Perjalanan empat
hari empat malam, atau kira-kira 100 jam (wah, kayak durasi Penataran P4 tempo
dulu) yang kami jalani sejak hari Rabu, 10 Juli 2019 (pukul 17.10), akhirnya
berakhir kembali di halaman rumah, pada hari Ahad, 14 Juni 2019, pukul 21.27.
Perjalanan pulang dari Campurejo, Gresik—meskipun lambat karena arus lalu
lintas yang membeludak di malam terakhir liburan—terbilang lancar karena tidak
ada gangguan pada mobil di perjalanan. Senang sekali rasanya begitu tiba di
rumah dan melihat semuanya berjalan dengan baik
Rencana semula
dari perjalanan ini adalah ke Sruweng, Kebumen. Adapun rutenya adalah; berangkat lewat Pantura
(Semarang – Kendal – Wonosobo via Boja) dan pulang lewat tengah (Solo – Ngawi).
Tapi, rencana hanya tinggal rencana ketika yang terjadi di lapangan ternyata
tak sama. Karena suatu dan lain hal, rencana ke Kebumen digagalkan (sementara)
dan tujuan dipindah ke Kutoarjo saja, tepatnya ke Pasar Kemiri, sebuah titik di
muka Bumi yang belum pernah saya kunjungi sama sekali.
RABU, 10 Juni
Berangkat nyaris
terlalu sore, pukul 17.00 lewat, kami berhenti di Masjid Al-Hidayah, Larangan,
untuk shalat maghrib dan ambil poin: ipar sepupu. Saat itu, jam menunjuk 17.41.
Azan isya
terdengar saat kami melintas di Bandaran-Tanjung, desa dan kecamatan di
perbatasan kabupaten Pamekasan dan Sampang. Berhenti sejenak kami di pinggir
jalan karena anak merengek minta manisan. Dengan polisi lalu lintas kita mampu
berdebat, tapi dengan anak mana bisa?
Setelan mobil
kurang enak kali ini, beda banget dengan bulan lalu saat saya bawa ke Jawa,
dari Besuki hingga ke Taman Nasional Baluran. Maka, sehabis ngisi premium
sejumlah 150 ribu di SPBU perbatasan Jrengik-Lomaer, di perbatasan
Sampang-Bangkalan, pukul 20.00 persis, saya menukar rotor pada distributor.
Saya curiga, inilah penyebabnya. Sayangnya, rotor cadangan yang saya bawa tidak
lebih baik dengan yang sedang dipakai. Hanya dibersihkan, baru itu, kami jalan.
Hasilnya lumayan. Kata orang, menganggur pun, kalau diopeni, hasilnya juga
lumayan, apalagi membersihkan rotor.
Lepas dari Blega
sampai Padurungan, jalan padat merayap. Benar dugaan saya, ada dua truk tuang
yang berjalan sangat santai, seperti pengantin. Kami baru bisa mendahuluinya
menjelang Tanah Merah. Walhasil, kami baru melintasi Jembatan Suramadu pada
21.15.
Kami menempuh
jalur tengah kota, lewat Jalan Pahlawan, ke Pasar Turi dan Dupak, untuk
mencapai akses ke jalan tol. Meskipun saya tidak menganggarkan uang untuk bayar
tol—di samping karena karena sensasi perjalanan yang nyaris tidak akan
berasa—tapi malam itu harus dilakoni. Saya menimbang tuan rumah (Haris) agar
tidak kemalaman menunggu kami. Dengan amat terpaksa, mobil saya arahkan ke tol
Sumo: Surabaya-Mojokerto.
Begitu keluar di
Mojokerto Timur, langsung terasa macetnya, sangat beda dengan waktu lewat tol.
Pantas saja, nyaris setengah jam kami habiskan hanya untuk keluar dari kota.
Akibatnya, kami tiba di Corogo, Rejoso, pada 23.21, saat tuan rumahnya ngorok
seperti mesin diesel. Wajar kalau dia
tak segera mendengar orang menguluk salam.
KAMIS, 12 JUNI
Habis tidur lelap
semalam, kami bangun disergap ketan urap bumbu kedelai. Yang saya inginkan
tempo hari terkabul tiga minggu kemudian. Saya penggemar makanan ini dan Haris
tahu. Haris adalah tujuan pertama saya dalam anjangsana silaturrahmi ini.
Sebelum penumpang
berkemas, saya ngecek mesin. Sempat kaget karena mendapati Colt tidak bisa
distarter, padahal yang saya kontrol hanya rotor dan kabel busi. Saya
utak-atik, mobil tidak mau hidup juga. Saya pun terpaksa 'ngolong', masuk ke
bawah sasis. Astaga! Ternyata, mur dinamo starternya hilang. Jadi, andai saja
saya matikan mesin di perjalanan, pasti langsung tidak bisa distarter lagi.
Untung hal itu saya dapati saat parkir di rumah Haris. Penyelesaiannya mudah
sekali karena hari sudah terang dan mesin tidak panas.
Karena ada usul
penumpang untuk tahu Pondok Darul Ulum Peterongan, saya bawa keliling pondok.
Tentu saja, sebelum masuk, saya telpon dulu salah satu gus-nya: Gus Binhad,
untuk minta izin.
“Misi... saya ada
di Jombang, mohon izin melintas, masuk pondok.”
“Wah, harus
mampir dulu.”
“Makasih, Gus.
Ini kejar tayang, takut kemaleman sampai di Jogja.”
“Wah, mampir saja
sebentar, ngopi dulu.”
Kami masuk dan
bertamu. Mampir di Peterongan tidak masuk manifes, tapi kami mampir juga.
Itulah yang disebut improvisasi. Karena niatnya silaturrahmi, kami dapat
ganjaran, dapat pula secangkir kopi.
Sementara saya
ngobrol dengan gus gondrong, para penumpang yang kesemuanya perempuan itu
ngobrol dengna Nyai Eyik Mustain, ning-nya di situ.
Di Bagor, sempat
kami melihat adegan Sumber nyalip di tikungan, dan nyaris nyenggol kendaraan
lain. Seorang polisi lalu lintas di pos pantau memergokinya. Saya melihat, ia
mengambil sepeda motor dan mengejar. Dalam batin, ‘kena nih bentar lagi’. Dan
benar, Sumber kena beneran. Lalu terjadilah sesuatu yang mesti terjadi. Dalam
hati, ternyata begini kalau melihat peristiwa dari sudut pandang di luar bis,
bagaikan posisi narrator observer dalam teknik point of view.
Sampai di
Wilangan—karena kebetulan saya yang nyetir—saya bawa Colt turun ke bawah,
melewati jalur lama, melintasi rel, jembatan, lalu nanjak, melewati jalanan
yang kotor penuh daun jati karena tidak pernah dilewati. Ada bagian jalan yang
kelihatan menyempit karena tertutup semak-semak. Ternyata, ujung jalan
dipalang, waduh! Nostalgia berakhir di situ. Penonton kecewa.
Sesampainya di
Caruban pukul 10.30, saya parkir sejenak di depan sebuah toko, kira-kira 100
meter dari pertigaan. Tujuannya adalah ngambil foto grafiti petani dan Colt di
atas sebuah tokoh, di seberang jalan. Sayangnya, ia sudah tertutup rerimbunan
pohon. Tahun lalu—ketika melintasi Caruban, sepulang dari Jogja—saya juga
merencanakan seperti ini, tapi gagal karena suasana hujan dan waktunya malam
hari.
Kami masuk kota
Solo saat terik-teriknya. Panas kabin begitu terasa. Panas mesin begitu juga.
Rasanya kami sedang naik oven versi suhu rendah. Kalau sedang kena macet lama,
jarum penunjuk temperatur kadang naik sampai setengah. Tapi, Colt kan memang
begitu, cepat naik dan cepat turun, seperti kolor. Saya berpikir, naik
Colt itu pasnya di daerah dingin saja,
seperti Wonosobo.
Dari Kartosuro,
saya ambil kanan ke arah Boyolali. Jarum bensin semakin menipis, sudah sampai
di garis terbawah. Tapi, saya bisa memperkirakan, yang tersisa masih dapat
digunakan sampai di perhentian berikutnya. Tujuan saya adalah melayani hajat
para penumpang yang kesemuanya merupakan "ibu-ibu PPK", yaitu ingin
tahu proses pembuatan keju Indrakila, ketika saya cerita tentang keju premium
milik Nas Novi itu. Sayangnya, si empunya (Mas Novi) sedang di Jogja. Tapi dia
menyuruh saya agar lanjut saja, tetap ke Boyolali. Kami tiba di sana pukul
15.15.
Kira-kira satu
jam kurang, kami pulang. Mas Warjo—salah satu pegawai Mas Novi—yang mengawal
kami hingga SPBU Kemiri. Saya ngisi pertalite 100.000 (karena hanya itu yang
tersedia selain pertamax). Cari premium susah di sini. Selanjutnya, ia memandu
arah kami menuju Jatinom. Tujuan berikutnya adalah Batur, di Ceper. Kami
dipandu lewat jalan tengah. Maklum, saya memang tidak menggunakan Google
Maps. Susah-susah senang naik mobil tua
tanpa GPS. Suasana perjalanan benar-benar seperti dulu, sering bertanya sama
orang, sangat bernuansa 90-an.
Hampir maghrib,
kami tiba di rumah Mbak Indra (yang merupakan kembaran mbak Atik). Keduanya
adalah putra Pak Jabir, pendiri dan pemiliki CV Teknika Jaya yang beralamat di
dusun Batur, Tegalrejo, Ceper, Klaten. Rumahnya berseberangan dengan masjid
Raudlotus Sholihin yang sangat besar itu. Pertemuan ini sangat mengherankan
baginya karena tidak menyangka saya bakal ke sini, juga bagi saya karena tidak
menyangka bisa sampai ke rumahnya juga pada akhirnya.
Beberapa saat
setelah azan isya, setelah mampir di rumah kembarannya (Mbak Atik), kami pun
pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja. Karena sementara Pak Edi yang
menawarkan tempat bermalam, melajulah kami ke sana. Tiba pukul 21.00, yang lain
langsung cari kasur, sementara saya keluar lagi karena ada undangan minum kopi.
JUMAT, 12 JUNI
Pagi ini kami
berangkat ke Purworejo setelah sarapan. Sebelum lanjut terlalu jauh, kami isi
bensin dulu di SPBU 44.551.12, jalan lingkar selatan, Jogja: pertalite 150.000.
Jalan tidak terlalu padat di pagi hari. Mudah bagi kami mencapai Gamping: titik
percabangan jalan ke Jalan Wates, menuju Purworejo.
Jalan ke arah
barat Jogja adalah yang pertama bagi Colt tapi sudah tak terhitung kali bagi
saya. Jalannya lempeng dan bagus. Pemandangan sangat indah karena dipenuhi
hamparan padi. Pemandangan seperti ini, bagi saya, merupakan “wisata”
tersendiri, lebih menarik dari wisata buatan dan rekayasa manusia.
Yang sempat
membuat kurang indah hanyalah karena mobil mendadak mati di Milir, Pengasih,
dekat pos polisi.
Dalam hati, saya
berkata, “Hei, jangan mogok di sini, Colt. Jangan bikin malu. Kelihatan plat
M-nya, di dekat lampu merah pula. Mohonlah, jangan mogok di sini, pliii...ss.”
Sementara saya minta bantuan Pak Bento, seorang pak polisi membantu saya dengan menghubungkan kepada bengkel (sayangnya, bengkel berhalangan). Dua stuntman beliau datang dalam waktu—yang menurut perhitungan saya—lebih singkat daripada kemunculan Spiderman kalau ada kejahatan. Untung pula, mobil bisa menyala setelah saya utak-atik kabel coil-nya. Rupanya, pengapian ada masalah. Ini kurang saya perhatikan sebelum berangkat. Adalah kesalahan saya hanya membawa sangu nasi dan air, mestinya juga bawa sangu platina dan coil.
Kami jumatan di
Masjid Agung Purworejo. Masjid ini bersejarah. Salah satu tinggalan sejarahnya
ada pada bedugnya, bedug raksasa, yang terbesar di Indonesia (sangat mungkin
juga rekor dunia; dengan panjang hampir 3 meter dan lingkar depan nyaris dua
kali lipatnya). Di situlah kami bertemu Pak Zuhri (Zufan) yang kemudian
mengajak kami bermain ke rumahnya, di Kemiri, Kutoarjo.
Habis ashar, kami
pulang. Di Bagelan, suplai bensin sempat bermasalah tapi mudah diatasi. Dugaan
saya, ada kemacetan di filter. Jadi, cukup copot selang dari tangkinya, sumbat
pakai tangan kiri, sementara tangan kanan menepuk-nepuknya dengan kunci yang
agak besar. Saya biarkan sisa bensin mengalir keluar. Setelah itu, barulah
selang dari tangki saya masukkan lagi. Selesai. Kami jalan lagi.
Tidak ada rencana
untuk mampir di Gamping karena tahun lalu sudah ke situ. Kami mampir lagi di
Pak Bento untuk berterima kasih atas kordinasinya tadi pagi: mendatangkan
bengkel saat kami kena mogok. Pak Bento malah meledek, “salahnya tidak Gamping
tadi...” kata beliau bercanda.
Dari Pak Bento,
kami ke rumah Mas Joni yang tak jauh, hanya tiga ratusan meter dari situ. Saya
dan rombongan numpang menginap di sana. Akan tetapi, ternyata,saya tidak bisa
tidur sore seperti yang lain, melainkan pergi lagi, undangan Edi ke Condong
Catur, untuk memperkenalkan kafe-nya yang sedang digarap. Belum lagi saya
sampai ke lokasi, eh, ada panggilan berikutnya: panggilan dari Om Mamak dan Om
Acing yang mengundang saya ke Sedan, rumah Gus Muwafiq. Kata mereka, saya
ditunggu di sana.
Supaya dapat poin
silaturrahmi sebanyak-banyaknya, dipenuhilah kedua target ini sekaligus: ke
Condong Catur dulu, habis itu ke Sedan. Dan ternyata, yang semula saya
agendakan pulang pukul 23.00, akibat pembicaraan yang melantur, waktu pamit
pulangnya hilang satu angka, yakni angka 3-nya. Kami pulang pukul 2.
Alhamdulillah, Gus Muwafiq menghadiai saya besek atau berkat, yaitu
seperangkat Roland Cube amplifier &
gitar Ibanez. Entah kenapa Gus Wafiq ngasih saya itu secara tiba-tiba, saya
tidak tahu.
SABTU, 13 Juni
Seharian saya di
rumah Mas Joni. Di saat istri dan kedua ipar saya diantar tuan rumah ke pasar,
saya nemeni main anak di rumah Mas Joni: mancing ikan di kolamnya. Ada beberapa
teman dan tamu Pak Joni yang berkunjung. Sembari saya cek kabel-kabel dan
kondisi coil serta mesin dan roda untuk memastikan keamanan perjalanan pulang
nanti malam. Hingga maghrib turun, habis shalat, barulah kami pamit. Kami pergi
menuju Mlangi, sowan ke Gus Memet dan tahlilan di makam Mbah Nur Iman di Masjid
Patoknegoro. Konon, penamaan Mlangi ini berasal dari “mulangi” karena Mbah Nur
Iman itu memilih mengajar ngaji masyarakat dan tidak memilih tinggal di keraton
Mataram.
Selesai dari
sana, barulah saya ke Kafe Basabasi di Sorowajan untuk menghadiri acara diskusi
bersama Prof Abdul Gaffar Karim, bertema “orang Madura”.
AHAD, 14 JUNI
Setelah beres-beres, sehabis acara yang dimoderatori
langsung oleh si empunya kafe (Edi Mulyono), saya tidak bisa segera pergi
karena masih bertemu dengan teman-teman untuk ngobrol. Kami keluar dari kafe pada pukul 01. 15. Warid
yang bawa sementara saya bertugas memantau SPBU yang menjual premium. Ternyata,
tidak ada satu pun yang jual premium. Sampai akhirnya kami mendekati Prambanan,
barulah saya isi lagi, pertalite lagi, 150 ribu lagi (beda dengan tahun lalu
yang sejak berangkat sampai pulang saya isi pertamax. Anda pasti tahu lah
kenapa begini dan begitu!)
kini, giliran
saya yang ambil kemudi. Mobil langsung saya pancal dengan kecepatan rata-rata
75 km/jam. Kalau kecepatan 60 terlalu lambat, kalau 80 berisik karena
buzzer-nya bunyi terus-menerus. Masuk
Klaten, Delanggu, jalan sangat sepi, padahal dengar kabar dari kawan bahwa hari
ini adalah hari terakhir liburan.
Tanda-tanda kemacetan tidak ada.
Selepas Ngrampal,
sempat saya nekat mengejar MIRA S-7022 yang nyalip. Ya, hanya dengan kecepatan
terus-menerus 90 km/jam, hingga beberapa kilometer, Colt ternyata cuman mampu
nutul, tidak bisa nyalip, malah diasapi. Dalam hati, saya bertanya lagi,
“Mengapa kok diasapi? Emang Colt ini bandeng apa ikan bawal gitu kok diasapi?”.
Kata orang: pelan nunggu apa, ngebut ngejar apa. Akhirnya, saya ngendorkan
kabel gas begitu si MIRA ambil kanan, merangkai beberapa kendaraan sekaligus,
dekat hutan. Ciut nyali saya melihatnya.
Masuk Ngawi, saya
berpapasan dengan konvoi sepeda motor dan mobil. Sebagian mereka mengenakan
syal Persebaya. Sebagian lagi mengibarkan bendera perguruan beladiri. Dari
mananya, mau ke mananya, saya tidak ngurus dan tidak tahu. Saya hanya lelah
karena harus bersiah melulu. Hingga akhirnya, saya melipir, mampir di Masjid
Nurul Iman, Karangjati, Ngawi, pada pukul 04.50, untuk shalat subuh.
Setelah shalat
dan beli nasi bungkus di kedai kaki lima di sebarang jalannya, kami berangkat
lagi. Masih tetap saya yang bawa hingga mampirlah kami ke Warung Kopi Fambayung (selama puluhan tahun saya
menyangka tulisannya adalah Flambloyan. Waduh, kacau sekali). Saya hanya ngopi
saja dan beli nasi sebungkus buat istri karena asam lambung melarang dia makan
pedas-pedas seperti nasi pecel yang kami beli tadi.
Saya mengubah
jalur perjalanan ke arah utara, ke Widang, bukan ke Mojokerto, setelah
memastikan bahwa Jauhari—tujuan akhir singgahan kami—ada di rumahnya, di
Campurejo, Gresik. Dari SPBU Tambakberas, mobil dikendalikan oleh Warid. Mata
saya benar-benar sudah pahit. Saya duduk di kiri, tidur dan terbangun ketika
mobil berhenti.
“Mana ini?”
“Babat.”
Saya meneruskan
tidur dan melek ketika ngerti-ngerti sudah sampai dekat Paciran, Lamongan.
Sebelum tidur, saya memang berpesan agar nanti belok kiri di Sukodadi, ikuti
jalan terus sampai ke Jalan Deandels karena itulah jalan tersingkat ke Cak Heri
(Jauhari) yang saat ini mengampu Madrasah Tarbiyatul Wathon, Campuerjo,
Panceng, Gresik.
Kami tiba di
rumah Cak Heri agak siang. Kami ngobrol agak lama. Anggota PKK bahkan sempat
istirahat siang. Setelah disuguhi makan, saat asar kami izin pulang.
Warid lagi yang
bawa karena saya sangat lelah kalau berhadapan dengan jalanan yang macet dan
panas. Kepada sepupu dua kali saya itu saya berkata, “Kamu bagian jalan yang
sumpek tapi pendek, saya bagian yang lempeng tapi panjang.
Adil.”
Masuk di pintu
tol Manyar, kami turun di Pasar Turi. Saldo e toll tinggal 5050. Coba andai
pergi-pulang lewat tol terus, habislah uang kalau cuman 500-an ribu. Kami hanya
masuk tol dua kali. Pertama, dari Warugunung ke Mojokerto (karena ngejar waktu
takut tuan rumahnya keburu tidur) dan yang kedua dari Manyar ke Dupak (karena
cara ini memang yang paling rasional).
Di SPBU by pass
Suramadu, saya isi bahan bakar lagi. Baru di situ ada premiumnya. Saya isi
160.000 (angkanya dibikin tidak ngepas 150 supaya dapat kembalian sepuluh
ribuan). Kami lalu lanjut ke timur setelah singgah sejenak di warung bebek
Rizky II, bungkus semua.
Dari sana, jalan
sangat padat baru terasa. Susah sekali mau nyalip kendaraan di depan karena
mobil terus berdatangan dari lawan arah. Jalan lumayan lengang sejak kami
mencapai kota Sampang. Kami bisa kembali memacu kendaraan hingga buzzer di
balik spidometer Colt ini bisa bunyi nit-nit-nit lagi.
Di Masjid
Al-Hidayah, Larangan, masjid yang airnya paling memuaskan untuk ukuran masjid
pinggir jalan di Madura, kami shalat. Hampir pukul 21.00 saat kami tiba. Tidak
perlu istirahat lagi, kami lanjut lagi dan tiba di rumah pada 21.27 dalam
keadaan bundar dan bulat tak kurang suatu apa. Dan begitu barang-barang
dikeluarkan dari mobil, rasanya saya sedang melihat pemandangan kapal pecah
atau orang yang baru pulang dari Malaysia setelah tinggal puluhan tahun di sana.
Singkat cerita, perjalanan etape terakhir menuju pulang ini lumayan lama, yakni
selama 20 jam (dari Jogjakarta dan singgah dulu di Campurejo, Gresik, via
Widang).
Demikianlah laporan perjalanan muhibah atau anjangsana kali ini. Terima kasih disampaikan kepada semua rekan yang saya kunjungi dan mohon maaf kepada yang belum disinggahi. Sungguh kami merasakan betapa mahalnya nikmat sempat dan sehat itu, terutama dalam rangka silaturrahmi. Barangkali, inilah rahasia mengapa silaturrahmi itu—di dalam Islam—dijanjikan Allah dengan limpahan pahala yang besar sekali.
Demikianlah laporan perjalanan muhibah atau anjangsana kali ini. Terima kasih disampaikan kepada semua rekan yang saya kunjungi dan mohon maaf kepada yang belum disinggahi. Sungguh kami merasakan betapa mahalnya nikmat sempat dan sehat itu, terutama dalam rangka silaturrahmi. Barangkali, inilah rahasia mengapa silaturrahmi itu—di dalam Islam—dijanjikan Allah dengan limpahan pahala yang besar sekali.
DATA-DATA:
Jarak berdasarkan
Google Maps: rumah – Jombang – Karangjati – Solo – Surakarta – Jatinom – Ceper
– Jogja – Purworejo – Kemiri (Kutoarjo) = 747 km
Pulang dari
Kemiri ke Jogja – Jombang – Sukodadi – Paciran - Tarbiyatul Wathon= 459.
Dari Panceng
(Tarbiyatul Wathon) ke Guluk-Guluk = 225 km.
ke sabajarin
Total jarak =
1431 kilometer (jarak odometer biasanya lebih jauh dan lebih sejati karena
citra satelit agaknya tidak ‘membaca’ jarak naik dan turun. Kebetulan, odometer
saya sedang ngadat, sering berhenti kalau berada di angka kembar 99 tapi normal
lagi kalau angkanya berputar lagi)
Bahan Bakar:
Premium 150.000
di Lomaer (Sampang/Bangkalan)
Pertalite 100.000
di Kemiri (Boyolali)
Pertalite 150.000
di ringroad selatan (Jogja)
Pertalite 150.000
Kalasan (Jogja)
Pertalite 100.000
di tambakberas (Jombang)
Premiun 160.000
di Suramadu (Bangkalan)
Sisa di tangki
setelah sampai di rumah sekitar 40%. Perkiraan konsumsi total BBM adalah
750.000.