Pembaca

14 Januari 2021

Isi BBM di SPBU, Tapi Pakai Jeriken

Beberapa waktu yang lau, saya pulang dari Pamekasan bersama Anam. Dia yang nyopir. Kami sepakat untuk isi BBM di “SPBU Talang” yang secara administratif sebetulnya berada di Desa Kaduara Barat tapi kami biasa menyebutnya demikian karena ia dekat dengan pantai wisata Talang Siring, Pamekasan.

Saat Anam—kebetulan dia yang sedang nyetir—mau memajukan mobil karena pick up GranMax di depan kami yang baru saja isi pertalite sudah selesai dan mulai bergerak pergi, tiba-tiba ada asap dari balik dashboar. Anam berteriak, “Katonon, Kak!” (Katonon itu artinya kebakaran dalam Basa Madura).

arsip Awie' Nuhaiz, korsleting di Burneh, 19 September 2010
korsleting di Burneh, 19 September 2010: dok. Awie' Nuhaiz



Sontak kami panik. Anam sangat panik, begitu juga petugas yang melihat ada kepulan asap putih di bagian depan kabin. Anam meloncat keluar, saya bergerak maju. Petugas mengambil APAR (tapi ternyata tidak berfungsi, sial sekali).

Dengan gerakan sangat cepat, seperti tangan Steven Seagal saat memeragakan aikido, saya menarik sandaran kursi sopir, membuka kap aki, dan dengan cekatan memuntir kelam minus/ground-nya. Tujuannya satu; memutus sumber arus. Urusan api dan asap belakangan saja.

Benarlah, karena sumber api tak seberapa besar, hanya dari kabel tape yang isolatipnya terlepas dan menyentuh batang rem tangan, maka api pun mati dengan sendirinya. Saya lihat, Grand Livina hitam yang tadi berana di antrian belakang saya sudah menjauh, bahkan tampaknya pergi dari SPBU itu. Saya dan Anam, dibantu petugas, menyorong mobil ke belakang, ke tempat yang aman.

Langkah selanjutnya adalah pergi ke toko fotokopian, membeli isolatip. Saya membersihkan kabel-kabel yang terkelupas dan hangus itu. Untungnya, kabel kunci kontak tak ada yang terbakar, semua aman, hanya kabel yang ke arah tape itu saja yang terbakar. Kulitnya habis. Saya membungkusnya kembali dengan rapi.

Begitu selesai, saya minta izin ke petugas SPBU untuk mengisi BBM.
“Anu, Pak. Minta maaf, ya. Sampeyan tetap di sini saja, biar saya isikan BBM pakai jeriken.”
“Iya, tidak apa-apa,” balas saja.  
Saya memaklumi kekhawatirannya, sejenis trauma karena baru saja mengalami perisitwa hampir kebarakan di dekat mesin dispenser yang kalau sampai terjadi, bakal tayang di Radar Madura besok pagi, atau bahkan di Facebook dan WhatsApp saat itu juga. Sungguh kami masih diselamatkan dari kejadian yang sangat dramatis ini: kebakaran di samping mesin dispenser SPBU.

Inilah mengapa pengalaman ini merasa perlu saya tulis karena beberapa hal.
Pertama, sangat aneh dan lucu karena kami mengalami pengalaman pertama isi BBM pakai jeriken dan itu terjadi di SPBU, bukan di rumah; Kedua; ini kejadian yang ketiga setelah mengalami korsleting pertama di Burneh pada tahun 2011 yang disebabkan oleh pemasangan ampere meter yang tanpa isolatip; korsleting kunci kontak di tahun 2019, dan kejadian ketiga; ya, baru saja. Ketiga, sebagai tanda bahwa saya harus menggunakan alat pemutus arus (dulu saya pernah tanya sekring untuk ampere besar di toko, tapi ternyata tidak nemu hingga akhirnya saya melihat adanya alat pemutus arus atau disebut engine cut-off yang terpasang pada mobil Pak Bambang Fidelis dan Pak Broto, tempo hari pada saat mereka bertandang ke rumah saya).

Sungguh adegan ini perlu dikenang: ngisi BBM di SPBU tapi pakai jeriken. Dan ini tanpa foto, sebab saking paniknya, kami tak sempat mengabadikannya.

07 Januari 2021

Main ke Luar Bumi, ke Planet Bluto


Rencana menghadiri pelantikan IPNU dan IPPNU di PP Nasyrul Ulum, Aengdake, dengan naik taksi (sebutan kami untuk angkutan pedesaan) dipastikan gagal setelah hingga beberapa menit lamanya menunggu tak satu pun taksi yang melintas. Akhirnya, saya mengeluarkan mobil Colt dan ngajak satu orang santri. Naik mobil sendirian itu sungguh berasa anomali. Makanya, saya tetap pilih taksi kalau hanya pergi sendiri.


Kami melawati jalan yang biasa, dari Luk-Guluk ke Prenduan, lalu ambil kiri, ke arah Sumenep, melewati Jalan Nasional 21. Setelah melewati Pakandangan, dengan kecepatan tinggi, saya pacu kendaraan hinggat nit-nit-nit. Maklum, jalannya bagus sekali. Di Pakandangan, ada ruas jalan yang jarang rumah di pinggir jalan sehingga lebih aman untuk ngebut. 

 

PP Nasyrul Ulum baru berdiri, kurang dari 10 tahun. Nama ini niru atau tafaulan nama lembaga ayah Zamzami sendiri, yaitu Kiai Hamid Mannan. Di Aengdake, Zamzami menjadi pengampu dan pengasuh, hijrah dari rumahnya di Bagandan, kota Pamekasan. Saya bayangkan, Nasyrul Ulum di Bluto ini merupakan sejenis cabang Pamekasan yang ada di luar bumi, yaitu di (planet) Bluto.


Di tempat itu, yang lembaga pendidikannya telah tersedia mulai dari PAUD/RA hingga SMK, Zamzami hanya berdua saja bersama istrinya, jauh dari tetangga, sepi sekali. Kini, ada beberapa puluh santri, mungkin ratusan, yang tinggal bersamanya, belum lagi tetangga sekitar kalau siang hari. Pekarangan yang merupakan jariyah dari orang itu lebar sekali, 1,5 hektar pada mulanya dan sekarang telah menjadi 2,2 hektar.

Di sana, saya diminta dia untuk ngasih bekal wawasan lingkungan kepada generasai IPNU dan IPPNU yang baru dilantik dan besok mau melaksanakan Makesta.Saya bicarakan buku saya, Merusak Bumi dari Meja Makan. Hal lain yang saya bicarakan adalah ajakan kepada generasi muda, khususnya IPNU dan IPPNU untuk mengawal pengendalian sampah plastik, setidaknya setiap hendak mengadakan acara/kegiatan.


Lokasi PP Nasyrul Ulum ini sangat eksotis, berada di tempat yang agak tinggi sehingga jika kita bertamu di rumah kiainya, kita dapat melihat langsung ke arah laut, ke selatan, juga ke pulau Gili Raja. Kalau malam hari, dipastikan suasana lebih menarik lagi. Saya pikir, saya harus datang lagi ke tempat itu pada suasana waktu yang berbeda.


Setelah azan duhur dan acara selesai, saya disuguhi makanan dan amplop sebagai ganti bahan bakar dan cuap-cuap. Mobil saya arahkan ke utara sesuai petunjuk dari orang setempat. Kata mereka, lewat di Aeng Baja Raja akan memangkas banyak jarak, meskipun treknya lebih kejam.Kiai Musa, ketua MWC planet Bluto, juga mastikan kalau jalannya sudah bagus, tidak seperti dulu.

 

Akan tetapi, ternyata tidak seberapa. Itu saya rasakan memang lebih pendek di saat mengemudi, tapi setelah diperiksa, jaraknya tidak seberapa beda. Kesimpulannya, kita sering salah anggap dan salah tanggap hanya karena tidak tahu sesuatu secara detil, secara rinci. Masih untuk ini soal jarak, namun akan serius jika menyangkut iman dan agama.



Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...