Pembaca

05 Mei 2011

Sekali Dorong, Dua-Tiga Kota Terlampaui


Catatan Perjalanan ke Situbondo – Banyuwangi – Jember

“Jadi, kamu tetap mau bawa Titos ke Jawa?” tanya ibu saya sambil menautkan alisnya, pagi itu.
“Iya, memang kenapa?” Saya balik bertanya. Saya tahu, Ibu agak trauma dengan kondisi “Titos”—nama panggilan kesayangan saya untuk Colt—ini mengingat perjalanan ke Jawa dengan beliau sebelumnya sempat mogok beberapa kali (kisahnya ditulis dalam bagian lain di buku ini). “Kan yang dulu itu kita berangkat tanpa cek kondisi kendaraan lebih dulu, Bu,” Saya berdalih. “Perjalanan kali ini tentu beda, Bu. Platina dan kaki-kakinya sudah dikontrol.” Saya memberikan penjelasan tanpa berpikir panjang, apakah ibu saya mengerti dengan penjelasan saya atau tidak.
“Tidak takut mogok?” Ibu ragu. “Kamu bawa sendiri? Tidak ngajak sopir?”
“Tidak. Insya Allah saya bisa mengatasinya sendiri.”

Ahad, 11 Juli 2010: Berangkat

Tubuh saya masih sangat capek. Semalam saya tidur lebih larut dari seharusnya. Sehabis Isya’, setelah acara peringatan doa bersama 1000 hari wafat ayah, saya masih menghadiri undangan haflatul imtihan, perayaan tutup tahun pelajaran di Madrasah At-Tarbiyah, di desa sebelah. Tak sempat tuntas merampungkan acara tersebut, saya izin pamit kepada tuan rumah karena pada malam itu juga satu acara lagi menunggu: diskusi epistemologi Islam bersama Dr. Samsuddin Arif dari International Islamic University (IIU), Malaysia, di aula Madrasah Aliyah Putri Annuqayah. Acara ini terpaksa dilangsungkan di malam hari karena waktu yang serbamepet. Semua acara di atas itu saya hadiri dalam keadaan persiapan mengemudi ke Jawa.


Pagi itu, setelah pamit ke Ibu, kira-kira pukul 9 lewat sekian, saya mulai menjalankan Colt dengan perasaan yakin. Kholis di samping kiri saya dan Abdullah di kursi tengah. Sementara itu, saya duduk di belakang kemudi dengan angka odometer tertera 8853/4. Bayangan pergerakan angka-angka yang akan terus berputar hingga kisaran 300 kilometer lebih langsung melahirkan sensasi awal yang berbeda di dalam hati.
 
Kira-kira 45 menit perjalanan dari Guluk-Guluk, mobil transit sebentar di Bagandan (8889/8 KM), Pamekasan, untuk menaikkan penumpang; istri dan anak saya, juga bibi dan ibu mertuanya, hendak turut serta pulang ke Jember.

“Mari, kalau sudah rampung, segera naik. Kita segera berangkat agar tidak terlalu malam tiba di Situbondo,” saya mengajak mereka untuk bergegas.

Tujuan pertama kami dalam perjalanan kali ini adalah Widuri, Asembagus (Situbondo). Sebetulnya, saya tidak dikejar waktu. Justru Abdullah-lah yang terburu-buru. Ya, malam nanti adalah malam final sepakbola World Cup 2010. Dia berharap, kami tiba di tempat tujuan sebelum laga final pertandingan sepakbola tingkat dunia itu disiarkan oleh stasiun televisi.

“Ayo, ayo..”

Setelah mengisi penuh tangki bensin di SPBU “Violet” Tlanakan, saya mencatat odometer pada angka 8896/5 dengan uang premium Rp 142.000 untuk 31,5 liter. Mobil saya jalankan secara wajar.

Sekitar tiga jam kemudian, pada saat kami melintas di atas Jembatan Suramadu, saya melirik odometer.
“Hemm… 9002/5!”. Kalau dihitung, sudah lebih 100 kilometer mesin 1300 cc ini menderu tanpa henti.
“Ini perjalanan pertama saya dengan Colt di siang hari. Wah, panas rasanya.” Tak terasa saya mengeluh, ngomong sendiri, entah untuk siapa. Saya melirik spion tengah, penumpang ajeg tanpa respon meskipun mereka mungkin juga merasa gerah. “Kalau jalan di malam hari memang lebih enak. Lalu lintas tidak macet dan cuaca lebih dingin,” sahut sebuah suara dari belakang.

Puluhan kilometer jalan lebar bebas hambatan telah kami lalui. Inilah jalan tol terpanjang yang saya tahu, yakni Perak-Gempol, 41 kilometer, yang pernah saya lalui dengan Colt T-120. Kapan, ya, bisa menjajal ruas jalan tol Jakarta-Cikampek atau Cipularang dengan mobil ini? Batin saya dalam hati.

Begitu mobil hampir mencapai ujung jalan tol yang diputus karena bencana Lumpur Lapindo, saya bersiap menyalakan sein kanan menuju Porong. Saya melirik ke samping kiri (kepada Kholis) lalu membisik. “Saya trauma dengan Pasar Porong,” Saya pun bercerita kepadanya, bagaimana trauma itu muncul, yaitu karena sudah dua kali mengalami mogok di depan pasar Porong dalam setahun ini.

Seolah-olah cerita picisan dengan suspense-suspense murahan, kekhawatiran itu benar-benar terjadi.
“Kerrrr….. traaaattt….tatttata..tattat……”
Terdenganr bunyi aneh dari bawah jok depan.
“Astaghfirullah!”

Saya menepikan kendaraan, menetralkan perseneling dan menyalakan lampu hazard, lalu mematikan mesin. Tetapi, astaga, mesin tidak mau mati. Kunci kontak mendadak tidak berfungsi. Saya turun dan segera menekuk punggung untuk melihat keadaan di bagian bawah mobil, barangkali ada sesuatu yang tersangkut mesin atau apa lah.

Tengok dari sisi kanan, tengok dari sisi kiri, tak ditemukan tanda-tanda kerusakan. Kholis pun juga turun untuk membantu melakukan pengecekan sumber bunyi. Kesimpulan: tidak ada apa-apa. Apakah tadi itu suara jin? Dugaan sementara; ada korsleting pada dinamo starter.

“Peduli amat. Ayo berangkat!”
Mobil masih tetap dalam keadaan menyala. Saya masukkan gigi satu, tancap gas, melewati Jempatan Porong dan sein kiri menuju Bundaran Gempol. Cemas berkurang karena ternyata mobil masih dapat berjalan normal. Bahkan, diajak ngebut pun, Colt tetap mampu meladeni tantangan.

* * *

Entah mengapa, siang itu jalan raya sangat ramai. Beberapa titik kemacetan terjadi di daerah Raci, Pasuruan. Mobil bergerak dari perseneling 1 ke 2, atau 2 ke 3. Kecepatan berkisar 30-40 km/jam saja, sungguh-sungguh gerakan beringsut yang membosankan. Karena tak tahan melawan jemu, akhirnya kami putuskan untuk shalat di Masjid Al-Mustaqim, di daerah Gerongan, beberapa kilometer sebelum kota Pasuruan.

Saya memilih masjid ini sebagai tempat istirahat karena beberapa alasan. Yang terpenting adalah karena ia memiliki keistimewaan letak, yakni berada di jalan yang agak menurun. Kalau nanti saya matikan mesin secara paksa dengan cara memasukkan perseneling, melepas kopling, sambil menginjak rem (sebab kunci kontak sudah tidak berfungsi lagi), mudah untuk menghidupkannya lagi. Dorong sedikit, biarkan menggelinding, lepas kopling, sesudah itu Colt pasti langsung brum, brum, brum dan menyala kembali. Jadi, saya pilih tempat ini bukan karena areal parkir yang luas atau pula karena ketersediaan airnya yang melimpah.

Betul, ternyata kontak tetap tidak berfungsi. Sementara penumpang menunaikan sholat, saya justru sibuk membuka jok depan untuk mengecek kondisi ban kipas (van belt) dan kabel, mungkin ada yang bermasalah. Tak ada. Saya makin yakin, masalah ini adalah masalah kelistrikan pada dinamo starter dan sekitarnya. Karena itu, meskipun nyatanya saya sangat lapar, saya mengganjal perut hanya dengan semangkok bakso karena selera sudah habis oleh bayangan “mendorong mobil di masa-masa yang akan datang”.

Setelah semua anggota rombongan perjalanan selesai shalat dan berkemas, Abdullah dan Kholis mendorong mobil. Sedikit saja, Colt menggelinding, mesin langsung menyala, direm, penumpang naik, dan saya pun lantas memacu kendaraan ke arah timur. Kepadatan arus lalu lintas mulai terurai. Pasuruan, Ngopak, Grati, Nguling, Tongas, relatif lancar.

Tiba di Probolinggo, di pertigaan Ketapang, saya ambil kanan lalu berhenti untuk menurunkan bibi dan mertuanya. Saya tidak berani mematikan mesin karena yakin kami akan repot dorong-dorongan lagi jika itu dilakukan. Menunggu bis tak muncul-muncul, akhirnya saya berpesan pada seorang abang becak agar dua orang perempuan penumpang kami ini dibantu, dicegatkan bis ke arah Jember untuk mereka. Saya pamit dan putar balik, melanjutkan perjalanan ke Situbondo.

* * *

“Boleh kalau saya tidak matikan mesin?”
“Wah, matikan saja, Pak!”

Maka, petugas SPBU Suboh itu mencekoki corong tangki bensin sampai penuh. Odometer menunjukkan angka 9197/4 di sini. Isi penuh tangki setara Rp. 122.000. Dengan demikian, konsumsi BBM didapat; 1 banding 11 kilometer. Perbandingan ini terbilang lumayan untuk ukuran konsumsi mobil tua plus banyak beban di jalan yang macet.

Seperti sudah diduga, mobil harus didorong untuk meninggalkan SPBU itu karena petugas pompa SPBU tadi menolak kalau saya tetap menyalakan mesin pada saat pengisian BBM.

Dari Suboh, jalanan semakin sepi. Hari telah masuk waktu Maghrib. Beruntung, di tengah perjalanan, sekitar daerah Mlandingan, sebuah Avanza penuh penumpang menyalip. “Nah, ini dia teman seperjalanan,” batin saya seraya menginjak pedal gas lebih dalam.  Lubang spuyer 95 pun menyembur. Karburator bakal lebih banyak menenggak premium.

Saya mengejar, membuntuti lebih tepatnya, dengan selah kira-kira 15 meteren, secara konstan hingga Panarukan. Bukan hendak mengadu mesin, ini sekadar membunuh bosan. Sama isi silinder mesin namun beda teknologi dan tahun produksi jelas tak layak untuk diperbandingkan.

Dengan kecepatan rata-rata 80-90 km/jam, begitu pendek rasanya jarak perjalanan ini. Tiba-tiba, seolah tanpa sadar, saya sudah memarkir Colt di halaman rumah Paman Sibaweh, Widuri, Asembagus pada odo 9265/4, pukul 19.25 WIB.

Sejauh 400-an kilometer perjalanan etape pertama telah selesai. Besok adalah perjalanan lanjutan. Sebagai sopir engkel, saya harus segera istirahat agar tenaga pulih kembali. Hidangan kopi panas mengendorkan saraf-saraf yang tegang selama berjam-jam. Saat itu, yang saya pikirkan hanyalah bantal untuk tidur, bukan tontonan final piala dunia FIFA dan tim mana yang harus memenangkan pertandingan, Spanyol ataukah Belanda. Bagi saya, tidur adalah final dari kerja keras seharian di atas lintasan aspal Sumenep-Situbondo.

Senin, 12 Juli 2010: Situbondo – Banyuwangi

Jadwal saya hari ini adalah mengantarkan Kholis pulang ke rumahnya di Galekan, Sidodadi, Wongsorejo (Banyuwangi). Karena harus melewati hutan Baluran, dengan bantuan Pak Imron (tetangga Paman Sibaweh), saya merasa penting untuk mengecek lebih dulu kondisi kelistrikan dinamo stater.

“Ada gejala ketidakberesan pada instalasi kabel,” kata Pak Imron seraya membereskannya.
Saya mengajak Pak Imron menemani kami pergi ke Banyuwangi. Meskipun dinamo telah diperbaiki, namun rasa cemas tetap bergelayut. Tidak terbayangkan andaikan Colt kami mogok atau pecah ban di tengah Hutan Baluran sepanjang 23 kilometer itu: tak ada montir, tak ada bengkel tambal ban, tak ada sinyal untuk menelepon bala bantuan.

“Pak, ikut kami ke Wongsorejo. Sampeyan duduk saja. Saya yang nyetir.”
Pak Imron tersenyum, “Sudah beres kok dinamonya.”
“Iya. Tapi, kalau pecah ban di tengah alas, bagaimana?”
Pak Imron (yang baru saya kenal pagi itu) mengangguk tanda setuju.

Perjalanan pergi ke Banyuwangi hari itu dimulai tanpa ada gangguan pada starter. Alhamdulillah. Jalan mulus dan lebar lengkap dengan bahu jalan yang baru, membuat perjalanan ke rumah Kholis sangat menyenangkan. Mengemudi di jalan yang berkelok-kelok, penuh tanjakan dan turunan, di antara hutan jati dan rerimbun pohon di sana sini, sangatlah mengasyikkan. Touring benar-benar terasa nikmatnya.

Sekadar bertamu di rumah Kholis, saya bahagia karena bisa bersilaturrahmi dengan keluarganya di sana. Makan-makan dan minum-minum pun usai. Tak lama setelah itu, urutan acara sesudahnya adalah pamit pulang.

Sepulang dari rumah Kholis dan kembali ke Asembagus, sehabis shalat ashar, kami minta izin kepada Paman Sibaweh, meninggalakan Widuri menuju Arjasa untuk selanjutnya menempuh perjalanan ke Panji Kidul demi mengikuti pengajian Layliyahan Malam Selasa di kediaman Kiai Sufyan Miftahul Arifin. Pamanda memberikan izin kepada kami setelah makan-makan.

Nah, dalam perjalanan ke Kota Situbondo, Colt kami membuntuti sebuah Espass berwarna biru. Mobil 1600 cc buatan Daihatsu keluaran akhir 90-an tersebut larinya ngacir sampai 100 km / jam. Saya berusaha mengikutinya dari jarak aman. Maklum, jalan sepanjang Asembagus-Kota Situbondo itu lurus, datar, lebar. Rupanya, mobil tersebut juga hendak pergi ke Panji Kidul, dan juga kebetulan mampir isi bensin di SPBU dekat kota.

Espass parkir di sisi mesin pompa ke-3. Saya pun masuk dan memarkir Colt di mesin pompa ke-4.
“Bensin kosong, Pak, ke sini saja!” kata petugas pada saya sembari menunjuk ke pompa mesin ke-3.
Saya berpikir, bersamaan saat masuk, harus bersamaan pula saat keluar.
“Pertamax!”
“O, kalau Pertamax-nya ada. Berapa?”
“Limapuluh ribu.”
Dengan percaya diri, saya isi tangki bensin premium itu dengan pertamax. Namun, apes, switch dinamo starter tiba-tiba tidak merespon kunci kontak. Kembali, mobil tidak bisa dinyalakan. Apa boleh buat, biarpun pertamax, tapi dorong lagi.
“Nggak biasa diisi pertamax kamu isi pertamax. Ya, kaget mesinnya!” kata sebuah sumber suara dari belakang, meledek saya.

Selasa, 13 Juli 2010: Jember

Bangun sepagi mungkin sudah saya rencanakan sejak semalam. Pukul 5 pagi, kami meninggalkan Panji Kidul menuju Jember. Ruas jalan Situbondo-Bondowoso masih relatif sepi kala itu. Saya baru mematikan lampu fog saat kami masuk daerah Prajekan karena hari mulai siang. Selepas Kota Bondowoso ke arah Jember, barulah jalan mulai padat. Anak-anak berseragam SMA dan bapak-ibu yang hendak pergi ke kantor memenuhi lajur di kanan-kiri jalan raya.

Kami tiba di Dukuh Mencek, rumah sepupu, dan bertemu dengan rombongan yang datang dari Madura sekitar pukul 7.30. Kedatangan kami ke Jember kali ini adalah untuk menghadiri undangan walimah putra dari Pak Sef (alias Pak Munir alias Pak Saifullah).

Setelah cukup isritahat, sehabis shalat Duhur, dari rumah Alwalid, iring-iringan mobil bergerak menuju tempat walimah akan dilangsungkan, di daerah Sumbersari. Pak Sef menyambut kami luar biasa. Pak Sef merupakan saudara jauh kami yang baru saja tahu ikatan kesaudaraan dalam bulan-bulan terakhir ini. Pesta pernikahan ini akhirnya selesai setelah ashar. Acara berlangsung meriah. Tuan rumah berbahagia. Bahkan, dari saking bahagia, Pak Sef mengganti uang bensin kami, berlipatlah senang itu.
 

Rombongan dengan mobil Kijang pulang lebih dulu karena bermaksud untuk melaksanakan shalat Duhur-Ashar di daerah Tanggul. Rombongan saya memilih shalat Ashar di rumah si sepupu. Kami baru pulang pada pukul 16.30-an.

Aneh, atau ajaib, saat akan berangkat, dinamo starter normal kembali. Dalam, hati saya bertanya, jika awal mula dinamo starter macet dan saya duga itu suara jin, nah, apakah normal ini merupakan efek uang ganti bensin? Saya tersenyum-senyum sendiri.

Colt berjalan tanpa ada gejala korsleting. Begitu pun ketika saya mengisi bensin penuh di SPBU Bangsalsari pada odo 9525, dinamo starter tetap normal, aman. Sore itu, tak ada acara dorong-mendorong lagi. Colt ‘Titosdupolo’ bergerak cepat, menembus rembang petang yang turun menyambut Maghrib.

Sebelum berangkat tadi, saya engikat janji denagn Paman Naqib. Kala itu, beliau sedang mudik ke rumah mertuanya di Tanggul. Kabarnya, Paman Naqib hendak menitipkan kardus-kardus berisi jeruk dan ransum lainnya. Kami janjian kencan di alun-alun kota. Cara ini dianggapnya dapat mengurangi beban bawaan sang paman yang hendak pulang ke Madura, besok, dengan bis.

“Saya sudah hampir sampai Tanggul, Om.”
“Ya, saya sudah menunggu di alun-alun.”
“Posisi tepatnya di mana?”
“Setelah lampu merah, menepi ke kanan, lalu parkir.”

Betul, rupanya Paman Naqib sudah menunggu di situ bersama iparnya. Kami bertemu di dekat alun-alun Kota Tanggul. Sementara kardus-kardus berisi jeruk itu dinaikkan ke mobil, mesin terbiar menyala karena khawatir dinamo starter kumat lagi. Sebab, akan sangat berat urusan kalau harus mendorong mobil yang sudah dipenuhi barang berjibun.

Berangkat.

Gas pada gigi satu rasanya harus diinjak lebih dalam agar mampu menarik beban berat ini. Tugas mesin terasa lebih ringan ketika perseneling telah mentok di gigi 4 dan menapak aspal mulus dan jalan yang datar. Selepas Tanggul, mobil menyusuri jalan di tepi sungai Bondoyudo yang lebar. Pemandangan indah terhampar di depan. Kiranya, inilah lintasan paling indah yang saya lewati selama ini.

Tugas Colt belum selesai. Masih ada satu penumpang lagi yang harus saya bawa, yaitu Bibi yang sebelumnya berangkat bersama dari Madura dan berpisah di Probolinggo itu. Saya pasang mata secara awas. Beliau bilang akan mencegat saya di daerah Batu Urip, selepas tikungan, setelah jembatan. Tidak ada GPS, tidak ada titik kordinat. Di manakah tempat itu?

Laju mobil saya turunkan begitu melihat aba-aba dari seseorang yang menggubit di kejauhan, di muka. Saya lalu menepikan kendaraan, turun dari aspal, membuka pintu untuk menyambutnya. Namun, kaget bukan alang-kepalang ketika saya melihat seorang lelaki tua yang memanggul “sahara”, sebuah koper yang besarnya luar biasa. Dia menyeberang jalan, mendekati saya.

“Ini bawaan bibi, Pak?”
Orang itu mengangguk.
Dug!
“Bagaimana mungkin koper raksasa ini dimasukkan ke dalam mobil yang sudah penuh dengan barang bawaan?” Saya membatin.
“Ini mau dibawa pulang, Bi?” tanya saya pada Bibi, melakukan konfirmasi.
“Iya. Emang kenapa?” tanya Bibi. “Tidak cukup, ya? Kalau tidak cukup, tidak apa-apa.”
“Ya, cukup sih cukup, asalkan Panjenengan mau duduk terjepit di kursi paling belakang.”
“Oh, ya, tidak apa-apa. Tidak masalah.”

Sahara dimasukkan, dan Bibi pun duduk desak-desakan bersama tumpukan barang di jok belakang.
Selesai, dan mobil kembali berjalan. Namun, sekitar 1 kilometer kemudian, terdengar bunyi mendenging. Hati pun mulai ragu. Masalah apa lagi ini? Mobil diberhentikan. Cek, tidak ada apa-apa. Mobil berjalan namun denging tetap terdengar.

“Kenapa?” tanya salah seorang penumpang dari belakang seusai melihat gelagat saya yang mungkin dianggapnya mencurigakan.
“Ada bunyi denging. Saya khawatir ada masalah lagi dengan mesin.”
“Bunyi denging yang mana?”
“Itu lho, coba perhatikan!”
Dan kami pun pasang telinga bersama-sama.
“O, denging itu, tho,” sambung Bibi. “Itu sih suara belalang yang ada di ladang tebu.”

Saya tertawa mendengar jawaban itu. Perasaan jadi plong. Gigi dinaikkan, gas ditambah. Colt masuk daerah Banyuputih pada saat Maghrib. Mobil-mobil padat merayap. Pergerakan lalu lintas ke arah Surabaya petang itu sangatlah membosankan. Mobil bergerak sangat lamban. Barangkali, jembatan rusak di Kedung Jajang, sekitar 5 kilometer setelah Klakah, menjadi salah satu penyebabnya. Bagaimana pun, untuk bermanuver, menyalip satu demi satu deretan truk dan kendaraan berat yang lain sulit dilakukan karena tenaga sudah banyak terkuras oleh muatan yang menggunung. Laju lalu lintas terus tersendat hingga Ranuyoso.

Bahkan, saat kami telah mengarah ke barat selepas kota Probolinggo, jalanan semakin padat merayap. Maunya, kami istirahat di Masjid Tongas. Namun karena ketika melintas di sana dan saya lihat areal parkir masjid sudah sangat padat dan rapat, ciutlah keinginan. Mobil terus menderu, melewati Nguling, Karanganyar, Ngopak, Gratis, hingga tibalah kami di Pasuruan.

Saya sadar, Colt ini bukanlah angkutan umum yang mengutamakan tepat waktu. Saya pun mengambil keputusan untuk istirahat. Di samping itu, cara ini juga demi menjaga keamanan berkendara karena daya penglihatan sudah sangat berkurang. Kami pun istirahat di sebuah masjid di Kota Pasuruan. Setelah shalat Maghrib-Isya, makan, saya tidur di sana dengan pulasnya, hampir dua jam. Tidur di mana pun, jika tubuh dalam keadaan penat, serasa di rumah sendiri, nikmat rasanya.

* * *

Saya bangun kira-kira pukul 22.40, ambil wudu, dan mengaba-aba semua penumpang untuk melanjutkan perjalanan. Namun, saat mobil hendak dinyalakan, tak ada respon. Dinamo kumat lagi. Apa boleh buat, mobil harus didorong kembali.

“Dorong, dorong, dorong…!”
Dan para perempuan pun mendorong Colt.
“Brum, brum, brum….”
Stasioner, penumpang naik, kami berangkat.

Mobil berjalan meninggalkan Kota Pasuruan. Sambil lalu, saya meminta bantuan Abdullah untuk mengirim SMS, bertanya kepada sopir Kijang yang ketika itu barangkali sudah berada di Madura, untuk menanyakan di mana letak SPBU yang buka 24 jam di Madura. Dia membalas SMS begini: “Pom Baranta dan Larangan Tokol” (Pamekasan). Berdasarkan jawaban ini, demi aman, saya isi penuh kembali tangki bensin di SPBU Raci, stasiun pengisian bahan bakar yang berada di beberapa kilometer sebelum masuk bunderan Gempol. Odometer menunjuk angka 9674 dan bensin habis Rp 67.000. Dengan perhitungan ini, kesimpulan dihasilkan: konsumsi bensin rata-rata kala itu adalah 1:10.

Karena mata sudah berbinar dan jalan serlah lapang di depan, sekarang saya menjalankan kendaraan tanpa was-was lagi. Rasa khawatir sempat mengganggu benak begitu kami masuk area Lapindo, deg-degan karena teringat peristiwa-peristiwa mogok di “zona trauma” ini pada saat berangkat.

Tengah malam itu, saat kami melintasi Jembatan Suramadu, perasaan saya senang sekali karena lebih kurang tiga jam-an lagi akan tiba di rumah. Para penumpang telah tidur. Mereka jelas capek. Musik saya bunyikan lebih keras untuk melawan kantuk.

Demikianlah, akhirnya, kami masuk pekarangan rumah sekitar jam 3 dini hari. Meskipun penat dan tubuh begitu letih, saya bertahan jaga hingga adzan berkumandang. Setelah shalat dua rakaat, berdoa dan bersyukur telah kembali dalam keadaan selamat, saya lantas meneruskan perjalanan di atas tempat tidur.

Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...