Pembaca

27 Oktober 2016

Barang Lawas dan Sampah Anorganik Mobil




Ini adalah foto karpet karet lantai depan Colt T120 milik saya. Tampak ada jahitan di situ. Sedih, ya, seperti ia sedang menampakkan kemiskinan. Ada satu hal yang perlu saya ceritakan hingga ia tetap seperti itu meskipun karpet seperti itu masih ada di toko, dan harganya pun sangat terjangkau

Begini...

Saya sering mendengar cerita tenaga kerja kita yang ada di Saudi menyatakan hal-hal yang tampak menakjubkan. Contohnya seperti ini: “di sana itu air masih lebih berharga daripada bensin”, atau; “kalau sudah rusak, ya, buang saja, beli yang baru meskipun yang lama masih bisa diperbaiki”, dan juga yang lebih dramatis; “kalau ban mobil juragan saya kempes namun sudah dekat dengan toko ban, maka saya diminta tetap menjalankan mobil sampai ke toko ban tersebut lalu membeli ban yang baru, padahal ban serep juga ada!”

Dulu, saya sangat takjub dan terkesima pada pernyataan semacam itu. Pernyatan semacam itu menunjukkan beberapa hal, salah satunya adalah bahwa nilai tukar rupiah akan mencret di hadapan riyal. Bisa jadi, ungkapan tersebut juga menyampaikan pesan kaya orang Saudi itu dan mereka sangat tak suka berpikir panjang untuk membeli barang baru. Saya yakin, masih ada anggapan lain yang akan muncul manakala ungkapan-ungkapan di atas disampaikan kepada orang lain.

Sekarang, pikiran saya tidak lugu lagi. Saya punya prinsip bahwa barang yang rusak itu tidak harus segera dibuang selagi ia masih bisa dipakai. Tujuannya apa? Menunda barang menjadi sampah. Ya, sampah, itu dia masalah kita, masalah umat manusia. Sampah makanan (atau remah-remah sisa makanan yang tidak dihabiskan di meja makan) apabila dikumpulkan dari semua negara yang ada di dunia ini, konon, akan menjadi limbah terbesar di dunia, berada di nomor urut ketiga setelah Tiongkok dan Amerika. Catatan ini berdasar pada data statistik Elizabeth Royte yang menulis sebuah esai tentang makanan dalam National Geographic (Maret, 2016). Bayangkan, itu baru soal remah makanan, bagaimana pula dengan sampah yang lebih besar lagi? Seperti sampah-sampah anorganik yang rua dan pejal, semacam komputer, layar tabung, bumper, ban bekas, dlsb?

Apabila kita menyadari dan punya kesadaran yang baik akan betapa besar peran manusia dalam merusak bumi dalam waktu yang sangat singkat, saatnya kita mulai dapat “menyumbang” amal kebajikan. Apabila dulu kita mengenal pesan “buanglah sampah pada tempatnya!”, derajat di atas itu adalah “tundalah barangmu agar tidak segera menjadi sampah!”. Hanya dengan mengubah paradigma berpikir, kita telah berbuat sesuatu kepada alam, kepada lingkungan.

Jadi, pesan saya, sayangi barang-barangmu. Bukan alasan engkau kaya lantas engkau bebas membeli barang baru untuk menggantikan barang lawasmu yang sebetulnya masih bisa dipakai. Bukan, bukan begitu caranya. Engkau punya duit, baiklah; engkau punya kuasa, syukurlah, tapi kepada Bumi engkau tak boleh semena-mena sebab Bumi dan seisinya ini bukan milikmu. Ia hanyalah titipan yang mesti kaurawat dan kepada anak cuculah ia akan kita wariskan.


06 Oktober 2016

Dipinjam Paman Pergi ke Malang


Saya tidak pernah pergi ke Malang dengan membawa Colt, tapi Colt saya sudah 2 atau 3 kali ke sana. Yang saya catat adalah tahun 2012 dan berikutnya pertengahan September lalu. Satu lagi saya lupa atau memang tidak ada.

Karena saya tidak ikut dalam perjalanan ini, maka data perjalanan saya dapat hanya dari Affan, putra dari paman saya, Man Farhan, yang kebetulan mengemudi pergi dan pulangnya. Menurutnya, perjalanan dilakukan di malam hari. Berangkat hari Selasa malam, 13 September 2016, dan pulang esok sorenya dari Malang. Salah satu alasan pergi di malam hari adalah agar suhu kabin yang tidak berpendingin ini tidak terlalu panas, juga tidak begitu macet di perjalanan. Maklum, ketika itu masih suasana Lebaran Haji.

Colt berangkat kira-kira pukul 22.30, ngejos terus. Mereka  baru istirahat sebelum masuk Kota Malang, sekitar pukul 03.00.  Sambil menunggu shalat Subuh, mereka istirahat. Perjalanan dilanjutkan pukul 05.00 dan baru sampai tujuan menjelang 08.00 wib. Heran juga, sesama Malang tapi ternyata memakan waktu yang lama).  Rupanya, lokasi masih jauh dari kota. Karena tempatnya pelosok, rombongan dari Madura ini dijemput pemandu di pasar Wonokerto. Adapun tujuan mereka adalah menjenguk putra pamanda Farhan, Fawwaz, yang ditugaskan PP Sidogiri untuk mengabdi di Madrasah Diniyah Salafiyah “Miftahul Jannah”, yang berlokasi di Gumukmas, Karangsari, Bantur, sebuah kecamatan di selatan kota Malang.

Menurut Affan, ketika berangkat, bensin diisi penuh (Rp. 230.000; sebab di tangki masih ada sisa). Saya terlambat memberi tahu bahwa Colt saya ini tidak dapat diisi penuh sebab tutup bensinnya kurang rapat. Tidak tumpah, sih, tapi kadang merembes kalau berbelok cepat di tikungan tajam. Mereka baru isi lagi Rp.100.000 (bensin Rp 6550 per liter) di Malang dan terus dibawa pulang tanpa isi lagi.

Data tambahan:
Kecepatan rata-rata adalah 70 km / jam
Jarak sekali pergi 267 kilometer (data pulang tidak terlacak)

Meskipun saya tidak ikut dalam rombongan ini, yang paling menyenangkan saya bukannya karena Colt tidak mogok selama perjalanan kali ini (beda dengan perjalanan sebelumnya sewaktu perjalanan ke Sidogiri), bukan pula karena saya mengagumi ketangguhan Colt yang sudah 36 tahun menapak jalan dan hampir setengah juta kilometer dilalui, melainkan karena masih ada orang yang mau meminjamnya (Paman Farhan sudah beberapa kali menggunakan Colt saya ini untuk perjalaan 500—1000 kilometer PP, seperti ke Jember, Pasuruan, Malang, dll.). Tentu, hal ini menjadi istimewa bagi saya karena di zaman sekarang, di saat mobil-mobil baru begitu banyak, yang dengan mudah disewa atau dipinjam, masih ada orang yang tertarik untuk menggunakan Colt T120 ini dalam perjalanan.










Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...