Rencana menghadiri
pelantikan IPNU dan IPPNU di PP Nasyrul Ulum, Aengdake, dengan naik
taksi (sebutan kami untuk angkutan pedesaan) dipastikan gagal setelah
hingga beberapa menit lamanya menunggu tak satu pun taksi yang
melintas. Akhirnya, saya mengeluarkan mobil Colt dan ngajak satu
orang santri. Naik mobil sendirian itu sungguh berasa anomali.
Makanya, saya tetap pilih taksi kalau hanya pergi sendiri.
Kami melawati jalan yang biasa, dari Luk-Guluk ke Prenduan, lalu ambil kiri, ke arah Sumenep, melewati Jalan Nasional 21. Setelah melewati Pakandangan, dengan kecepatan tinggi, saya pacu kendaraan hinggat nit-nit-nit. Maklum, jalannya bagus sekali. Di Pakandangan, ada ruas jalan yang jarang rumah di pinggir jalan sehingga lebih aman untuk ngebut.
PP Nasyrul Ulum baru berdiri, kurang dari 10 tahun. Nama ini niru atau tafaulan nama lembaga ayah Zamzami sendiri, yaitu Kiai Hamid Mannan. Di Aengdake, Zamzami menjadi pengampu dan pengasuh, hijrah dari rumahnya di Bagandan, kota Pamekasan. Saya bayangkan, Nasyrul Ulum di Bluto ini merupakan sejenis cabang Pamekasan yang ada di luar bumi, yaitu di (planet) Bluto.
Di tempat itu, yang
lembaga pendidikannya telah tersedia mulai dari PAUD/RA hingga SMK, Zamzami
hanya berdua saja bersama istrinya, jauh dari tetangga, sepi sekali. Kini, ada beberapa puluh santri, mungkin ratusan, yang tinggal bersamanya, belum lagi tetangga sekitar kalau siang hari.
Pekarangan yang merupakan jariyah dari orang itu lebar sekali, 1,5
hektar pada mulanya dan sekarang telah menjadi 2,2 hektar.
Di sana, saya diminta dia untuk
ngasih bekal wawasan lingkungan kepada generasai IPNU dan IPPNU yang
baru dilantik dan besok mau melaksanakan Makesta.Saya bicarakan buku saya, Merusak Bumi dari Meja Makan. Hal lain yang saya bicarakan adalah ajakan kepada generasi muda, khususnya IPNU dan IPPNU untuk mengawal pengendalian sampah plastik, setidaknya setiap hendak mengadakan acara/kegiatan.
Lokasi PP Nasyrul Ulum ini sangat eksotis, berada di tempat yang agak tinggi sehingga jika kita bertamu di rumah kiainya, kita dapat melihat langsung ke arah laut, ke selatan, juga ke pulau Gili Raja. Kalau malam hari, dipastikan suasana lebih menarik lagi. Saya pikir, saya harus datang lagi ke tempat itu pada suasana waktu yang berbeda.
Setelah azan duhur dan acara selesai, saya disuguhi makanan dan amplop sebagai ganti bahan bakar dan cuap-cuap. Mobil saya arahkan ke utara sesuai petunjuk dari orang setempat. Kata mereka, lewat di Aeng Baja Raja akan memangkas banyak jarak, meskipun treknya lebih kejam.Kiai Musa, ketua MWC planet Bluto, juga mastikan kalau jalannya sudah bagus, tidak seperti dulu.
Akan tetapi, ternyata tidak seberapa. Itu saya rasakan memang lebih pendek di saat mengemudi, tapi setelah diperiksa, jaraknya tidak seberapa beda. Kesimpulannya, kita sering salah anggap dan salah tanggap hanya karena tidak tahu sesuatu secara detil, secara rinci. Masih untuk ini soal jarak, namun akan serius jika menyangkut iman dan agama.
mohon ijin tanya, kalo mau cari asesoris colt t original dimana ya yang masih jual? mungkin ada info. terima kasih
BalasHapus