Bermalam di Jember, malam Selasa itu, sangat memuaskan. Meskipun saya hanya tidur sebentar tapi kami telah bercengkerama begitu lama. Senang pula karena bibi Zaynah menerima kami dengan bahagia dan beliau memang sudah lama tidak pulang ke Madura.
Hampir pukul 9 pagi, kami baru bergerak pulang, meninggalkan Jember menuju Situbondo lewat Bondowoso. Perjalanan di hari ketiga ini lancar jaya. Kami menempuh jalan kolektor, dari arah Dukuh Mencek ke arah Patrang. Ancer-ancernya adalah RS Soebandi. Dari sana, kami ambil kiri, menuju ruas jalan utama Jember-Bondowoso.
Yang agak berat bagi saya adalah karena istri sedang kumat asam lambungnya. Maka dari itu, rencana mampir dulu di rumah Paman Hasan dan Paman Ali yang terletak di Bondowoso, gagal sudah. Kalau memang sudah bukan suratan, ya, mau apa? Jalani saja. Sedih juga, sedih dua-duanya:
Lepas duhur, kami masuk p[ekarangan rumah bibi, terget kami selanjutnya di hari ketiga ini, rumah Bi Azizah yang terletak di Lamongan, Arjasa, Situbondo. Apa sambutan beliau? “Wah, apa ini kok kayak ini? Enggak mau, ah. Jelek banget!” Begitulah komentar beliau secara ceplas-cepolos begitu melihat dua karung besar plus satu vas bunga nongkrong di atas atap Colt saya. lalu, beliau pun tertawa.
Kami menurunkan semua barang bawaan, termasuk juga jok tengah yang musti dilepas karena tadi, dalam perjalanan, anak nomor tiga pipis dan kencingnya ke tempat duduk. Jadi, kami harus mencucinya agar najis kencing—yang kata hadis termasuk najis yang paling rawan—tidak menyebar kemana-mana. Bongkar sangat lama karena barang bawaan kami bejibun, mirip TKI baru pulang dari Malaysia.
Saya segera memejamkan mata karena sorenya ditargetkan segera merapat ke Pesantren Sukorejo untuk menghadiri kegitan Muktamar Sastra yang digagas oleh PP Salafiyah Syafiiyah, LTN NU Jatim, dan TV dan dilaksanakan di pondok yang didirikan oleh Kiai Syamsul Arifin itu. Pondok ini bersejarah. Pengasuh kedua, Kiai As’ad Syamsul Arifin, baru-baru ini dikukhkan sebagai pahlawan Nasional. pada tahun 1984, pondok itu juga ditempati Muktamar NU yang ke-27, muktamar yang krusial, muktamar yang memutuskan penerimaan asas Pancasila.
Menjelang asar, saya dapat kabar dari Madura, dari adik, bahwa anak saya kambuh sakitnya. Dia minta ke dokter. Dan adik saya siap mengantarkannya. Perasaan sudah mulai tidak enak karena kami terpaut jarak yang jauh. Adik saya memastikan kesanggupan, maka lumayan bikin hati saya sedikit tenang.
Sesuai skenario, habis asar, saya tetap berangkat untuk menghadiri acara pembukaan Mutakmar. Kami ketemu dengan Pak Zainul Walid, ketemu Mukhlis di Asembagus yang kala itu kebetulan juga ada Lefand dan Mas Sosoawan Leak. Di pondok, saya bertemu dengan Pak Sururu dari TV9 dan Marsuki dari Antara.
Baru saja kami nyeruput kopi, mungkin dua atau tiga tegukan, baru saja mulai haha-hihi karena juga bertemu dengan Om Faqih dari Bali dan rekan-rekan dari Sumenep, mendapak ada telepon dari ibu, masuk. Sebelum diterima, saya sudah tercekat. Saya keluar arena, pergi ke halaman, dan tanpa basabasi, ibu berkata begitu singkatnya:
“Cepat pulang. Sekarang juga! Anakmu masuk ICU!”
Kegembiraan, gairah, harapan, langsung melorot ke titik terbawah. Lemas rasanya diri ini. Tapi, apa boleh buat, baru saja saja sampai, secepatnya harus pulang. Maka, dengan kata-kata yang rasanya berat sekali akan keluar dari kerongkongan, kepada mereka, kepada para panitia, saya mohon maaf, saya harus pulang, cepat-cepat.
Tanpa menunggu mereka merespon, sambil lalu membayangkan pesan Kiai Azaim setahun yang lalu agar saya terlibat sebagai tuan rumah untuk acara ini, sambil membayangkan diskusi panel yang akan diselenggarakan besok siang, sambil membayangkan rentetan acara yang lain yang bakal terlewat, saya melangkah kaki, keluar, menuju mobil, menyalakan mesin, dan bergerak ke luar area pondok.
Colt bergerak cepat ke Arjasa lamongan, tempat istri dan semua anak dan rombongan berada. Ditingkahi gerimis, seluruh perabotan dan barang bawaan kembali dimasukkan ke dalam mobil (padahal belum ada 4 jam kami mengeluarkannya). Dua karung besar kembali naik ke atas atap, diikat ke rak. Di dalam sudah penuh. Jok dalam keadaan basah juga dimasukkan, meskipun cuman disandarkan, tidak dibaut, karena kami buru-buru.
Setelah shalat maghrib dan berkemas, berbarengan dikumandangkannya azan isya, saya pancal Colt T120 lungsuran 1980 yang berdasarkan data odonya sudah menempuh 460.000 ribu kilometer di atas Bumi ini. Cemas juga, sih, takut mogok atau macet. Kami sedang berkejaran dengan waktu. Tapi, saya juga berpikir rasional, tidak mungkin saya memkasa mobil tua ini bekerja lebih berat lagi dari yang sewajarnya ia tanggung.
Perjalanan agak tegang karena pikiran saya terbagi dua: ke arah depan dan ke anak saya. untung ada sopir pendamping yang meskipun tidak terbiasa bawa Colt lebih-lebih dengan sistem percepatan dengan kromis yang kronis, bisa dipaksakan juga mengemudi. Alasannya cuma satu: hemat waktu.
Di tengah perjalanan, mungkin Bletok atau Bungatan, pengemudi digantikan oleh Makki yang sedari rumah tugas dia cuma duduk di sisi kiri. Untung juga ngajak orang yang bisa nyetir, kata saya dalam hati. Lumayan dia bisa bantu saya rehat, “tidur-tidur ayam” merem melek. Perjalanan alhamdulilah lancar tanpa kendala.
Di Pasuruan, arah jalan diubah. Kami harus muter-muter lewat pinggiran karena ada haul, seperti Haul Kiai Hamid. Dan pada saat itulah diputuskan untuk lewat tol saja mumpung saldo masih ada. Begitulah, kami ‘terpaksa’ masuk tol malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar