Pembaca

25 Februari 2023

Melewati Rute-Rute Baru di Madura


Kamis (23) dan Sabtu (25) di Februari ini (2023) merupakan hari penting dalam kisah perjalanan saya, perjalanan naik Colt T120 khususnya. Ia adalah momen pertama bagi saya melewati ‘trek baru’, yaitu trek yang relatif sudah sejak dari dulu ditargetkan tapi baru kesampaian. Tidak pernah ada kepentingan berarti untuk melintasinya hingga ia terjadi pada hari-hari ini.


Hari Kamis lalu, bersama Paman Naqib dan bibinda Fadilah, saya bisa melewati tersebut, namun dengan sedikit memutar. Perjalanan dimulai dari rumah menuju UIM, Bettet, lewat Pakong (biasanya lewat Prenduan). Dari UIM, setelah menjemput kemenakan beliau, kami lalu balik, naik ke utara, ke Angsanah, ke Bata-Bata, terus ke barat menuju Palengaan. Titik kordinatnya adalah PP Nurus Salam 1, di Banyupelle (adapun pondok pusatnya berada di Saba Tambak, tak jauh dari situ).


Setelah duduk, ngobrol, dan makan, kami pun pamit. Silaturahmi selesai. Arah pulangnya, mobil saya bawa ke selatan, melewati Pasar Aeng Nyonok. Eh, ternyata, jalan di daerah yang relatif sepi tersebut tembus ke Makam Batuampar. Kami pun turun, terus ke selatan, nembus ke Penaguan.

Nah, di Penaguan ini saya terhenyak, kaget, melihat pemandangan sawah selebar mata memandang. Hamparan padi menguning, siap dipanen, mirip kebun gandum, seperti yang pernah saya lewat dalam perjalanan berkereta api dari Berlin ke Leipzig beberapa tahun lalu. Luas begitu luas seolah ujung mata memandang adalah horison.


Di tengah perjalanan, tampak satu pondok pesantren di tengah pedataran itu: Al-Haramain. Sungguh sempurna secara posisi pondok ini, indah dari kejauhan. Lalu, seketika itu pula, muncul lintasan pikiran. Satu hal yang berkelebat adalah perasaan cemas, bahwa pada satu saat nanti, barangkali, tanah-tanah ini akan beralih fungsi, menjadi perumahan misalnya, atau menjadi pabrik misalnya. Lalu, saya berfantasi, berkuranglah lahan padi dan dengan demikian berkurang pula stok bahan makanan masyarakat. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana menyelesaikan alih fungsi lahan produktif seperti ini ke “lahan mati”. Hanya ada satu pertanyaan di dalam kepala: Apakah kita lebih butuh kemajuan dan menyukai krisis pangan? Entahlah.


Dari Panaguan, kami pulang, namun mampir dulu di rumah Uyay, si kemenakan tadi, di Taroan. Total jarak tempuh dari pagi sampai siang ini adalah114 kilometer. Tak terasa, jauh juga rupanya, hampir setara dengan jarak dari rumah ke Tangkel (akses jalan Suramadu yang jaraknya adalah 119 kilometer).


***

Hari ini, SABTU, 25 Februari 2023, tak terlalu diduga, saya kembali melakukan perjalanan ke barat. Kali ini, rutenya lebih menantang, lewat jalur tengah Madura, jalur yang saya cita-citakan sejak puluhan tahun yang lalu dan baru berhasil dilewati hari ini.


Sebelum berangkat, saya mengutarakan niat dengan suara keras: niat silaturahmi, dalam rangka silaturahmi, semoga ia dicatat sebagai amal karena seperti itulah yang diajarkan Kanjeng Nabi. Orang lain punya mobil baru, saya tidak; orang lain punya omset melimpah, saya tidak; orang lain punya gebetan baru, saya tidak; orang lain bikin start-up dan meraih bitcoin, saya tidak; orang lain maju, saya tidak.


Lantas, saya berpikir, saya harus punya sesuatu yang orang lain tidak punya. Apa itu? Punya kesempatan silaturahmu dan mereka tidak. Hanya itulah semangat yang membuat saya berangkat ke Robatal, ke rumah Abdur Rasyid yang kini tinggal di PP Nurul Jadid, Garduwak, Lepelle, Robatal.


Saya berangkat pagi sekali, pukul 07.30. Mobil berjalan ke arah barat dan isi pertalite di SPBU Pakong, di Bandungan. Hingga di Pagantenan, rute hari ini sama persis dengan rute Kamis yang lalu. Bedanya, dalam pada itu, saya lewat ‘jalur baru’, yaitu jalan pintas dari Pegantenan ke Palengaan, melewati Rombuh, yang dapat memangkas jarak menjadi 6,5 km saja dari 14,5 km andaikan saya menempuh jalan kolektor biasa, lewat Palduding STAI Al-Khairat. Hanya saja, rute Preng Taleh yang saya tempuh ini sangat sempit, satu mobil saja, berkelok-kelok dan curam, mana lagi tadi sempat papasan sama truk medium yang membuat saya harus mundur untuk mengalah karena posisi saya yang jalan menurun sementara truknya sedang menanjak.


Sembari menunaikan perbuatan terpuji ini (ceilee), saya mengingat peristiwa di SPBU tadi: sebuah Avanza menyerobot antrian hanya karena saya kurang sigap memutar kemudi untuk berpindah haluan. Sekalian ironis, ironis saja sekalian!


Rute Palengaan ke barat sangat bagus jalannya, lebar dan rata. Baru beberapa meter setelah belok kanan di pertigaan Nagasari untuk mengarah ke Karang Penang, off road pun dimulai. Kami berpapasan dengan truk-truk pengankut bahan baku genteng atau mobil bak terbuka yang berlurub debu. Kontur jalan yang buruk membuat jalan beraspal nyaris tak berbentuk.


Karena saya tidak berbekal GPS dan hanya modal melihat peta lipat Pulau Madura, tadi sebelum berangkat, akhirnya, di pertigaan Glidikan, saya salah arah. Mestinya, saya belok kanan menuju Pasar Karang Penang, tapi instink membawa saya ke kiri, ke Blu’uran, Tlambah. Saya salah arah.


“Ini sih bukan Tlambah, tapi talambhas...” kata saya dalam hati.


Perjalanan ke PP Nurul Jadid, Garduwak, desa Lepelle, akhirnya memakan waktu 2,5 jam. Tiba sana, saya disambut oleh Abdur Rasyid yang ternyata sudah menyiapkan permadani, buah-buahan, dan pelantang suara pula.


“Ini untuk apa?”

“Mohon Panjenengan ngomong tentang sastra atau kepenulisan.”

“Waduh, saya kan cuman mau silaturahmi saja...”

“Iya, emang dan sayang-sayang kalau tidak disertai dengan acara ngobrol.”

“Baiklah.”


Saya pun didapuk tuan rumah untuk ngomong. Karena tidak ada tema, maka bicaranya pun suka-suka, manasuka, sekenanya. Saya bercerita dan memberikan motivasi untuk mereka supaya gemar menulis, mencatat, dan membaca. Tak pelak juga, obrolan berpindah pada visi hidup, keugaharian, limbah makanan, sampah plastik, sampai madah lagu dan shalawat. Jadilah obralan kami melantur ke sana kemari, tapi saya tenang saja karena—berdasarkan raut mukanya—orang-orang itu menikmati, sebagaimana kami menikmati suguhan opor ayam, dan ikan-ikan terbaik di laut.


“Ini silaturahmi memang top banget,” kata saya, nyeletuk, “udah dapat pahala, dapat makan enak pula.”


Setelah shalat duhur berjamaah, saya pamit pulang. Rencana ke Miho tertunda karena dia sibuk dengan gabahnya. Skenario Allah tak dapat ditebak, padahal ke dialah tujuan saya berikutnya, eh, mobil malah menggelinding ke arah Blu’uran hingga kami nembus Pasar Omben, melewati ratusan meter jalan bercor yang membuatnya mirip Trans-Jawa.


Di situ, dekat Pasar Omben, saya singgah ke rumah seseorang yang secara persis saya tidak kenal, tapi dia mengaku pernah sekali bertemu dengan saya di PP Muqri, di rumah Kiai Zainurrahman. Dialah Faisal, asal Pasaman, Sumbar. Dia bahagia sekali rupanya karena di hari itu, dia memang punya rencana ke Guluk-Guluk, untuk main ke saya, eh, kok malah calon tuan rumahnya itu (yaitu saya sendiri) yang justru yang menjadi tamunya. Rumahnya besar sekali, mirip futsal lah.


“Sudah, ya, sudah cukup sebagai pertemuan pertama.”

“Baik, terima kasih atas kunjungannnya, Ra,” kata dia.

“Soalnya, saya harus ngisi pengajian nanti pukul 16.00, di rumah.”

“Baik, baik. Semoga ada kesempatan bertemu lagi.”


Akhirnya, kami pun pulang dan benar, kami tiba di rumah pukul 15.50. hamdalah, saya diberi kesempatan untuk ngaji Risaltul Muawanah sesuai dengan waktu yang dipertimbangkan. Hari ini saya benar-benar bahagia. Silaturahmi itu memang tidak main-main rupanya. Pantesan, silaturahmi itu termasuk satu dari beberapa pesan yang diperintahkan rasul kepada Heraklious saat memperkenalkan Islam. Dan pada pertemauan tadi, saya merasa telah melakukan ibadah 60 tahun karena telah membuat hati Faisal gembira: dia ngajak mampir, saya mampir benenran.


Total jarak 140 kilometer selesai dilalar hari ini.







Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...