foto milik Sonny |
Saya terkadang merasa repot jika ada yang tanya ‘ke Jakarta untuk apa?’. Sekarang masa pandemi, mepet puasa pula. Ini pertanyaan penting. Tapi, yang rasanya harus dibuatkan podcast adalah pertanyaan yang lain: ‘mengapa Anda tidak menggunaan WhatsApp?’ Sebab, pertanyaan ini yang paling banyak dan paling mengusik.
Okelah, itu agenda mendatang. Sekarang, saya jawab pertanyaan yang sesuai topik: untuk apa saya ke Jakarta.
Sebetulnya, rencana awal ke Jakarta, terus ke Cikupa, itu sejak lama. Awalnya, saya kira Cikupa itu Jakarta, ternyata Tangerang dan Tangerang bukan Jakarta meskipun oleh sebagian orang disebut Jakarta. Apakah posisinya sama dengan Wonogiri yang disebut Solo oleh orang Wonogiri di perantauan sebagaimana orang Pematang Siantar—sekadar menyebut contoh—m enyebut dirinya dari Medan jika ada di Jawa? Saya tidak tahu adakah hubungan, tapi rasanya yang ini beda kasusnya.
Salah satu
(karena ada tujuan yang lain yang tidak perlu ditulis di sini) tujuan saya
melakukan perjalanan ke Cikupa adalah mengunjungi Pak Bambang. Anggap saja ini laga
tandang sebab beliau sudah berkunjung ke rumah saya di Madura, akhir Desember
tahun lalu, bersama rombongan Colt Mania Banten, COP Bandung dan Tasik, COBRA
Blitar, MRMC Malang, dll (video bisa dilihat di sini dan sini dan juga yang ini). Supaya dapat
dua atau lebih keuntungan sekaligus, saya pun nawaitu menjajal armada “27 Trans”
yang lain naik daun. Ini perusahaan otobis asal Malang yang mula menerapkan
armada pariwisata dan belajar menjalal trayek jauh ke Jakarta, Ciawi, dan
Poris. Saya mencoba kelas presiden bis ini dari Surabaya, sejenis kasta super
ekskutif bagi Lorena Karina dan banyak PO lain, atau bigtop menurut versi PO Raya.
Di Tangerang, saya tiba Sabtu pagi, 10 April 2021, langsung menuju tempat si
penjemput, Yasir, si perantau Madura yang bukan kelontong di daerah Ciserah.
Tak sengaja, pagi itu, Pak Bambang juga ke sana, memperbaiki radiator, di seberang
RM Gumarang, Jalan Serang, Km 10, Bitung, yang notabene tak jauh dari tempat
saya menuju. Maka, kami pun janji ketemuan di sana, agak siang, sekitar pukul
10.00.
Dari situ, saya
diajak Pak Bambang pulang ke rumah beliau di Cikupa, lanjut ke workshopnya,
Bengkel Ginerva, di Balajara. Pak Bambang pasang radiator yang baru diperbaiki
itu di bengkelnya. Saya nunggu beliau bekerja sambil lihat-lihat bengkel hingga
datanglah Mas Sonny, sore-sore. Tanya demi tanya, ternyata Pak Bambang ngundang
kawan-kawan Colt di seputaran Jabodetabek-Banten untuk kopi darat di rumah Pak
Broto, malam harinya.
Wah, saya merasa
tersanjung, tidak diduga.
Kami bertolak
dari Balajara menggunakan Colt double cabinnya Pak Broto. Wah, akhirnya
kesampaian juga saya naik mobil yang memperolah berbagai penghargaan kontes
ini. Malam itu, kami bermalam mingguan
di rumah Pak Broto yang konon menjadi semacam stanplat bagi komunitas penggemar
Colt di area Jakarta dan Banten: Colt Mania Station.
Kami ngobrol
gayeng di situ, tidak jelas apa yang diomongkan, ngobrol ke sana ke mari, tidak
sekadar tentang Colt, tapi lebih dari itu, yakni persahabatan. Saya yakin,
komunitas yang tidak didasari persahabatan maka besar kemungkinan akan makan
hati para anggotanya karena adanya banyak kepentingan. Semoga komunitas yang
ini tidak demikian, begitu saya berharap.
Selain Mas Sonny
yang datang bareng saya dan Pak Bambang, hadir pula di tempat itu; Mas Makmur
dari Parung, Pak Iwah dan Pak Iman, Abah
Enjat Muhtahi dan Mas Reza Sonny, serta beberapa rekan Pak Broto yang tidak
saya kenal. Ada pula kawan saya dari
Cikeas, Mas Wachyu dan istrinya, Icha, juga putranya, Hanan. Mereka datang dari
Cikeas sekadar ingin bertegur sapa.
“Jauh, Mas,
Sampeyan datang ke mari,” kata saya.
“Masih jauhan
kalau kami ke Madura,” katanya yang tentu saja saya iyakan.
Acara ngobrol
akhirnya bubar setelah satu per satu merasa pulang, entah panggilan istri atau
panggilan pekerjaan atau karena panggilan bantal. Waktu sudah menunjukkan pukul
23.30. Sungguh, ini adalah sebuah kesempatan langka bagi saya yang patut disyukuri:
bertemu dengan teman-teman satu
komunitas, pada masa pandemi pula, di tempat yang sangat jauh, bahkan menjelang
puasa.