Berawal dari rencana sebelumya, yakni perjalanan ke PP Sukorejo yang terjadwal tanggal 14, lalu esokya di Nurul
Jadid Paiton, Sabtu lusanya, 16 Maret, di PP Badridduja Kraksan, tapi
takdir bicara lain. Acara inti gagal. Sukorejo menuda acara ke waktu yang tak ditentukan, Akibatnya,
dua acara sesudahnya gagal pulalah.
Malam Jumat, 14 Maret, mendadak Kiai Mustofa Badri menelpon saya, menanyakan rencana perjalanan. Saya minta maaf kepada beliau dan
menyatakan bahwa saya gagal. Tapi, apa kata dia?
“Sudah, pokoknya berangkat. Hari
Sabtu tetap harus ada di sini. Yang lain gagal biarlah.”
“Oh, begitu?”
“Ya, berangkat malam ini juga kalau
bisa.”
“Ya, tidak bisa, terlalu mendadak
karena saya tidak ada persiapan. Semoga besok bisa.”
“Baik, saya tunggu,” katanya menutup
telepon.
***
Rencana naik bis,
malam itu juga, gagal karena beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah karena istri saya—yang
kebetulan saudara dekatnya Kiai Mustofa—juga mau ikut. Positif: berangkat Jumat pagi bawa Colt, ngajak Warid, saudara
sepupu dua kali saya. Kalau sendirian soalnya khawatir kecapekan karena nanti
pulang langsung ke acara di Ambunten, pesisir Sumenep.
***
Mobil bergerak pelan, keluar dari halaman, beberapa menit dari
angka pukul 9. Yakin setengah tak yakin, hari ini saya menjalani takdir: pergi ke
Probolinggo pakai mobil.
Tidak seperti biasanya, perjalanan kali ini nyaris tanpa persiapan. Kami hanya modal yakin.
Dengan pertimbangan akan shalat
Jumat
di Sampang, kami ngisi bensin sampai penuh di Pom Pakamban,
220.000. Mobil terus terus berjalan. Saya yang bawa. Warid, yang saya ajak untuk jadi pengemudinya, dibiarkan
duduk di sebelah kiri dulu.
Jalan alhamdulillah tidak ramai. Lalu lintas
lancar. Langit mendung, benar-benar menyenangkan. ‘Mobil tidak
dipasangi AC kalau seperti ini,’
batin saya.
Saya memang sengaja mengajak Warid untuk bantu mengemudi karena fisik saya sedang tidak prima, kurang istirahat.
Di tengah perjalanan, selepas kota Pamekasan, saya sempat
bertanya kepada Umar Fauzi lewat SMS, di manakah dia akan melaksanakan
shalat Jumat. Saya nanya begitu karena tahu dia anak
yang saleh, beda lagi redaksi pertanyaannya jika diajukan kepada orang yang
jarang jumatan. Dia bilang: “Di baratnya Pasar Sampang.” Maksud saya,
kami ingin jumatan bersama di satu masjid agar
sekalian nanti bisa
bertemu walaupun
sebentar.
Tapi ternyata, kami sudah melewati Sampang
pada pukul 11.00. Pertemuan digagalkan. Rencana diatur ulang.
Seperti biasa, di hari jumat, Blega macet, setengah
padat-merayap.
Ada untungnya pula sampai di pasar ini menjelang tengah hari. Kalau pagi, macetnya
jelas enggak karu-karuan. Simpulan saya: orang Madura itu, meskipun tentu tidak
semuanya, kalau waktunya jumatan, ya, pergi ke masjid meskipun dia sedang
jualan di pasar. Sekurang-kurangnya, dia akan ngumpet jika tidak mau shalat, di
warung atau di tempat yang tersembunyi. Masih ada
perasaan malu bagi sebagaian besar orang saat tidak ikut salat Jumat
di waktu jumatan, sebagaimana orang yang tidak
berpuasa di bulan puasa.
Begitu kondisi masyarakat di Madura, beda dengan di beberapa tempat di Jawa
yang saya lihat: orang dengan santainya tidak Jumatan padahal dia punya
kewajiban; orang dengan santainya tidak puasa pada saat mestinya mereka berpuasa.
Dalam hal ini, Madura keren sekali.
Blega masih pukul 11.30. Terdengar
qiraat di beberapa TOA, dan sebagian masjid sudah
mengumandangkan shalawat. Azan belum juga berkumandang.
Rencana
semula (jumatan
di sekitar Blega) akhirnya
digagalkan. Lagi-lagi, kami lanjut, terus ke
barat,
melewati Gunung Gigir dengan
pertimbangan
akan tiba di Galis sebelum shalat didirikan.
Benar, perkiraan tepat. Akhirnya,
kami tiba di masjid Al-Ibrohimi, Galis,
sebelum khatib naik ke mimbar. Sementara istri beli bakso
sebagai pengganjal perut di dekat pasar, saya dan Warid pergi ke masjid. Kaget
juga karena bertemu dengan
seseorang yang kenal saya tapi saya tidak segera ingat namanya, benar-benar saya lupa, bahkan hingga saya mengetik
ini. Kata dia, rumahnya tak jauh dari situ. Waduh,
semoga dia membaca tulisan ini.
Saya termasuk orang yang jarang lewat tol, terutama tol
baru yang taripnya menganut paham “seribu (rupiah) per satu kilo (meter)”. Bagi
saya, tarip ini masih relatif mahal, bahkan
dengan pertimbangan rasionalisasi penghematan waktu dan suku cadang kendaraan. Tapi, saya
mengamini saja atas perhitungan
nominal itu. Ya,
soalnya, ini sekadar pendapat
pribadi, tanpa tahu asas manfaat pribadi dan manfaat kolektifnya.
Kali ini, diputuskan masuk kota, tidak lewat Kenjeran, Pahlawan,
dan Jalan Demak seperti biasa. Maka, kami pun membawa “Colt Pariwisata” ini masuk
kota. Rentetannya begini: lewat Kedung Cowek, (lurus ke)
Putro Agung dan maju terus
sampai ketemu Jalan Dr. Moestopo, belok kanan, notok ketemu Gubeng Pojok
(seberang Museum Kapal Selam), ambil kiri lalu ambil kanan untuk menyeberangi
Jembatan Monkasel di Jalan Pemuda, tapi langsung ambil susur kiri lagi ke Jalan Kayun, nembus Keputran, sampai ke Pandegiling dan barulah
ambil kanan untuk bergabung dengan jalan utama tengah kota: Jalan Raya Darmo.
Ternyata, perkiraan saya keliru. Jumat siang sudah macet. Saya kira, baru sore hari saja yang macet. Lewat tengah kota di siang hari itu
tidak direkomendasikan buat melintas, lebih-lebih bagi yang sekadar ingin
liburan dan bersantai.
Kalau malam hari relatif sepi, beda dengan Jakarta yang nyaris tidak ada
bedanya.
***
Akhirnya, setelah bebas macet di Bundaran Waru, saya tidur, tidak
begitu sadar kalau Warid masuk ke tol Waru-Gempol. Yang saya tahu, ia keluar di
Raci. Saya masih merem melek. Ngantuk tak bisa diatahan lagi.
Dulu, biasanya, kami naik tol dari Dupak dan turun di Porong atau
Gempol. Tapi kini, kita bisa turun lebih ke timur lagi. Umamnya, orang keluar
di Raci Bangil. Tapi, ini merugikan karena GTO-nya terlalu jauh dari jalan
nasional, beda dengan Rembang atau Grati (semua itu di Pasuruan).
Hari sudah sore. Kami mampir di Warket, sebuah warung masakan khas
Jawa yang terletak di sebelah timurnya Rawon Nguling yang kesohor itu (yang
terletak di utara jalan, timur pasar). Mengapa Warket? Karena tempo hari, waktu
perjalanan ke Probolinggo yang terakhir kali, 15 Pebruari 2019, saya mampir di
sana bersama Mahmud dan Hariri.
Warket ini, agaknya, awalnya warung ketan mengingat warung nasi tersebut
juga menjual menu ketan urap. Kami makan di situ, entah apa namanya: makan
siang kesorean atau makan malam kecepetan?
Saya dengan mujair. Rasanya nyus-nyus dan nyes-nyes. Nyus karena
garing. Nyes karena pedes.
Minumnya apa? Dalam perjalanan, lebih-lebih pakai mobil sendiri,
saya selalu membawa galon sendiri. Nyaris saya tidak pernah beli air kemasan di
toko: sudah boros, buang banyak sampah pula. Kadang, risih juga sama si pemilik
warung. Entah mengapa bisa muncul perasaan minder begini, seolah kita ini pelit
amit-amit, padahal ini wajar dan masuk akal, padahal maksud saya adalah; bukan
karena tak punya duit buat beli air kemasan, tapi karena merasa belum bisa
bertanggung jawab terhadap sampah plastiknya yang nanti bakal dibuang di mana. Kalau
dibuang di tempat sampah? Ya, tidak, tidak sesederhana itu, tidak selesai di
situ! Seperti apakah nasib sampah plastik itu setelah dibuang lagi dari
keranjang sampah itu ke TPA, atau entah ke mana? Diselamatkan pemulung,
dibakar, atau dibagaimanakan? Itulah alasannya..
Habis makan, pancal lagi. Hari hampir Maghrib. Beruntung, jalanan dari
Tongas ke Probolinggo lancar. Volume lalu lintas tidak padat, sehingga kami
bisa mencapai kota lebih cepat. Lalu lintas sedikit tersendat hanya selepas
kota sampai Pantai Bentar . kondisi begini di tempat itu memang biasa dan
memang selalu begitu. Ya, mau diapa. Jalani saja. Lepas itu, barulah kami jalan
lagi dengan lebih cepat dan akhirnya kami isa mencapai Kraksaan selepas
maghrib, sebelum isya.
SABTU, 16 MARET 2019
Tidur di rumah kayu yang dipersiapkan khusus tamu PP Badridduja ini
bikin saya merasa seperti raja dalam semalam, tapi ketika bangun pagi, jadi
rakyat kembali, memanaskan mesin Colt kembali, bukan Land Cruiser atau Range
Rover atau Rolls Royce.
Di hari itu, saya mengikuti kegiatan halaqah Tarekat Tijaniyah dan
haul KH Badri Masduqi. Tentu saja, kehadiran saya di sana adalah tabarrukan
mengingat saya bukanlah ikhwan Tijani. Dalam pada itu, semua putra dan putra
menantu mendiang hadir semua. Mereka mengisahkan teladan Kiai Badri dari
pelbagai sisi: sebagai pengajar, sebagai politisi, sebagai mursyid, sebagai
aktivis NU, serta sifat-sifatnya dalam bertoleransi terhadap masyrakat yang
berbeda agama.
Hadir sebagai narasumber di acara itu: KH Mustofa Quthbi Badri,
KH Tauhidullah Badri, KH Jaiz Badri, KH Tauhidullah Badri, KH Muzayyan Badri,
serta putra menantu beliau; KH Mukhlisihn Saad, dan KH Romli, serta seorang
alumni muhibbin dari Semarang, KH Muhyiddin. Mereka semua menuturkan manaqib
Kiai Badri dari segala sisi; sebagai kiai tandur (ngasuh pondok), catur
(berpolitik) tutur (berdakwah) sembur (suwuk) wuwur (tempat bertanya).
Konon, sejak nyantri kepada Kiai Zaini di Nurul Jadid,
Kiai Badri sudah mulai berlablig ke desa-desa sekitar. Walhasil, kesimpulannya,
beliau adalah sosok kiai yang komplit, punya himmah yang tinggi terhadap ilmu,
pendidik sejati, berwawasan terbuka, toleran terhadap non-muslim tapi ketat
dalam menjaga akidah, pembaca yang baik (dibuktikan dengan koleksi kitab dan
sebagian yang sudah ditaklik atau diberi anotasi), ahli tahajud dan nyaris
tidak lepas shalat berjamaah. Menurut Kiai Tauhid, wawasan aswaja Kiai Badri
ini adalah “alhus sunnah wal jamaah an-nahdiyah”, yang selalu berpegang pada
konsep amaliah, fikrah, harakah, dan ghirah.
***
Acara berlangsung tanpa ada hadirin yang keluar ruangan. Salut. Acara
dimulai pukul 09.30 dan berakhir hingga menjelang pukul 14.00. Jika bukan
karena cinta terhadap guru mereka, bagaimana mungkin pada alumni dan para
muhibbin itu bisa bertahan duduk begitu lama?
Usai makan, saya pamit pulang. Ada rencana ke Nurul Jadid, juga tawaran pulang malam, tapi saya jelaskan kepada tuan rumah bahwa malam nanti saya masih
diundang acara Pon-Popon di Ambunten, pantai utara Kabupaten Sumenep. Meskipun ini hanya ‘sekadar’ acara gambusan
dan saya diundang baca puisi terjemahan lirik lagu Ummu Kulsum, tapi karena Kiai
Imam, tuan rumahnya, mengundang saya dengan sungguh-sungguh melalui Kiai
Fadlillah, maka kepikiran rasanya kalau sampai saya tidak hadir ke acara itu
Kira-kira pukul 14.30, berangkatlah kami. Jika pada saat berangkat
waktu yang dihabiskan adalah 9 jam untuk jarak 274 kilometer dari Luk-Guluk ke
Kraksaan (bensin isi penih dan habis ¾ tangka; entah berapa persisnya) karena
dipotong berhenti jumatan dan macet gila di kota Surabaya, maka pulangnya saya
perhitungkan bakal lebih cepat, tapi dengan rute sedikit berbeda, lewat pantai
utara Madura. Diperkirakan, kami akan lebih cepat karena tidak perlu shalat
lagi di jalan.
“Nanti kita masuk tol?”
“Lewat
jalan Nasional reguler saja”
“Baik,”
jawab saya. “Kalau berdasarkan
terawangan, jalanan tidak begitu
padat
karena ini hari Sabtu, bukan jumat sore. Tapi, keputusan nanti diambil setelah kita
lihat kondisi jalan selepas kota. Eh, Kamu punya
kartu tol?”
“Ada,
tapi tidak tahu sisi isi berapa.”
“Punya saya khawatir tak cukup, lagi pula saya tidak
tahu, berapa bakal habis kalau kita masuk
Grati dan turun Perak.”
Lewat pesan, saya
sempat tanya
saudara yang belum lama ini lewat di situ, tapi bilang
lupa habis berapa. Dalam hati, saya berkata: ‘mungkin
saldo tolnya banyak sehingga tidak tidak sempat menghitung jumlahnya’. Tahun tarif
seperti itu tidak penting
amat, tapi menjadi penting ketika hendak ditulis karena barangkali para pembaca
ada yang juga ingin mendapat informasi
seperti ini tanpa harus
cari-cari di internet lagi.
Tol baru rata-rata punya tarif Rp1000/km.
Jadi, jika jaraknya 39 kilometer, seperti dari Grati ke Gempol, maka tarifnya
39.000. Kalau tak
salah begitu.
Kami masih sempat isi bensin lagi 150
ribu di Pom Ngopak. Tangki nyaris penuh kembali. Dan ini sudah yang ketiga kalinya saya hasrat
pipis di toiletnya yang bertarif 10.000 rupiah per mancur. Lagi-lagi enggak jadi,
sayang sama duitu 10.000 jikalau hanya buat pipis. Sebab toilet sampingnya ada yang gratis. Entah apa maksud pengelola
toilet ini kok ada yang tarif jegleg begini.
“Sekarang giliranmu. Saya santai dulu!”, kata saya begitu mobil
baru melewati palang pintu GTO Grati. Warid mengganti, dan seperti kebiasaannya, dia harus menyalakan
rokok lebih dulu. Mobilnya enggak apa-apa tidak berasap, yang panting mulutnya harus ngebul, mungkin begitu pikirnya.
Sebetulnya, lewat tol atau tidak,
bukan bebarti
kami bisa melaju lebih ngebut. Sebab, di tol
maupun
tidak, jalannya tetaplah 70 km/jam. Lebih, ya,
lebih sedikit, kalau kurang, ya, kurang sedikit. Tapi,
keunggulan lewat jalan tol tentu saja nyais tanpa kemacetan,
jarang ngerem, gas stabil, kaki-kaki lebih aman
karena tidak akan terjerus ke lubang dan
jalan bergelombang. Kekurangannya tentu karena masih berasa terlalu mahal. Saya tidak akan membahas
dampak sosial dan ekonomi pembangunan jalan tol, karena itu tugas
pengamat yang lalin.
Persis kumandang azan maghrib, kami masuk
Keduang
Cowek. Jalan agak tersendat saat masuk akses Suramadu,
tidak seperti biasanya. Makin dekat ke pintu, makin padat arusnya. Eh,
ternyata, besok Ahad, (hari ini, ketika esai ini ditulis) ada acara Road Safety
Milenial Festival. Entah apa maksud acara kok nginggris sekali, padahal pesertanya ya orang Jawa, orang Madura, rakyat Indonesia, di
tanah air sendiri. Benar-benar tak paham diri ini.
Di bawah guyuran hujan, kami beli nasi bebek di Warung
Kemuning, Embong Miring, Burneh. Entah berapa harganya, pokoknya tiga bungkus
73.000: dua bebek, satu ayam kampung. Biasanya kami bawa bekal dari rumah, di
samping karena istri saya ke asam lambung naik dan harus hati-hati terhadap
makanan yang mengandung jahe dan merica (apalagi cabe), cara ini lebih aman dan
lebih murah. Nasi dibungkus hanya demi satu alasan: kami bisa lebih hemat waktu
di perjalanan di saat kejar tayang.
Colt menempuh
perjalanan pantai utara Madura. Dari Burneh, jam menunjuk
18.30, belum isya. Tapi maghrib sudah lewat
tadi. Kami terus melewati Junok, belok
kanan persis di sebelah baratnya RSUD Bangkalan,
nembus
ke Jalan Kiai Lemah Duwur dan
terus ke Jalan Bancaran, Sebaneh.
Kami lurus saja mengikuti jalan dan
hanya ketemu satu lampu merah di Arosbaya.
Jalan di utara Madura relatif
sepi, tapi banyak gelombang. Sempit pula bidangnya antara
Banyuates
sampai Ketapag.
Jalan
lurus dan mulus, tanpa tikungan berarti. Cuma, anehnya, banyak sekali pengendara motor yang ngawur di sini. Di jalur selatan juga banyak, tapi
di sini jauuuuh lebih banyak ngawurnya. Ada yang berjalan zigzag karena menghidari lubang di jalan, kadang—dan ini
yang paling
banyak—tanpa lampu depana tau belakang. Area Bangkalan paling
banyak yang seperti ini. Ini pekerjaan rumah yang
ruwet bagi Dikyasa Lantas Polres Bangkalan. Adapun
Dishubnya belum kelar juga menyelesaikan masalah pasar tumpah Tanah Merah di
setiap hari Sabtu. Kasihan sekali.
Akhirnya, dengan kecepatan rata-rata 70-80, kami bisa mencapai Ambunten sebelum 21.30.
Memang, acara sudah berlangsung tapi karena biasanya baru selesai pukul 23.00,
saya pede saja masuk ke arena. Lebih-lebih karena tuan rumah mempersilakan saya
masuk dengan Colt Pariwisata: teknik masuk (dalam istilah panggung disebut fade
in atau stage in) sudah benar sepenuhnya.
Di acara itu, saya sempat membacakan puisi terjemahan
Ahmad Syauqi, berjudul Saalu Qalbi, dan acara berakhir setelah lagu terakhir
dibawakan oleh Habib Alwi Albayti. Pulang ke rumah tengah malam, dikawal oleh
Pamanda Musayyad dari belakang, dan tiba dengan selamat menjelang pukul 01.00. Puji
syukur kepada Allah.