Pembaca

12 September 2017

Malam yang Menyebalkan


Saat mematikan mesin untuk mengisi premium, saya cek spion. Ada Carry di belakang, lalu Mobilio di belakangnya. Begitu saya turun, menyebut angkat, dan cocor nosel dicokokkan ke lubang tangki, saya melihat: dari sisi kanan, sebuah Gran Max menyerobot. Sopirnya sangat muda, tepatnya anak-anak. Dia menyorongkan congor bumpernya, masuk di sela-sela Carry dan Mobilio. Sopir Mobilio yang bapak-bapak 50-an memilih mundur.

“Sampeyan mau isi yang mana lebih dulu, Gran Max yang lebih dulu tapi nyerobot atau Mobilio yang ada di belakangnya tapi sesuai urutan?”
Petugas SPBU ngomong hal lain: “Orang sekarang memang begitu kelakuannya. Kadang mobilnya juga bukan miliknya, tapi kelakuannya sembarangan. Begitu rusak atau nabrak, baru dia menyesal, kadang sampe menangis.”

Setelah selesai, saya pergi dan melupakan peristiwa barusan. Di pintu keluar SPBU (sebelah utara), saya menunggu jalan sepi dulu untuk masuk ke jalan raya. Saya lihat, masih banyak seliweran mobil dari arah kanan dan kiri. Begitu sudah kosong, saya masukkan persneling dan mobil menapak aspal. Namun, di depan saya mendadak ada rintangan: seorang pengendara sepeda motor matic parkir di atas aspal sembari menunggu istrinya yang antri membeli gorengan.

Dua peristiwa yang barusan saya ceritakan di atas itu hanya berlangsung kurang dari 5 menit. Coba bayangkan, bagaimana jika waktu memperhatikan perilaku masyarakat di sana sampai  setengah jam, apa enggak bakal stres? Bagaimana catatan ini bakal penuh oleh cerita keruwetan dan kesemrawutan?

Saya menahan diri untuk memaki-maki, saya pun mengajukan pertanyaan pesimis. Apa benar-benar akan bisa, ya, masyarakat yang sudah sakit mentalnya ini disembuhkan? Saya kira kok enggak. Sepertinya, kita harus menunggu 1 atau 2 generasi lagi, itu pun jika tidak makin parah.

***

Cerita di atas adalah curhat saat pergi. Adapun perjalanan pulangnya tak kalah menyebalkan. Tapi, yang paling keren di antara yang terkeren adalah ketika ada L300 yang tarik-ulur kecepatan di depan saya, di jalan yang mengular, arah jalan pulang. Entah apa maunya, mungkin si sopir memang punya hobi mengepul-ngepulkan knalpot mobilnya karena kebetulan yang dia kemudikan adalah cyclone, L300 diesel tahun tua. Kadang dia ngebut, kadang pelan, dan saya hanya mengikutnya.

Sedang asyik-asyiknya, tiba-tiba ada lampu blitz menghajar spion: sebuah Scoopy yang hanya berlampu sore berwarna pink yang menyentrongkan lampu tembaknya. Saya kesilauan. Maki-maki lagi.

Hanya sebentar di belakang saya, dia menyalip lalu mempertantarai kami dan pikat tadi. Saya perhatikan, dia melakukan hal yang sama untuk sopir di depan: menyentrongkan lampu sorotnya ke arah spionnya. Saya tidak dapat membayangkan, betapa silau mata sopir di depan saya itu. Rasa mangkel saya ke sopir pikap kini sudah pindah haluan ke pengendara Scoopy.

Diperlakukan begitu, tampaknya sopir pikap merasa, ada orang usil di belakangnya. Dan saat Scoopy mau menyalip, tampak sopir pikat berusaha ngebut kembali, berusaha mempertahankan posisi depan. Saya tahu karena ada gumpalan asap yang menyembur mendadak dari lubang pembuangannya, mirip asap hitam kereta api India, ALCO. Akan tetapi,  Scoopy tetap berhasil menyalip karena pikap dihadang tanjakan dan tikungan. Begitulah, akhirnya, saya kembali membuntuti.

***

Pergi dan pulang malam ini sangat menyebalkan, dan perisitwa seperti itu terjadi berkali-kali. Hal yang juga tak kalah menyebalkan adalah soal lampu utama, terutama sepeda motor. Tak terhiutng kali, bahkan bisa dibilang ada 7 dari 10 kasus sepeda motor yang tetap menggunakan lampu jauh (lampu atas) meskipun kita sudah kasih kode dengan dim dan mematikan lampu. Sentrong lampu ke mata kita akan makin ruwet kalau jenisnya LED yang putih kebiruan itu, belum lagi yang HID (yang telah dilarang di beberapa negara), belum lagi yang warnahya macam-macam, seperti merah dan kuning.


Saking sebelnya, akhirnya, saya tundukkan lampu mobil saya sangat ke bawah. Saya pasrah,  menyerah. Orang-orang yang tak tahu diri itu sudah dilawan. Mending kita saja yang mengalah.  Kalau berpapasan dengan sepeda motor yang lampunya lurus ke arah muka dan tetap tidak diredupkan andai saya kasih kode dim dan sebagianya, saya menyingkir, pokoknya mengalah saja. Akan tetapi, karena saya juga manusia yang berperasaan dan bukan robot, terkadang saya membawa senter dalam perjalanan malam hari. Senter ini adalah UltraFire 80.000W. Ya, itu semacam senjata saja, buat jaga-jaga. Cuman, sejauh ini, saya masih belum pernah menyorotkannya ke mata pengendara motor atau sopir mobil yang lampunya terlampau terang dan ngotot menyerang mata saya dengan lampunya itu. Ya, saya belum tega.

Malam Sabtu, 8 September 2017

04 September 2017

Mengapa Kita Gemar Melanggar?




Entah apa yang dipikirkan oleh orang-orang ini. Lampu lalin menyala merah, bahkan masih dilengkapi juga dengan pesan “sabar menunggu: HIJAU baru jalan” (mungkin karena terlalu sering dilanggar), tapi tetap saja mereka menerobosnya.

Kejadian ini di siang hari, lho. Soalnya, sebelumnya yang selalu saya perhatikan di malam harinya saja, di tempat yang sama. Awalnya saya kaget karena tidak ada satu pun yang ikut-ikutan berhenti di samping atau belakang saya. Semua kendaraan menerobos. Lama-kelamaan, rasanya diri ini kayak orang gila karena hanya sendirian yang diam begitu saja.

Lihat dalam video ini, tidak satu pun kendaraan yang berhenti di lajur sebelah kanan saya (karena saya berada di sisi kiri). Becak, sepeda motor, semuanya menerobos. Mengapa bisa begitu? Penyebabanya adalah; 1, jalan tidak terlalu ramai, dan; 2 tidak ada petugas yang berjaga-jaga.

Ini hanya contoh yang saya ambil di persimpangan jalan Jalan Kabupaten, kota Pamekasan, Madura, pada hari Sabtu, 2 September 2017. Saya yakin, di tempat lain, banyak kejadian serupa ini.

“Lampu merah” (sebutan singkat untuk lampu pengatur lalu lintas; APILL) itu sebetulnya dibikin agar kita lebih tertib, karena kita—umumnya—egois. Kalau saja kita bisa saling mengalah, mungkin kita tidak akan pernah butuh pada lampu pengatur lalu lintas itu. Di atas mimbar, seseorang bisa mengatakan sesuatu yang tidak dilakukannya, di depan gadis, seorang duda mungkin saja mengaku perjaka, tapi orang tidak akan pernah berbohong di jalan raya. Sifat dan watak aslinya akan tampak di sana.

Saya pernah mendengar cerita tentang Kiai As’ad Syamsul Arifin (beliau baru saja diangkat sebagai pahlawan nasional) yang menegur sopirnya pada suatu saat di persimpangan jalan. Ceritanya, pak sopir menerabas lampu merah karena menurut dia jalan sudah sepi, sudah malam. Alasan Kiai As’ad tetap melarang adalah karena "melanggar aturan yang sudah ditetapkan oleh forum, mungkin Dishub dengan Satlantas, dll. Dan mereka yang bikin aturan itu melakluan rapat, menggunakan dana rakyat yang diambil dari pajak, punya orang banyak, mengambil anggaran negara". Makanya, agar kita tidak bersalah kepada banyak pihak, ya, sudah, ikuti saja aturan itu. Begitu kira-kira urutan pemikirannya.

Jika Anda muslim, Anda pasti pernah mendengar sebuah hadis yang menyatakan “Takutlah  kamu kepada Allah di mana pun kamu berada (dan seterusnya)”. Hadis ini menyiratkan perintah takwa di manapun tempat. Mengapa ada orang mencuri? Karena mereka merasa tidak dipantau; mengapa ada orang melakukan korupsi? Karena mereka merasa aman dan tidak ada yang tahu? Jadi, orang yang mencuri dan sedang korupsi itu sedang tidak beriman. Maka, mengapa orang-orang itu menerobos lampu APILL? Karena tidak ada polisi dan CCTV. 

Bretbet dan Usaha Menghindari Lampu Merah

Malam Sabtu, 6 Desember 2024   Entah karena apa, tiba-tiba mesin mobil Colt saya bretbet. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekurangan BBM h...