Tujuan terpenting pada safari Colt kali ini tak ada yang
“ter” dan “paling” karena semua tujuan adalah “ter” dan “paling”, semuanya
penting. Kata kunci perjalanan sudah selengkap menu warung makan kehidupan: ada
takziyah, ziarah, rihlah ilmiah, dan silaturahmi. Perjalanan sudah dipersiapkan
setengah bulan sebelumnya, mulai dari pengecekan rem, radiator, kabel-kabel.
Yang selalu dicek tapi selalu tidak siap hanyalah isi dompet.
Tanggal 8 Pebruari 2020, malam Ahad, kami berangkat.
Bertolak pukul 22.30 dengan formasi 2-2-2 (saya dan Ca’dong di depan sebagai
pengemudi; ipar sepupu perempuan dan anak kedua di tengah; istri dan anak
ketiga di belakang). Ruang tersisa di dalam kabin disesaki oleh barang, mulai
dari bantal, selimut, galon, oleh-oleh, dan entah apa lagi. Saya pegang kemudi
sampai Jrengik, sampai di SPBU. Setelah isi premium 150.000, Ca’dong
menggantikan sampai Masjid Raudatul Muttaqin di Sumberasih (dulu dikira Tongas), beberapa menit menjelang
Subuh. Kami lewat Jalan A. Yani sampai ke Porong. Semua trek lewat jalan
arteri. Dalam perjalanan ini, tidak semeter pun kami melintasi jalan berbayar
itu.
Rumah Tijani |
Mandi dan ganti kostum di rumah suami Yasirah ini
sebetulnya merupakan salah satu teknik “bermain-main di kotak penalti” alias
mengulur waktu karena kami ingin masuk ke rumah duka bersama dua rombongan lain
dari Madura yang berangkat tengah malam, dengan tujuan yang sama. Tapi, pada
akhirnya, saya masuk duluan ke TKP, berlagak seperti Banser atau Paspampres,
untuk sisir lokasi. Kami masuk pukul 8 dan tamu dari Madura datang 45 menit
kemudian.
Setelah rukun-rukun bertamu dilaksanakan, seperti ngopi,
makan, dan foto-foto, rombongan bergerak bersama menuju PP Nurul Jadid. Kami
berziarah ke Kiai Maltuf Siraj. Ada pertemuan Bani Syarqawi kecil di sana
mengingat seluruh yang hadir adalah himpunan dari nenek-moyang yang sama,
antara generasi ketiga dan keempat, dari keturunan Kiai Muhammad As Syarqawi
al-Kudusi. Kiai Maltuf adalah paman kami yang diambil menantu oleh Kiai Hasan
Abdul Wafi. Satunya, ada Kiai Hefni Razaq, kakak kami yang diambil menantu oleh
Kiai Zuhri. Kiai Zuhri adalah pengasuh sekarang yang notabene putra pendiri
(Kiai Zaini Mun’iem), sedangkan Kiai Hasan adalah iparnya.
Setelah dirasa cukup, kami bubar. Rombongan dua mobil
lanjut takziyah ke Tebuireng, saya terus ke timur, ke Situbondo. Kami berpisah
di Tanjung.
Sebelum masuk ke lokasi haul di Panji Kidul, saya
mengarahkan mobil ke rumah Nyai Ummah, istri Kiai Arif, di Klatakan. Ummah
merupakan sepupu istri saya. Dalam sambungan telepon disampaikan bahwa kami mau
numpang tergeletak dulu barang satu atau dua jam. Ngantuk dan capek sudah tidak
dapat ditahan.
Setelah ngaso, bakda asar, kami melanjutkan perjalanan ke
PP Manbaul Hikam, di Panji Kidul, Situbondo, untuk mengikuti Haul Kiai Ahmad
Sufyan Miftahul Arifin yang notabene merupakan saudara daripada Kiai Hasan
Abdul Wafi dan adik kandung daripada Kiai Zainullah, ayah daripada mertua
perempuan saya.
Batu Sebagai Alat Hitung |
SENIN, esoknya, 10 Pebruari 2020, setelah sempat
diputuskan gagal karena suatu hal, akhirnya dipastikan: kami kembali ke Bali.
Setelah sarapan di kediaman Kiai Syibawaih Sulaiman, tempat kami nginap tadi
malam, pagi itu kami berangkat, pukul 8.30 kira-kira. Keputusan ke Bali ini
akhirnya diekskusi karena kawan si istri memaksa-maksa kami untuk
menyambanginya, padahal jarak dari Asembagus ke Seririt itu, tujuan kami di
Bali, sama dengan jarak dari Arjasa Situbondo ke Ketapang Banyuwangi x 2: jauh
sekali.
Ketapang |
Kami menyeberang Selat Bali dengan KMP Reny II, masuk dek
pukul 10.10 WIB. Kedua anak saya sangat senang karena janji untuk naik kapal
feri tertunaikan sudah. Rencana kami mau ikut KPM Prathita IV yang dimuallimi
Kak Taqwim atas permintaan beliau.
“Ayo ikut saya, biar bisa sambil ngobrol-ngobrol di atas
akapal,” pintanya.
Salim Foto di Kapal |
Perjalanan ke Seririt, di sisi barat dan utara Pulau Bali
itu, sangat asyik. Berbeda dengan perjalanan
Gilimanuk – Denpasar yang sibuk, jalur utara relatif sepi dan mulus.
Jaraknya kurang lebih 70 km dari pelabuhan.
Setiba di lokasi, saya langsung tidur karena mengantuk.
Sementara penumpang yang lain jalan-jalan dan datang menjelang meghrib. Katanya
ke Lacosta dan Krishna. Dua kali ke Seririt, saya belum juga tahu kedua tempat
itu apa. Dan begitu pula dengan hari esoknya, Selasa, 11 Pebruari, semua pergi
ke Tanah Lot, saya pilih mendekam di rumah saja. Ngedit tulisan yang belum
rampung—kalau diniatkan rekreasi—bisa juga ‘melepaskan’, mengurai kejemuan,
tidak perlu jalan-jalan ke pantai atau ke tempat hiburan.