Pembaca

29 Maret 2019

Mendadak Kraksaan



Berawal dari rencana sebelumya, yakni perjalanan ke PP Sukorejo yang terjadwal tanggal 14, lalu esokya di Nurul Jadid Paiton, Sabtu lusanya, 16 Maret, di PP Badridduja Kraksan, tapi takdir bicara lain. Acara inti gagal. Sukorejo menuda acara ke waktu yang tak ditentukan, Akibatnya, dua acara sesudahnya gagal pulalah.

Malam Jumat, 14 Maret, mendadak Kiai Mustofa Badri menelpon saya, menanyakan rencana perjalanan. Saya minta maaf kepada beliau dan menyatakan bahwa saya gagal. Tapi, apa kata dia?
“Sudah, pokoknya berangkat. Hari Sabtu tetap harus ada di sini. Yang lain gagal biarlah.”
“Oh, begitu?”
“Ya, berangkat malam ini juga kalau bisa.”
“Ya, tidak bisa, terlalu mendadak karena saya tidak ada persiapan. Semoga besok bisa.”
“Baik, saya tunggu,” katanya menutup telepon.

***
Rencana naik bis, malam itu juga, gagal karena beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah karena istri saya—yang kebetulan saudara dekatnya Kiai Mustofa—juga mau ikut. Positif: berangkat Jumat pagi bawa Colt, ngajak Warid, saudara sepupu dua kali saya. Kalau sendirian soalnya khawatir kecapekan karena nanti pulang langsung ke acara di Ambunten, pesisir Sumenep.
***
Mobil bergerak pelan, keluar dari halaman, beberapa menit dari angka pukul 9. Yakin setengah tak yakin, hari ini saya menjalani takdir: pergi ke Probolinggo pakai mobil.
Tidak seperti biasanya, perjalanan kali ini nyaris tanpa persiapan. Kami hanya modal yakin.

Dengan pertimbangan akan shalat Jumat di Sampang, kami ngisi bensin sampai penuh di Pom Pakamban, 220.000. Mobil terus terus berjalan. Saya yang bawa. Warid, yang saya ajak untuk jadi pengemudinya, dibiarkan duduk di sebelah kiri dulu.

Jalan alhamdulillah tidak ramai. Lalu lintas lancar. Langit mendung, benar-benar menyenangkan. ‘Mobil tidak dipasangi AC kalau seperti ini,’ batin saya.

Saya memang sengaja mengajak Warid untuk bantu mengemudi karena fisik saya sedang tidak prima, kurang istirahat.
Di tengah perjalanan, selepas kota Pamekasan, saya sempat bertanya kepada Umar Fauzi lewat SMS, di manakah dia akan melaksanakan shalat Jumat. Saya nanya begitu karena tahu dia anak yang saleh, beda lagi redaksi pertanyaannya jika diajukan kepada orang yang jarang jumatan. Dia bilang: “Di baratnya Pasar Sampang. Maksud saya, kami ingin jumatan bersama di satu masjid agar sekalian nanti bisa bertemu walaupun sebentar.

Tapi ternyata, kami sudah melewati Sampang pada pukul 11.00. Pertemuan digagalkan. Rencana diatur ulang.

Seperti biasa, di hari jumat, Blega macet, setengah padat-merayap. Ada untungnya pula sampai di pasar ini menjelang tengah hari. Kalau pagi, macetnya jelas enggak karu-karuan. Simpulan saya: orang Madura itu, meskipun tentu tidak semuanya, kalau waktunya jumatan, ya, pergi ke masjid meskipun dia sedang jualan di pasar. Sekurang-kurangnya, dia akan ngumpet jika tidak mau shalat, di warung atau di tempat yang tersembunyi. Masih ada perasaan malu bagi sebagaian besar orang saat tidak ikut salat Jumat di waktu jumatan, sebagaimana orang yang tidak berpuasa di bulan puasa. Begitu kondisi masyarakat di Madura, beda dengan di beberapa tempat di Jawa yang saya lihat: orang dengan santainya tidak Jumatan padahal dia punya kewajiban; orang dengan santainya tidak puasa pada saat mestinya mereka berpuasa.

Dalam hal ini, Madura keren sekali.

Blega masih pukul 11.30. Terdengar qiraat di beberapa TOA, dan sebagian masjid sudah mengumandangkan shalawat. Azan belum juga berkumandang. Rencana semula (jumatan di sekitar Blega) akhirnya digagalkan. Lagi-lagi, kami lanjut, terus ke barat, melewati Gunung Gigir dengan pertimbangan akan tiba di Galis sebelum shalat didirikan.

Benar, perkiraan tepat. Akhirnya, kami tiba di masjid Al-Ibrohimi, Galis, sebelum khatib naik ke mimbar. Sementara istri beli bakso sebagai pengganjal perut di dekat pasar, saya dan Warid pergi ke masjid. Kaget juga karena bertemu dengan seseorang yang kenal saya tapi saya tidak segera ingat namanya, benar-benar saya lupa, bahkan hingga saya mengetik ini. Kata dia, rumahnya tak jauh dari situ. Waduh, semoga dia membaca tulisan ini.

Saya termasuk orang yang jarang lewat tol, terutama tol baru yang taripnya menganut paham “seribu (rupiah) per satu kilo (meter)”.  Bagi saya, tarip ini masih relatif mahal, bahkan dengan pertimbangan rasionalisasi penghematan waktu dan suku cadang kendaraan. Tapi, saya mengamini saja atas perhitungan nominal itu. Ya, soalnya, ini sekadar pendapat pribadi, tanpa tahu asas manfaat pribadi dan manfaat kolektifnya.

Kali ini, diputuskan masuk kota, tidak lewat Kenjeran, Pahlawan, dan Jalan Demak seperti biasa. Maka, kami pun membawa “Colt Pariwisata” ini masuk kota. Rentetannya begini: lewat Kedung Cowek, (lurus ke) Putro Agung dan maju terus sampai ketemu Jalan Dr. Moestopo, belok kanan, notok ketemu Gubeng Pojok (seberang Museum Kapal Selam), ambil kiri lalu ambil kanan untuk menyeberangi Jembatan Monkasel di Jalan Pemuda, tapi langsung ambil susur kiri lagi ke Jalan Kayun, nembus Keputran, sampai ke Pandegiling dan barulah ambil kanan untuk bergabung dengan jalan utama tengah kota: Jalan Raya Darmo.

Ternyata, perkiraan saya keliru. Jumat siang sudah macet. Saya kira, baru sore hari saja yang macet. Lewat tengah kota di siang hari itu tidak direkomendasikan buat melintas, lebih-lebih bagi yang sekadar ingin liburan dan bersantai. Kalau malam hari relatif sepi, beda dengan Jakarta yang nyaris tidak ada bedanya.

***

Akhirnya, setelah bebas macet di Bundaran Waru, saya tidur, tidak begitu sadar kalau Warid masuk ke tol Waru-Gempol. Yang saya tahu, ia keluar di Raci. Saya masih merem melek. Ngantuk tak bisa diatahan lagi.

Dulu, biasanya, kami naik tol dari Dupak dan turun di Porong atau Gempol. Tapi kini, kita bisa turun lebih ke timur lagi. Umamnya, orang keluar di Raci Bangil. Tapi, ini merugikan karena GTO-nya terlalu jauh dari jalan nasional, beda dengan Rembang atau Grati (semua itu di Pasuruan).

Hari sudah sore. Kami mampir di Warket, sebuah warung masakan khas Jawa yang terletak di sebelah timurnya Rawon Nguling yang kesohor itu (yang terletak di utara jalan, timur pasar). Mengapa Warket? Karena tempo hari, waktu perjalanan ke Probolinggo yang terakhir kali, 15 Pebruari 2019, saya mampir di sana bersama Mahmud dan Hariri.

Warket ini, agaknya, awalnya warung ketan mengingat warung nasi tersebut juga menjual menu ketan urap. Kami makan di situ, entah apa namanya: makan siang kesorean atau makan malam kecepetan?

Saya dengan mujair. Rasanya nyus-nyus dan nyes-nyes. Nyus karena garing. Nyes karena pedes.
Minumnya apa? Dalam perjalanan, lebih-lebih pakai mobil sendiri, saya selalu membawa galon sendiri. Nyaris saya tidak pernah beli air kemasan di toko: sudah boros, buang banyak sampah pula. Kadang, risih juga sama si pemilik warung. Entah mengapa bisa muncul perasaan minder begini, seolah kita ini pelit amit-amit, padahal ini wajar dan masuk akal, padahal maksud saya adalah; bukan karena tak punya duit buat beli air kemasan, tapi karena merasa belum bisa bertanggung jawab terhadap sampah plastiknya yang nanti bakal dibuang di mana. Kalau dibuang di tempat sampah? Ya, tidak, tidak sesederhana itu, tidak selesai di situ! Seperti apakah nasib sampah plastik itu setelah dibuang lagi dari keranjang sampah itu ke TPA, atau entah ke mana? Diselamatkan pemulung, dibakar, atau dibagaimanakan? Itulah alasannya..

Habis makan, pancal lagi. Hari hampir Maghrib. Beruntung, jalanan dari Tongas ke Probolinggo lancar. Volume lalu lintas tidak padat, sehingga kami bisa mencapai kota lebih cepat. Lalu lintas sedikit tersendat hanya selepas kota sampai Pantai Bentar . kondisi begini di tempat itu memang biasa dan memang selalu begitu. Ya, mau diapa. Jalani saja. Lepas itu, barulah kami jalan lagi dengan lebih cepat dan akhirnya kami isa mencapai Kraksaan selepas maghrib, sebelum isya.

SABTU, 16 MARET 2019

Tidur di rumah kayu yang dipersiapkan khusus tamu PP Badridduja ini bikin saya merasa seperti raja dalam semalam, tapi ketika bangun pagi, jadi rakyat kembali, memanaskan mesin Colt kembali, bukan Land Cruiser atau Range Rover atau Rolls Royce.

Di hari itu, saya mengikuti kegiatan halaqah Tarekat Tijaniyah dan haul KH Badri Masduqi. Tentu saja, kehadiran saya di sana adalah tabarrukan mengingat saya bukanlah ikhwan Tijani. Dalam pada itu, semua putra dan putra menantu mendiang hadir semua. Mereka mengisahkan teladan Kiai Badri dari pelbagai sisi: sebagai pengajar, sebagai politisi, sebagai mursyid, sebagai aktivis NU, serta sifat-sifatnya dalam bertoleransi terhadap masyrakat yang berbeda agama.

Hadir sebagai narasumber di acara itu: KH Mustofa Quthbi Badri, KH Tauhidullah Badri, KH Jaiz Badri, KH Tauhidullah Badri, KH Muzayyan Badri, serta putra menantu beliau; KH Mukhlisihn Saad, dan KH Romli, serta seorang alumni muhibbin dari Semarang, KH Muhyiddin. Mereka semua menuturkan manaqib Kiai Badri dari segala sisi; sebagai kiai tandur (ngasuh pondok), catur (berpolitik) tutur (berdakwah) sembur (suwuk) wuwur (tempat bertanya). 

Konon, sejak nyantri kepada Kiai Zaini di Nurul Jadid, Kiai Badri sudah mulai berlablig ke desa-desa sekitar. Walhasil, kesimpulannya, beliau adalah sosok kiai yang komplit, punya himmah yang tinggi terhadap ilmu, pendidik sejati, berwawasan terbuka, toleran terhadap non-muslim tapi ketat dalam menjaga akidah, pembaca yang baik (dibuktikan dengan koleksi kitab dan sebagian yang sudah ditaklik atau diberi anotasi), ahli tahajud dan nyaris tidak lepas shalat berjamaah. Menurut Kiai Tauhid, wawasan aswaja Kiai Badri ini adalah “alhus sunnah wal jamaah an-nahdiyah”, yang selalu berpegang pada konsep amaliah, fikrah, harakah, dan ghirah. 

***

Acara berlangsung tanpa ada hadirin yang keluar ruangan. Salut. Acara dimulai pukul 09.30 dan berakhir hingga menjelang pukul 14.00. Jika bukan karena cinta terhadap guru mereka, bagaimana mungkin pada alumni dan para muhibbin itu bisa bertahan duduk begitu lama?

Usai makan, saya pamit pulang. Ada rencana ke Nurul Jadid, juga tawaran pulang malam, tapi saya jelaskan kepada tuan rumah bahwa malam nanti saya masih diundang acara Pon-Popon di Ambunten, pantai utara Kabupaten Sumenep. Meskipun ini hanya ‘sekadar’ acara gambusan dan saya diundang baca puisi terjemahan lirik lagu Ummu Kulsum, tapi karena Kiai Imam, tuan rumahnya, mengundang saya dengan sungguh-sungguh melalui Kiai Fadlillah, maka kepikiran rasanya kalau sampai saya tidak hadir ke acara itu

Kira-kira pukul 14.30, berangkatlah kami. Jika pada saat berangkat waktu yang dihabiskan adalah 9 jam untuk jarak 274 kilometer dari Luk-Guluk ke Kraksaan (bensin isi penih dan habis ¾ tangka; entah berapa persisnya) karena dipotong berhenti jumatan dan macet gila di kota Surabaya, maka pulangnya saya perhitungkan bakal lebih cepat, tapi dengan rute sedikit berbeda, lewat pantai utara Madura. Diperkirakan, kami akan lebih cepat karena tidak perlu shalat lagi di jalan.

 Nanti kita masuk tol?
Lewat jalan Nasional reguler saja
Baik, jawab saya. Kalau berdasarkan terawangan, jalanan tidak begitu padat karena ini hari Sabtu, bukan jumat sore. Tapi, keputusan nanti diambil setelah kita lihat kondisi jalan selepas kota. Eh, Kamu punya kartu tol?”
Ada, tapi tidak tahu sisi isi berapa.”
Punya saya khawatir tak cukup, lagi pula saya tidak tahu, berapa bakal habis kalau kita masuk Grati dan turun Perak.

Lewat pesan, saya sempat tanya saudara yang belum lama ini lewat di situ, tapi bilang lupa habis berapa. Dalam hati, saya berkata: mungkin saldo tolnya banyak sehingga tidak tidak sempat menghitung jumlahnya’. Tahun tarif seperti itu tidak penting amat, tapi menjadi penting ketika hendak ditulis karena barangkali para pembaca ada yang juga ingin mendapat informasi seperti ini tanpa harus cari-cari di internet lagi.

Tol baru rata-rata punya tarif Rp1000/km. Jadi, jika jaraknya 39 kilometer, seperti dari Grati ke Gempol, maka tarifnya 39.000. Kalau tak salah begitu.

Kami masih sempat isi bensin lagi 150 ribu di Pom Ngopak. Tangki nyaris penuh kembali. Dan ini sudah yang ketiga kalinya saya hasrat pipis di toiletnya yang bertarif 10.000 rupiah per mancur. Lagi-lagi enggak jadi, sayang sama duitu 10.000 jikalau hanya buat pipis. Sebab toilet sampingnya ada yang gratis. Entah apa maksud pengelola toilet ini kok ada yang tarif jegleg begini.

“Sekarang giliranmu. Saya santai dulu!”, kata saya begitu mobil baru melewati palang pintu GTO Grati. Warid mengganti, dan seperti kebiasaannya, dia harus menyalakan rokok lebih dulu. Mobilnya enggak apa-apa tidak berasap, yang panting mulutnya harus ngebul, mungkin begitu pikirnya.

Sebetulnya, lewat tol atau tidak, bukan bebarti kami bisa melaju lebih ngebut. Sebab, di tol  maupun tidak, jalannya tetaplah 70 km/jam. Lebih, ya, lebih sedikit, kalau kurang, ya, kurang sedikit. Tapi, keunggulan lewat jalan tol tentu saja nyais tanpa kemacetan, jarang ngerem, gas stabil, kaki-kaki lebih aman karena tidak akan terjerus ke lubang dan jalan bergelombang. Kekurangannya tentu karena masih berasa terlalu mahal. Saya tidak akan membahas dampak sosial dan ekonomi pembangunan jalan tol, karena itu tugas pengamat yang lalin.

Persis kumandang azan maghrib, kami masuk Keduang Cowek. Jalan agak tersendat saat masuk akses Suramadu, tidak seperti biasanya. Makin dekat ke pintu, makin padat arusnya. Eh, ternyata, besok Ahad, (hari ini, ketika esai ini ditulis) ada acara Road Safety Milenial Festival. Entah apa maksud acara kok nginggris sekali, padahal pesertanya ya orang Jawa, orang Madura, rakyat Indonesia, di tanah air sendiri. Benar-benar tak paham diri ini.

Di bawah guyuran hujan, kami beli nasi bebek di Warung Kemuning, Embong Miring, Burneh. Entah berapa harganya, pokoknya tiga bungkus 73.000: dua bebek, satu ayam kampung. Biasanya kami bawa bekal dari rumah, di samping karena istri saya ke asam lambung naik dan harus hati-hati terhadap makanan yang mengandung jahe dan merica (apalagi cabe), cara ini lebih aman dan lebih murah. Nasi dibungkus hanya demi satu alasan: kami bisa lebih hemat waktu di perjalanan di saat kejar tayang.

Colt menempuh perjalanan pantai utara Madura. Dari Burneh, jam menunjuk 18.30, belum isya. Tapi maghrib sudah lewat tadi. Kami terus melewati Junok, belok kanan persis di sebelah baratnya RSUD Bangkalan, nembus ke Jalan Kiai Lemah Duwur dan terus ke Jalan Bancaran, Sebaneh. Kami lurus saja mengikuti jalan dan hanya ketemu satu lampu merah di Arosbaya.

Jalan di utara Madura relatif sepi, tapi banyak gelombang. Sempit pula bidangnya antara Banyuates sampai Ketapag. Jalan lurus dan mulus, tanpa tikungan berarti. Cuma, anehnya, banyak sekali pengendara motor yang ngawur di sini. Di jalur selatan juga banyak, tapi di sini jauuuuh lebih banyak ngawurnya. Ada yang berjalan zigzag karena menghidari lubang di jalan,  kadang—dan ini yang paling banyak—tanpa lampu depana tau belakang. Area  Bangkalan paling banyak yang seperti ini. Ini pekerjaan rumah yang ruwet bagi Dikyasa Lantas Polres Bangkalan. Adapun Dishubnya belum kelar juga menyelesaikan masalah pasar tumpah Tanah Merah di setiap hari Sabtu. Kasihan sekali.

Akhirnya, dengan kecepatan rata-rata 70-80,  kami bisa mencapai Ambunten sebelum 21.30. Memang, acara sudah berlangsung tapi karena biasanya baru selesai pukul 23.00, saya pede saja masuk ke arena. Lebih-lebih karena tuan rumah mempersilakan saya masuk dengan Colt Pariwisata: teknik masuk (dalam istilah panggung disebut fade in atau stage in) sudah benar sepenuhnya. 

Di acara itu, saya sempat membacakan puisi terjemahan Ahmad Syauqi, berjudul Saalu Qalbi, dan acara berakhir setelah lagu terakhir dibawakan oleh Habib Alwi Albayti. Pulang ke rumah tengah malam, dikawal oleh Pamanda Musayyad dari belakang, dan tiba dengan selamat menjelang pukul 01.00. Puji syukur kepada Allah.




Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...