Perjalann ziarah atau nyekar ke Sunan Cendana (Kwanyar) dan ke Syaikhona Kholil (di Mertajasa), keduanya di Bangkalan (bersama sekeluarga lengkap + ibu) kali ini akhirnya terlaksana setelah begitu lama saya menginginkannya terjadi. Hari itu bahkan dapat dua bonus lagi: bertemu dengan Erwien—yang sebelumnya hanya kenal di Facebook, juga nyambangi adik saya yang tinggal Perumahan Nilam, kota Bangkalan.
Kami berangkat pukul 07:25, lebih cepat 35 menit dari yang dijadwalkan. Persinggahan pertama adalah SPBU Larangan, sementara istri beli oleh-oleh, saya beli bahan bakar. Beginilah cara mengurangi terpangkasnya waktu (di luar durasi waktu perjalanan yang biasanya berkisar 3 jam) mengingat hari itu adalah hari Jumat dan saya memperkirakan shalat Jumat di Kwanyar.
Namun, sampai di Larangan Tokol, kira-kira 5 km lepas kota Pamekasan, masalah muncul. Untungnya, hal itu diketahui persis di depan Masjid At-Taqwa, saat kami berhenti, tepat di samping bengkel Pak Haji Fathor. Maka, beliau ngasih klem bekas tapi masih bisa dipakai—dan menurutnya lebih bagus dari klem yang saya pakai.
Selang radiator yang ujungnya ke pompa air (water pump; "terpom" kata sebagian orang Madura) nyaris lepas. Akibatnya, air buat pendinginan banyak yang terbuang. Hampir 20 menit kami nunggu agak dingin dulu agar bisa mengencangkan kelam. Untungnya, kami parkir dekat rumah Haji Fathor dan dari beliau saya mendapatkan kelam yang lebih bagus, bahkan beliau juga yang bantu memasangkannya.
“Kalau ujung kelam berjalan tidak simetris pada saat dikencangkan, itu tandanya kelam sudah tidak bisa dipakai,” kata beliau ngasih sandi sambil memutar baut kelam.
Pukul 9 lewat sedikit, akhirnya urusan beres dan kami jalan lagi. Sengaja laju mobil agak dibuat lebih kencang oleh saya supaya nutut Jumatan di Kwanyar karena waktu tadi sudah terbuang 15-20 menitan. Tapi, kalau lagi apes, ya, tidak kemana-mana juga, kayak jodoh begitu.
Di Gunung Gigir, tepat di pertigaan akses ke Modung, selang radiator lepas lagi.
di Congaban, Lombang Daja, pertigaan jalan di Alas Gigir, jalan akses ke Modung.
Mesin tiba-tiba mati. Refleks saya mundurkan mobil dengan pelan karena biasanya cengkeraman rem tidak sekuat saat berjalan maju. Untungnya, mobil yang menggunakan rem tromol—seperti Colt ini—tetap bisa ngerem meskipun mesin mati, beda dengan mobil yang pakai cakram dan senil.
Di sebuah kedai, mirip dangau, penumpang istirahat. Gunung Gigir ini dulunya angker. Tak ada rumah sama sekali, sekarang sudah ramai. Dan seperti biasa, saya harus nunggu 15 menitan untuk mendinginkan mesin supaya tidak panas saat nanti kelamnya akan dipasang dan dikencangkan. Sambil menunggu dingin, saya melihat: ibu, istri, dan anak-anak tampak lelah. Mereka duduk di dangau itu. Kasihan, tetapi tentu mereka juga iba melihat keringat saya memercik. Sambil nunggu mesin dingin, rasa cemas menyelinap: sepertinya saya tidak akan nutut shalat Jumat.
Setelah agak dingin, baru saya tahu bahwa permukaan corong pompa air tersebut masih ada sisa lem karet. “Mungkin ini yang menyebabkan selang radiator tidak bisa kuat mencengkeram,” kata saya ngomong sendiri. Maka, saya gosok dengan amplas lalu dipasangi lem yang memang saya bawa. Aman. Radiator diisi air dengan air minum galon yang secara kebetulan juga selalu saya bawa.
Begitulah, akhirnya, kami bergerak lagi dan mobil mencapai pasar Kwanyar pada pukul 11.40, tetap dengan dikumandangkannya azan zuhur tanda pelaksanaan shalat Jumat akan segera dimulai. Kami langsung menuju makbarah, tahlilan di sana, sambil lalu menunggu khatib naik ke mimbar dan memulai khatbah jumatnya.
Pukul 13.00, kami bergerak ke Perumahan Nilam, depan plaza Bangkalan, nyambangi adik saya. Saya tidur sebentar di situ dan berangkat lagi habis shalat asar ke Mertajasa, nyekar ke makbarah Syaikhana Muhammad Khalil bin Abdul Lathif.
Sepulang dari makbarah, setiba kembali di Nilam, saya disambangi oleh Mas Erwien, sesama penggemar Colt yang selama ini hanya saling sapa di grup Colt Facebook.
foto milik Erwien |