Pembaca

19 Juni 2018

Berjudi dengan Kecelakaan


Selepas shalat isya, Senin, 18 Juni 2018 ( 5 Syawal 1439) saya pergi ke Preduan. Berikut laporannya.
Di Sumber Kembar, dua kilometer perjalanan dari pintu rumah, saya berpapasan dengan Suzuki Carry yang lampu kanannya mati. Tentu saja saya kaget karena dari jauh ia tampak seperti sepeda motor.

Berjalan kurang dari 500 meter, dekat tanjakan Druksin, mata saya kesilauan ditempai motor Scoopy yang lampu LED-nya putih berkilat-kilat seperti petir. Maksudnya apa dia menggunakan lampu seperti itu, saya tidak tahu karena tidak saya cegat untuk kemudian mewawancarai pemiliknya. Lebih tidak paham lagi, untuk apa lampu jenis itu dijual bebas sehingga semua orang bisa (bukan boleh) menggunakannya di jalan raya.

Di Brumbung, tikungan sebelum Rong Cangka, seperti pengendara sepeda motor berhenti di badan jalan, telepon-teleponan. Masih mending dia berhenti untuk melakukan tindakan itu, mending daripada dia menelpon sambil menyetir pakai tangan kanan saja. Tapi, sialnya, saya saya melewatinya dan pada saat yang sama berpapasan dengan sepeda motor lain dari arah depan, tiba-tiba, wuuusss! Sebuah sepeda motor menyalip saja, hanya sepersekian detik ketika sepeda motor yang datang dari arah depan itu berpapasan dengan saya, kaget beneran.

Di selatan SD Pangilen, sampingnya rumah Amse, sebuah sedan—kalau tidak salah Honda Maestro—ngotot masuk duluan untuk melewati mobil Hiace yang parkir makan jalan di sisi barat, dengan cara kasih lampu jauh yang dikedip-kedipan secara cepat, padahal jarak saya sudah sangat dekat. Ya,enggak apa-apa. Saya mengalah saja.

Di Kaju Ojan, saya nyaris menyenggol seseorang yang berdiri di tepi jalan, masih di atas aspal. Sepertinya, dia hendak mengomando lalu lintas karena di sekitar situ ada perayaan pernikahan. Cuma karena dia tidak menggunakan rompi pantul dan/atau menggunakan tongkat berlampu, jadinya saya tidak tahu. Kelabakan lagi saya dibuatnya.

Sampai di Nagan, saat hendak masuk ke tikungan Bangkoare, jalan saya terhadang oleh sepasang bapak ibu yang dengan asyiknya menutup jalan di depan. Tampaknya mereka tengah berdiskusi tentang peliknya pembiayaan rumah tangganya. Itu benar dan penting, tapi kenapa diskusinya kok di tengah jalan raya, ya?

Nah, dan saat saya hendak melewati jalan menurun di Onggaan, sebuah Isuzu Elf hendak mundur dari parkiran, tanpa pengawalan. Posisinya berada persisi di ujung tanjakan/turunan dan tikungan.
Saya mulai tidak kaget lagi karena terlalu banyaknya kekagetan-kekagetan yang saya alami barusan, selama kurang lebih sepuluh menit saja padahal.


Nah, sekarang, saya sudah tiba di Partelon Prenduan. Mobil Colt Titos sudah tiba di bibir jalan. Saya menyalakan lampu sein kanan, hendak belok ke barat.  Dari arah kiri sudah kosong, hanya ada beberapa sepeda motor tapi masih jauh.  Sementara di kanan, datang sebuah APV, berjalan pelan. Saya menunggu dia melintas. Setelah dekat, eh, ternyata belok kiri tanpa lampu sein, ke arah jalan di mana saya datang. Di atas kaca depan, ada stiker Jetbus HD. Jetbus kok ngedabrus?

Itulah laporan perjalanan saya sejauh 7,5 kilometer dalam durasi waktu kira-kira 17 menit. Ada delapan kali kejadian yang bikin saya kaget. Saya tidak bisa bayangkan kalau per 7 km, saya akan kaget. Saya berpikir, barangkali situasi seperti inilah yang membuat manusia-manusia kita suka naik pitam.

Dosa-dosa kepada Allah baru saja ditebus dengan puasa dan istigfar, dosa-dosa sosial seperti yang saya ceritakan barusan, kapan dan bagaimana cara berharap ampunan?



1 komentar:

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...