Ini adalah foto karpet karet lantai depan Colt T120 milik saya. Tampak ada jahitan di situ. Sedih, ya, seperti ia sedang menampakkan kemiskinan. Ada satu hal yang perlu saya ceritakan hingga ia tetap seperti itu meskipun karpet seperti itu masih ada di toko, dan harganya pun sangat terjangkau
Begini...
Saya sering mendengar cerita tenaga kerja kita yang ada di Saudi menyatakan hal-hal yang tampak menakjubkan. Contohnya seperti ini: “di sana itu air masih lebih berharga daripada bensin”, atau; “kalau sudah rusak, ya, buang saja, beli yang baru meskipun yang lama masih bisa diperbaiki”, dan juga yang lebih dramatis; “kalau ban mobil juragan saya kempes namun sudah dekat dengan toko ban, maka saya diminta tetap menjalankan mobil sampai ke toko ban tersebut lalu membeli ban yang baru, padahal ban serep juga ada!”
Dulu, saya sangat takjub dan terkesima pada pernyataan semacam itu. Pernyatan semacam itu menunjukkan beberapa hal, salah satunya adalah bahwa nilai tukar rupiah akan mencret di hadapan riyal. Bisa jadi, ungkapan tersebut juga menyampaikan pesan kaya orang Saudi itu dan mereka sangat tak suka berpikir panjang untuk membeli barang baru. Saya yakin, masih ada anggapan lain yang akan muncul manakala ungkapan-ungkapan di atas disampaikan kepada orang lain.
Sekarang, pikiran saya tidak lugu lagi. Saya punya prinsip bahwa barang yang rusak itu tidak harus segera dibuang selagi ia masih bisa dipakai. Tujuannya apa? Menunda barang menjadi sampah. Ya, sampah, itu dia masalah kita, masalah umat manusia. Sampah makanan (atau remah-remah sisa makanan yang tidak dihabiskan di meja makan) apabila dikumpulkan dari semua negara yang ada di dunia ini, konon, akan menjadi limbah terbesar di dunia, berada di nomor urut ketiga setelah Tiongkok dan Amerika. Catatan ini berdasar pada data statistik Elizabeth Royte yang menulis sebuah esai tentang makanan dalam National Geographic (Maret, 2016). Bayangkan, itu baru soal remah makanan, bagaimana pula dengan sampah yang lebih besar lagi? Seperti sampah-sampah anorganik yang rua dan pejal, semacam komputer, layar tabung, bumper, ban bekas, dlsb?
Apabila kita menyadari dan punya kesadaran yang baik akan betapa besar peran manusia dalam merusak bumi dalam waktu yang sangat singkat, saatnya kita mulai dapat “menyumbang” amal kebajikan. Apabila dulu kita mengenal pesan “buanglah sampah pada tempatnya!”, derajat di atas itu adalah “tundalah barangmu agar tidak segera menjadi sampah!”. Hanya dengan mengubah paradigma berpikir, kita telah berbuat sesuatu kepada alam, kepada lingkungan.
Jadi, pesan saya, sayangi barang-barangmu. Bukan alasan engkau kaya lantas engkau bebas membeli barang baru untuk menggantikan barang lawasmu yang sebetulnya masih bisa dipakai. Bukan, bukan begitu caranya. Engkau punya duit, baiklah; engkau punya kuasa, syukurlah, tapi kepada Bumi engkau tak boleh semena-mena sebab Bumi dan seisinya ini bukan milikmu. Ia hanyalah titipan yang mesti kaurawat dan kepada anak cuculah ia akan kita wariskan.