Hari ini, saya mendapatkan tugas ngetes radiator ‘baru’ dari Pak Bambang. Mengapa beliau? Karena radiator saya yang lama, yang sudah berusia 40 tahun, yang sudah ‘busuk’, yang tidak bisa diberdayakan lagi karena tetap panas meskipun sudah disogok dan dibersihkan, dioprek oleh beliau. Sarang tawonnya diganti yang ‘baru’ (saya tidak tahu, apakah benar-benar baru atau bekas tapi rada baru). Belakangan saya tahu, bahwa sarang tawon radiator 'baru' yang saya pakai ini adalah 'mantan' radiator kijang super, tiga lapis.
Sebagaimana kita tahu, panas mesin adalah penyakit umum Colt, dan juga nyaris untuk semua mesin kolong (mesin tengah) mobil yang lain. Pasalnya, radiator ada di tengah, tidak berhadap-hadapan langsung dengan semburan angin dari lawan arah (alias dari depan) pada saat melaju. Karena itu, raditor harus sehat. Saya bahkan menyiasatinya dengan memasang bilang penangkis angin (selebar plat nomor kendaraan) di bawah radiator, ditempelkan pada labrang—atau entah apa namanya, itu, lho, balok besi yang menghubungkan roda depan, antara roda kanan dan kirinya. Harapannya, angin yang datang dari arah depan tidak lolos ke belakang, melainkan sebagiannya naik ke atas, menabrak radiator.
Walhasil, kemarin saya coba ke Prenduan, jarak 7,5 kilometer. Hasilnya bagus. Suhu mesin naik tidak sampai satu strip, padahal tanjakannya lumayan, sejauh 5-6 kilometer. Hari ini, saya mencobanya tidak tanggung-tanggung, langsung ke Sidoarjo. Jarak tempuh sekali jalan sekitar 160 kilometer. Hasilnya sama, suhu mesin tetap aman, sekitar 75-80 derajat celicius untuk tanjakan Gunung Gigir, Bangkalan, ruas jalan paling menanjak kalau dari arah Sumenep.
Namun, ada pertanyaan tersisa! Apakah mesin semakin dingin berarti semakin baik? Saya kira tidak karena suhu mesin tidak sama dengan suhu tubuh manusia. Mesin juga butuh panas tertentu sehingga kerja dan kinerjanya berjalan maksimal. Ini yang kiranya perlu dicatat dan diperhatikan. Konon, suhu ideal Colt itu berada di kisaran 80 derajat celcius.
Setelah pulang dan tiba di rumah, saya nelpon Pak Bambang.
Aman, Pak. Suhu mesin stabil. Meskipun berjalan di terik siang, masuk kota Surabaya yang tersedat dalam kemacetan, suhu tetap stabil, hanya bergerak di sekitar 75 derajat celcius. Mentoknya hanya di 80 derajat celcius."
"Jadi, nyobanya berapa kilometer? 10 kilometer?" tanya beliau.
"Eits, jangan salah: tapi 320 kilometer," kata saya yang ditutup dengan tertawa bersama-sama, itung-itung menaikkan imun tubuh dengan cara berbahagia.
Kita tunggu jawaban para suhu dan pakar soal ini.