Pembaca

18 Februari 2020

Kecanduan Bali: Kembali Lagi (Pulang)



Rute X
Sambil menunggu rombongan yang datang, saya ngecek mobil: minyak rem, minyak gardan, tekanan angin, dan radiator. Setelah dipastikan beres, baru saya istirahat. “Semoga tidak ada masalah pada dinamo lagi,” kata saya dalam hati, seperti yang saya alami tempo hari waktu pertama kali ke Bali, 23 Desember 2019 yang lalu.

Kami pulang hampir maghrib karena ternyata perjalanan ke Tabanan (dari Seririt itu cukup jauh). Azan maghrib terdengar saat kami baru masuk Celukan Bawang. Kami berhenti di SPBU 54.811.12, stasiun pengisian BBM terakhir kalau dari arah Singaraja atau yang pertama kalau dari arah Gilimanuk. Kami tidak isi bensin, hanya jeda berpikir, ingin mampir ke rumah Man Faqih yang jalan aksesnya persis berada di seberang SBBU ini, kira-kira 500 meter ke arah utara. Tapi, apa daya, hari sudah isya. Dan malam ini kami juga harus ke Opelan, ke kediaman Kiai Qusyai.


Keluarga Zaini & Mawaddah, tuan rumah kami
Memasuki Taman Nasional Bali Barat yang jaraknya kurang lebih 25 kilometer, saya tambah kecepatan mobil. Kendaraan roda empat sangat jarang kalau malam, apalagi roda dua. Roda tiga nyaris tak dijumpa. Angkutan umum sudah rehat, dan baru beroperasi lagi menjelang tengah malam, sekitar pukul 11. kata orang setempat begitu. Jalan yang bagus, baik materi aspal maupun pemandangan, sangat menopang kenyamanan dalam mengemudi.

Pulangnya, kami masuk kapal KMP Nusa Makmur. Laut tenang kala itu. Mobil tidak banyak, sama seperti ketika berangkat. Hanya ada sekitar kurang dari selusin mobil di dalam kapal dan entah berapa sepeda motor.

Meskipun setiba di Arjasa nanti kami sedianya masih mau main ke Muqit di Opelan, tapi kami diuntungkan karena  dalam perjalanan ke barat, kita dapat surplus waktu 1 jam, dari WITA ke WIB, berkebalikan dengan ketika berangkat. Jadilah, perjalanan dari Ketapang ke Desa Lamongan di kecamatan Arjasa Situbondo yang secara jarak sama dengan dari Gilimanuk ke Seririt, kami tempuh secepat-cepatnya dan dalam waktu sesingkat singkatnya. Ca’dong yang bawa dan saya istrihat saja di sisi kirinya.

Tiba di kediaman bibinda Azizah di Desa Lamongan, kira-kira 400 meter di sebelah barat pertigaan jalan akses ke PTP Nusantara XII  Kayumas, jam menunjukkan pukul 22.22.

“Sudah tidur?”
“Belum,” jawab Muqit, “masih banyak tamu, barusan ada selamatan umroh Aba dan saya,” lanjutnya di ponsel.
“Baik, saya ke situ.”

Kami bertamu, ketemu sama Muqit dan Opang. Dua anak ini masih sangat muda, sama-sama bujangan, sama-sama santri Al-Anwar, Sarang. Mestinya, saya bertamu sama Kiai Qusyai, tapi beliau masih banyak tamu. Eh, tiba-tiba beliau masuk ke dalam rumah, sebentar, lalu keluar dan menemui saya sebelum kembali menemui tamu-tamu. Hamdalah, ada kesempatan untuk ngobrol meskipun sebentar. Per-tamu-an akhirnya bubar dan saya pulang pukul 01.35 menuju PP Is'aful Mubtadiin, Lamongan (jangan salah, ini nama desa, bukan nama Kabupaten).
.
RABU, 12 Pebruari 2020  

PP Sukorejo, pagi hari 
Pagi sekali, setelah ngaji jarak jauh, saya sowan ke Sukorejo untuk bertemu sama Kiai Azaim, ditugaskan oleh Kiai Ali Fikri. Rencananya mau ngundang beliau untuk mengisi kuliah Khittah Ke-NU-an di Guluk-Guluk, tapi ternyata beliau sedang di Nusa Tenggara Timur, safari dakwah. Jadinya, saya balik lagi ke kediaman bibinda, makan, mandi, dan berangkat menuju Paiton.

Rencana semula, saya memang diminta bibinda untuk menerima tamu calon besan dari Madura. Saya siap datang bersama keluarga, tapi karena jadwal kunjungan tiba-tiba berubah tanpa sepengetahuan saya, maka saya pun minta maaf, tidak bisa hadir di tempat pada waktu acara, yakni Rabu siang (semula dijadwalkan Rabu pagi). Jadinya, kehadiran kami diwakili oleh istri dan ipar perempuan saya karena siang itu saya terjadwal untuk menghadiri diskusi buku “Merusak Bumi dari Meja Makan” di Universitas Nurul Jadid (Paiton) dan malamnya ngisi pelatihan esai di Pondok Pesantren Sidogiri.

UNUJA
Saya naik Bison, angkutan antarkota di Situbondo, menuju kota. Naik bis ke Paiton dan tiba di lokasi pukul 12.10. Acara dimulai pukul 13.30 dan berakhir pukul 16.00. Karena masih ada sisa waktu untuk sowan pengasuh, Kiai Zuhri Zaini, yang ketika itu ada di kediaman (saya sudah tiga atau empat kali ke PP Nurul Jadid tapi selalu selisipan dengan beliau), maka kesempatan ini tak boleh disia-siakan.

Ngaji Hadis Kepada Kiai Zuhri
Menjelang Maghrib, kami berangkat, diantar oleh Fawaid dan beberapa santri, pakai mobilnya. Rencanna saya memang ngebis, tapi karena waktu yang mepet, akhirnya saya diantar. Begitu pula, untuk meringkas waktu, pihak pondok Sidogiri menjemput saya ke Probolinggo. Titik temunya adalah Waroeng Kencur pukul 08:30 WIS (waktu istiwa; pondok ini memang menggunakan ketentuan waktu shalat istiwa yang biasanya lebih maju 25-30 menit). Saya masih sempat rehat di ruang lobi hingga acara dimulai sekitar pukul 09.20 WISs (atau pukul 21.00 WIB). Acara ini diselenggarakan oleh Badan Pers Pesantren (BPP) untuk kru media yang ada di pondok pesantren Sidogiri. 

Ruang Rehat PP Sidogiri
Acara selesai tepat di titik batas (pukul 11.00 WIS). Karena Colt tidak segera berangkat dari Lamongan karena masih menyelesaikan hantaran-hantaran jajan dan penganan, ditambah Ca’dong mengalami disorientasi jalan di Kabupaten Situbondo (mungkin karena dia ingat tunangannya), akhirnya dia nyampe Sidogiri pukul 02.00 kurang beberapa menit saja.

Untungnya, saya yang sudah istrihat di ruang tamu (yang dulunya dipersiapkan pondok untuk pengajar dari Mesir) bisa langsung genjok ke Madura. Kini, dia yang duduk di kiri dan saya di belakang kemudi, apalagi dia mengaku bete karena dari tadi sendirian saja, ditemani radio, sedangkan penumpang sudah mode lelap semua.

Santri-Santri Sidogiri
Saya menjalankan Colt secara sopan, melewati Bundaran Gempol, lurus ke Porong, ambil kanan, mengikuti jalan Lapindo, nembus kota Sidoarjo. Lurus terus hingga ke Jalan A Yani. Di Surabaya, terus ke Dharmawangsa, terus ke Pacar Keling, terus nembus Suramadu. Ternytarta, dari Porong ke pertigaan Kedungcowek hanya 30 km saja, beda jauh dengan kalau lewat tol. Sip, pergi-pulang tanpa lewat jalan berbayar sama sekali.

Saya isi bensin di SPBU lepas Suramadu: kangen premium, di Jawa jarang bertemu. Hingga kami tiba di Pasar Tanah Merah, salat di masjid besarnya, An-Namirah, ketika orang-orang sudah datang ke pasar meskipun jam belum tepat menunjuk pukul 5 pagi.

Ini hari Kamis pagi. Jadwal saya mengajar Taklimul Mutaallim andai ada di rumah. Maka, agar tetap berlangsung, dengan heroik, saya bacakan kitab itu di mobil dengan sambungan telepon yang di rumah dipasangkau ke sistem tata suara. Sementara itu, Ca’dong kembali mengemudi. Perjalanan lancar, ngaji juga lancar.

Kami tiba di rumah mejelang pukul 9 pagi. Tapi, mohon tanya berapa habis bahan bakar, sudah bukan waktunya lagi. Selamat dan lancar sampai di tujuan adalah yang utama dalam perjalanan, bukan seberapa banyak (apalagi seberapa irit) bensin yang dipakai.

___________
Terima kasih untuk sakdi alias Ca'dong yang telah menemani saya, bergantian, mengemudi:
juga untuk mereka yang telah kami singgahi


Silaturahmi ke Tijani
Takziyah ke PP Badridduja
Ziarah ke Nurul Jadid (K Maltuf dan K Hefni) 
Silaturahmi ke Umamah dan Arif
Hadir di Haul K Sufyan
Silaturahmi ke K Sibawaih
Main ke Zaini & Mawaddah di Bali
Silaturahmi ke K Qusyai & Muqit
Silaturahmi ke Nyai Azizah dan K Zaini
Rihlah ilmiah ke UNUJA
Rihlah ilmiah ke PP Sidogiri



Ca'dong




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...