuhan. Lokasinya berada
di area di lintasan Karangjati, sebelum kota. Masih Warid yang bawa,
menggantikan saya. Colt lantas diarahkan ke kiri, persis setelah sub-terminal
Gendingan, ke arah Walikukun. Kami mau bertamu ke 'saudara baru': Alwi Tri
Nugroho. Tujuan kami adalah Widodaren.
Sebetulnya,
saya sudah mewanti-wanti calon tuan rumah agar tidak disiapkan sarapan sebab
kami sudah melibas rawon di RM Duta sepagi ini. Adalah Sidqi yang menghadang
kami untuk kemudian membawanya ke sana, ke rumah makan itu. Katanya, kami
hendak dijamu (bukan diberi jamu untuk diminum, lho).
"Emang
cuma patas EKA yang bisa mampir ke RM Duta? Kami pun bisa."
Pukul 07.10
kami sudah duduk manis sebagai tamu di rumah bapak Maksum Hadi Santoso (MHS),
ayahanda Mas Alwi dan Mas Fadli. Semua sudah sangat mirip dengan rumah sendiri:
makan, mandi, tiduran, dlsb. Yang membedakan hanyalah bahwa kami tak perlu cuci
piring setelah sarapan.
“Rumah Sampeyan
itu tepi jalan atau masih masuk lagi, Mas?” tanya saya sebelum berangkat.
“Masih masuk ke
selatan, sekitar 6 kilometer, dari jalan utama. Tapi, kalau Anda mau mampir ke
rumah, saya janji, dari Ngawi sampai Jogja, saya yang akan mengemudi.”
“Wah, menarik
ini,” balas saya.
Seperti
janjinya, Mas Alwi yang pegang kemudi kali ini. Pukul 11.15, kami bertolak. Perhentian
pertama adalah masjid di Pilangsari, Masjid Ukhuwah Islamiyah namanya. Masjid
ini sangat enak buat disinggahi sebab airnya melimpah, bersih pula, lengkap
dengan kantinnya.
Kami berangkat
lagi seusai shalat, lewat 'by-pass' Sroyo, langsung Kartosuro dan ngisi BBM 200
ribu lebih di SPBU milik PO Rosalia Indah. Belum habis, sih, tapi buat
jaga-jaga saja supaya janganlah mobil dibiarkan jadi bahan tontonan orang
karena tanpa cat dan tanpa dempul, karena lebih mirip tong kotak beroda empat, masih
pula harus menanggung malu sebab disorong karena kehabisan bahan bakar (banyak
sekali 'karena'-nya).
Setelah singgah
lagi di warung "Soto Segeer Boyolali Hj Sugiyarti" di dekat terminal Kartasura, kami tutup acara singgah-singgah
di perjalanan berangkat ini di rumah Ncus alias Darmawan Budi Suseno yang
terletak di Sanggir, Paulan, Colomadu. Berbeda dengan sebelumnya, hidangan di
rumah kawan gendut ini adalah bass dan gitar dan kopi lengkap dengan
amplifiernya.
Satu jam kami
di sana sebelum akhirnya memutuskan lanjut ke Jogja. Kami tak mampir-mampir lagi
karena—terutama saya—harus istirahat sejenak sebab mau cuap-cuap setelah isya.
Kami tiba di Kafe Basabasi, Sorowajan Baru, setelah sinar matahari mulai
terhalang daun-daun di sisi barat, menuju surup, mendekati maghrib (ini videonya).
ACARA DISKUSI
BUKU
Sebetulnya,
acara inti saya di Jogja itu adalah menghadiri diskusi buku yang ditempatkan di
Kafe Basabasi, Sorowajan Baru. Bawa Colt bukanlah target karena sebetulnya saya
terbiasa naik bis. Nah, karena saya bawa Colt, maka saya ngajak-ngajak,
sekalian pergi-pergi dan mampir-mampir. Itulah dia. Ketika saya membawa Colt,
maka saya harus melakukan sesuatu yang susah dilakukan andai saja saya naik
bis. Ketika saya naik bis, maka saya harus bisa melakukan yang tidak bisa
dilakukan ketika naik Colt. Impas, deh, kalau begitu namanya.
Sungguh
menyenangkan dan tak terkira! Itulah kesan saya untuk acara ini, diskusi buku
saya, "Beauty & the Bis". Saya tandem dengan Odhie (ex. sopir PO
Sumber Selamat/Sugeng Rahayu yang makin keren anaknya karena dia juga masih
tercatat sebagai mahasiswa S2 FKM UNAIR). Dipandu oleh Prima Sulistya, petinggi
Mojok Dotco yang kocak, acara sangat gayeng. Dua jam rasanya singkat sekali.
Dan sebab sesi foto dan sesi tanda tanganlah saya jadi tahu, betapa banyak
rekan komunitas "bismania" yang hadir, dari Semarang, Solo, Wonosobo,
dan Jakarta.
Ada beberapa
kejutan di sana. salah satunya adalah penampakan Plentong, lelaki bertato di
sekujur tubuh yang salah satu tatonya adalah gambar bis sedang parkir di lengan
kanannya. Heroik sekali orang ini kalau soal bis-bisan. Banyak kejutan
pokoknya, juga kehadiran orang-orang yang tidak terduga, termasuk Mas Noviyanto,
warga Boyolali yang justru baru saja saya kenal kurang dari seminggu, di rumah
saya, di Madura, eh, kini sudah ketemu lagi di Jogja. Satu-satunya hal yang
membuat saya deg-degan adalah karena harus tampil menyanyi, bukan tampil
tahlilan atau orasi. Deg-degan itu tidak enak, beda dengan degan apalagi
kopyor.
FOTO-FOTO DARI ACARA DISKUSI BUKU
RABU pagi, 21 Pebruari, esoknya, saya sowan ke rumah Mas Benta di Gamping. Selaku 'elite' CJI (Colt
Jogja Istimewa), saya datang ke sana semacam membawa amanah untuk titip jempol
sebagaimana PNS harus titip 'finger-print' di kantornya. Sambutannya luar
daripada biasa. Kenapa? Suguhannya adalah kopi dan cemilan plus kunci ring
17/14 untuk mengontrol kerenggangan templar: servis yang sebenar-benar
servis; ya orangnya, ya, mesinnya. Ternyata, ada dua pelatuk yang renggang
sehingga bunyi mesin agak kasar. Mas Benta merapatkannya, dibikin sama dengan
enam pelatuk yang lainnya: 10/15. Walhasil, mobil jadi enak. Andaikan bunyi
mesin itu sejenis makanan, rasanya pengen saya makan, deh.
Sebelum balik
ke kafe demi memenuhi janji kencan dengan beberapa kawan yang tak sempat hadir
di acara tadi malam, kami main ke rumah Mbah Tomy Aditama. Saya minta diterapi
'zamathera' agar tulang belakang saya kembali tepat ke posisinya, agar jangan
mesin saja yang diurus dan diperbaiki, orangnya juga.
Sesi terakhir
di Jogja adalah bertemu dengan kawan-kawan lama di Kafe Basabasi: Fitri, Yadi
dari Kalsel, Mas Prast, dan mas bro Edi Mulyono. Banyak juga yang lain. Ada
kawan yang harus disambangi tapi tidak semuanya mampu disinggahi. Itulah
keterbatasan. Mau dilawan? Enggak bisa.
Kami
meninggalkan Jogja menjelang pukul 17.00, mampir sejenak di rumah mbak Abidah
el Khalieqy di Sambilegi, di kediamannya yang masih sangat bernuansa 'ndeso'
meskipun berjarak hanya sepelemparan batu ketapel ke RS Hermina dan Lottemart.
Seusai duduk-duduk dan seterusnya, ngeteh Turki dan seterusnya, shalat dan
seterusnya, kami pun pamit pulang. Mas Alwi kembali yang mancal, seperti
janjinya.
Perjalanan
rombongan Colturer ini lancar jaya. Saya pilih duduk di kursi belakang,
tidur-tiduran, kadang tidur beneran. Soalnya, Colt ini nyaris dipenuhi dengan
bantal. Kami memang niat untuk itu.
Mungkin supaya
kami tidak sombong, akhirnya Colt harus menunjukkan tanda-tanda ke-fana-annya
di Masaran, dekat kota Sragen. Mobil mati mendadak akibat melabrak genangan air
yang tingginya mampu menyelinap ke dalam kokpit. Mungkin businya sempat basah, atau
delco kena percikan, itu dugaannya. Tak lama (katanya cuma 5 menit saja; saya
tidur waktu itu) dan mobil sudah bisa menyala lagi, kembali menunjukkan
ke-keladi-annya meskipun TOA, eh, tua. Kami bergerak kembali menuju Ngawi.
Kami istirahat
sejenak di kediaman Mas Alwi, pipis-pipis, nyantai-nyantai sekitar satu jam,
barulah kami lanjutkan perjalanan lagi. Kapan makan? Tadi, di Kafe Basabasi
sebelum berangkat dan baru lalu di Warung Mbah Asih, beberapa kilometer saja
sesudah Gontor Putri II, Mantingan, sekitar Pasar Kedungmiri.
Baru dari Widodaren inilah, kendali kemudi dipegang oleh Khatir. Saya berharap dia tidak ngantuk karena saya nawaitu mau tidur saja. Kami bertolak pukul 12.40 dari rumah Mas Alwi. Hujan sepanjang malam membuat kami harus berjalan pelan saja, ngesot bagaikan keong. Lampu tak mampu melawan kegelapan. Sempat berhenti sejenak di Caruban, saya nyari toko yang ada relief Colt-nya, tapi tidak ketemu. Belakangan saya sadar, saya mencari di tempat yang salah. Hal ini mirip dengan orang yang mencari-cari 'kebenaran' di tempat 'kekeliruan', pantas saja enggak ketemu.
Sewaktu saya
berjalan kaki, saat melewati SPBU samping RSUD Caruban, saya pergoki sebuah
mobil “plat M”, bergambar kakbah: PPP Pamekasan. Seketika itu pula saya
membayangkan ada Ustad Muhsin Salim di dalamnya. Saya kenal beliau, dulu, sebagai
aktivis literasi, bukan sebagai politisi. Mobil itu berlalu meskipun saya sempat melongokkan kepala ke dekat kacanya.
Di tengah
perjalanan, saya sempat berkirim pesan kepada Mas Muhsin, “Apakah Anda sedang
melakukan perjalanan ke area Jawa Tengah?”
Sungguh kaget
saya. Ternyata dia tahu terhadap pertanyaan atau pernyataan yang akan diajukan
sesudah ini. Dia tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan foto, ya,
foto Colt kami ini yang dijepret dari belakang. Itu pertanda, selepas mereka
isi bahan bakar di Ngawi, mungkin sejenak mereka berhenti sehingga berada di
belakang kami.
Subuh hari Kamis, 22 Pebruari, kami
niatkan bershalat di Corogo, Peterongan, Jombang. Adapun bonus daripada shalat
ini, sudah dapat pahala silaturrahim, masih pula dapat kopi dan sarapan.
Akhirnya, kami baru bertolak berbarengan dengan tuan rumah, Haris, yang
berangkat 'nyambut gawe' ke KUA.
Demikianlah
perjalanan Colturer kali ini. Setelah rencana mampir lagi di Lomaer dan Sumber
Anyar gagal karena alasan teknis, kami sempat mampir ke bengkel H. Fathor di
Larangan Tokol, numpang pipis dan berbasa-basi dengan cara tanya-tanya soal
mesin, soal ini dan itu-nya. Hatta perjalanan kami lanjutkan pulang, Colturer
nambah soto dulu di Pasar Keppo supaya perut tidak kepo.
DATA-DATA PERJALANAN:
Jarak tempuh:
973 km
Total lama
perjalanan: 88 jam
Bahan bakar:
680.000 (sekitar 79 liter)