Setiap kali melihat anak muda berperilaku serampangan di jalan raya, atau berjalan biasa tetapi tidak menggunakan lampu di malam hari, atau tiba-tiba berbelok tanpa didahului lampu sein, berhenti mendadak tanpa lampu rem, atau, intinya, ugal-ugalan di jalanan raya, ingin rasanya saya menjadi pak polisi. Lalu, saya akan memberi tindakan dan penyadaran mereka semua itu. Ini adalah keinginan bawah sadar. Saya baru sadar sekarang dan tahu alasannya, mengapa sejak kecil dulu saya suka menonton filem serial di TVRI, Chip’s, Hunter, sampa filem kartun Police Academy.
Namun, sejak pukul 09:15 (14 Mei 2009) keinginan itu pupus sudah. Peristiwa ini bermula ketika si Titos yang saya kemudikan dengan penumpang 4 orang, diberhentikan oleh sebuah operasi lalu lintas di Jalan Panglegur, Pamekasan, seberang jalan RSUD. Seorang petugas menyetopnya, menanyakan surat-surat, dan seterusnya. Kira-kira, percakapan itu begini modelnya.
“Surat-surat?” pintanya.
Saya memberinya SIM dan STNKB.
“Taksi, ya?”
Saya menautkan alis, “Bukan, Pak. Ini plat hitam. Pribadi.”
Saya hendak turun tetapi petugas itu menyentak sabuk keselamatan, dan copot karena memang tidak terpasang. Maklum, saya membukanya karena saya hendak turun dari mobil sebelum petugas tersebut menghampiri.
“Nah, ini! Anda tidak memasang sabuk keselamatan! Mari ikut saya.”
Petugas itu melangkah, menjauh, membawa SIM dan STNKB saya lalu menyerahkannya kepada petugas yang lain. Saya memaklumi perwira polisi tersebut untuk menuduh saya berlaku demikian karena dia tentu mengambil pandangan umum, bahwa rata-rata pengemudi di sini masih tidak terbiasa menggunakan sabuk keselamatan. Akan tetapi, tentu saya tidak terima jika dibilang saya tidak menggunakan sabuk keselamatan karena dalam kenyataannya saya memakainya dan baru melepas beberapa detik sebelum dia mendatangi saya.
“Lho, saya kan mau turun dari mobil, Pak, tentu sabuk ini harus dilepas dulu agar saya bisa keluar.”
“Alaaah! Alasan. Pintar-pintarnya Anda bikin alasan. Sopir-sopir di sini suka begitu.”
“Wah, tidak begitu. Saya jujur, Pak.”
Maka, kami pun adu mulut. Saya menahan diri untuk terus berbicara pelan, namun petugas berinisial DH itu tetap temperamental (saya masih sopan dalam menulis untuk tidak menyebutnya “membentak-bentak”).
“Malu sama peci haji Anda!” Perwira itu melihat muka saya. Ya, kebetulan, saya menggunakan peci haji ketika itu, bukan peci hitam nasional sebagaimana biasanya saya pakai setiap hari. “Alasan Anda itu biasa, modus operandi sopir-sopir di sini,” tambahnya.
Barulah, kala itu saya benar-benar tidak dapat menahan rasa marah.
“Pak, kalau soal tilang jangan bawa-bawa peci, Pak!”
Wajah saya, mungkin jika Anda melihatnya, akan bersemu merah. Saya terus mengikuti pak perwira yang terus menghindar ketika saya desak dan saya tanya, mengapa dia menuduh saya tidak menggunakan sabuk keselamatan padahal saya melepasnya justru karena hendak turun dari mobil, untuk menghormatinya?
Sejujurnya, membicarakan safety belt (sabuk keselamatan) sebagai salah satu bentuk upaya keselamatan berkendara sungguh ambigu. Sabuk keselamatan yang “dipasang sendiri” di mobil-mobil tua, atau mobil baru sekali pun tetapi bukan built- in dari pabrikan, seperti pada Suzuki Carry atau Mitsubishi L300, lebih bersifat simbolis, tak ada gunanya. Fungsi sabuk keselamatan adalah menahan badan secara otomatis dari benturan dengan stir atau dashboard jika terjadi hentakan/tabrakan. Tapi sabuk-sabuk keselamatan yang dipasang sendiri, seperti pada Colt T-120 ini, pada umumnya tidak memiliki fungsi seperti itu karena sabuk keselamatan tersebut tidak berpegas. Sebetulnya ini kenyataan yang lucu, tapi nyata dan menegangkan.
“Anda itu harus minta maaf!” Tiba-tiba suaranya meninggi.
Agar tidak membuat urusan jadi panjang walaupun saya bisa menjelaskan alasan yang masuk akal, saya mengalah, tetapi saya katakan “sorry” kalau harus berdamai dengan membayar uang.
“Saya minta maaf, Pak. Saya mengaku salah.”
Petugas tersebut tidak mempedulikan saya. Wajahnya tetap berasa masam. Namun, pada akhirnya, saya membuat-buat anggapan sendiri, bahwa dengan tidak ditanggapi kembali, berarti permintaan maaf saya telah dikabulkan meskipun dengan berat hati.
Saya menghampiri petugas lain yang sedang berdiri di depan sebuah sedan berwarna putih-bitu dan bertuliskan “patroli” itu. Bersamanya, berdiri sepasang pria-wanita yang kelihatannya punya masalah dengan SIM.
“Mana STNK saya?” Saya meminta.
“Bagaiamana kata Bapak?”
“Sudah beres,” pungkas saya sekenanya.
Maka, petugas itu memilih satu STNK di antara surat-surat “siap ditilang” yang menumpuk, berjejer di atas kap mobil sedan patroli itu.
“Ini. Hati-hati di jalan!”
* * *
Hari itu, STNK saya tidak jadi ditahan. Saya pergi dengan wajah sumringah namun tetap membawa perasaan dongkol karena tuduhan tak bertanggung jawab dan penyebutan songkok yang dihubung-hubungkan dengan ketidakdisiplinan tadi. Hukum formal memang selalu diambil berdasarkan pengalaman kebanyakan. Saya paham soal ini. Namun, mengapa petugas tadi marah-marah tanpa alasan kepada saya? Ini yang saya cari jawabannya.
Memang benar, ternyata bukan saya saja yang merasa tidak terima diperlakukan seperti itu di muka umum, bahkan istri saya dan beberapa penumpang perempuan lain yang duduk di kursi belakang dan menyaksikan cekcok itu secara langsung juga merasa dilecehkan. Ya, kami semua tidak rela diperlakukan begitu oleh perwira polisi tersebut.
Saya mengajak mereka buru-buru pergi karena khawatir akan terjadi cek-cok dan adu tensi tinggi lagi. Dengan gaya suami siaga yang bijak, saya bilang, “Mungkin si bapak petugas itu sedang dirundung masalah dengan istrinya sebelum pergi bertugas. Akibatnya, ya, emosinya tumpah di jalanan..”
Masuk gigi 1, lepas kopling, tancap gas, dan kami melaju. Titos menderu…
Saya tiba di tujuan dalam keadaan pikiran masih cpaek, namun juga bersyukur karena daftar tilang saya masih nihil. Akan tetapi, begitu saya merogoh saku baju, kedapatan uang 20.000. Saya hitung ulang semua uang: lengkap, kap, kap! Lalu, milik siapakah uang 20.000 yang tak jelas itu? Saya menduga, uang-bernasib-malang ini milik pelalu-lintas lain yang melanggar yang tidak mau ditilang dan mereka memilih nyogok, berdamai dengan uang duapuluh ribu.
Astaghfirullah. Siapakah tuan pemilik uang syubhat ini?
Saya membatin, “Apakah milik muda-mudi tak berhelem, ya? Ataukah punya sopir colt pick up yang muatannya berjibun itu-kah? Entahlah, yang pasti, saat saya ambil SIM/STNKB dari meja kap sedan mobil polisi itu memang tergeletak bersama SIM/STNKB kendaraan-kendaraan lain yang kebetulan juga terkena pasal pelanggaran.
Waduh…
Saya serahkan uang itu kepada seseorang sambil berkata, “Terserah mau dibagaimanakan,” kataku sambil menyerahkan uang itu. “Tapi, jangan sampai perutmu, perut istrimu, dan perut anak-anakmu, kemasukan makanan dari uang yang tak jelas nasabnya ini.”
“Kalau masuk ke telinga?” tawarnya.
“Maksudnya?” Saya balik bertanya.
“Dibelikan pulsa, misalnya, buat nelepon?
Semakin pusing kepala saya mendengarnya.
Catatan Tersisa:
1. Image Colt T-120 adalah omprengan. Jadi, mobil plat hitam pun dikira ngompreng.
2. Barangkali, saya juga disepelekan karena perwira itu melihat SIM-ku yang “masih A” dan saya dianggap baru belajar mengemudi (meskipun sudah 3 kali bikin SIM A). Menyesal saya tak ambil SIM B-2 saja biar dikira sopir bis/tronton.
3. Bukan hanya kanker yang berbahaya, cara pandang bahwa pengemudi lebih rendah derajatnya daripada aparat polisi itu juga tak kalah berbahaya.
4. Lain kali, kalau mau ke kota aku bawa Grandis atau Mazda RX-ku saja, ah, meskipun DURNO! :)
Komentar tersisa:
BalasHapus1. Bad image adalah salah 1 resiko 'salafuna-s shalih'...
2. Perlu segera dimonitor, ganti!
3. Kayak film2 action Ra, serinah biyasanya mang selalu dipandang sebelah mata sebelum akhirnya ketaun bahwa ia jagoan... It's another way to gain heavenly gift, "al-ajru bi qadri-t ta'ab", semoga, amin...
4. O, ada seorang Grandis cantik maen film DURNO?
Ngantos se anyar... [nampa cangkem sambi sesekali ngorkor...]
BalasHapusklo saya lebih aneh lagi, semenjak pakai colt T120 tidak pernah kena tilang sekalipun, tapi ketika pakai mobil lain (semisal APV, kijang, dan mobil keluaran baru lainnya) mesti kena tilang. hehehe, colt t120 emang mantabh untuk berundercover.... (Dede Dian)
BalasHapus@Partelon
BalasHapus1. wah...wah....
2. langsung menuju TKP
3. berarti saya seri-na? ha..ha...
4. he...he...
Mare pon...LONAS.
@Dede Dian: cocok, tapi hari ini saya sedih karena bokong colt-ku nubruk tembok, he..he....
Masih lumayan gus...polisi diberi uang kertas..Polisi pernah saya kasi uang receh mereka mau....dasar keparat sorry aparat
BalasHapus@Anonim: hehe... wah, luar biasa kalau sudah dikasih uang receh, nyaris tidak masuk aqol
BalasHapuspaling colt tu identik dengan mobil kaum alit mas titos,,,kmarin juga almi sya kelebihan muatan di stop ma pak polisi tk ksih 5000 udah lgsug jalan,,,,sya bawa gabah 2.6 ton,,,padahal di uji kir cuma 1.8 ton,,,salam ngawi timur,,,,colt ttp eng ing eng....
BalasHapus@Anonim: pengalaman naik Colt sungguh berkesan. Hingga hari ini saya masih menggunakan colt untuk keseharian. Saya sudah tidak pernah kena ceagatan lagi sekarang
BalasHapusKecebong coklatku ( colt pikup ) lain cerita, sewaktu lewat di ring road pas ada ops lalin, ak ditilang. Terbayang Rp 30 rbu ilang nih, lha wong stiker kir ndak ditempel, sabuk pengaman ndak ada. Priiiiit seorang polantas menghampiri, yang ditanya surat2 sma sim. Semua beres, trus polantas tsb jongkok di bak blakang, kyaknya nyocokin noka kendaraan, lalu poltas tsb balik lagi ke kabin dan bertanya, mobilnya biasa muat apa ? Ak jawab jasa angkut pindahan.' Mobilnya tak beli ya kamu ganti L 300 saja !' Katanya. Ak jawab ndak dijual karena sayang. Trmakash pak polisi
BalasHapus@Prasanto: hahahaha... senang saya mendengar cerita ini. Kalau saya belum pernah mengalami seperti yang Anda ceritakan itu.Yang sering adalah dicegat calon penumpang karena dikira angkutan umum. Maka dari itu saya tempeli stiker besar di kaca depan : "PARIWISATA"
BalasHapushttp://titosdupolo.blogspot.com/2011/11/colt-pariwisata.html