Pembaca

22 November 2025

Hadir Undangan ke Badridduja


 

Trip 25-26 Oktober 2025

Menempuh perjalanan jauh sambil mengemudi mungkin biasa bagi sopir bis. Jarak 500 kilometer bahkan ada yang nyopir sendirian, baru 800 kilometer dibagi dua: sopir satu dan sopir dua. Kebiasaan dan ketangguhan membuat tubuh terlatih begitu dalam menjalani profesi berat ini, bahkan andaipun perjalanan dilakukan semalam suntuk.

Mengemudi sendirian adalah hal lain. Sekuat apa pun fisiknya, ada aturan 3 atau 4 jam harus rehat, baik sekadar memutus konsentrasi dengan duduk di teras masjid selama 10 menit, grounding (melepas alas kaki dan menyentuhkan telapaknya ke tanah secara langusng), maupun santai-santai saja sambil ngemil di tepi jalan. Intinya, yang disebut istirahat itu adalah berhenti sejenak atau lama.

Di usia 50 tahun, sementara usia mobil hanya selisih 5 tahun, yakni 45 tahun, saya tidak bisa melakukan penyetiran kendaraan secara langsung dan terus-menerus seperti 10 tahun yang lalu. Dulu, berani saja saya melanggar aturan 3 jam berhenti dengan mengemudi non-stop 9 jam kalau saja mau, misalnya. Saya memilih sikap hati-hati, mengendalikan tubuh lebih bugar demi keselamatan bersama. Dulu pun saya begitu, selalu rehat dalam perjalanan panjang.

Rencana menghadiri acara walimah Maisur putra Kiai Mustofa Badri bin Masduqi di PP Badridduja awalnya saya memilih AKAS IV tujuan Muncar jam terakhir yang basanya sampai di Kraksaan sebelum subuh. Rencana ini gagal. Rencana tinggal rencana dan berubah mendadak karena satu dan lain hal. Salah satunya adalah faktor anak. Terpaksa saya mengeluarkgan Colt dari garasi untuk menganggkut empat orang ke sana.

Saya cek: ban kiri depan dalam kondisi tidak aman, tipis bagian luar bahkan sudah tampak benangnya. Maka saya memakai ban serep yang ternyata masih sangat baru meskipun usianya sudah lama, sudah hampir 4 tahun. Ganti ban, kencengin baut, cek tekanan angin, baru berangkat setelah shalat isya, pukul 19.30.

Setelah SPBU Kaduara Barat (yang sering disebut “SPBU Talang” padahal tidak terletak di Talang), saya singgah sejenak untuk beli cemilan dan lain-lain dan isi BBM. Kurang lebih 15 menit, saya berangkat lagi. Kondisi fisik terasa prima karena tidur siang sangat cukup.

Belum sampai kota Pamekasan, truk cabe Traga bikin emosi. Dia memotong mobil saya di Pasar Pagendingan, nyalip dalam kondisi mepet lalu menggunting ke kiri, tepat di depan saya dan tidak boleh tidak saya harus ngerem mendadak. Untung tidak sampai memaki di mulut, namun dalam hati saya tidak terima. Saya pun berdoa: “Ya, Allah, jika Engkau akan berikan rezeki sehat dan sempat kepada si sopir Traga, kasihkan saja itu ke saya duluan karena dia telah merampas hak saya di jalan, barusan! Biar dia belakangan saja mendapatkannya.”

Saya agak heran dengan mobil-mobil pengangkut cabe ini. Mengapa mereka cenderung
arogan, ya? Ngebut boleh, tapi jangan rusuh sama orang lain. Mengapa saya bilang “cenderung”? Ya, karena berkali-kali saya mengalami seperti itu. Di lampu merah Tambung saya menyalipnya dari kiri karena ia terjebak konvoi mobil di lampu merah sementara saya sedang dalam posisi versneling ke-3. Akan tetapi, namun di perempatan Baru Rambat, Kota Pamekasan, nah, dia bikin ulah lagi: menyalip persis saat di tikungan sehingga tentu saja ia melebar. Kalau saja saya tidak ngerem, pasti sudah adu kambing dengan kendaraan yang datang dari arah depan, dari selatan. Luar biasa IQ sopir ini! Luar biasa apanya, Pemirsa?

Saya hanya satu korban yang dirugikan. Kalau menilik cara mengemudinya, sepertinya ia selalu melakukan perbuatan onar seperti itu berkali-kali, bisa jadi per 5 menit atau bahkan kurang dari itu. Entah meggapa saya beranggapan seperti itu. Perasaan saya yang mengatakannya demikain setelah melihat cara mengemudinya saat membuntutinya dari belakang.
 
Kondosi seperti inilah yang sering membuat fisik menjadi lelah, bukan sekadar karena duduk lama dengan mata mendelik ke depan terus-menerus. Rasanya, energi terkuras banyak. Tenaga habis bukan ditelan kopling yang agak keras atau stir yang belum power steering. Emosi harus dijaga. Ia sering menghabiskan, bahkan bisa menghabisi. Ih, ngeri.

Saya masuk Jalan Kedung Cowek pukul 23.30. Hujan dan angin sangat deras sehingga saya harus berjalan sangat pelan saat posisi berada di atas Jembatan Suramadu. Memang, tidak ada peringatan bahaya. Jembatan masih dibuka, tapi saya berhati-hati saja.

“Aduh!” Saya berseru keras.
“Ada apa?” tanya istri spontan.

Sebelum saya menjawab, mobil yang mendadak bergoyang adalah jawabannya. Saya menabrak genangan air yang rata di semua permukaan jalan, persis setelah turun dari cause way jembatan. Kala itu, yang lebih menakutkan daripada aquaplaning (efek puntiran kemudi akibat menabrak genangan) adalah mesin mati. Hamdalah, mobil masih bisa berjalan normal dan tanpa adanya tanda-tanda ketersedatan. Artinya, delco aman, kondensor aman.

Saya segera menelpon Bemo, kawan saya, untuk menanyakan kondisi apakah jalan Soekarto-Hatta tergenang banjir. Mungkin karena sudah malam, dia mungkin sudah tidur, telepon tidak diangkat. Akhirnya, rencana diubah karena khawatir ada banjir di sana. Saya memilih masuk tol dari GT Dupak 3 saja.

Perjalanan lewat jalan Tol dari Dupak menuju Kejapanan dan Tol Gempol bahkan hingga Gending aman dan lancar saja. Saya mengemudikan mobil dengan kecepatan rata-rata 85 - 90 km / jam. Walhasil, saya masuk lokasi PP Badridduja pada pukul 01.30, persis 6 jam dari rumah untuk rute 285 km.

* * *

Setelah usai acara siang, saya melanjutkan perjalanan ke PP Nurul Jadid untuk menyambangi anak perempuan yang mondok di sana. Sampai maghrib di sana, lalu kami pulang setelah shalat isya. Saya sempat istirahat sebentar di rumah Ustad Abdul Mannan, salah seorang kawan yang rumahnya persis berdampingan dengan rumah pengasuh PP Nurul Jadid daerah Al-Mawaddah. Istirahat 30 menit rasanya sudah puasa dan energi buat melek sampai tengah malam rasanya sudah cukup.

Dalam perjalanan pulang, saya menempuh rute yang sama persis. Durasi waktu dan kilometer pun sama. Semua rute dilalui dengan lancar tanpa kendala, tanpa ada hujan deras lagi.

Hamdalah, perjalanan kali ini seakan menjadi penanda bagi saya bahwa nyopir sendirian untuk rute agak jauh ternyata masih mampu, lebih-lebih menggunakan mobil yang kadang bikin cemas kalau sedang bret-bret-bret karburatornya. Selama kurang lebih 7 tahun terakhir, saya selalu mengemudi bersama saudara sepupu yang membantu mengganti stir manakala saya lelah. Akhir Agustus yang lalu (28-29 Agustus 2025), saya mencoba mengemudi engkel ke Jogjakata dan kini dicoba lagi ke Probolinggo, ternyata punggung saya masih mampu duduk lama dan mata saya masih kuat nanar menatap serbuan biled dan projie. Yang berubah hanya bagian betis, agak sedikit ngilu kalau terlalu lama duduk di kursi pengemudi sehiunga ketika turun dari mobil berasa linu-linu.

CATATAN: saya tidak mencatat BBM secara persis, namun berdasarkan biayanya (50 liter) untuk jarak 592 kilometer dan masih ada sedikit sisa, kira-kira konsumsinya adalah 1:12 lebih sedikit.

FOTO tidak ada sama sekali karena tidak bawa kamera dan tidak bawa HP pintar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hadir Undangan ke Badridduja

  Trip 25-26 Oktober 2025 Menempuh perjalanan jauh sambil mengemudi mungkin biasa bagi sopir bis. Jarak 500 kilometer bahkan ada yang nyopir...