Awal tahun 2005, saya pergi ke Surabaya. Saya bawa Colt T-120 pick up untuk mengangkut barang, dari di Bulak Banteng ke Guluk-Guluk. Saat itu, saya bersama Man Farhan. Beliaulah yang mendampingi saya, lengkap dengan peralatan tempurnya yang diletakkan di bak belakang mobil. Sejenak, mobil ini kelihatan sebagai “bengkel berjalan”.
Dalam perjalanan ini, kami tidak membawa STNKB karena sebelumnya sudah kena tilang dan tinggal nunggu panggilan pengadilan: kena tilang karena di mobil itu tidak ada sabuk pengaman.
Kami berangkat dari Guluk-Guluk habis shalat subuh. Ini adalah cerita menarik, karena suspense telah dipasang pada paragraf pertama:
Seperti lazimnya, sebelum dibawa pergi, mesin mobil dipanaskan. Sambil lalu kami shalat subuh dulu. Tapi, tiba-tiba mesin mobil terdengar “pincang” (tidak stationer). Begitu aku mendekat, aku terkejut. Bau bensin tiba-tiba menyeruak. Kulihat, di bawah mobil bagian depan, ada tumpahan “air”. Ough! Itu bensin, bukan air. Rupanya, baut tap bensin di karburator copot dan entah jatuh di mana, tumpahlah bensin di tangki. Kulihat di indikator bensin; di bawah strip separo. Payah! Tak kehilangan akal, karena ini memang mobil gendeng, Man Farhan menyumbatnya dengan baut sembarang, plus ganjal kardus. Aman, kami pun berangkat.
Benar seperti dibilang, cerita “Enambelas Jam Bersama T-120” ini memang akan menjadi cerpen yang menarik. Kejutan demi kejutan pun terus terjadi menemani perjalanan kami:
Sampai di Prenduan, tiba-tiba lampu depan (head lamp) mati. Utak-atik sebentar, nyala kembali. Sampai di Camplong, kami mengisi bensin: full tank. Tapi, lagi-lagi sial! Bagian atas tangki bensin bocor. Bensin pun menetes. Sekarang jadi ketahuan: mobil pick up ini tidak pernah beli bensin full tank, melainkan eceran di sepanjang jalan, atau di sepanjang hidupnya. Baru keluar dari pom bensin, eh, ganti rem yang nyeped. Macet. Om Farhan beraksi: utak-atik sebentar, semua berjalan normal. Memasuki daerah administratif Bangkalan, hujan mengguyur dan tiba-tiba wiper kaca depan (karena ini mobil bukan tipe LGX, meskipun tunggangannya serupa Nissan Serena, tidak punya wiper untuk kaca belakang), macet. Cukup menggoyang saklar wiper sedikit, hup! Simsalabim, beres. Wiper berjalan lagi: ketahuan kalau instalasi kabel di mobil ini “ga-oga kabbi” (semrawut).
Mobil T-120 kami, yang rupanya belum merasa capek setelah melakukan perjalanan nonstop sejauh 145-an KM, kini berisitirahat di atas ferry. Mesin dimatikan. Kami turun dan naik ke geladak, menikmati angin deras di atas laut, sambil mengisap rokok dan menyeruput “kopi-yang-selalu-hangat” (meskipun ndak pakai termos, tetapi diletakkan di belakang jok, di atas mesin). Tetapi, saat ferry mau bersandar, kejutan terjadi lagi. Mobil tidak mau distater. Saya tegang. Keringat memercik. Di depan truk, belakang truk, kanan mobil box, waduh! Untunglah, Man atawa Om Farhan menghibur,
“Kalau naik T-120 ndak boleh tegang, semua pasti bisa diatasi! Ntar distater, ya, setelah saya beri aba-aba!” katanya sambil tersenyum.
Man Farhan menghilang, berjongkok di bawah bak. "Tok..tok.tok…" Saya mendengar dia mengetuk-ngetukkan benda keras dengan benda yang juga tak kalah keras. Dinamo stater diketuk dengan kunci ban! Ajaib, setelah itu, stater normal kembali. Kami keluar dari ferry dengan tampang seorang calon idol yang baru selesai audisi tanpa kesalahan.
Itulah kisah saya bersama Man Farhan naik colt-T120. Perlu diketahui, mobil yang saya bawa ini awalnya station wagon tahun 1977 yang dibeli dengan harga 11 juta. Barangnya jelek. Setelah bodi dipotong dan diganti dengan bak pick up, dicat ulang, dipermak, mobil jadi cakep. Total biaya keseluruhan Rp 23 juta. Maunya, pick up ini dijual dalam keadaan bagus, tetapi karena kebutuhan angkut-angkut bahan material, ya, dipakai juga akhirnya. Karena mungkn kurang terawat, ring sekernya patah karena—ini juga mungkin dan secara kayak-nya—terlalu sering buat dorong di pagi hari. Nah, setelah mangkrak kurang lebih 4 bulan lamanya, ganti ring seker, pick up ini kemudian kami bawa ke Surabaya (seperti cerita di atas itu), tanpa lebih dulu dicek lampu, rem, dan perlengkapan lainnya. Entahlah, ada di mana mobil itu sekarang, sudah dijual. Oh, T-120…
Eh, masih ada lagi…
Kami pulang dari surabaya dengan senang. Karena semua barang bawaan terangkut dan mobil berjalan normal. Temperatur mesin hanya satu strip: kondisi stabil. Hanya saja, tiba-tiba di Baranta, saya lihat indikator temperatur mesin naik. Kukira itu karena ada tanjakan panjang mendekati Larangan Tokol.
"Man, ini kontrol panasnya naik," kulaporkan pada Om Farhan.
“Biasa itu, ntar turun lagi!”
Tetapi, saat tiba di jalan datar dan indikator terus menanjak, "Tapi, ini terus naik, man. Ini sudah menunjuk setengah!"
Dengan tenang, man Farhan berkata, “Nah, kalau begitu, ini baru masalah namanya. Parkir!”
Mobil kuparkir, bersiah ke kiri, di bawah pohon asam besar, seberang masjid At-Taqwa Larangan Tokol (Belakangan saya tahu, bahwa tepat di samping masjid At-Taqwa itu terdapat bengkel Haji Fathor yang memang sering mengerjakan perbaikan mesin Colt T-120). Setelah jok dibuka, kelihatanlah “air mancur”! Rupanya, l
ower hose (selang bawah radiator) sobek terkenal kipas. Apa boleh buat, sementara Man Farhan membuka mur-baut kelam selang, saya berangkat ikut angkudes ke toko onderdil di kota Pamekasan. Sudah sore memang, tapi untung masih ada yang buka. Selesai adzan maghrib semuanya berhasil dikerjakan. Alhamdulillah.
Sekali lagi!
Demikianlah, akhirnya kami pulang ke rumah dengan hati yang lapang. T-120 telah memberikan pengalaman menarik dan berharga bagi saya dalam hal berkendara dan bersabar. Sejak saat itu, saya dapat mengurangi sedikit demi sedikit rasa kekagetannku. Setelah kisah itu, saya pernah mengalami: kehabisan bensin tengah malam, ban pecah dan tidak ada dongkrak dan kunci roda; ban kipas dinamo ampere putus di terik siang dan jauh dari toko; ah, masih banyak cerita yang lain. Saya terima apa adanya (Menggerundel? Ya, menggerundel sih iya, tapi gerundelan itu saya
klik-kanan>properties>hidden; saya simpan saja dalam catatan kaki :-D).
Anda juga punya pengalaman menarik? Mari berbagi cerita…